Selasa, 06 Desember 2016

ASNĀF ZAKAT FITRAH


Oleh Dimyati sajari*

A. Pendahuluan.
Sedekah atau shadaqah di dalam Islam secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sedekah wajib dan sedekah sunah. Sedekah wajib biasa disebut dengan zakat dan sedekah sunah biasa disebut dengan sedekah atau infaq. Oleh karena itu, ketika Allah menyebut innama al-shadaqâtu (dibaca: innamash shadaqâtu): “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu,” maka yang dimaksud adalah keseluruhan sedekah yang ada dalam Islam, baik sedekah yang wajib (zakat) maupun sedekah yang sunah (sedekah atau infaq).
            Khusus untuk sedekah yang wajib itu, yakni zakat, Islam pada garis besarnya membagi menjadi dua pula, yaitu zakât mâl (zakat harta) dan zakât fitrah (ada yang menyebut sedekah fitrah). Baik zakat mal maupun zakat fitrah ini pentasharrufannya (pembagiannya, pendistribusiannya) dibagi menjadi delapan ashnâf (delapan bagian, delapan kelompok), sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam Surah al-Taubah ayat 60. Jadi, zakat fitrahpun dibagikan menjadi delapan bagian. Kenapa? Bukankah ada hadis yang menyatakan bahwa zakat fitrah itu “untuk makanan bagi orang-orang miskin” (thu‘matan lil masâkîn) yang harus “dibagikan kepada mereka sebelum shalat ‘Id” (an tuaddâ qabla khurûj al-nâsi ilâ al-shalâh)? Dua pertanyaan inilah yang sering ditanyakan ketika ada penyuluhan BAZIS dan dua pertanyaan ini pula yang akan dijawab di bawah ini.
B. Pendapat Ulama tentang Ashnâf Zakât Fitrah.
            Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, maka akan dikemukakan pendapat beberapa ulama tentang ashnaf zakat fitrah. Menurut Imam al-Ghazali, pembagian (pendistribusian) zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat mal, sebagaimana tulisnya:
وقسمتها كقسمة زكاة الأموال فيجب فيها استيعاب الأصناف
Artinya: “Dan pembagian zakat fitrah itu seperti pembagian zakat mal. Oleh karena itu, wajib di dalam zakat fitrah itu membagikannya kepada kelompok-kelompok tersebut” (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, h. 212).
            Syaikh Sayid Sabiq juga mengatakan bahwa pendistribusian zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat mal, yakni menjadi delapan ashnaf, seperti tulisnya:
مصرف زكاة الفطر مصرف الزكاة، أى أنها توزع على الأصناف الثمانية المذكورة فى آية: إنماالصدقات للفقراء...
Artinya: “Orang yang diberi zakat fitrah itu sama dengan orang yang diberi zakat, yakni dibagikan kepada delapan golongan yang disebutkan di dalam ayat: Sesungguhnya sedekah-sedekah itu untuk para fakir …” (Fiqh Sunnah, Jilid I, h. 351).                                                                                                                           
            Kemudian, Doktor Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa para fuqaha’ (ulama ahli fiqh) telah bersepakat tentang pembagian zakat fitrah. Menurut al-Zuhaili, para fuqaha’ telah bersepakat bahwa orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah yang berhak menerima zakat wajib; karena zakat fitrah merupakan zakat, maka tempat pentasharrufannya (pembagiannya) sama halnya dengan zakat-zakat yang lain, seperti ungkapannya:
إتفق الفقهاء على أن مصرف زكاة الفطر هو مصارف الزكاة المفروضة، لأن صدقة الفطر زكاة، فكان مصرفها مصرف سائر الزكوات، ولأنها صدقة، فتدخل فى عموم قوله تعالى: إنماالصدقات للفقراء والمساكين. ولا يجوز دفعها إلى من لايجوز دفع زكاة المال إليه...
Artinya: “Ahli-ahli fiqh telah bersepakat bahwa tempat pendistribusian (orang-orang yang berhak menerima) zakat fitrah adalah orang yang berhak menerima zakat yang diwajibkan. Oleh karena sedekah fitrah itu merupakan zakat, maka tempat pembagian zakat fitrah adalah tempat pembagian zakat-zakat yang lain. Oleh sebab zakat fitrah itu merupakan sedekah, maka zakat fitrah termasuk di dalam keumuman Firman Allah Ta‘ala:  ‘Sesungguhnya sedekah-sedekah itu untuk orang-orang fakir dan miskin.’ (Oleh karena itu), zakat fitrah itu tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak menerima zakat harta…” (Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, h. 912-913).
            Di samping itu, di dalam al-Muhadzdzab pun disebutkan bahwa zakat-zakat itu wajib dibagikan kepada delapan bagian.
ويجب صرف جميع الصدقات إلى ثمانية أصناف
Artinya: “Dan wajib membagikan keseluruhan sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu kepada delapan golongan...” (Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‘i, Juz I, h. 170).
            Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikutip di atas jelaslah bahwa menurut ulama-ulama tersebut pembagian (ashnâf) zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat-zakat yang lainnya. Alasan para ulama itu adalah karena zakat fitrah merupakan bagian dari zakat-zakat yang lainnya, maka pembagiannyapun tidak bisa dipisah-pisahkan atau tidak bisa dibedakan dengan pembagian zakat-zakat yang lainnya, yakni dibagikan kepada delapan ashnâf atau delapan golongan.
C. Pensyariatan Zakat Fitrah dan Zakat Mal.
            Tentu para ulama di atas mengetahui dan memahami adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari sahabat Ibn ‘Abbas yang berbunyi:
فرض رسول الله صلعم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين
Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna serta dari percakapan yang kotor (keji) dan sebagai makanan bagi orang-orang yang miskin.”
            Hadis itu menyatakan bahwa zakat fitrah itu untuk membersihkan jiwa orang yang berpuasa dan untuk memberi makan kepada orang-orang yang miskin. Akan tetapi, kenapa ulama-ulama fiqh itu tidak mengatakan bahwa ashnaf zakat fitrah hanya untuk orang-orang miskin atau hanya untuk fakir-miskin?
            Tampaknya, para ulama fiqh itu tidak berpendapat bahwa ashnaf zakat fitrah hanya untuk fakir-miskin adalah, di samping alasan di atas, karena pensyariatan zakat fitrah lebih dulu dibanding pensyariatan zakat mal atau zakat-zakat yang lain sehingga hadis yang bersifat khâsh (mengkhususkan untuk fakir-miskin) itu tidak bisa mentakhshish (mengkhususkan) ayat 60 Surah al-Taubah yang bersifat umum, yaitu menggunakan bentuk plural al-shadaqât. Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah menyatakan bahwa zakat fitrah diperintahkan sebelum perintah zakat. Bunyi hadis tersebut adalah:
كان رسول الله صلعم يأمرنا بها قبل نزول الزكاة
Artinya: “Adalah Rasulullah SAW memerintahkan zakat fitrah kepada kami sebelum turunnya perintah zakat.”
            Selain itu, al-Malibari di dalam kitabnya Fath al-Mu‘în mengatakan bahwa zakat mal itu diwajibkan pada tahun kedua hijrah setelah diwajibkannya zakat fitrah, seperti tulisnya:
وفرضت زكاة المال فى السنة الثانية من الهجرة بعد صدقة الفطر...
Artinya: “Zakat harta diwajibkan pada tahun kedua hijrah setelah diwajibkannya sedekah fitrah…” (Fath al-Mu‘în, h. 48).
Al-Malibari juga mengatakan bahwa diwajibkannya zakat fitrah itu pada tahun kedua hijrah, sebagaimana tahun diwajibkannya berpuasa:
لأن وجوبها به وفرضت كرمضان فى ثانى سنى الهجرة...
Artinya: “Karena kewajiban dan diwajibkannya zakat fitrah itu seperti diwajibkannya berpuasa ramadhan, yakni keduanya diwajibkan pada tahun kedua hijrah” (Fath al-Mu‘în, h. 50).
            Senada dengan al-Malibari itu, al-Zuhaili mengatakan:
شرعت زكاة الفطر فى السنة الثانية من الهجرة، عام فرض صوم رمضان، قبل الزكاة
Artinya: “Zakat fitrah itu disyariatkan pada tahun kedua hijrah, tahun diwajibkannya berpuasa ramadhan, sebelum (disyariatkannya) zakat” (Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, h. 900).
            Sayid Sabiq pun menyatakan bahwa zakat fitrah itu disyariatkan pada bulan Sya‘ban tahun kedua hijrah:
شرعت زكاة الفطر فى شعبان، من السنة الثانية من الهجرة لتكون طهرة للصائم...
Artinya: “Zakat fitrah itu disyariatkan pada bulan Sya‘ban di tahun kedua hijrah untuk menyucikan orang yang berpuasa…” (Fiqh al-Sunnah, Jilid I, h. 348).
            Dari nukilan-nukilan itu terlihatlah bahwa pensyariatan zakat fitrah itu terjadi pada bulan Sya‘ban atau disyariatkan berbarengan dengan pensyariatan puasa ramadhan pada tahun kedua hijrah, sebelum pensyariatan zakat-zakat yang lainnya. Oleh karena zakat fitrah itu lebih dulu disyariatkan dibanding pensyariatan zakat-zakat yang lainnya, maka hadis tentang zakat fitrah sebagai “makanan orang-orang msikin” tidak bisa dijadikan alasan untuk mengkhususkan ashnaf zakat fitrah kepada fakir-miskin saja, melainkan justeru harus mengikuti ashnaf yang delapan yang ditentukan belakangan, yakni yang ditentukan di Surat al-Taubah ayat 60. Apalagi ketentuan tentang ashnaf delapan ini ditentukan oleh al-Qur’an. Sudah tentu, derajat al-Qur’an lebih tinggi dibanding derajat al-Hadis.
            Walau begitu; walau ashnaf zakat fitrah itu juga delapan, tetapi karena hadis di atas, maka golongan fakir-miskin merupakan golongan yang lebih diutamakan dibanding golongan-golongan yang lain untuk mendapatkan zakat fitrah, sebagaimana pendapat Sayyid Sabiq:
والفقراء هم أولى الأصناف بها، لما تقدم فى الحديث فرض رسول الله صلعم زكاة الفطر... وطعمة للمساكين
Artinya: "Para fakir itu lebih utama mendapat bagian zakat fitrah dibanding golongan-golongan yang lainnya, berdasarkan hadits di atas: Rasullullah mewajibkan zakat  fitrah . . . sebagai makanan orang-orang miskin” (Fiqh al-Sunnah, Jilid I, h. 351).
Jadi, walaupun ashnaf zakat fitrah itu dibagikan kepada delapan ashnaf sebagaimana zakat-zakat yang lain, tetapi ashnaf fakir-miskin harus lebih diutamakan dibanding ashnaf-ashnaf yang lain. Bagian ashnaf fakir-miskin inilah yang wajib diberikan kepada mereka sebelum shalat ‘Id al-Fitri, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari-Muslim: “wa amara bihâ an tuaddâ qabla khurûj al-nâsi ilâ al-shalâh (dan Rasulullah memerintahkan supaya zakat fitrah itu ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat ‘Id).” Adapun ashnaf-ashnaf yang lain tidak ada kewajiban memberikannya sebelum shalat ‘Id.
D. Kesimpulan.
            Berdasarkan uraian di atas bisa diketahui bahwa ashnaf zakat fitrah pun sama dengan ashnaf zakat-zakat yang lainnya, yakni delapan ashnaf. Akan tetapi, ashnaf fakir-miskin merupakan ashnaf yang paling berhak untuk menerima zakat fitrah dan bagian mereka ini harus diberikan sebelum shlat ‘Id. (Sebenarnya, untuk zakat selain zakat fitrahpun ashnaf fakir-miskin merupakan ashnaf yang harus diutamakan). Untuk ashnaf yang lain tidak harus diberikan sebelum shalat ‘Id. Wallahu a‘lam.
Ciputat, Medio September 2003.
Datar Bacaan:
Syaikh Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut, Darul Fikr, 1983.
Doktor Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, Damsyiq, Darul Fikr, 1989.
Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrah al- ‘Aini, Cirebon, al-Maktabah al-Mishriyyah, t. t.
Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imâmi al-Syafi’i, Semarang, Toha Putra, t. t.
Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-Din, Juz I, Semarang, Toha Putra, t. t.


*Drs. Dimyati Sajari, M.Ag: Ketua II Pengurus BP BAZIS Kec. Ciputat Kab. Tangerang. Makalah ini disusun sebagai bahan “Silaturrahim” antara Pengurus BP BAZIS Kec. Ciputat dengan Pengurus UPZ Tk. Desa dan DKM se-Kec. Ciputat pada bulan September-Oktober 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates