Kamis, 01 Desember 2016

MEMAHAMI ILMU TASAWUF



MEMAHAMI ILMU TASAWUF
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen “Ilmu Pemikiran Islam” Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan {FITK}
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Email               : dimyati@uinjkt.ac.id


A. Pendahuluan.
            Sejak awal mula, tokoh-tokoh sufi mendapatkan kritikan, bahkan penyesatan dan pengkafiran, dari sebagian kaum ulama. Kaum sufi itu dikritik, disesatkan dan atau dikafirkan dikarenakan perilaku hidup dan ajaran (ilmu) mereka dipandang sesat, tidak bersumber dari Islam. Tentu saja para pendukung ilmu tasawuf tidak tinggal diam. Mereka melakukan pembelaan dan pembelaan mereka itu menunjukkan hasilnya. Alih-alih kehidupan tasawuf itu pupus dari kehidupan umat dengan adanya kritikan-kritikan tersebut, tetapi justru semakin berkembang dan tetap eksis hingga zaman sekarang dalam bentuk tarekat.
            Tetap eksisnya kehidupan tasawuf itu sampai era kini dapat diasumsikan bahwa bukan saja disebabkan adanya pembelaan, tetapi memang ajaran tasawuf itu bukan ajaran yang sesat, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dapat dikatakan, ilmu tasawuf bukan saja tidak bertentangan dengan Ilmu Islam, tetapi justru merupakan bagian dari Ilmu Islam. Fakta bahwa ilmu tasawuf merupakan bagian dari Islam inilah yang membuat pembelaan kaum sufi itu berhasil dan ilmu tasawuf tetap eksis hingga sekarang.
            Untuk mengetahui gambaran tentang ilmu tasawuf itu tulisan ini akan menyajikan penjelasan dan pembelaan salah satu sufi abad kesepuluh, yaitu Abû Nashr al-Sarrâj (w. 378 H/988 M). Publik Indonesia belum banyak yang mengetahui tentang identitas tokoh ini, sehingga penyajian tulisan ini akan diawali dengan memperkenalkan jati diri tokoh ini. Kemudian, tentang karyanya dan pandangannya tentang ilmu tasawuf.
B. Jati Diri al-Sarrâj.
Nama lengkap al-Sarrâj adalah ‘Abd Allâh bin ‘Alî bin Muhammad bin Yahyâ Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî al-Shûfî.[1] Gelar al-Shûfî di belakang namanya menunjukkan bahwa otoritasnya di dunia tasawuf telah diakui oleh sesama sufi, sementara sebutan al-Thûsî menandakan bahwa ia lahir dan meninggal di Thûs,[2] Khurasan, Iran Timur. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, tetapi kematiannya terjadi pada bulan Rajab 378 H/Oktober-Nopember 988 M. Diinformasikan bahwa sebelum meninggal al-Sarrâj mengatakan, “Setiap orang (yang meninggal) yang tandu jenazahnya dibawa melewati kuburan saya, maka dosanya akan dimaafkan (oleh Allah SWT).” Akibatnya, kata Nicholson, orang-orang Thûs yang meninggal dunia jenazahnya terlebih dulu dibawa ke kuburan al-Sarrâj dan diberhentikan sejenak di dekat makam al-Sarrâj sebelum dibawa ke tempat penguburannya.[3]
Di dalam biografi-biografi Persia, al-Sarrâj dipandang sebagai “keluarga orang-orang fakir” dan diberi nama (gelar) “Burung Merak Orang-orang Fakir” (Thawûs al-Fuqarâ’).[4] Dalam sebuah anekdot, yang pertama kali diceritakan oleh al-Hujwîrî di dalam kitabnya Kasyf al-Mahjûb, dikisahkan bahwa al-Sarrâj datang ke Baghdad pada bulan Ramadhan dan dia diberi kamar khusus di masjid Syûnîziyyat, masjid agung Baghdad. Dia, kemudian, ditunjuk sebagai pemimpin shalat para darwisy (sufi) selama bulan Ramadhan. Selama mengimami shalat tarawih di bulan Ramadhan itu ia mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak lima kali setiap malamnya. Di setiap malam pelayan membawakan satu buah roti ke kamarnya. Ketika hari raya telah datang dan al-Sarrâj telah pergi meninggalkan tempat (masjid), maka pelayan itu mendapatkan ketiga puluh buah roti pemberiannya masih utuh (di kamar al-Sarrâj).[5]
Di samping itu, Annemarie Schimmel dan Reynold A. Nicholson memandang al-Sarrâj sebagai tokoh yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf praktis. Pandangan Schimmel dan Nicholson ini berdasar sebuah cerita bahwa dalam suatu diskusi dengan teman-temannya tentang beberapa persoalan sufistik al-Sarrâj tercekam suatu rasa ekstase (kegembiraan spiritual yang meluap-luap luar biasa) dan tanpa disadarinya dia menyurukkan dirinya dalam sikap bersujud ke dalam kobaran api tanpa sedikitpun wajahnya terluka kena bakar.[6]
            Tentang guru-guru al-Sarrâj, menurut Nicholson, adalah Ja‘far al-Khuldî,[7] Abû Bakr Muhammad bin Dâwud al-Duqqî[8] dan Ahmad bin Muhammad al-Sâyij.[9] Di tulisan lain, Nicholson mengemukakan garis spiritual al-Sarrâj melalui alur Abû Muhammad al-Murta‘isy al-Naisâbûrî (w. 328/939).[10] Di lain hal, Schimmel mengatakan bahwa al-Sarrâj pernah menjadi pengikut Ibn Khafîf al-Syirâzî (w. 371 H/982 M),[11] yang merupakan salah satu figur sufi yang berupaya supaya sufisme mudah diterima secara luas, termasuk di dalamnya oleh para ulama. Senada dengan Schimmel ini Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa Ibn Khafîf merupakan guru spiritual al-Sarrâj.[12]
Dari garis silsilah guru-guru al-Sarrâj itu dapat diketahui bahwa garis spiritual al-Sarrâj --selain Ibn Sâlim yang melalui silsilah al-Tustarî-- adalah melalui al-Junaid (Ja‘far al-Khuldî, murid al-Junaid; al-Duqqî murid Yahyâ al-Jallâ dan al-Jallâ murid al-Junaid; al-Murta‘isy al-Naisâbûrî murid al-Junaid; dan Ibn Khafîfpun sebagian melalui al-Junaid, yaitu Ibn Khafîf murid Abû al-‘Abbâs dan Abû al-‘Abbâs murid Ibrâhîm al-Mârsatânî dan Ibrâhîm al-Mârsatânî murid al-Junaid. Atau, Ibn Khafîf murid al-Jarîrî dan al-Jarîrî murid al-Junaid). Dengan demikian, garis spiritual al-Sarrâj hampir sepenuhnya melalui garis silsilah al-Junaid. Oleh karena al-Junaid ini dipandang sebagai tokoh terpenting tradisi spiritualitas “ketenangan hati, tak mabuk” (shahw),[13] maka al-Sarrâj mewarisi tradisi spiritual “tak mabuk” ini. Dengan kata lain, tasawuf al-Sarrâj adalah tasawuf “tak mabuk,” sebuah tasawuf yang kemudian menjadi anutan Abû Hâmid al-Ghazâlî.
C. Karya al-Sarrâj: Al-Luma‘
Menurut B. Radtke, ada kemungkinan al-Sarrâj memiliki beberapa karya tentang sufisme, tetapi karya satu-satunya yang tetap lestari hingga kini adalah al-Luma‘.[14] Kitab ini, sebagaimana dikatakan Schimmel, merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua atau, semisal dinyatakan M. Hamiduddin, merupakan kitab pedoman tasawuf yang dipandang tertua yang tersedia hingga sekarang.[15] Menurut Schimmel, kitab ini merupakan kitab yang gemilang mengenai pengantar ajaran sufi, yang dilengkapi dengan sejumlah besar kutipan dari berbagai sumber.[16]
Selain pandangan Schimmel di atas, al-Jabiri mengemukakan bahwa al-Luma‘ merupakan buku terpenting dan sumber utama tentang sejarah tasawuf dalam Islam.[17] Kemudian, Mahmûd dan Surûr mengatakan bahwa kitab ini merupakan kitab sejarah, madrasah ilmu pengetahuan, jalan rasa (spiritual), cahaya penunjuk perjalanan ‘sang pejalan’ menuju Tuhan, dan guru para ulama. Dalam ungkapan Nicholson, kitab ini merupakan ‘Perguruan Tinggi’ yang meluluskan orang-orang ternama dari para sufi yang jujur.[18]
         Di samping itu, Michael A. Sells menyatakan bahwa munculnya kitab al-Luma‘ ini telah menandai babak baru sejarah tasawuf, yaitu periode formatif (pembentukan) karya-karya tasawuf. Periode ini, menurut Sells, berawal dari al-Sarrâj hingga al-Qusyairî. Sells mengatakan pula bahwa kitab ini menjadi model bagi karya-karya tasawuf lainnya, sebagaimana kitab yang ditulis al-Kalâbâdzî, al-Sulamî, al-Qusyairî, Abû Nu‘aim al-Isfahânî, al-Ghazâlî, al-Attâr dan sejumlah karya lain yang kurang dikenal dalam kajian tasawuf.[19] Kitab al-Luma‘ juga menjadi salah satu rujukan kitab Kasyf al-Mahjûb karya ‘Alî al-Hujwîrî,[20] al-Risâlat karya al-Qusyairî dan Ihyâ Ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî, khususnya bab tentag samâ‘. Sebagai sumber rujukan al-Hujwîrî, al-Qusyairî dan al-Ghazâlî --tiga tokoh sufi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan tasawuf-- menunjukkan adanya pengaruh al-Sarrâj yang tidak bisa diremehkan dalam sejarah tasawuf.           
D. Ilmu Tasawuf dalam Perspektif al-Sarrâj.
Di atas telah disebutkan bahwa terdapat ulama-ulama zhahiriah yang menyesatkan dan mengkafirkan kaum sufi tertentu dikarenakan ilmu dalam Islam dianggap hanya ilmu yang mereka ketahui. Ilmu-ilmu di luar mereka dipandang bukan ilmu Islam sehingga kaum sufi yang memiliki ilmu “bathin” di luar ilmu “zhahir” yang mereka ketahui dianggap ilmu sesat dan kaum sufi yang memiliki ilmu “bathin” divonis kafir. Abû Nashr al-Sarrâj membantah tuduhan itu. Menurut al-Sarrâj, ilmu agama itu terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu al-Qur‘an, ilmu al-Sunnah dan al-Bayân, dan ilmu hakikat keimanan. Dalam penglihatan al-Sarrâj, ilmu yang disebut terakhir ini bukan saja populer di kalangan kaum sufi, tetapi populer juga di kalangan ahli hadis dan ahli fiqih. Ilmu hakikat iman ini, dalam pandangan al-Sarrâj, adalah ihsan. Bagi al-Sarrâj, Islam itu bersifat lahiriah, iman itu bersifat lahir dan bathin, dan ihsan merupakan hakikat lahir dan bathin. Jadi, ihsan merupakan hakikat iman, yaitu hakikat lahir dan bathin.[21] Ihsan yang merupakan hakikat iman yang populer di kalangan ahli hadis, ahli fiqih dan, lebih-lebih, di kalangan sufi inilah yang dimaksud al-Sarrâj dengan ilmu bathin atau ilmu tasawuf.[22] Dengan demikian, ilmu hakikat keimanan adalah ilmu bathin yang berarti pula ilmu tasawuf.
Ilmu bathin atau ilmu tasawuf itu, dalam perspektif al-Sarrâj, merupakan bagian integral dari Islam, seperti halnya ilmu al-Qur’an serta ilmu hadis dan bayân. Al-Sarrâj melihat bahwa semua ilmu ini, selain ilmu tasawuf, merupakan ilmu yang memiliki batas tertentu dan semuanya bermuara pada ilmu tasawuf. Sedangkan ilmu tasawuf, di mata al-Sarrâj, merupakan ilmu yang tidak ada batasnya dan bermuara pada ilmu tasawuf itu sendiri.[23]
Al-Sarrâj mengakui bahwa ilmu tasawuf atau ilmu bathin yang tidak terbatas itu diingkari sekelompok ahli zhahir. Mereka ini, dalam penglihatan al-Sarrâj, mengingkari ilmu bathin disebabkan mereka menyatakan bahwa mereka tidak mengenal suatu ilmu yang bersumber pada al-Qur‘an dan al-Sunnah kecuali ilmu syariah yang zhahir (lâ na‘rifu illâ ‘ilm al-syarî‘at al-zhâhirat al-latî jâ’a bihâ al-kitâb wa al-sunnat). Mereka juga menuduh (mengatakan) bahwa pendapat yang memandang adanya ilmu bathin dan ilmu tasawuf tidak memiliki dasar apa-apa.[24]
Oleh karena itu, al-Sarrâj membela adanya ilmu bathin atau ilmu tasawuf ini dengan menjelaskan bahwa ilmu syari‘ah sesungguhnya merupakan ilmu yang satu, yaitu nama yang satu yang mengandung dua makna: al-riwâyat dan al-dirâyat. Bila engkau telah mengumpulkan dua makna ini, maka itulah ilmu syari‘ah yang mengajak kepada berbagai amal, baik yang zhahir maupun yang bathin. Oleh karenanya, tidak boleh membedakan ilmu kepada dikhotomi yang zhahir atau yang bathin. Hal ini disebabkan, menurut al-Sarrâj, ketika ilmu itu berada dalam hati, maka ia merupakan ilmu bathin. Namun, ketika mulut mengucapkannya, maka ia merupakan ilmu zhahir. Disinilah al-Sarrâj berpendapat bahwa ilmu itu zhahir dan bathin. Inilah, menurut al-Sarrâj, ilmu syari‘ah yang menunjukkan dan mengajak kepada berbagai amal yang zhahir dan sekaligus yang bathin. Al-Sarrâj memaksudkan amal-amal yang zhahir adalah amal-amal anggota tubuh yang zhahir (luar) yang berkaitan dengan ibadah-ibadah dan hukum-hukum. Amal lahiriah yang berkenaan dengan ibadah semisal bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan lain sebagainya. Adapun amal anggota tubuh bagian luar yang berhubungan dengan hukum adalah hudûd, thalaq, pemerdekaan budak, jual-beli, farâ‘id, qishâsh (hukum kesamaan pembalasan) dan lain sebagainya. Semua amal ini berhubungan dengan anggota badan bagian luar. Adapun amal-amal yang bathin adalah amal-amal hati, yaitu maqâmât (kedudukan spiritual) dan ahwâl (keadaan-keadaan spiritual), semisal tashdîq (pembenaran), iman, yaqin, jujur, ikhlas, ma‘rifah, tawakkal, mahabbah, ridha dan sebagainya. Setiap amal dari berbagai amal yang lahir dan yang bathin ini terdapat ilmunya, fiqihnya, penjelasannya, fahamnya, hakikatnya dan ekstasenya. Keabsahan ilmu lahir dan ilmu bathin ini berasal dari ayat-ayat al-Qur‘an dan khabar dari Rasulullah SAW.[25]
           Selain itu, al-Sarrâj menjelaskan bahwa bila kami katakan ilmu bathin, maka yang kami maksudkan adalah ilmu amal-amal bathin yang merupakan anggota badan yang bathin, yaitu hati. Begitu juga ketika kami katakan ilmu zhahir, maka yang kami maksudkan adalah ilmu amal-amal yang zhahir (luar, lahiriah) yang diamalkan anggota badan bagian luar (zhahir). Pendapat al-Sarrâj ini didasarkan pada Firman Allah SWT yang artinya: “…dan Dia menyempurnakan untukmu ni‘mat-Nya lahir dan bathin…” (QS Luqmân: 20). Kemudian, al-Sarrâj mengartikan ni‘mat lahir sebagai ni‘mat yang Allah anugerahkan melalui anggota badan yang lahir (bagian luar) berupa perbuatan ketaatan kepada Allah SWT. Adapun ni‘mat bathin adalah ni‘mat yang Allah anugerahkan melalui hati berupa keadaan-keadaan spiritual. Menurut al-Sarrâj, ni‘mat yang lahir tidak cukup tanpa yang bathin dan, sebaliknya, ni‘mat yang bathin tidak cukup tanpa yang lahir. Al-Sarrâj mendasarkan pandangannya ini pada Firman Allah: “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” (QS al-Nisâ‘: 83). Selanjutnya, al-Sarrâj mengemukakan bahwa ilmu yang diketahui melalui istimbâth adalah ilmu bathin, yaitu ilmu ahli tasawuf. Al-Sarrâj pun menegaskan bahwa ilmu itu lahir dan bathin, al-Qur‘an lahir dan bathin, hadis Rasulullah SAW lahir dan bathin, dan Islam juga lahir dan bathin. Untuk sahabat-sahabat kami (sesama sufi) di dalam memahami makna-makna tersebut juga menggunakan dalil-dalil dan argumen-argumen dari al-Qur’an, al-Sunnah dan akal (argumen rasional).[26]
             Dari penjelasan al-Sarrâj itu bisa diketahui bahwa ilmu syari‘ah adalah ilmu yang terdiri dari yang lahir dan yang bathin, (tapi bukan dikhotomis yang lahir atau yang bathin). Ilmu syari‘ah yang terdiri dari yang lahir dan yang bathin ini menunjukkan dan mengajak kepada berbagai amal, baik amal lahiriah maupun amal bathiniah. Amal lahir adalah amal anggota badan bagian lahir (luar) dan amal bathin adalah amal anggota badan bagian dalam (bathin), yaitu hati. Keabsahan kedua ilmu ini berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ilmu atau amal yang bathin tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang lahir. Sebaliknya, ilmu atau amal yang lahir tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang bathin. Jadi, kedua ilmu atau amal ini saling membutuhkan, saling melengkapi dan merupakan satu kesatuan bagaikan dua sisi mata uang: ilmu itu lahir dan bathin, al-Qur’an lahir dan bathin, hadis lahir dan bathin, dan Islam pun lahir dan bathin. Keabsahan kedua ilmu ini (lahir dan bathin) berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, al-Sarrâj membela keberadaan ilmu bathin, ilmunya kaum sufi, dari orang yang mengingkari keberadaannya dan dari orang yang menyatakan bahwa ilmu yang dipandang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah hanyalah ilmu syari‘ah, ilmu yang lahir. Menurut al-Sarrâj, berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, ilmu syari‘ah, al-Qur’an, al-Sunnah atau Islam itu meski tidak sama, tapi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Walaupun ilmu lahir dan bathin itu tidak bisa dipisahkan, tapi bisa dibedakan. Di sinilah ilmu bathin, yakni ilmu ahli tasawuf atau kaum sufi bisa dibicarakan tersendiri. Dengan kata lain, ilmu bathin merupakan ilmu yang memiliki kekhasannya tersendiri, yang membedakannya dari ilmu lahir.
Oleh karena itu, al-Sarrâj mengingatkan orang-orang yang mengumbar lidahnya untuk tidak mengumpat wali-wali Allah. Al-Sarrâj menegaskan bahwa tidak seorangpun boleh mengumbar lidahnya untuk mengumpat wali-wali Allah.[27] Demikian pula, al-Sarrâj melarang mengkiaskan dengan pemahaman dan pendapat mereka sendiri terhadap kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang mereka dengar dan sulit mereka pahami. Al-Sarrâj melarang pengkiasaan ini disebabkan para wali itu, dalam anggapan al-Sarrâj, berada pada waktunya masing-masing dan berada dalam kondisi spiritual yang berbeda-beda. Al-Sarrâj pun menekankan bahwa orang yang tidak menempuh jalan mereka, tidak mengikuti jejak mereka dan tidak menuju ke arah yang mereka tuju, maka merupakan keselamatan baginya bila ia tidak mengingkari mereka, menyerahkan urusan mereka kepada Allah, dan mengakui kekeliruannya telah menyalahkan mereka. Tidak lupa, al-Sarrâj berdoa supaya Allah memberi taufiq kepada kita.[28]
Berkaitan dengan pelarangan pengingkaran itu, al-Sarrâj menyatakan bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding yang dipahami orang-orang yang cerdas (fahm al-fuhamâ‘) dan yang didapatkan orang-orang yang intelek (‘uqûl al-‘uqalâ‘). Oleh sebab itu, al-Sarrâj berpenilaian bahwa kisah Nabi Mûsâ AS dan Nabi Khidhir AS sudah cukup sebagai pelajaran. Dalam kisah ini, Nabi Mûsâ AS tidak sanggup memahami makna di balik apa-apa yang dilakukan Nabi Khidhir AS, padahal Nabi Mûsâ memiliki keagungan dan Allah menganugerahkan kekhususan dengan ‘percakapan’ (kalâm), kenabian, wahyu, dan kerasulan, yang tidak dianugerahkan kepada Nabi Khidhir.[29]
Al-Sarrâj lebih lanjut menuturkan kisah Nabi Mûsâ AS dan Nabi Khidhir AS itu dari al-Qur’an. Al-Sarrâj mengatakan bahwa telah dituturkan di dalam al-Qur‘an melalui perkataan seorang Nabi yang lisannya sangat jujur, yaitu Nabi Muhammad SAW, tentang ketidakmampuan Nabi Mûsâ AS memahami ilmu seoarang hamba di antara hamba-hamba-Nya, yang terkenal dengan nama Khidhir. Hal ini terlihat dari Firman-Nya bahwa Mûsâ bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya, yang telah diberi rahmat dari sisi-Nya, dan yang telah diajarkan ilmu dari sisi-Nya,[30] sampai Nabi Mûsâ AS bertanya kepadanya: “Bolehkah aku mengikutimu?” (QS Al-Kahfi: 66). Ketika Nabi Mûsâ AS mengajukan permintaan kepada Nabi Khidhir AS untuk mengikutinya ini, maka Nabi Khidhir menyetujuinya dengan syarat Nabi Mûsâ tidak boleh bertanya mengenai apapun…[31] Bersama Khidhir AS, menurut al-Sarrâj, Mûsâ AS yang memiliki kemuliaan dan posisi yang kuat di sisi Allah SWT terjaga dari pengingkaran terhadapnya (karena tidak sanggup memahami apa yang dilakukan Khidhir AS), meski selamanya Khidhir AS tidak mungkin mencapai derajat Mûsâ AS dalam hal kenabian, kerasulan dan percakapan langsung dengan Allah (al-taklîm).[32]
Berkenaan dengan pendapatnya bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding yang dipahami oleh orang-orang yang cerdas dan yang didapatkan oleh orang-orang yang intelek di atas, al-Sarrâj menginformasikan bahwa Allah SWT mengistimewakan Nabi SAW dengan tiga ilmu,[33] yaitu 1) ilmu yang dijelaskan kepada umatnya yang khusus maupun yang umum, yakni ilmu tentang hudûd (hukum-hukum pidana Islam), tentang perintah dan larangan; 2) ilmu yang disampaikan kepada sekelompok sahabat tertentu dan tidak kepada sahabat lainnya;[34] dan 3) ilmu yang khusus untuk Rasulullah SAW dan tidak seorangpun sahabat yang mengetahui ilmu ini. Contoh ilmu yang disampaikan kepada sahabat tertentu seperti ilmu tentang kemunafikan yang diajarkan kepada sahabat Hudzaifat b. al-Yamân RA sehingga sahabat ‘Umar b. al-Khaththâb RA yang lebih agung dan lebih mulia pernah bertanya kepadanya: “Wahai Hudzaifat, apakah aku termasuk orang-orang yang munafik?”[35]
Ilmu yang semacam itu juga yang tercermin dari perkataan ‘Alî b. Abû Thâlib RA bahwa Rasulullah SAW telah mengajarinya tujuh puluh bab ilmu yang tidak diajarkan kepada seorangpun selain dirinya. Oleh sebab inilah bila salah seorang sahabat Rasulullah SAW menghadapi suatu persoalan yang sulit, maka mereka bertanya kepada ‘Alî b. Abû Thâlib RA. Kemudian, bagi al-Sarrâj, ilmu yang khusus untuk Rasulullah adalah ilmu yang dimaksud Rasulullah dengan sabdanya yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya bahwa seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis, tidak akan mendapatkan kelezatan dengan wanita, tidak akan betah di atas tempat tidur, dan tentu kalian akan keluar ke gurun pasir memohon pertolongan Allah. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersumpah, “Demi Allah, sungguh aku lebih suka menjadi pohon yang ditebang.”[36]
Berdasarkan hadis itu al-Sarrâj mengatakan bahwa Nabi disuruh menyampaikan apa yang diturunkan Allah kepada Nabi, “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu” (QS al-Mâ’idah: 67), bukan disuruh menyampaikan apa yang Allah beritahukan kepada Nabi. Dengan demikian, al-Sarrâj memahami sabda Rasulullah yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya “andaikan kalian mengetahui apa yang aku ketahui” sebagai petunjuk adanya ilmu yang khusus diketahui oleh Rasulullah yang tidak diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya.[37] Oleh sebab ilmu itu banyak dan luas, bahkan ada ilmu yang khusus untuk Rasulullah, khusus untuk sahabat tertentu dan ada yang disampaikan untuk umum, maka al-Sarrâj menyatakan bahwa tidak sepantasnya bagi seseorang mengira bahwa dirinya menguasai semua ilmu sehingga dengan pendapatnya menyalahkan ucapan orang-orang yang dikhususkan Allah (al-makhshûshîn), mengkafirkan dan menzindiqkan mereka. Padahal, dalam penilaian al-Sarrâj, dia tidak tahu kedalaman keadaan-keadaan spiritual mereka (mumâratsat ahwâlihim), tingkatan tempat-tempat perealisasian spiritual mereka (manâzilat haqâ’iqihim), dan tidak tahu pula amalan-amalan mereka (a‘mâlihim).[38]
Al-Sarrâj selanjutnya membagi ilmu syari‘ah menjadi empat macam, yaitu 1) ilmu riwayah, atsar dan khabar, yakni ilmu yang ditransfer oleh orang-orang terpercaya dari orang-orang yang juga terpercaya; 2) ilmu dirayah, yakni ilmu fiqh dan hukum-hukum: ilmu-ilmu yang populer di kalangan ulama dan ahli fiqh; 3) ilmu kias (analogi), debat dan adu argumentasi terhadap orang-orang yang beda pendapat, yakni ilmu perdebatan dan pengokohan argumentasi yang melindungi agama dari orang-orang yang melakukan perubahan agama (ahl al-bida‘) dan dari orang-orang yang tersesat; dan 4) ilmu yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding ketiga ilmu di atas. Ilmu ini disebut al-Sarrâj sebagai ilmu tentang hakikat-hakikat (haqâ’iq) dan tempat tingkatan-tingkatan spiritual (manâzilât), ilmu tentang tingkah laku spiritual dan perjuangan-perjuangan spiritual (mujâhadât), ilmu mengenai keikhlasan melakukan ketaatan, menghadapkan diri kepada Allah dari segala segi, dan penggunaan seluruh waktunya untuk-Nya.[39]
Oleh karena itu, al-Sarrâj menegaskan bahwa orang yang keliru (ghalath) dalam suatu bidang ilmu harus menanyakannya ke ahlinya di bidang ilmu bersangkutan. Orang yang keliru dalam ilmu riwâyat tidak diperbolehkan menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang ilmu dirâyat. Sebaliknya, al-Sarrâj tidak memperbolehkan orang yang keliru dalam ilmu dirâyat menanyakan kekeliruannya itu kepada seseorang yang ahli di bidang ilmu riwâyat. Seterusnya, al-Sarrâj melarang seseorang yang keliru dalam ilmu qias dan debat menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang ilmu riwâyat atau dirâyat. Demikian pula orang yang keliru dalam ilmu hakikat dan keadaan-keadaan spiritual (‘ilm al-haqâ’iq wa al-ahwâl) al-Sarrâj tidak membolehkan menanyakan kekeliruannya itu selain kepada orang yang mengetahui maknanya secara sempurna (‘âlimâ kâmilâ) di bidang ilmu itu.[40]
Setelah itu, al-Sarrâj menegaskan kemungkinan unggulnya ahli hakikat dibandingkan ahli-ahli di bidang lain. Dalam pandangan al-Sarrâj, mungkin saja ilmu-ilmu itu seluruhnya dapat ditemukan pada diri seorang ahli hakikat, tetapi tidak mungkin ilmu hakikat dapat didapatkan pada orang-orang di bidang ilmu lain, kecuali yang dikehendaki Allah. Al-Sarrâj mendasarkan pendapatnya ini di atas argumen bahwa ilmu hakikat merupakan buah dan akhir dari segala ilmu dan puncak terakhir semua ilmu adalah ilmu hakikat.[41] Al-Sarrâj memposisikan kedudukan ilmu hakikat sebagai puncak terakhir segala ilmu ini atas dasar bahwa tatkala seseorang telah sampai pada ilmu hakikat, maka telah sampai pada lautan tanpa batas, yaitu ilmu hati, ilmu ma‘rifah, ilmu rahasia hati, ilmu bathin, ilmu tasawuf,[42] ilmu keadaan spiritual, ilmu praktis atau ilmu apa saja yang engkau kehendaki, maka maknanya sama (فاذا انتهى إليها وقع فى بحر لا غاية له، وهو علم القلوب، وعلم المعارف، وعلم الأسرار، وعلم الباطن، وعلم التصوف، وعلم الأحوال، وعلم المعاملات، أى ذلك شئت، فمعناه واحد.). Lebih lanjut al-Sarrâj menegaskan bahwa bukan ahli hakikat yang mengingkari ilmu-ilmu mereka (ilmu di luar ilmu hakikat), tetapi merekalah yang mengingkari ilmu hakikat, kecuali di antara mereka yang dikehendaki Allah.[43]
Penegasan al-Sarrâj tentang ketidakpengingkaran ahli hakikat terhadap ilmu-ilmu di luar ilmu hakikat, tetapi justeru ilmuwan-ilmuwan di luar ilmu hakikat yang mengingkari ilmu hakikat --kecuali yang dikehendaki Allah-- itu diteruskan dengan pernyataannya bahwa setiap kelompok bila benar-benar mendalam ilmunya dan sempurna pemahaman terhadap ilmu di bidangnya, maka ia akan menjadi “tuan” (al-sayyid) bagi teman-temannya: pasti dia akan menjadi rujukan ketika mereka menemukan kesulitan di bidang ilmu yang digelutinya. Apalagi kalau keempat ilmu itu berkumpul dalam diri satu orang, maka al-Sarrâj memprediksikan dia akan menjadi seorang imam yang sempurna (al-imâm al-kâmil), akan menjadi “poros dunia” (quthb), “sumber alasan” (hujjat), dan akan menjadi seorang pelopor penggunaan metode dan pencapaian sasaran (tujuan).[44]
E. Penutup.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tuduhan sekelompok ulama zhahiriah terhadap ilmu tasawuf disebabkan mereka hanya mampu melihat dan menguasai ilmu yang bersifat zhahiriah. Mereka mengumbar lidahnya untuk mengumpat wali-wali Allah juga dikarenakan mereka belum pernah memiliki  kondisi spiritual sebagaimana yang dimiliki para wali. Merekapun belum pernah menempuh jalan para wali, belum pernah mengikuti jejak dan menuju ke arah yang dituju para wali. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan besar disebabkan mereka mengumbar lidahnya untuk mengumpat para wali. Dalam kerangka inilah al-Sarrâj menjelaskan kepada mereka untuk membela ilmu tasawuf dan para wali Allah. Wallâhu a‘lamu bi al-shawâb.



[1] ‘Abd al-Halîm Mahmûd dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr menginformasikan bahwa nama al-Sarrâj adalah Abû Nashr ‘Abd Allâh bin ‘Alî al-Sarrâj al-Thûsî. Ia diberi gelar Thawûs al-Fuqarâ’ (Burung Merak Orang-orang Fakir). Mahmûd dan Surûr juga mengatakan bahwa penulis al-Nafahât mengungkap tentang al-Sarrâj, “Ia adalah ‘Abd Allâh bin ‘Alî bin Muhammad bin Yahyâ, seorang sufi dan zâhid, penulis Kitâb al-Luma‘ fî al-Tashawwuf. Mungkin ia memiliki karya-karya lain yang tidak sampai kepada kita…” Adapun penulis Tadzkirat al-Huffâzh mengemukakan, “Abû Nashr al-Sarrâj ‘Abd Allâh bin ‘Alî al-Thûsî, seorang yang zahid dan guru besar sufi, penulis Kitâb al-Luma‘ fî al-Tashawwuf…” ‘Abd al-Halîm Mahmûd dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr, “Kitâb al-Luma‘ wa Makânatuhu min al-Tashawwuf al-Islâmî,” dalam Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t. h. 14-5
[2] Tentang tempat meninggalnya, sebagaimana kutipan Nicholson, Abû al-Mahâsin dalam kitabnya Nujûm mengatakan di Naysabûr, Jâmî‘ dalam Nafahât al-Uns menginformasikan al-Sarrâj dikubur di Thûs dan B. Radtke dalam Encyclopedia of Arabic Literature menyatakan bahwa al-Sarrâj dilahirkan dan meninggal di Thûs. B. Radtke, “Al-Sarrâj,” dalam Encyclopedia of Arabic Literature, vol. 2, h. 692
[3] Reynold A. Nicholson, “Introduction,” h. iv.
[4] ‘Abd al-Halîm Mahmûd dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr, “Kitâb al-Luma‘ wa Makânatuhu min al-Tashawwuf al-Islâmî” (kata pengantar), h. 14
[5] ‘Alî bin ‘Utsmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kasyf al-Mahjûb, Kairo: Muh. Taufiq ‘Uwaidhat, 1974, h. 342
[6] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1975, h. 84 dan Reynold Nicholson, “Introduction,” h. v
[7] Nama lengkapnya, sebagaimana dikatakan al-Hujwîrî, adalah Abû Muhammad Ja‘far b. Nushîr al-Khuldî (w. 348 H). Menurut Nicholson, dia lahir di Baghdad dan merupakan murid al-Junaid dan Ibrâhîm al-Khawwâsh. Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, h. 368 dan Reynold Nicholson, “Introduction,” h. xvii
[8] Nama lengkapnya adalah Abû Bakr Muhammad bin Dâwud al-Duqqî al-Dînawarî wafat setelah tahun 350 H/961 M. Dia lahir di Dînawar, hijrah dan hidup di Syiria, bersahabat dengan Ahmad al-Jallâ dan al-Zaqqâq, dan hidup di atas seratus tahun. Nicholson mengatakan bahwa sebelum hijrah ke Damaskus dan wafat di sana tahun 359 atau 360 H dia pernah tinggal untuk beberapa waktu di Baghdad. Reynold A. Nicholson, “Introduction,” h. xvi
[9] Nama ini tidak disebutkan di dalam al-Luma‘. Oleh sebab itu, Nicholson memperkirakan bahwa nama al-Sâyij ini merupakan kesalahan tulis bagi al-Sâlimî, yaitu Abû al-Hasan Ahmad b. Muhammad b. Sâlim, pemimpin mazhab Sâlimiyyat. Reynold A. Nicholson, “Introduction,” h. iii.
[10] Reynold A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism, Surrey: Curzon Press Ltd., 1994, h. 10.
[11] Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Khafîf (w. 371 H) dari Syiraz, Iran, wafat dalam usia sekitar 100 tahun. Menurut al-Qusyairî, dia merupakan guru besar para Syaikh dan alim satu-satunya di masanya. Dia bersahabat dengan Ruwaim, al-Jarîrî, Ahmad bin ‘Athâ’ dan lain-lain. Al-Hujwirî menjadikan Ibn Khafîf ini sebagai salah satu ‘pendiri’ aliran tasawuf dengan nama Khafîfî. Menurut Nasr, ia merupakan guru spiritual al-Sarrâj. Al-Qusyairî, al-Risâlat, h. 120, Al-Hujwirî, Kasyf al-Mahjûb, h. 370 dan Seyyed Hossein Nasr, “Tasawuf dan Spiritualitas di Persia,” dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, Bandung: Mizan, 2003, h. 275-276.
[12] Seyyed Hossein Nasr, “Tasawuf dan Spiritualitas di Persia,” h. 275-6.
[13] Penulis-penulis tasawuf membagi dua aliran (mazhab) dalam tasawuf, yaitu mazhab Baghdad dan Khurasan. Pembagian ini tidak didasarkan pada tempat domisili atau daerah asal-usul masing-masing sufi yang masuk pada salah satu di antara dua aliran ini, tetapi lebih pada “karakter” kedua belah pihak. Mazhab Baghdad lebih menekankan “ketenangan hati” (shahw) dan berusaha berada di pihak ortodoksi, sedangkan mazhab Khurasan lebih memilih “mabuk” (sukr). Lihat Herbert Mason, “Hallâj and the Baghdad School of Sufism” dan Terry Graham, “Abû Sa‘îd ibn Abî al-Khair and the School of Khurâsân” dalam Leonard Lewisohn (Ed.), The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi (700-1300), vol. 1, Oxford: One World, 1999
[14] Radtke mengatakan bahwa tidak ada karya-karya al-Sarrâj yang lain yang lestari hingga sekarang atau yang diketahui masih ada hingga sekarang. Bahkan, Lory memperkirakan bahwa al-Sarrâj tidak memiliki karya lain, meski ia menyebutkan bahwa Jâmî‘ mengatakan kemungkinan adanya karya lain al-Sarrâj selain al-Luma‘. Alasan Lory adalah karena tidak ada judul buku lainnya yang diatributkan kepada al-Sarrâj yang diketahui oleh kita sekarang. Dalam “Bibliography” The Fihrist of al-Nadîm juga hanya menyebutkan kitab al-Luma‘ ini. B. Radtke, “Al-Sarrâj,” dalam Encyclopedia of Arabic Literature, h. 692, P. Lory, “Al-Sarrâj,” dalam The Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, Vol. IX, 1997, h. 66 dan Ibn al-Nadîm, The Fihrist of al-Nadîm: A Tenth-Century Survey of Muslim Culture, Bayard Dodge (editor dan penerjemah), vol 2, New York & London: Columbia University Press, 1970, h. 869
[15] Kitab ini, menurut Hamiduddin, dipandang sebagai kitab pedoman tasawuf yang tertua. Kalaupun bukan merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua, paling tidak, kata Hamiduddin, kitab ini merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua yang tersedia hingga kini. M. Hamiduddin, “Early Sufis: Doctrine,” dalam M.M. Sharif (Ed.), A History of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publications, vol. 1, 1995, h. 311. Sementara itu, Baldick menyebut kitab ini di urutan pertama ketika ia menginformasikan tentang “kitab pedoman tasawuf klasik yang pertama” (the first classic manuals of sufism). Julian Baldick, Mystical Islam, h. 55. Lihat juga R.A. Nicholson, “Mysticism,” dalam Influence and Impression of Islam, Sir Thomas Arnold (Ed.), Delhi: Rightway Publications, 2001, h. 219
[16] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, h. 84.
[17] Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri dari Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, h. 461.
[18] ‘Abd al-Halîm Mahmûd dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr, “Kitâb al-Luma‘ wa Makânatuhu min al-Tashawwuf al-Islâmî” (kata pengantar), h. 13.
[19] Michael A. Sells (Ed.), Sufisme Klasik, h. 306
[20] Al-Hujwîrî yang menulis dua puluh atau tiga puluh tahun setelah al-Sarrâj menulis al-Luma‘, menurut Nicholson, menggunakan al-Luma‘ secara bebas dan mengutip kata demi kata (quotes verbatim) satu bagian tentang adab dalam al-Luma‘. Nicholsonpun mengatakan bahwa bagian yang sama dikutip pula oleh al-Qusyairî, oleh ‘Aththâr di dalam Tadzkirat al-Awliyâ’ dan oleh Jâmi‘ dalam Nafahât al-Uns.  Reynold A. Nicholson, “Introduction,” h. xl-xli.
[21] Pandangan al-Sarrâj ini berdasarkan hadis tentang keimanan di mana Jibril AS bertanya kepada Nabi SAW mengenai tiga prinsip agama: mengenai iman, Islam dan ihsan. Menurut al-Sarrâj, Islam itu lahir, iman itu lahir dan bathin, dan ihsan itu hakikat lahir dan bathin. Hal ini sesuai dengan jawaban Rasulullah SAW atas pertanyaan Jibril AS tentang ihsan; “Ihsan adalah hendaknya engkau beribadah seakan-akan engkau melihat Allah. Bila engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (HR Bukhârî-Muslim, Abû Dâwud, Ibn Mâjah dan Ahmad). Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma’, h. 22
[22] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 43. Lih. As‘ad al-Sahamrânî, al-Tashawwuf: Mansya‘uhu wa Mushthalahâtuhu, h. 65
[23] Dalam pandangan al-Sarrâj, ilmu tasawuf tidak ada batasnya karena yang dituju ilmu ini tidak terbatas, yaitu Allah SWT. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 37. Lih. Abû Bakr Muhmmad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat, 1969, h. 106
[24] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 43. Abû Thâlib al-Makki mengatakan bahwa ilmu bathin di dalam hati adalah ilmu yang bermanfaat. Al-Makki mengatakan pula bahwa zhahir dan bathin itu merupakan dua ilmu yang saling membutuhkan dan melengkapi. Kedua ilmu ini, menurut al-Makki, bagaikan tubuh dan hati (qalb). Abû Thâlib al-Makkî, Qût al-Qulûb fî Mu‘âmalat al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, Dâr al-Fikr, t.t., h. 129-130
                [25] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 43-4. Pendapat al-Sarrâj ini dinukil Abû al-Wafâ’ al-Ghunaimî al-Taftâzânî dalam bukunya Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-Islâm, Kairo: Dâr al-Tsaqâfat li al-Nasyr wa al-Tawzî‘, 1983, h. 97-8
[26] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 44. Bandingkan dengan penjelasan Abû Thâlib al-Makkî dalam bukunya Qût al-Qulûb, h. 139
[27] Kaum sufi, menurut Nicholson, adalah orang-orang pilihan di antara umat Islam (komunitas Muslim) dan para wali adalah orang-orang pilihan di antara kaum sufi. Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, London: Routledge and Kegan Paul Ltd, 1966, h. 122
[28] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 454. Al-Kalâbâdzî mengatakan bahwa ilmu-ilmu kaum sufi (‘ulûm al-shûfiyyat) adalah ilmu-ilmu keadaan spiritual (‘ulûm al-ahwâl). Ilmu-ilmu kaum sufi ini, menurut al-Kalâbâdzî, tidak bisa diketahui kecuali oleh orang-orang yang menempuh dan mengalami keadaan-keadaan spiritual serta menempati berbagai posisi spiritual. Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat, 1969, h. 104-5
[29] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455
[30] Firman Allah yang disebut al-Sarrâj ini aslinya berbunyi: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS al-Kahfi: 65)
[31] Kenyataannya, setelah Nabi Mûsâ menyaksikan Nabi Khidhir membetulkan sebuah dinding rumah yang hampir roboh dan Khidhir tidak mau mengampil upah --yang sebelumnya Khidhir melakukan perusakan terhadap sebuah perahu dan membunuh seorang anak--, maka Nabi Mûsâ tetap mengajukan pertanyaan seperti halnya terhadap dua perbuatan Khidhir sebelumnya. Akhirnya, Khidhir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS al-Kahfi: 78). Lebih jelasnya, baca QS al-Kahfi: 60-82. Lihat juga Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, h. 128-9
                [32] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455
[33] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455-6
[34] Ilmu semacam ini seperti yang diajarkan kepada sahabat Hudzaifat b. al-Yamân RA tentang kemunafikan dan yang tercermin dari perkataan ‘Alî b. Abû Thâlib RA: “Rasulullah SAW telah mengajariku tujuh puluh bab ilmu yang tidak diajarkan kepada seorangpun selain aku.”  ‘Alî b. Abû Thâlib RA. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 456
[35] Al-Kalâbâdzî menuturkan bahwa sahabat Hudzaifat b. al-Yamân RA ini pernah menanyakan ilmu bathin kepada Rasulullah. Dijelaskan bahwa ilmu ini merupakan rahasia (sirr) dari kerahasiaan-Nya, yang Dia jadikan ilmu ini di dalam hati hamba-Nya, dan yang tidak seorangpun makhluk-Nya mengetahuinya. Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, h. 105-6
[36] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî, al-Hâkim dan al-Turmudzî. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Isrâ’îl dari Ibrâhîm b. Muhâjir dari Mujâhid dari Mauriq dari Abû Dzar dari Nabi SAW.
[37] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455-6
[38] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 456. Al-Kalâbâdzî mengungkapkan pula bahwa daripada menganggap bid‘at atau mengkufurkannya, maka sikap yang paling membawa keselamatan adalah berprasangka baik. Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, h. 106-7
[39] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 456-7. Pembagian ilmu syari‘at yang dikemukakan al-Sarrâj ini dikutip Taftâzânî ketika ia membahas tentang perbedaan tasawuf dan fiqih. Abû al-Wafâ’ al-Ghunaimî al-Taftâzânî, Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-Islâm, h. 96-8
[40] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457
[41] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457
[42] Al-Kalâbâdzî mengungkapkan pendapat Abû al-Hasan b. Abû Dzar yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang tanpa batas (lâ nafâda lahu), yang dia nilai sebagai ilmu yang tertinggi, ilmu langit (samâwî) dan ilmu ketuhanan (rubûbî). Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, h. 106
[43] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457
[44] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates