HAJI DAN KURBAN
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen PAI FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Ibadah haji dan kurban (qubān) sering
dipahami sebagai dua bentuk ibadah yang saling terkait erat. Keterkaitan kedua
bentuk ibadah ini ada yang memahaminya sebagai keterkaitan sebab-akibat: orang
berkurban karena berhaji atau, sebaliknya, orang berhaji karena berkurban. Ada
pula yang memahami sebagai hubungan sebab-akibat kesempurnaan: orang berhaji
tidak akan sempurna kalau tidak berkurban dan orang yang berkurban pun tidak
sempurna bila tidak berhaji.
Pemahaman itu merembet ke anggapan berikutnya:
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji dipandang aib dan pelit jika di
tahun-tahun berikutnya dia tidak berkurban. Padahal, hubungan ibadah haji dan
kurban dapat dimaknai secara kontekstual, sesuai kondisi dan situasi yang
mengitarinya.
Waktu
Pelaksanaan.
Tentu saja tidak ada yang membantah kalau
ibadah haji dan kurban itu ada keterkaitannya. Akan tetapi, keterkaitan ini
tampaknya hanya dari segi waktu pelaksanaan dan pensyariatan. Hubungan dari
segi waktu adalah ibadah kurban harus dilaksanakan di bulan haji (di hari nahr
dan tasyrīq, yakni di tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah), tidak boleh
dilaksanakan di luar waktu ini. Bagi yang berkurban di luar waktu yang sudah
ditentukan ini, maka kurbannya tidak sah.
Walau begitu, untuk tempat pelaksanaan ibadah
kurban tidak harus di Tanah Suci, tetapi boleh di luar Tanah Suci, sesuai
keinginan orang yang hendak berkurban. Tentu saja afdhalnya berkurban itu di
wilayah masing-masing orang yang berkurban, karena orang yang lebih
mengutamakan berkurban di tempat lain dibanding di tempatnya sendiri dapat
menimbulkan fitnah dan sū’uzhzhann di kalangan tetangga.
Selain soal tempat, dilihat dari status hukum
ibadah haji dan kurban juga tidak sama: berhaji hukumnya wajib bagi yang mampu
(istithā‘ah), sedangkan bagi yang mampu berkurban hukumnya sunnah
muakkad. Hukum sunnah muakkad ini pun bagi yang selain jamaah haji,
sementara yang sedang menunaikan ibadah
haji, menurut Imam Syafi’i, tidak disunnahkan untuk berkurban.
Waktu
Pensyariatan.
Sebenarnya, pensyariatan ibadah haji dan kurban
tidak disyariatkan secara bersamaan. Ibadah haji disyariatkan sejak Nabi
Ibrahim a.s., tetapi ibadah kurban disyariatkan sejak masa manusia pertama,
Nabi Adam a.s. Di Surah Al-Mā’idah ayat 27-31 Allah Swt. menyuruh kedua putera
Nabi Adam a.s., yakni Habil dan Qabil, untuk berkurban. Diinformasikan bahwa
kurban Habil diterima, tetapi kurban Qabil ditolak. Akibat dari penolakan ini
Qabil timbul rasa iri dan dengki, dan akhirnya membunuh Habil.
Walau diperintahnya berkurban itu untuk pertama
kalinya ditujukan kepada Habil dan Qabil, tetapi tampaknya umat Islam lebih
mengaitkan ibadah kurban itu dengan ibadah haji yang awal mulanya disyariatkan
kepada Nabi Ibrahim a.s. Karena inilah, maka ibadah haji dan kurban sering
dinyatakan sebagai bentuk napak tilas apa yang pernah dilakukan oleh tiga figur
manusia yang tidak akan pernah ada lagi di dunia ini, yakni Nabi Ibrahim a.s.,
Ismail a.s., dan Siti Hajar a.s.
Sebagaimana disebutkan di dalam Alquran Surah
Al-Hajj ayat 26-27, seusai membangun Ka’bah (Baitullah yang berfungsi sebagai
tempat thawaf, i‘tikaf, dan shalat), Nabi Ibrahim a.s. diperintah oleh Allah Swt.
untuk menyeru seluruh manusia (sepanjang zaman) supaya menunaikan ibadah haji
ke Tanah Suci (Baitullah). Perintah menyeru melaksanakan ibadah haji ini
dikaitkan langsung dengan pembagian daging kurban, yakni dimakan sebagian dan sebagiannya lagi
dibagikan kepada orang-orang yang susah dan fakir (yang membutuhkan).
Perintah berkurbannya sendiri secara dramatis disebutkan di dalam Surah
Ash-Shaffāt ayat 102-111. Diawali dari perintah kepada Nabi Ibrahim a.s. melalui
mimpi untuk menyembelih buah hatinya, Ismail (yang waktu itu merupakan anak
satu-satunya), dan kesabaran (kesediaan) Ismail untuk dijadikan kurban, maka
Allah Swt. menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Dari penebusan
ini dipahami bahwa berkurban dilakukan bukan dengan cara menyembelih anak, tapi
menyembelih binatang ternak.
(Berkaitan
dengan kurban itu tampaknya di dunia arab sudah terdapat latar historis yang mengakar
dalam masyarakat bahwa kurban yang paling hakiki dilakukan bukan dengan
menyembelih binatang ternak, tetapi dengan penyembelihan anak yang paling
disayang. Ditebusnya Ismail dengan seekor domba besar, dari satu segi, kelihatannya
dimaksudkan untuk menghapus tradisi berkurban dengan menyembelih anak
tersayang. Tradisi ini tampaknya belum hilang dalam masyarakat arab ketika ayah
Rasulullah s.a.w., yakni Abdullah, masih kecil. Dikisahkan bahwa Abdul
Muththalib, kakek Rasulullah s.a.w., saat masih memiliki anak satu diejek oleh
‘Adi bin Naufal bin Manaf. Atas ejekan itu Abdul Muththalib bersumpah
(bernadzar) untuk mempersembahkan salah satu anaknya untuk Ka’bah jika dia
dianugerahi sepuluh anak laki-laki. Walhasil, Abdul Muththalib dianugerahi
sepuluh anak laki-laki. Tatkala hendak mempersembahkan salah satu di antara
mereka itu ke Ka’bah, ternyata undian jatuh pada anak terkecilnya yang paling
dia sayangi, Abdullah. Singkat cerita, Abdullah terbebas dari penyembelihan
dengan tebusan seratus ekor unta. Mengingat peristiwa ini Rasulullah s.a.w.
bersabda—yang diperselisihkan kesahihannya oleh para ulama: “Aku adalah
putra dua manusia yang hampir disembelih.” Manusia pertama yang dimaksud Rasulullah s.a.w.
adalah Nabi Ismail a.s. dan manusia yang kedua adalah Abdullah bin Abdul
Muththalib, ayah Rasulullah sendiri.
‘Arafah
Walau ibadah haji itu merupakan napak tilas
jejak ibadah Nabi Ibrahim a.s., tetapi kelihatannya tidak semua rangkaian
ibadah haji berasal dari Nabi Ibrahim a.s. Wukuf di Arafah (al-hajju ‘arafah),
yang merupakan puncak ibadah haji, murni berasal dari Rasulullah s.a.w. Waktu
wukuf di `Arafah ini dimulai dari tergelincirnya matahari pada tanggal 9 Dzul
Hijjah sampai waktu terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzul Hijjah (yubtadau
min zawâlil yaumit tâsi`i ilâ thulû`i fajri yaumil `âsyir).
Ungkapan yang digunakan di dalam kitab-kitab
untuk wukuf itu ternyata bukan al-wukûf fil `arafah (wukuf di `Arafah),
melainkan al-wukûf bi `arafah. Makna al-wukûf bi `arafah dapat saja
diartikan “wukuf dengan `arafah”, tetapi bisa pula diartikan lebih dari itu.
Secara bahasa, wukûf berarti
“berdiri” atau “berhenti”, kata bi berati “dengan, demi atau untuk,” dan
kata `arafah berarti “mengetahui atau mengenal”. Dengan demikian, makna
kalimat al-wukûf bi `arafah adalah “berhenti dengan mengenal,” “berhenti
demi mengenal “ atau “berhenti untuk mengenal,” yakni untuk mengenal Allah Swt.
atau berkenalan dengan Allah Swt.
Makhluk Penggoda.
Setelah mengenal Allah, maka harus
mengesakan-Nya, harus mentauhidkan-Nya, dan tidak boleh menyekutukan-Nya. Godaan
untuk menyekutukan-Nya berawal dari godaan iblis atau syetan. Untuk benar-benar
mampu mentauhidkan-Nya, maka makhluk penggodanya (iblis) ini harus dihancurkan.
Penghancuran iblis inilah yang kelihatannya disimbolkan dengan melontar jamrah
(jamak: jamarāt; muslim Indonesia lebih akrab dengan istilah jumrah).
Bagaimanapun hebatnya, makhluk penggoda itu
posisinya berada di luar diri manusia sehingga, boleh dikata, mudah untuk
menangkalnya. Berbeda dengan penggoda yang bersemayam di dalam hati. Jenis penggoda
ini jauh lebih berbahaya daripada iblis-syetan. Penggoda yang bersemayam di
hati ini godaannya sangat lembut, tetapi efeknya sangat menghancurkan. Godaan
jenis penggoda ini mampu menjerat manusia dalam kubang kemusyrikan tanpa
manusia itu menyadarinya. Bahkan, manusia itu boleh jadi justru yang merasa
paling mentauhidkan Allah Swt.
Penggoda yang bersemayam di dalam hati itulah
yang disebut dengan “cinta.” Objek cinta ini sendiri sebenarnya berada di luar
dirinya, tetapi karena sesuatu yang berada di luar dirinya itu dicintainya,
maka sesuatu itu disemayamkan di dalam hatinya. Akibatnya, dia menjadikan
sesuatu itu sebagai tandingan (andād) akan cintanya kepada Allah.
Bahkan, dia lebih mencintai sesuatu itu dibanding Allah, meski orang beriman
itu idealnya benar-benar mencintai Allah daripada apa pun (QS Al-Baqarah: 165).
Tatkala seseorang mencintai sesuatu selain
Allah, berarti di dalam hatinya ada cinta kepada selain Allah. Semakin dia
mencintai sesuatu, maka akan semakin memenuhi relung-relung hatinya, yang
berarti semakin meminimalisir cintanya kepada Allah Swt. Tentu saja hal itu
tidak boleh terjadi pada diri seorang nabi.
Kelihatannya, ketika Nabi Ibrahim a.s.
dianugerahi Ismail a.s., maka Nabi Ibrahim berpotensi untuk membuat tandingan cinta
untuk Allah atau menduakan cintanya kepada Allah (andāda Allāh atau syāraka
Allāh). Dari perspektif ini dapat dipahami bahwa berkurban adalah
mengurbankan hal-hal yang dicintai supaya tidak membuat tandingan cinta atau
menduakan cinta untuk Allah; supaya cinta hatinya hanya untuk Allah. Oleh sebab
yang sangat dicintai Nabi Ibrahim adalah Ismail, maka Ismail harus dikurbankan.
Akan tetapi, karena Allah hanya menuntut ketulusan cinta, bukan pengurbanan
anak tersayang, maka kurban disyariatkan dengan menyembelih hewan kurban.
Hanya saja, berkurban di hari nahr dan
tasyrīq itu hanya waktu ceremonialnya belaka. Setelah itu, dilanjutkan
dengan mengurbankan hal-hal yang dicintai kepada yang berhak menerimanya, yang
boleh jadi bentuknya berupa infak, sedekah, bantuan, santunan, pemeliharaan
anak yatim, pembangunan jalan, pembangunan lembaga pendidikan dan sebagainya.
Barangkali inilah makna kurban yang sebenarnya. Wallāhu a‘alm.