ASNĀF ZAKAT FITRAH
Oleh
Dimyati sajari*
A. Pendahuluan.
Sedekah atau shadaqah di dalam Islam
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sedekah wajib dan sedekah sunah.
Sedekah wajib biasa disebut dengan zakat dan sedekah sunah biasa disebut dengan
sedekah atau infaq. Oleh karena itu, ketika Allah menyebut innama
al-shadaqâtu (dibaca: innamash shadaqâtu): “Sesungguhnya
sedekah-sedekah itu,” maka yang dimaksud adalah keseluruhan sedekah yang
ada dalam Islam, baik sedekah yang wajib (zakat) maupun sedekah yang sunah
(sedekah atau infaq).
Khusus untuk
sedekah yang wajib itu, yakni zakat, Islam pada garis besarnya membagi menjadi
dua pula, yaitu zakât mâl (zakat harta) dan zakât fitrah (ada
yang menyebut sedekah fitrah). Baik zakat mal maupun zakat fitrah ini
pentasharrufannya (pembagiannya, pendistribusiannya) dibagi menjadi delapan ashnâf
(delapan bagian, delapan kelompok), sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam
Surah al-Taubah ayat 60. Jadi, zakat fitrahpun dibagikan menjadi delapan
bagian. Kenapa? Bukankah ada hadis yang menyatakan bahwa zakat fitrah itu
“untuk makanan bagi orang-orang miskin” (thu‘matan lil masâkîn) yang
harus “dibagikan kepada mereka sebelum shalat ‘Id” (an tuaddâ qabla khurûj
al-nâsi ilâ al-shalâh)? Dua pertanyaan inilah yang sering ditanyakan ketika
ada penyuluhan BAZIS dan dua pertanyaan ini pula yang akan dijawab di bawah
ini.
B. Pendapat Ulama tentang Ashnâf Zakât Fitrah.
Sebelum
menjawab dua pertanyaan di atas, maka akan dikemukakan pendapat beberapa ulama
tentang ashnaf zakat fitrah. Menurut Imam al-Ghazali, pembagian
(pendistribusian) zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat mal, sebagaimana
tulisnya:
وقسمتها كقسمة زكاة الأموال فيجب فيها
استيعاب الأصناف
Artinya: “Dan pembagian zakat fitrah itu seperti pembagian zakat mal.
Oleh karena itu, wajib di dalam zakat fitrah itu membagikannya kepada
kelompok-kelompok tersebut” (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, h. 212).
Syaikh
Sayid Sabiq juga mengatakan bahwa pendistribusian zakat fitrah itu sama dengan
pembagian zakat mal, yakni menjadi delapan ashnaf, seperti tulisnya:
مصرف زكاة الفطر مصرف الزكاة، أى أنها
توزع على الأصناف الثمانية المذكورة فى آية: إنماالصدقات للفقراء...
Artinya: “Orang yang diberi zakat fitrah itu
sama dengan orang yang diberi zakat, yakni dibagikan kepada delapan golongan
yang disebutkan di dalam ayat: Sesungguhnya sedekah-sedekah itu untuk para
fakir …” (Fiqh Sunnah, Jilid I, h. 351).
Kemudian,
Doktor Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa para fuqaha’ (ulama ahli fiqh)
telah bersepakat tentang pembagian zakat fitrah. Menurut al-Zuhaili, para
fuqaha’ telah bersepakat bahwa orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah
yang berhak menerima zakat wajib; karena zakat fitrah merupakan zakat, maka
tempat pentasharrufannya (pembagiannya) sama halnya dengan zakat-zakat yang
lain, seperti ungkapannya:
إتفق الفقهاء على أن مصرف زكاة الفطر هو مصارف الزكاة المفروضة،
لأن صدقة الفطر زكاة، فكان مصرفها مصرف سائر الزكوات، ولأنها صدقة، فتدخل فى عموم
قوله تعالى: إنماالصدقات للفقراء والمساكين. ولا يجوز دفعها إلى من لايجوز دفع
زكاة المال إليه...
Artinya: “Ahli-ahli
fiqh telah bersepakat bahwa tempat pendistribusian (orang-orang yang berhak
menerima) zakat fitrah adalah orang yang berhak menerima zakat yang diwajibkan.
Oleh karena sedekah fitrah itu merupakan zakat, maka tempat pembagian zakat
fitrah adalah tempat pembagian zakat-zakat yang lain. Oleh sebab zakat fitrah
itu merupakan sedekah, maka zakat fitrah termasuk di dalam keumuman Firman
Allah Ta‘ala: ‘Sesungguhnya sedekah-sedekah
itu untuk orang-orang fakir dan miskin.’ (Oleh karena itu), zakat fitrah itu
tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak menerima zakat
harta…” (Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, h. 912-913).
Di samping
itu, di dalam al-Muhadzdzab pun disebutkan bahwa zakat-zakat itu wajib
dibagikan kepada delapan bagian.
ويجب صرف جميع الصدقات إلى ثمانية
أصناف
Artinya: “Dan wajib membagikan keseluruhan sedekah-sedekah
(zakat-zakat) itu kepada delapan golongan...” (Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam
al-Syafi‘i, Juz I, h. 170).
Berdasarkan
pendapat-pendapat yang dikutip di atas jelaslah bahwa menurut ulama-ulama
tersebut pembagian (ashnâf) zakat fitrah itu sama dengan pembagian
zakat-zakat yang lainnya. Alasan para ulama itu adalah karena zakat fitrah
merupakan bagian dari zakat-zakat yang lainnya, maka pembagiannyapun tidak bisa
dipisah-pisahkan atau tidak bisa dibedakan dengan pembagian zakat-zakat yang
lainnya, yakni dibagikan kepada delapan ashnâf atau delapan golongan.
C. Pensyariatan Zakat Fitrah dan Zakat Mal.
Tentu para
ulama di atas mengetahui dan memahami adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari sahabat Ibn ‘Abbas yang berbunyi:
فرض رسول الله صلعم زكاة الفطر طهرة
للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين
Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih
bagi orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna serta
dari percakapan yang kotor (keji) dan sebagai makanan bagi orang-orang yang
miskin.”
Hadis itu
menyatakan bahwa zakat fitrah itu untuk membersihkan jiwa orang yang berpuasa
dan untuk memberi makan kepada orang-orang yang miskin. Akan tetapi, kenapa
ulama-ulama fiqh itu tidak mengatakan bahwa ashnaf zakat fitrah hanya untuk
orang-orang miskin atau hanya untuk fakir-miskin?
Tampaknya,
para ulama fiqh itu tidak berpendapat bahwa ashnaf zakat fitrah hanya untuk
fakir-miskin adalah, di samping alasan di atas, karena pensyariatan zakat
fitrah lebih dulu dibanding pensyariatan zakat mal atau zakat-zakat yang lain
sehingga hadis yang bersifat khâsh (mengkhususkan untuk fakir-miskin)
itu tidak bisa mentakhshish (mengkhususkan) ayat 60 Surah al-Taubah yang
bersifat umum, yaitu menggunakan bentuk plural al-shadaqât. Sebuah hadis
yang diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah menyatakan bahwa zakat fitrah
diperintahkan sebelum perintah zakat. Bunyi hadis tersebut adalah:
كان رسول الله صلعم يأمرنا بها قبل
نزول الزكاة
Artinya: “Adalah
Rasulullah SAW memerintahkan zakat fitrah kepada kami sebelum turunnya perintah
zakat.”
Selain itu,
al-Malibari di dalam kitabnya Fath al-Mu‘în mengatakan bahwa zakat mal
itu diwajibkan pada tahun kedua hijrah setelah diwajibkannya zakat fitrah,
seperti tulisnya:
وفرضت زكاة المال فى السنة الثانية من
الهجرة بعد صدقة الفطر...
Artinya: “Zakat harta diwajibkan pada tahun kedua hijrah setelah
diwajibkannya sedekah fitrah…” (Fath al-Mu‘în, h. 48).
Al-Malibari juga mengatakan bahwa diwajibkannya zakat
fitrah itu pada tahun kedua hijrah, sebagaimana tahun diwajibkannya berpuasa:
لأن وجوبها به وفرضت كرمضان فى ثانى
سنى الهجرة...
Artinya: “Karena kewajiban dan diwajibkannya zakat fitrah itu
seperti diwajibkannya berpuasa ramadhan, yakni keduanya diwajibkan pada tahun
kedua hijrah” (Fath al-Mu‘în, h. 50).
Senada
dengan al-Malibari itu, al-Zuhaili mengatakan:
شرعت زكاة الفطر فى السنة الثانية من
الهجرة، عام فرض صوم رمضان، قبل الزكاة
Artinya: “Zakat fitrah itu disyariatkan pada tahun kedua hijrah,
tahun diwajibkannya berpuasa ramadhan, sebelum (disyariatkannya) zakat”
(Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, h. 900).
Sayid
Sabiq pun menyatakan bahwa zakat fitrah itu disyariatkan pada bulan Sya‘ban
tahun kedua hijrah:
شرعت زكاة الفطر فى شعبان، من السنة
الثانية من الهجرة لتكون طهرة للصائم...
Artinya: “Zakat fitrah itu disyariatkan pada bulan Sya‘ban di tahun
kedua hijrah untuk menyucikan orang yang berpuasa…” (Fiqh al-Sunnah, Jilid
I, h. 348).
Dari
nukilan-nukilan itu terlihatlah bahwa pensyariatan zakat fitrah itu terjadi
pada bulan Sya‘ban atau disyariatkan berbarengan dengan pensyariatan puasa
ramadhan pada tahun kedua hijrah, sebelum pensyariatan zakat-zakat yang
lainnya. Oleh karena zakat fitrah itu lebih dulu disyariatkan dibanding
pensyariatan zakat-zakat yang lainnya, maka hadis tentang zakat fitrah sebagai “makanan
orang-orang msikin” tidak bisa dijadikan alasan untuk mengkhususkan ashnaf
zakat fitrah kepada fakir-miskin saja, melainkan justeru harus mengikuti ashnaf
yang delapan yang ditentukan belakangan, yakni yang ditentukan di Surat
al-Taubah ayat 60. Apalagi ketentuan tentang ashnaf delapan ini ditentukan oleh
al-Qur’an. Sudah tentu, derajat al-Qur’an lebih tinggi dibanding derajat
al-Hadis.
Walau
begitu; walau ashnaf zakat fitrah itu juga delapan, tetapi karena hadis di
atas, maka golongan fakir-miskin merupakan golongan yang lebih diutamakan
dibanding golongan-golongan yang lain untuk mendapatkan zakat fitrah,
sebagaimana pendapat Sayyid Sabiq:
والفقراء هم أولى الأصناف بها، لما
تقدم فى الحديث فرض رسول الله صلعم زكاة الفطر... وطعمة للمساكين
Artinya: "Para fakir itu lebih utama
mendapat bagian zakat fitrah dibanding golongan-golongan yang lainnya,
berdasarkan hadits di atas: Rasullullah mewajibkan zakat fitrah . . . sebagai makanan orang-orang
miskin” (Fiqh al-Sunnah, Jilid I, h. 351).
Jadi, walaupun ashnaf
zakat fitrah itu dibagikan kepada delapan ashnaf sebagaimana zakat-zakat yang
lain, tetapi ashnaf fakir-miskin harus lebih diutamakan dibanding ashnaf-ashnaf
yang lain. Bagian ashnaf fakir-miskin inilah yang wajib diberikan kepada mereka
sebelum shalat ‘Id al-Fitri, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan
Bukhari-Muslim: “wa amara bihâ an tuaddâ qabla khurûj al-nâsi ilâ al-shalâh
(dan Rasulullah memerintahkan supaya zakat fitrah itu ditunaikan sebelum
orang-orang keluar untuk shalat ‘Id).” Adapun ashnaf-ashnaf yang lain tidak
ada kewajiban memberikannya sebelum shalat ‘Id.
D. Kesimpulan.
Berdasarkan
uraian di atas bisa diketahui bahwa ashnaf zakat fitrah pun sama dengan ashnaf
zakat-zakat yang lainnya, yakni delapan ashnaf. Akan tetapi, ashnaf
fakir-miskin merupakan ashnaf yang paling berhak untuk menerima zakat fitrah
dan bagian mereka ini harus diberikan sebelum shlat ‘Id. (Sebenarnya, untuk
zakat selain zakat fitrahpun ashnaf fakir-miskin merupakan ashnaf yang harus
diutamakan). Untuk ashnaf yang lain tidak harus diberikan sebelum shalat ‘Id. Wallahu
a‘lam.
Ciputat, Medio September 2003.
Datar Bacaan:
Syaikh Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
Jilid I, Beirut, Darul Fikr, 1983.
Doktor Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, Damsyiq, Darul Fikr, 1989.
Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz
al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrah al- ‘Aini, Cirebon,
al-Maktabah al-Mishriyyah, t. t.
Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imâmi
al-Syafi’i, Semarang, Toha Putra, t. t.
Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-Din,
Juz I, Semarang, Toha Putra, t. t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar