MEMAHAMI ILMU TASAWUF
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen “Ilmu Pemikiran Islam” Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan {FITK}
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Email : dimyati@uinjkt.ac.id
A. Pendahuluan.
Sejak
awal mula, tokoh-tokoh sufi mendapatkan kritikan, bahkan penyesatan dan
pengkafiran, dari sebagian kaum ulama. Kaum sufi itu dikritik, disesatkan dan
atau dikafirkan dikarenakan perilaku hidup dan ajaran (ilmu) mereka dipandang
sesat, tidak bersumber dari Islam. Tentu saja para pendukung ilmu tasawuf tidak
tinggal diam. Mereka melakukan pembelaan dan pembelaan mereka itu menunjukkan
hasilnya. Alih-alih kehidupan tasawuf itu pupus dari kehidupan umat dengan
adanya kritikan-kritikan tersebut, tetapi justru semakin berkembang dan tetap
eksis hingga zaman sekarang dalam bentuk tarekat.
Tetap
eksisnya kehidupan tasawuf itu sampai era kini dapat diasumsikan bahwa bukan
saja disebabkan adanya pembelaan, tetapi memang ajaran tasawuf itu bukan ajaran
yang sesat, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dapat dikatakan, ilmu
tasawuf bukan saja tidak bertentangan dengan Ilmu Islam, tetapi justru
merupakan bagian dari Ilmu Islam. Fakta bahwa ilmu tasawuf merupakan bagian
dari Islam inilah yang membuat pembelaan kaum sufi itu berhasil dan ilmu
tasawuf tetap eksis hingga sekarang.
Untuk
mengetahui gambaran tentang ilmu tasawuf itu tulisan ini akan menyajikan
penjelasan dan pembelaan salah satu sufi abad kesepuluh, yaitu Abû Nashr
al-Sarrâj (w. 378 H/988 M). Publik Indonesia belum banyak yang mengetahui
tentang identitas tokoh ini, sehingga penyajian tulisan ini akan diawali dengan
memperkenalkan jati diri tokoh ini. Kemudian, tentang karyanya dan pandangannya
tentang ilmu tasawuf.
B. Jati Diri al-Sarrâj.
Nama lengkap
al-Sarrâj adalah ‘Abd Allâh bin ‘Alî bin Muhammad bin Yahyâ Abû
Nashr al-Sarrâj al-Thûsî al-Shûfî.[1]
Gelar al-Shûfî di belakang namanya menunjukkan bahwa otoritasnya di dunia tasawuf telah diakui oleh sesama sufi, sementara sebutan al-Thûsî
menandakan bahwa ia lahir dan meninggal di Thûs,[2]
Khurasan, Iran Timur. Tahun kelahirannya
tidak diketahui secara pasti, tetapi kematiannya terjadi pada bulan Rajab 378
H/Oktober-Nopember 988 M. Diinformasikan bahwa sebelum meninggal al-Sarrâj
mengatakan, “Setiap orang (yang meninggal) yang tandu jenazahnya dibawa
melewati kuburan saya, maka dosanya akan dimaafkan (oleh Allah SWT).” Akibatnya, kata Nicholson, orang-orang
Thûs yang meninggal dunia jenazahnya terlebih
dulu dibawa ke kuburan al-Sarrâj dan diberhentikan sejenak di dekat makam
al-Sarrâj sebelum dibawa ke tempat penguburannya.[3]
Di dalam
biografi-biografi Persia, al-Sarrâj dipandang sebagai “keluarga orang-orang
fakir” dan diberi nama (gelar) “Burung Merak Orang-orang Fakir” (Thawûs
al-Fuqarâ’).[4] Dalam sebuah anekdot, yang pertama kali
diceritakan oleh al-Hujwîrî di dalam kitabnya Kasyf al-Mahjûb, dikisahkan bahwa al-Sarrâj datang ke Baghdad pada
bulan Ramadhan dan dia diberi kamar khusus di masjid Syûnîziyyat, masjid agung
Baghdad. Dia,
kemudian, ditunjuk sebagai pemimpin shalat para darwisy (sufi) selama bulan
Ramadhan. Selama mengimami shalat tarawih di bulan Ramadhan itu ia
mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak lima kali setiap malamnya. Di setiap malam pelayan membawakan
satu buah roti ke kamarnya. Ketika hari raya telah datang dan al-Sarrâj telah
pergi meninggalkan tempat (masjid), maka
pelayan itu
mendapatkan ketiga puluh buah roti pemberiannya masih utuh (di kamar al-Sarrâj).[5]
Di samping itu, Annemarie Schimmel dan Reynold A. Nicholson
memandang
al-Sarrâj sebagai
tokoh yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf praktis. Pandangan Schimmel dan Nicholson ini berdasar sebuah cerita bahwa dalam suatu
diskusi dengan teman-temannya tentang beberapa persoalan sufistik al-Sarrâj tercekam suatu rasa ekstase
(kegembiraan spiritual yang meluap-luap luar biasa) dan tanpa disadarinya dia menyurukkan dirinya dalam
sikap bersujud ke dalam kobaran api tanpa sedikitpun wajahnya terluka kena bakar.[6]
Tentang guru-guru al-Sarrâj, menurut
Nicholson, adalah Ja‘far al-Khuldî,[7]
Abû Bakr Muhammad bin Dâwud al-Duqqî[8]
dan Ahmad bin Muhammad al-Sâyij.[9]
Di tulisan lain, Nicholson
mengemukakan garis spiritual al-Sarrâj melalui alur Abû Muhammad
al-Murta‘isy al-Naisâbûrî (w. 328/939).[10]
Di lain hal, Schimmel mengatakan bahwa al-Sarrâj pernah menjadi pengikut Ibn
Khafîf al-Syirâzî (w. 371 H/982 M),[11]
yang merupakan salah satu figur sufi yang berupaya
supaya sufisme mudah diterima secara luas, termasuk di dalamnya oleh para ulama. Senada dengan Schimmel ini Seyyed
Hossein Nasr menyatakan bahwa Ibn Khafîf merupakan guru spiritual al-Sarrâj.[12]
Dari garis silsilah guru-guru
al-Sarrâj itu dapat
diketahui bahwa garis spiritual al-Sarrâj --selain Ibn Sâlim yang melalui
silsilah al-Tustarî-- adalah melalui al-Junaid (Ja‘far al-Khuldî, murid
al-Junaid; al-Duqqî murid Yahyâ al-Jallâ dan al-Jallâ murid al-Junaid;
al-Murta‘isy al-Naisâbûrî murid al-Junaid; dan Ibn Khafîfpun sebagian melalui
al-Junaid, yaitu Ibn Khafîf murid Abû al-‘Abbâs dan Abû al-‘Abbâs murid Ibrâhîm
al-Mârsatânî dan Ibrâhîm al-Mârsatânî murid al-Junaid. Atau, Ibn Khafîf murid
al-Jarîrî dan al-Jarîrî murid al-Junaid). Dengan demikian, garis spiritual
al-Sarrâj hampir sepenuhnya melalui garis silsilah al-Junaid. Oleh karena
al-Junaid ini dipandang sebagai tokoh terpenting tradisi spiritualitas “ketenangan
hati, tak mabuk” (shahw),[13]
maka al-Sarrâj mewarisi tradisi spiritual “tak mabuk” ini. Dengan kata lain,
tasawuf al-Sarrâj adalah tasawuf “tak mabuk,” sebuah tasawuf yang kemudian menjadi anutan Abû Hâmid al-Ghazâlî.
C. Karya al-Sarrâj: Al-Luma‘
Menurut B.
Radtke, ada kemungkinan al-Sarrâj memiliki beberapa karya tentang sufisme, tetapi
karya satu-satunya yang tetap lestari hingga kini adalah al-Luma‘.[14]
Kitab ini, sebagaimana dikatakan Schimmel, merupakan kitab
pedoman tasawuf yang tertua atau, semisal
dinyatakan M. Hamiduddin, merupakan kitab pedoman
tasawuf yang dipandang tertua yang tersedia hingga sekarang.[15]
Menurut Schimmel, kitab ini merupakan kitab yang gemilang mengenai pengantar
ajaran sufi, yang dilengkapi dengan sejumlah besar kutipan dari berbagai
sumber.[16]
Selain pandangan Schimmel di
atas, al-Jabiri
mengemukakan bahwa al-Luma‘ merupakan
buku terpenting dan sumber utama tentang sejarah tasawuf dalam Islam.[17]
Kemudian, Mahmûd dan Surûr mengatakan bahwa kitab ini merupakan kitab
sejarah, madrasah ilmu pengetahuan, jalan rasa (spiritual), cahaya penunjuk
perjalanan ‘sang pejalan’ menuju Tuhan, dan guru para ulama. Dalam ungkapan Nicholson, kitab ini merupakan ‘Perguruan
Tinggi’ yang meluluskan orang-orang ternama dari para sufi yang jujur.[18]
Di samping itu, Michael
A. Sells menyatakan
bahwa munculnya kitab al-Luma‘ ini telah menandai babak baru sejarah
tasawuf, yaitu periode formatif (pembentukan) karya-karya tasawuf. Periode ini,
menurut Sells, berawal dari al-Sarrâj hingga al-Qusyairî. Sells mengatakan pula
bahwa kitab ini menjadi model bagi karya-karya tasawuf lainnya, sebagaimana
kitab yang ditulis al-Kalâbâdzî, al-Sulamî, al-Qusyairî, Abû Nu‘aim
al-Isfahânî, al-Ghazâlî, al-Attâr dan sejumlah karya lain yang kurang dikenal
dalam kajian tasawuf.[19] Kitab
al-Luma‘ juga menjadi salah satu rujukan kitab Kasyf al-Mahjûb
karya ‘Alî al-Hujwîrî,[20]
al-Risâlat karya al-Qusyairî dan Ihyâ Ulûm al-Dîn
karya al-Ghazâlî, khususnya bab tentag samâ‘. Sebagai sumber rujukan al-Hujwîrî,
al-Qusyairî dan al-Ghazâlî --tiga tokoh sufi yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan tasawuf-- menunjukkan adanya pengaruh al-Sarrâj yang tidak bisa
diremehkan dalam sejarah tasawuf.
D. Ilmu Tasawuf dalam
Perspektif al-Sarrâj.
Di atas telah disebutkan
bahwa terdapat ulama-ulama
zhahiriah yang menyesatkan dan mengkafirkan kaum sufi tertentu dikarenakan ilmu
dalam Islam dianggap hanya ilmu yang mereka ketahui. Ilmu-ilmu di luar mereka
dipandang bukan ilmu Islam sehingga kaum sufi yang memiliki ilmu “bathin” di
luar ilmu “zhahir” yang mereka ketahui dianggap ilmu sesat dan kaum sufi yang
memiliki ilmu “bathin” divonis kafir. Abû Nashr al-Sarrâj membantah tuduhan
itu. Menurut al-Sarrâj, ilmu agama itu
terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu al-Qur‘an, ilmu al-Sunnah dan al-Bayân,
dan ilmu hakikat keimanan. Dalam penglihatan al-Sarrâj, ilmu yang disebut terakhir ini bukan saja populer di
kalangan kaum sufi, tetapi populer juga di kalangan ahli hadis dan ahli fiqih.
Ilmu hakikat iman ini, dalam pandangan al-Sarrâj, adalah ihsan. Bagi al-Sarrâj,
Islam itu bersifat lahiriah, iman itu bersifat lahir dan bathin, dan ihsan
merupakan hakikat lahir dan bathin. Jadi, ihsan merupakan hakikat iman, yaitu
hakikat lahir dan bathin.[21]
Ihsan yang merupakan hakikat iman yang populer di kalangan ahli hadis, ahli
fiqih dan, lebih-lebih, di kalangan sufi inilah yang dimaksud al-Sarrâj dengan
ilmu bathin atau ilmu tasawuf.[22]
Dengan demikian, ilmu hakikat keimanan adalah ilmu bathin yang berarti pula
ilmu tasawuf.
Ilmu bathin atau ilmu
tasawuf itu, dalam perspektif al-Sarrâj, merupakan bagian integral dari Islam,
seperti halnya ilmu al-Qur’an serta ilmu hadis dan bayân. Al-Sarrâj
melihat bahwa semua ilmu ini, selain ilmu tasawuf, merupakan ilmu yang memiliki
batas tertentu dan semuanya bermuara pada ilmu tasawuf. Sedangkan ilmu tasawuf,
di mata al-Sarrâj, merupakan ilmu yang tidak ada batasnya dan bermuara pada
ilmu tasawuf itu sendiri.[23]
Al-Sarrâj mengakui bahwa
ilmu tasawuf atau ilmu bathin yang tidak terbatas itu diingkari sekelompok ahli
zhahir. Mereka ini, dalam penglihatan al-Sarrâj, mengingkari ilmu bathin
disebabkan mereka menyatakan bahwa mereka tidak mengenal suatu ilmu yang
bersumber pada al-Qur‘an dan al-Sunnah kecuali ilmu syariah yang zhahir (lâ
na‘rifu illâ ‘ilm al-syarî‘at al-zhâhirat al-latî jâ’a bihâ
al-kitâb wa al-sunnat). Mereka juga menuduh (mengatakan) bahwa
pendapat yang memandang adanya ilmu bathin dan ilmu tasawuf tidak memiliki
dasar apa-apa.[24]
Oleh karena itu, al-Sarrâj
membela adanya ilmu bathin atau ilmu tasawuf ini dengan menjelaskan bahwa ilmu
syari‘ah sesungguhnya merupakan ilmu yang satu, yaitu nama yang satu yang
mengandung dua makna: al-riwâyat dan al-dirâyat.
Bila engkau telah mengumpulkan dua makna ini, maka itulah ilmu syari‘ah yang
mengajak kepada berbagai amal, baik yang zhahir maupun yang bathin. Oleh
karenanya, tidak boleh membedakan ilmu kepada dikhotomi yang zhahir atau yang
bathin. Hal ini disebabkan, menurut al-Sarrâj, ketika ilmu itu berada dalam
hati, maka ia merupakan ilmu bathin. Namun, ketika mulut mengucapkannya, maka
ia merupakan ilmu zhahir. Disinilah al-Sarrâj berpendapat bahwa ilmu itu zhahir
dan bathin. Inilah, menurut al-Sarrâj, ilmu syari‘ah yang menunjukkan dan
mengajak kepada berbagai amal yang zhahir dan sekaligus yang bathin. Al-Sarrâj
memaksudkan amal-amal yang zhahir adalah amal-amal anggota tubuh yang zhahir
(luar) yang berkaitan dengan ibadah-ibadah dan hukum-hukum. Amal lahiriah yang
berkenaan dengan ibadah semisal bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan
lain sebagainya. Adapun amal anggota tubuh bagian luar yang berhubungan dengan
hukum adalah hudûd, thalaq, pemerdekaan budak, jual-beli,
farâ‘id, qishâsh (hukum kesamaan pembalasan) dan lain sebagainya. Semua
amal ini berhubungan dengan anggota badan bagian luar. Adapun amal-amal yang
bathin adalah amal-amal hati, yaitu maqâmât (kedudukan spiritual) dan ahwâl
(keadaan-keadaan spiritual), semisal tashdîq (pembenaran), iman, yaqin,
jujur, ikhlas, ma‘rifah, tawakkal, mahabbah, ridha dan sebagainya. Setiap amal
dari berbagai amal yang lahir dan yang bathin ini terdapat ilmunya, fiqihnya,
penjelasannya, fahamnya, hakikatnya dan ekstasenya. Keabsahan ilmu lahir dan
ilmu bathin ini berasal dari ayat-ayat al-Qur‘an dan khabar dari Rasulullah
SAW.[25]
Selain
itu, al-Sarrâj menjelaskan bahwa bila kami katakan ilmu bathin, maka yang kami
maksudkan adalah ilmu amal-amal bathin yang merupakan anggota badan yang
bathin, yaitu hati. Begitu juga ketika kami katakan ilmu zhahir, maka yang kami
maksudkan adalah ilmu amal-amal yang zhahir (luar, lahiriah) yang diamalkan
anggota badan bagian luar (zhahir). Pendapat al-Sarrâj ini didasarkan pada
Firman Allah SWT yang artinya: “…dan Dia menyempurnakan untukmu ni‘mat-Nya
lahir dan bathin…” (QS Luqmân: 20). Kemudian, al-Sarrâj mengartikan ni‘mat
lahir sebagai ni‘mat yang Allah anugerahkan melalui anggota badan yang lahir
(bagian luar) berupa perbuatan ketaatan kepada Allah SWT. Adapun ni‘mat bathin
adalah ni‘mat yang Allah anugerahkan melalui hati berupa keadaan-keadaan
spiritual. Menurut al-Sarrâj, ni‘mat yang lahir tidak cukup tanpa yang bathin
dan, sebaliknya, ni‘mat yang bathin tidak cukup tanpa yang lahir. Al-Sarrâj
mendasarkan pandangannya ini pada Firman Allah: “Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri)” (QS al-Nisâ‘: 83). Selanjutnya, al-Sarrâj
mengemukakan bahwa ilmu yang diketahui melalui istimbâth adalah ilmu
bathin, yaitu ilmu ahli tasawuf. Al-Sarrâj pun menegaskan bahwa ilmu itu lahir
dan bathin, al-Qur‘an lahir dan bathin, hadis Rasulullah SAW lahir dan bathin,
dan Islam juga lahir dan bathin. Untuk sahabat-sahabat kami (sesama sufi) di
dalam memahami makna-makna tersebut juga menggunakan dalil-dalil dan
argumen-argumen dari al-Qur’an, al-Sunnah dan akal (argumen rasional).[26]
Dari
penjelasan al-Sarrâj itu bisa diketahui bahwa ilmu syari‘ah adalah ilmu yang
terdiri dari yang lahir dan yang bathin, (tapi bukan dikhotomis yang lahir atau
yang bathin). Ilmu syari‘ah yang terdiri dari yang lahir dan yang bathin ini
menunjukkan dan mengajak kepada berbagai amal, baik amal lahiriah maupun amal
bathiniah. Amal lahir adalah amal anggota badan bagian lahir (luar) dan amal
bathin adalah amal anggota badan bagian dalam (bathin), yaitu hati. Keabsahan
kedua ilmu ini berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ilmu atau amal
yang bathin tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang lahir. Sebaliknya,
ilmu atau amal yang lahir tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang bathin.
Jadi, kedua ilmu atau amal ini saling membutuhkan, saling melengkapi dan
merupakan satu kesatuan bagaikan dua sisi mata uang: ilmu itu lahir dan bathin,
al-Qur’an lahir dan bathin, hadis lahir dan bathin, dan Islam pun lahir dan
bathin. Keabsahan kedua ilmu ini (lahir dan bathin) berasal dari al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, al-Sarrâj membela keberadaan ilmu
bathin, ilmunya kaum sufi, dari orang yang mengingkari keberadaannya dan dari
orang yang menyatakan bahwa ilmu yang dipandang berasal dari al-Qur’an dan
al-Sunnah hanyalah ilmu syari‘ah, ilmu yang lahir. Menurut al-Sarrâj,
berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, ilmu syari‘ah, al-Qur’an, al-Sunnah atau
Islam itu meski tidak sama, tapi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Walaupun
ilmu lahir dan bathin itu tidak bisa dipisahkan, tapi bisa dibedakan. Di
sinilah ilmu bathin, yakni ilmu ahli tasawuf atau kaum sufi bisa dibicarakan
tersendiri. Dengan kata lain, ilmu bathin merupakan ilmu yang memiliki
kekhasannya tersendiri, yang membedakannya dari ilmu lahir.
Oleh karena itu,
al-Sarrâj mengingatkan orang-orang yang mengumbar lidahnya untuk tidak
mengumpat wali-wali Allah. Al-Sarrâj menegaskan bahwa tidak seorangpun boleh
mengumbar lidahnya untuk mengumpat wali-wali Allah.[27]
Demikian pula, al-Sarrâj melarang mengkiaskan dengan pemahaman dan pendapat
mereka sendiri terhadap kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang mereka dengar dan
sulit mereka pahami. Al-Sarrâj melarang pengkiasaan ini disebabkan para wali
itu, dalam anggapan al-Sarrâj, berada pada waktunya masing-masing dan berada
dalam kondisi spiritual yang berbeda-beda. Al-Sarrâj pun menekankan bahwa orang
yang tidak menempuh jalan mereka, tidak mengikuti jejak mereka dan tidak menuju
ke arah yang mereka tuju, maka merupakan keselamatan baginya bila ia tidak
mengingkari mereka, menyerahkan urusan mereka kepada Allah, dan mengakui
kekeliruannya telah menyalahkan mereka. Tidak lupa, al-Sarrâj berdoa supaya
Allah memberi taufiq kepada kita.[28]
Berkaitan dengan
pelarangan pengingkaran itu, al-Sarrâj menyatakan bahwa ilmu itu lebih banyak
dibanding yang dipahami orang-orang yang cerdas (fahm al-fuhamâ‘) dan
yang didapatkan orang-orang yang intelek (‘uqûl al-‘uqalâ‘). Oleh sebab
itu, al-Sarrâj berpenilaian bahwa kisah Nabi Mûsâ AS dan Nabi Khidhir AS sudah
cukup sebagai pelajaran. Dalam kisah ini, Nabi Mûsâ AS tidak sanggup memahami
makna di balik apa-apa yang dilakukan Nabi Khidhir AS, padahal Nabi Mûsâ
memiliki keagungan dan Allah menganugerahkan kekhususan dengan ‘percakapan’ (kalâm),
kenabian, wahyu, dan kerasulan, yang tidak dianugerahkan kepada Nabi Khidhir.[29]
Al-Sarrâj
lebih lanjut menuturkan kisah Nabi Mûsâ AS dan Nabi Khidhir AS itu dari
al-Qur’an. Al-Sarrâj mengatakan bahwa telah dituturkan di dalam al-Qur‘an
melalui perkataan seorang Nabi yang lisannya sangat jujur, yaitu Nabi Muhammad
SAW, tentang ketidakmampuan Nabi Mûsâ AS memahami ilmu seoarang hamba di antara
hamba-hamba-Nya, yang terkenal dengan nama Khidhir. Hal ini terlihat dari
Firman-Nya bahwa Mûsâ bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya,
yang telah diberi rahmat dari sisi-Nya, dan yang telah diajarkan ilmu dari
sisi-Nya,[30] sampai Nabi Mûsâ AS
bertanya kepadanya: “Bolehkah aku mengikutimu?” (QS Al-Kahfi: 66).
Ketika Nabi Mûsâ AS mengajukan permintaan kepada Nabi Khidhir AS untuk
mengikutinya ini, maka Nabi Khidhir menyetujuinya dengan syarat Nabi Mûsâ tidak
boleh bertanya mengenai apapun…[31]
Bersama Khidhir AS, menurut al-Sarrâj, Mûsâ AS
yang memiliki kemuliaan dan posisi yang kuat di sisi Allah SWT terjaga dari
pengingkaran terhadapnya (karena tidak sanggup memahami apa yang dilakukan
Khidhir AS), meski selamanya Khidhir AS tidak mungkin mencapai derajat Mûsâ AS
dalam hal kenabian, kerasulan dan percakapan langsung dengan Allah (al-taklîm).[32]
Berkenaan
dengan pendapatnya bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding yang dipahami oleh
orang-orang yang cerdas dan yang didapatkan oleh orang-orang yang intelek di
atas, al-Sarrâj menginformasikan bahwa Allah SWT mengistimewakan Nabi SAW
dengan tiga ilmu,[33]
yaitu 1) ilmu yang dijelaskan kepada umatnya yang khusus maupun yang umum,
yakni ilmu tentang hudûd (hukum-hukum
pidana Islam), tentang perintah dan larangan; 2) ilmu yang disampaikan kepada
sekelompok sahabat tertentu dan tidak kepada sahabat lainnya;[34]
dan 3) ilmu yang khusus untuk Rasulullah SAW dan tidak seorangpun sahabat yang
mengetahui ilmu ini. Contoh ilmu yang disampaikan kepada sahabat tertentu
seperti ilmu tentang kemunafikan yang
diajarkan kepada sahabat Hudzaifat b. al-Yamân RA sehingga
sahabat ‘Umar b. al-Khaththâb RA yang lebih agung dan lebih mulia pernah
bertanya kepadanya: “Wahai Hudzaifat, apakah aku termasuk
orang-orang yang munafik?”[35]
Ilmu yang semacam itu juga
yang tercermin dari perkataan ‘Alî b. Abû Thâlib RA bahwa Rasulullah SAW telah
mengajarinya tujuh puluh bab ilmu yang tidak diajarkan kepada seorangpun selain
dirinya. Oleh sebab inilah bila salah seorang sahabat Rasulullah SAW menghadapi
suatu persoalan yang sulit, maka mereka bertanya kepada ‘Alî b. Abû Thâlib RA.
Kemudian, bagi
al-Sarrâj, ilmu yang khusus untuk
Rasulullah adalah ilmu yang dimaksud Rasulullah dengan sabdanya yang ditujukan
kepada sahabat-sahabatnya bahwa seandainya
kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan
banyak menangis, tidak akan mendapatkan kelezatan dengan wanita, tidak akan
betah di atas tempat tidur, dan tentu kalian akan keluar ke gurun pasir memohon
pertolongan Allah. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersumpah, “Demi Allah, sungguh
aku lebih suka menjadi pohon yang ditebang.”[36]
Berdasarkan hadis itu
al-Sarrâj mengatakan bahwa Nabi disuruh menyampaikan apa yang diturunkan Allah
kepada Nabi, “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu” (QS al-Mâ’idah: 67), bukan disuruh menyampaikan apa yang Allah
beritahukan kepada Nabi. Dengan demikian, al-Sarrâj memahami sabda Rasulullah
yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya “andaikan kalian mengetahui apa yang
aku ketahui” sebagai petunjuk adanya ilmu yang khusus diketahui oleh Rasulullah
yang tidak diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya.[37] Oleh sebab
ilmu itu banyak dan luas, bahkan ada ilmu yang khusus untuk Rasulullah, khusus
untuk sahabat tertentu dan ada yang disampaikan untuk umum, maka al-Sarrâj
menyatakan bahwa tidak sepantasnya bagi seseorang mengira bahwa dirinya
menguasai semua ilmu sehingga dengan pendapatnya menyalahkan ucapan orang-orang
yang dikhususkan Allah (al-makhshûshîn), mengkafirkan dan menzindiqkan mereka. Padahal,
dalam penilaian al-Sarrâj, dia tidak tahu kedalaman keadaan-keadaan spiritual
mereka (mumâratsat ahwâlihim), tingkatan tempat-tempat
perealisasian spiritual mereka (manâzilat haqâ’iqihim),
dan tidak tahu pula amalan-amalan mereka (a‘mâlihim).[38]
Al-Sarrâj
selanjutnya membagi ilmu syari‘ah menjadi empat macam, yaitu 1) ilmu riwayah,
atsar dan khabar, yakni ilmu yang ditransfer oleh orang-orang terpercaya dari
orang-orang yang juga terpercaya; 2) ilmu dirayah, yakni ilmu fiqh dan
hukum-hukum: ilmu-ilmu yang populer di kalangan ulama dan ahli fiqh; 3) ilmu
kias (analogi), debat dan adu argumentasi terhadap orang-orang yang beda
pendapat, yakni ilmu perdebatan dan pengokohan argumentasi yang melindungi
agama dari orang-orang yang melakukan perubahan agama (ahl al-bida‘) dan
dari orang-orang yang tersesat; dan 4) ilmu yang lebih tinggi dan lebih mulia
dibanding ketiga ilmu di atas. Ilmu ini disebut al-Sarrâj sebagai ilmu
tentang hakikat-hakikat (haqâ’iq) dan tempat
tingkatan-tingkatan spiritual (manâzilât), ilmu tentang tingkah laku spiritual dan
perjuangan-perjuangan spiritual (mujâhadât), ilmu
mengenai keikhlasan melakukan ketaatan, menghadapkan diri kepada Allah dari
segala segi, dan penggunaan seluruh waktunya untuk-Nya.[39]
Oleh
karena itu, al-Sarrâj menegaskan bahwa orang yang keliru (ghalath) dalam
suatu bidang ilmu harus menanyakannya ke ahlinya di bidang ilmu bersangkutan.
Orang yang keliru dalam ilmu riwâyat
tidak diperbolehkan menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di
bidang ilmu dirâyat. Sebaliknya, al-Sarrâj tidak memperbolehkan
orang yang keliru dalam ilmu dirâyat menanyakan kekeliruannya itu
kepada seseorang yang ahli di bidang ilmu riwâyat. Seterusnya,
al-Sarrâj melarang seseorang yang keliru dalam ilmu qias dan debat menanyakan
kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang ilmu riwâyat
atau dirâyat. Demikian pula orang yang keliru dalam ilmu hakikat
dan keadaan-keadaan spiritual (‘ilm al-haqâ’iq wa al-ahwâl)
al-Sarrâj tidak membolehkan menanyakan kekeliruannya itu selain kepada orang
yang mengetahui maknanya secara sempurna (‘âlimâ kâmilâ) di bidang ilmu
itu.[40]
Setelah itu, al-Sarrâj
menegaskan kemungkinan unggulnya ahli hakikat dibandingkan ahli-ahli di bidang
lain. Dalam pandangan al-Sarrâj, mungkin saja ilmu-ilmu itu seluruhnya dapat
ditemukan pada diri seorang ahli hakikat, tetapi tidak mungkin ilmu hakikat
dapat didapatkan pada orang-orang di bidang ilmu lain, kecuali yang dikehendaki
Allah. Al-Sarrâj mendasarkan pendapatnya ini di atas argumen bahwa ilmu hakikat
merupakan buah dan akhir dari segala ilmu dan puncak terakhir semua ilmu adalah
ilmu hakikat.[41] Al-Sarrâj memposisikan
kedudukan ilmu hakikat sebagai puncak terakhir segala ilmu ini atas dasar bahwa
tatkala seseorang telah sampai pada ilmu hakikat, maka telah sampai pada lautan
tanpa batas, yaitu ilmu hati, ilmu ma‘rifah, ilmu rahasia hati, ilmu bathin,
ilmu tasawuf,[42] ilmu keadaan spiritual,
ilmu praktis atau ilmu apa saja yang engkau kehendaki, maka maknanya sama (فاذا انتهى إليها وقع فى بحر لا غاية له، وهو علم القلوب، وعلم
المعارف، وعلم الأسرار، وعلم الباطن، وعلم التصوف، وعلم الأحوال، وعلم المعاملات،
أى ذلك شئت، فمعناه واحد.). Lebih lanjut al-Sarrâj menegaskan bahwa
bukan ahli hakikat yang mengingkari ilmu-ilmu mereka (ilmu di luar ilmu
hakikat), tetapi merekalah yang mengingkari ilmu hakikat, kecuali di antara
mereka yang dikehendaki Allah.[43]
Penegasan al-Sarrâj
tentang ketidakpengingkaran ahli hakikat terhadap ilmu-ilmu di luar ilmu
hakikat, tetapi justeru ilmuwan-ilmuwan di luar ilmu hakikat yang mengingkari
ilmu hakikat --kecuali yang dikehendaki Allah-- itu diteruskan dengan
pernyataannya bahwa setiap kelompok bila benar-benar mendalam ilmunya dan
sempurna pemahaman terhadap ilmu di bidangnya, maka ia akan menjadi “tuan” (al-sayyid)
bagi teman-temannya: pasti dia akan menjadi rujukan ketika mereka menemukan
kesulitan di bidang ilmu yang digelutinya. Apalagi kalau keempat ilmu itu
berkumpul dalam diri satu orang, maka al-Sarrâj memprediksikan dia akan menjadi seorang imam yang
sempurna (al-imâm al-kâmil), akan menjadi “poros dunia” (quthb),
“sumber alasan” (hujjat), dan akan menjadi seorang pelopor
penggunaan metode dan pencapaian sasaran (tujuan).[44]
E. Penutup.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tuduhan sekelompok ulama zhahiriah
terhadap ilmu tasawuf disebabkan mereka hanya mampu melihat dan menguasai ilmu
yang bersifat zhahiriah. Mereka mengumbar lidahnya untuk mengumpat wali-wali Allah juga dikarenakan
mereka belum pernah memiliki kondisi spiritual sebagaimana yang dimiliki para wali.
Merekapun belum pernah
menempuh jalan para wali, belum pernah mengikuti jejak dan menuju ke arah
yang dituju
para wali. Akibatnya, mereka
melakukan kesalahan besar disebabkan mereka mengumbar lidahnya untuk mengumpat para wali.
Dalam kerangka inilah al-Sarrâj menjelaskan kepada mereka untuk membela
ilmu tasawuf dan para wali Allah. Wallâhu a‘lamu bi
al-shawâb.
[1] ‘Abd al-Halîm Mahmûd
dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr menginformasikan bahwa nama al-Sarrâj adalah Abû
Nashr ‘Abd Allâh bin ‘Alî al-Sarrâj al-Thûsî. Ia diberi gelar Thawûs
al-Fuqarâ’ (Burung Merak Orang-orang Fakir). Mahmûd dan Surûr juga
mengatakan bahwa penulis al-Nafahât mengungkap tentang al-Sarrâj, “Ia
adalah ‘Abd Allâh bin ‘Alî bin Muhammad bin Yahyâ, seorang sufi dan zâhid,
penulis Kitâb al-Luma‘ fî al-Tashawwuf. Mungkin ia memiliki karya-karya
lain yang tidak sampai kepada kita…” Adapun penulis Tadzkirat
al-Huffâzh mengemukakan, “Abû Nashr al-Sarrâj ‘Abd Allâh bin ‘Alî al-Thûsî,
seorang yang zahid dan guru besar sufi, penulis Kitâb al-Luma‘ fî
al-Tashawwuf…” ‘Abd al-Halîm Mahmûd dan Thaha ‘Abd al-Bâqî
Surûr, “Kitâb al-Luma‘ wa Makânatuhu min al-Tashawwuf al-Islâmî,” dalam Abû
Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat
al-Dîniyyat, t.t. h. 14-5
[2] Tentang tempat meninggalnya, sebagaimana kutipan
Nicholson, Abû al-Mahâsin dalam kitabnya Nujûm mengatakan di Naysabûr,
Jâmî‘ dalam Nafahât al-Uns menginformasikan al-Sarrâj dikubur di
Thûs dan B. Radtke dalam Encyclopedia of Arabic Literature menyatakan
bahwa al-Sarrâj dilahirkan dan meninggal di Thûs. B. Radtke,
“Al-Sarrâj,” dalam Encyclopedia of Arabic Literature, vol. 2, h. 692
[3] Reynold A. Nicholson,
“Introduction,” h. iv.
[4] ‘Abd al-Halîm Mahmûd
dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr, “Kitâb al-Luma‘ wa Makânatuhu min al-Tashawwuf
al-Islâmî” (kata pengantar), h. 14
[5] ‘Alî bin ‘Utsmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kasyf
al-Mahjûb, Kairo: Muh. Taufiq ‘Uwaidhat, 1974, h. 342
[6] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension
of Islam, Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1975, h. 84
dan Reynold Nicholson, “Introduction,” h. v
[7] Nama lengkapnya,
sebagaimana dikatakan al-Hujwîrî, adalah Abû Muhammad Ja‘far b. Nushîr
al-Khuldî (w. 348 H). Menurut Nicholson, dia lahir di Baghdad dan merupakan
murid al-Junaid dan Ibrâhîm al-Khawwâsh. Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb,
h. 368 dan Reynold Nicholson, “Introduction,” h. xvii
[8] Nama lengkapnya adalah Abû
Bakr Muhammad bin Dâwud al-Duqqî al-Dînawarî wafat setelah tahun 350
H/961 M. Dia lahir di Dînawar, hijrah dan hidup di Syiria, bersahabat dengan Ahmad
al-Jallâ dan al-Zaqqâq, dan hidup di atas seratus tahun. Nicholson mengatakan
bahwa sebelum hijrah ke Damaskus dan wafat di sana tahun 359 atau 360 H dia
pernah tinggal untuk beberapa waktu di Baghdad. Reynold A. Nicholson,
“Introduction,” h. xvi
[9] Nama ini tidak disebutkan
di dalam al-Luma‘. Oleh sebab itu, Nicholson memperkirakan bahwa nama
al-Sâyij ini merupakan kesalahan tulis bagi al-Sâlimî, yaitu Abû al-Hasan
Ahmad b. Muhammad b. Sâlim, pemimpin mazhab Sâlimiyyat.
Reynold A. Nicholson, “Introduction,” h. iii.
[10] Reynold A. Nicholson, Studies
in Islamic Mysticism, Surrey: Curzon Press Ltd., 1994, h. 10.
[11] Abû ‘Abd Allâh Muhammad
bin Khafîf (w. 371 H) dari Syiraz, Iran, wafat dalam usia sekitar 100 tahun.
Menurut al-Qusyairî, dia merupakan guru besar para Syaikh dan alim satu-satunya
di masanya. Dia bersahabat dengan Ruwaim, al-Jarîrî, Ahmad bin ‘Athâ’
dan lain-lain. Al-Hujwirî menjadikan Ibn Khafîf ini sebagai salah satu
‘pendiri’ aliran tasawuf dengan nama Khafîfî. Menurut Nasr, ia merupakan guru
spiritual al-Sarrâj. Al-Qusyairî, al-Risâlat, h. 120, Al-Hujwirî,
Kasyf al-Mahjûb, h. 370 dan Seyyed Hossein Nasr, “Tasawuf dan
Spiritualitas di Persia,” dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, Bandung: Mizan, 2003, h. 275-276.
[12] Seyyed Hossein Nasr,
“Tasawuf dan Spiritualitas di Persia,” h. 275-6.
[13] Penulis-penulis tasawuf
membagi dua aliran (mazhab) dalam tasawuf, yaitu mazhab Baghdad dan Khurasan.
Pembagian ini tidak didasarkan pada tempat domisili atau daerah asal-usul
masing-masing sufi yang masuk pada salah satu di antara dua aliran ini, tetapi
lebih pada “karakter” kedua belah pihak. Mazhab Baghdad lebih menekankan
“ketenangan hati” (shahw) dan berusaha berada di pihak ortodoksi,
sedangkan mazhab Khurasan lebih memilih “mabuk” (sukr). Lihat Herbert
Mason, “Hallâj and the Baghdad School of Sufism” dan Terry Graham, “Abû Sa‘îd
ibn Abî al-Khair and the School of Khurâsân” dalam Leonard Lewisohn (Ed.), The
Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi
(700-1300), vol. 1, Oxford: One World, 1999
[14] Radtke mengatakan bahwa
tidak ada karya-karya al-Sarrâj yang lain yang lestari hingga sekarang atau
yang diketahui masih ada hingga sekarang. Bahkan, Lory memperkirakan bahwa
al-Sarrâj tidak memiliki karya lain, meski ia menyebutkan bahwa Jâmî‘
mengatakan kemungkinan adanya karya lain al-Sarrâj selain al-Luma‘.
Alasan Lory adalah karena tidak ada judul buku lainnya yang diatributkan kepada
al-Sarrâj yang diketahui oleh kita sekarang. Dalam “Bibliography” The
Fihrist of al-Nadîm juga hanya menyebutkan kitab al-Luma‘ ini. B.
Radtke, “Al-Sarrâj,” dalam Encyclopedia of Arabic Literature, h. 692, P.
Lory, “Al-Sarrâj,” dalam The Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill,
Vol. IX, 1997, h. 66 dan Ibn al-Nadîm, The Fihrist of al-Nadîm: A
Tenth-Century Survey of Muslim Culture, Bayard Dodge (editor dan
penerjemah), vol 2, New York & London: Columbia University Press, 1970, h.
869
[15] Kitab ini, menurut
Hamiduddin, dipandang sebagai kitab pedoman tasawuf yang tertua. Kalaupun bukan
merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua, paling tidak, kata Hamiduddin,
kitab ini merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua yang tersedia hingga kini.
M. Hamiduddin, “Early Sufis: Doctrine,” dalam M.M. Sharif (Ed.), A History
of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publications, vol. 1, 1995, h. 311.
Sementara itu, Baldick menyebut kitab ini di urutan pertama ketika ia
menginformasikan tentang “kitab pedoman tasawuf klasik yang pertama” (the
first classic manuals of sufism). Julian Baldick, Mystical Islam, h.
55. Lihat juga R.A. Nicholson, “Mysticism,” dalam Influence and Impression
of Islam, Sir Thomas Arnold (Ed.), Delhi: Rightway Publications, 2001, h.
219
[16] Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions of Islam, h. 84.
[17] Abed al-Jabiri, Formasi
Nalar Arab, terj. Imam Khoiri dari Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, h. 461.
[18] ‘Abd al-Halîm Mahmûd
dan Thaha ‘Abd al-Bâqî Surûr, “Kitâb al-Luma‘ wa Makânatuhu min al-Tashawwuf
al-Islâmî” (kata pengantar), h. 13.
[19] Michael A. Sells (Ed.), Sufisme
Klasik, h. 306
[20] Al-Hujwîrî yang
menulis dua puluh atau tiga puluh tahun setelah al-Sarrâj menulis al-Luma‘,
menurut Nicholson, menggunakan al-Luma‘ secara bebas dan mengutip kata
demi kata (quotes verbatim) satu bagian tentang adab dalam al-Luma‘.
Nicholsonpun mengatakan bahwa bagian yang sama dikutip pula oleh al-Qusyairî,
oleh ‘Aththâr di dalam Tadzkirat al-Awliyâ’ dan oleh Jâmi‘ dalam Nafahât
al-Uns. Reynold A. Nicholson,
“Introduction,” h. xl-xli.
[21] Pandangan al-Sarrâj ini
berdasarkan hadis tentang keimanan di mana Jibril AS bertanya kepada Nabi SAW
mengenai tiga prinsip agama: mengenai iman, Islam dan ihsan. Menurut al-Sarrâj,
Islam itu lahir, iman itu lahir dan bathin, dan ihsan itu hakikat lahir dan
bathin. Hal ini sesuai dengan jawaban Rasulullah SAW atas pertanyaan Jibril AS
tentang ihsan; “Ihsan adalah hendaknya engkau beribadah seakan-akan engkau
melihat Allah. Bila engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu” (HR Bukhârî-Muslim, Abû Dâwud, Ibn Mâjah dan Ahmad). Abû
Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma’, h. 22
[22] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 43. Lih. As‘ad al-Sahamrânî, al-Tashawwuf:
Mansya‘uhu wa Mushthalahâtuhu, h. 65
[23] Dalam pandangan
al-Sarrâj, ilmu tasawuf tidak ada batasnya karena yang dituju ilmu ini tidak
terbatas, yaitu Allah SWT. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h.
37. Lih. Abû Bakr Muhmmad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl
al-Tashawwuf, Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat,
1969, h. 106
[24] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 43. Abû Thâlib al-Makki mengatakan bahwa ilmu
bathin di dalam hati adalah ilmu yang bermanfaat. Al-Makki mengatakan pula
bahwa zhahir dan bathin itu merupakan dua ilmu yang saling membutuhkan dan
melengkapi. Kedua ilmu ini, menurut al-Makki, bagaikan tubuh dan hati (qalb).
Abû Thâlib al-Makkî, Qût al-Qulûb fî Mu‘âmalat al-Mahbûb wa
Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, Dâr al-Fikr, t.t., h. 129-130
[26] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘,
h. 44. Bandingkan dengan penjelasan Abû Thâlib al-Makkî dalam bukunya Qût
al-Qulûb, h. 139
[27] Kaum sufi, menurut
Nicholson, adalah orang-orang pilihan di antara umat Islam (komunitas Muslim)
dan para wali adalah orang-orang pilihan di antara kaum sufi. Reynold A.
Nicholson, The Mystics of Islam, London: Routledge and Kegan Paul Ltd,
1966, h. 122
[28]
Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 454. Al-Kalâbâdzî mengatakan
bahwa ilmu-ilmu kaum sufi (‘ulûm al-shûfiyyat) adalah ilmu-ilmu
keadaan spiritual (‘ulûm al-ahwâl). Ilmu-ilmu kaum sufi ini,
menurut al-Kalâbâdzî, tidak bisa diketahui kecuali oleh orang-orang yang
menempuh dan mengalami keadaan-keadaan spiritual serta menempati berbagai
posisi spiritual. Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf
li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Kairo: Maktabat al-Kulliyyât
al-Azhariyyat, 1969, h. 104-5
[29] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455
[30] Firman Allah yang disebut
al-Sarrâj ini aslinya berbunyi: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS
al-Kahfi: 65)
[31] Kenyataannya, setelah
Nabi Mûsâ menyaksikan Nabi Khidhir membetulkan sebuah dinding rumah yang hampir
roboh dan Khidhir tidak mau mengampil upah --yang sebelumnya Khidhir melakukan
perusakan terhadap sebuah perahu dan membunuh seorang anak--, maka Nabi Mûsâ
tetap mengajukan pertanyaan seperti halnya terhadap dua perbuatan Khidhir
sebelumnya. Akhirnya, Khidhir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan
kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya” (QS al-Kahfi: 78). Lebih jelasnya, baca QS
al-Kahfi: 60-82. Lihat juga Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
h. 128-9
[33] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455-6
[34] Ilmu semacam ini seperti
yang diajarkan kepada sahabat Hudzaifat b. al-Yamân RA tentang
kemunafikan dan yang tercermin dari perkataan ‘Alî b. Abû Thâlib RA: “Rasulullah
SAW telah mengajariku tujuh puluh bab ilmu yang tidak diajarkan kepada
seorangpun selain aku.” ‘Alî b. Abû
Thâlib RA. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, h. 456
[35] Al-Kalâbâdzî menuturkan
bahwa sahabat Hudzaifat b. al-Yamân RA ini pernah menanyakan ilmu
bathin kepada Rasulullah. Dijelaskan bahwa ilmu ini merupakan rahasia (sirr)
dari kerahasiaan-Nya, yang Dia jadikan ilmu ini di dalam hati hamba-Nya, dan
yang tidak seorangpun makhluk-Nya mengetahuinya. Abû Bakr Muhammad
al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, h. 105-6
[36] Hadis ini diriwayatkan
oleh al-Bukhârî, al-Hâkim dan al-Turmudzî. Hadis ini diriwayatkan pula oleh
Isrâ’îl dari Ibrâhîm b. Muhâjir dari Mujâhid dari Mauriq dari Abû Dzar dari
Nabi SAW.
[37] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 455-6
[38] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 456. Al-Kalâbâdzî mengungkapkan pula bahwa
daripada menganggap bid‘at atau mengkufurkannya, maka sikap yang paling
membawa keselamatan adalah berprasangka baik. Abû Bakr Muhammad
al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawwuf, h. 106-7
[39] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 456-7. Pembagian ilmu syari‘at yang dikemukakan
al-Sarrâj ini dikutip Taftâzânî ketika ia membahas tentang perbedaan tasawuf
dan fiqih. Abû al-Wafâ’ al-Ghunaimî al-Taftâzânî, Madkhâl ilâ al-Tashawwuf
al-Islâm, h. 96-8
[40] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457
[41] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457
[42] Al-Kalâbâdzî
mengungkapkan pendapat Abû al-Hasan b. Abû Dzar yang mengatakan bahwa ilmu
tasawuf adalah ilmu yang tanpa batas (lâ nafâda lahu), yang dia nilai
sebagai ilmu yang tertinggi, ilmu langit (samâwî) dan ilmu ketuhanan (rubûbî).
Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, Al-Ta‘arruf li-Madzhab Ahl
al-Tashawwuf, h. 106
[43] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457
[44] Abû Nashr al-Sarrâj
al-Thûsî, al-Luma‘, h. 457-8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar