Kamis, 01 Desember 2016

IDIOLOGI TAKFIR



IDIOLOGI TAKFIR
Oleh Dimyati Sajari

            Bermula dari takfir, kemudian membunuh. Inilah yang dilakukan kaum Khawarij. Apa yang dilakukan kaum Khawarij ini ‘ditiru’ oleh kelompok minoritas radikal di Indonesia yang mengembangkan konsep ‘jihad’ yang berbeda dengan paham mayoritas umat.
            Disebutkan dalam sejarah bahwa setelah kelihatan akan mengalami kekalahan dalam Perang Shiffin antara Khalifah Ali b. Abi Thalib dan Muawiyah, maka pasukan Muawiyah mengacungkan kitab suci al-Qur’an di atas tombak sebagai tanda mengajak damai. Tawaran damai ini awalnya ditolak Khalifah Ali. Akan tetapi, karena pasukan Khalifah Ali mendesak untuk menerima tawaran perundingan itu, maka akhirnya Khalifah Ali menerima tawaran itu. Singkat cerita, perundingan itu merugikan Khalifah Ali dan menguntungkan Muawiyah.

Tahkim dan Takfir
            Peristiwa penyelesaian Perang Shiffin melalui perundingan itulah yang kemudian dikenal dengan istilah tahkim, yakni penyelesaian persengketaan/peperangan dengan hakim manusia.  Bagi kaum Khawarij, yaitu kelompok Ali yang memisahkan atau keluar dari barisan Ali, berprinsip bahwa lâ hukma illa Allâh (tiada hukum kecuali hukum Allah). Oleh karena itu, menurut mereka, penyelesaian peperangan dengan jalan tahkim tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. Mereka berdasar pada ayat Allah: “Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya; jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” (QS 49: 9). Dalam pandangan mereka, kelompok yang berbuat aniaya adalah kelompok Muawiyah disebabkan membangkang terhadap kekhalifahan yang sah. Ali pun dinilai telah menyimpang dari nash tersebut dikarenakan telah berhenti memeranginya.
            Atas dasar itu, Kaum Khawarij memandang kedua belah pihak yang melakukan tahkim itu sebagai pendosa besar dan pendosa besar itu, bagi mereka, bukan lagi seorang mukmin, tapi sudah menjadi seorang kafir. Di sinilah munculnya takfir (pengkafiran terhadap orang beriman) untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam.
            Istilah kafir yang dimaksud Kaum Khawarij di atas adalah murtad (keluar dari Islam) dan, dalam pandangan mereka, orang murtad wajib dibunuh. Beranjak dari pandangan ini mereka memutuskan untuk membunuh keempat tokoh yang terlibat dalam tahkim tersebut, yaitu Ali, Muawiyah, Abu Musa al-Asy’ari dan Amr ibn al-Aas. Mereka pun menyusun dan menjalankan rencana itu, tetapi hanya berhasil membunuh Ali melalui Abdurrahman ibn Muljam.
            Golongan Azariqah, golongan ekstrim kaum Khawarij, mengganti istilah kafir tersebut dengan istilah musyrik. Bagi golongan ini, yang menjadi musyrik bukan hanya yang melakukan dosa besar, tetapi juga orang yang tidak sepaham dengan mereka. Menurut mereka, hanya orang Azariqah yang orang Islam dan di luar itu sebagai orang musyrik. Merekapun tidak segan-segan membunuh orang-orang yang tidak berpaham Azariqah karena mereka dianggap orang musyrik.

Kaum Minoritas Radikal
            Dengan demikian dapat diketahui bahwa tradisi takfir dalam Islam dimulai dari kaum Khawarij, kaum minoritas pada waktu itu. Kemudian, dari takfir itu mereka menjelma menjadi kelompok minoritas yang radikal, yang berusaha membunuh orang-orang beriman yang terlibat dalam tahkim dan atau orang-orang beriman yang mereka anggap kafir (murtad, musyrik).
            Kenyataan tradisi takfir yang dilakukan oleh kaum minoritas (kaum Khawarij) yang radikal itu, ternyata, diwarisi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas di Indonesia terhadap kaum mayoritas. Untuk masa kini, kelihatannya kelompok minoritas yang radikal dan paling ekstrim adalah kelompok ISIS.
            Kelompok-kelompok minoritas yang mengkafirkan umat mayoritas itu, berdasarkan indikator yang ditetapkan MUI dalam Rakernas-nya di Jakarta Tahun 2007, dapat dianggap sebagai kelompok atau aliran yang sesat. Salah satu indikator ciri-ciri aliran sesat yang ditetapkan MUI adalah “mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.”
            Kelompok minoritas yang sesat itu, tampaknya, melakukan takfir dikarenakan takfir itu merupakan dasar idiologis mereka menyendiri atau membentuk kelompok tersendiri. Tanpa adanya idiologi takfir, maka merekapun tidak akan ada. Dengan kata lain, disebabkan ada idiologi takfir yang memandang bahwa hanya mereka yang benar dan hanya mereka yang dipandang sebagai orang beriman, sementara orang-orang beriman di luar kelompok mereka dianggap sebagai kafir (murtad, musyrik), maka ada alasan bagi mereka untuk membentuk kelompok tersendiri. Sudah tentu mereka punya alasan (dalil-dalil) sebagai dasar takfir itu, sebab al-Qur’an merupakan wahyu Ilahi yang dapat ditafsirkan bagaimana saja sesuai kebutuhan/kepentingan yang menafsirkannya, meski proses penafsirannya tidak sesuai dengan kaidah penafsiran yang berlaku. Akan tetapi, ini pula yang menyirikan mereka sebagai kelompok sesat. Salah satu indikator lain yang ditetapkan MUI sebagai aliran sesat adalah “melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.” Kelompok-kelompok minoritas yang sesat itu jelas tidak menggunakan kaidah-kaidah tafsir. Kalau mereka menggunakan kaidah-kaidah tafsir, hasilnya tidak akan berbeda dengan pandangan umat mayoritas.
            Tampaknya, di antara kelompok minoritas yang sesat itu ada yang hanya melakukan takfir sebagai basis idiologi gerakan mereka. Akan tetapi, ada pula yang mewarisi sikap keras dan radikal kaum Khawarij yang tidak pernah merasa berdosa kalau ada orang-orang beriman di luar kelompok mereka dibunuh atau terbunuh oleh mereka. Inilah kelompok minoritas radikal yang mengembangkan konsep jihad di Indonesia, yang oleh media dan pemerintah dianggap sebagai kelompok teroris. Mereka bukan saja memandang pahamnya yang benar dan paham orang lain sesat, tetapi juga menganggap benar terhadap aksi-aksi mereka yang menyebabkan nyawa beberapa orang beriman melayang, apalagi nyawa orang-orang non-muslim. Mereka tidak memilah antara daru as-salam (daerah damai yang di dalamnya dilarang adanya peperangan) dan daru al-harbi (daerah peperangan yang memang diwajibkan adanya peperangan). Bagi mereka, semuanya daru al-harbi yang dibenarkan adanya peperangan. Mereka juga tidak membedakan antara kafir harbi (orang kafir yang boleh/wajib dibunuh) dan kafir dzimmi (orang kafir yang berada di wilayah damai yang wajib dilindungi). Pendirian mereka, tampaknya, hanya satu, yaitu siapapun orangnya yang berada di luar kelompok mereka adalah kafir yang halal darahnya.
***
            Kalau dilihat adanya kelompok-kelompok minoritas yang sesat itu, khususnya kelompok minoritas radikal, maka semuanya berawal dari idiologi takfir. Bermula dari takfir inilah kelompok minoritas radikal mengembangkan konsep jihad dan penghalalan darah orang-orang yang mereka kafirkan. Padahal, takfir terhadap orang beriman tidak dibenarkan di dalam Islam. Di dalam Islam, orang yang telah menyatakan diri memeluk agama Islam dengan cara membaca dua kalimah syahadat wajib dilindungi darahnya, hartanya, keluarganya, akalnya, dan agamanya. Oleh karena itu, sangat tidak tepat pengkafiran terhadap Khalifah Ali yang sudah dijamin masuk sorga oleh Rasulullah Saw. atau terhadap kyai-kyai dan ulama-ulama yang jasanya terhadap Islam tidak dapat diragukan lagi. Apalagi umat mayoritas (ahl as-sunnah wa al-jama‘ah) sejak dulu hingga sekarang tidak pernah memandang orang beriman yang melakukan dosa besar dihukumi sebagai kafir, tapi bila disepakati bahwa dia telah melakukan dosa besar hanya dinilai sebagai fasik yang tetap haram hukumnya untuk dibunuh. Wallahu a‘lam.

Pamulang, 18 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates