IDIOLOGI TAKFIR
Oleh Dimyati Sajari
Bermula
dari takfir, kemudian membunuh. Inilah yang dilakukan kaum Khawarij. Apa
yang dilakukan kaum Khawarij ini ‘ditiru’ oleh kelompok minoritas radikal di
Indonesia yang mengembangkan konsep ‘jihad’ yang berbeda dengan paham mayoritas
umat.
Disebutkan
dalam sejarah bahwa setelah kelihatan akan mengalami kekalahan dalam Perang
Shiffin antara Khalifah Ali b. Abi Thalib dan Muawiyah, maka pasukan Muawiyah
mengacungkan kitab suci al-Qur’an di atas tombak sebagai tanda mengajak damai.
Tawaran damai ini awalnya ditolak Khalifah Ali. Akan tetapi, karena pasukan
Khalifah Ali mendesak untuk menerima tawaran perundingan itu, maka akhirnya
Khalifah Ali menerima tawaran itu. Singkat cerita, perundingan itu merugikan
Khalifah Ali dan menguntungkan Muawiyah.
Tahkim dan Takfir
Peristiwa
penyelesaian Perang Shiffin melalui perundingan itulah yang kemudian dikenal
dengan istilah tahkim, yakni penyelesaian
persengketaan/peperangan dengan hakim manusia. Bagi kaum Khawarij, yaitu kelompok Ali yang
memisahkan atau keluar dari barisan Ali, berprinsip bahwa lâ hukma illa Allâh (tiada hukum kecuali hukum Allah). Oleh
karena itu, menurut mereka, penyelesaian peperangan dengan jalan tahkim
tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. Mereka berdasar pada ayat Allah:
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya; jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah” (QS 49: 9). Dalam pandangan
mereka, kelompok yang berbuat aniaya adalah kelompok Muawiyah disebabkan
membangkang terhadap kekhalifahan yang sah. Ali pun dinilai telah menyimpang
dari nash tersebut dikarenakan telah berhenti memeranginya.
Atas dasar itu, Kaum Khawarij memandang
kedua belah pihak yang melakukan tahkim itu sebagai pendosa besar dan
pendosa besar itu, bagi mereka, bukan lagi seorang mukmin, tapi sudah menjadi
seorang kafir. Di sinilah munculnya takfir (pengkafiran terhadap orang
beriman) untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam.
Istilah kafir yang dimaksud Kaum
Khawarij di atas adalah murtad (keluar dari Islam) dan, dalam pandangan
mereka, orang murtad wajib dibunuh. Beranjak dari pandangan ini mereka
memutuskan untuk membunuh keempat tokoh yang terlibat dalam tahkim
tersebut, yaitu Ali, Muawiyah, Abu Musa al-Asy’ari dan Amr ibn al-Aas. Mereka
pun menyusun dan menjalankan rencana itu, tetapi hanya berhasil membunuh Ali
melalui Abdurrahman ibn Muljam.
Golongan Azariqah, golongan ekstrim
kaum Khawarij, mengganti istilah kafir tersebut dengan istilah musyrik.
Bagi golongan ini, yang menjadi musyrik bukan hanya yang melakukan dosa
besar, tetapi juga orang yang tidak sepaham dengan mereka. Menurut mereka,
hanya orang Azariqah yang orang Islam dan di luar itu sebagai orang musyrik.
Merekapun tidak segan-segan membunuh orang-orang yang tidak berpaham Azariqah
karena mereka dianggap orang musyrik.
Kaum Minoritas
Radikal
Dengan demikian dapat diketahui
bahwa tradisi takfir dalam Islam dimulai dari kaum Khawarij, kaum
minoritas pada waktu itu. Kemudian, dari takfir itu mereka menjelma
menjadi kelompok minoritas yang radikal, yang berusaha membunuh orang-orang
beriman yang terlibat dalam tahkim dan atau orang-orang beriman yang
mereka anggap kafir (murtad, musyrik).
Kenyataan tradisi takfir yang
dilakukan oleh kaum minoritas (kaum Khawarij) yang radikal itu, ternyata,
diwarisi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas di Indonesia terhadap
kaum mayoritas. Untuk masa kini, kelihatannya kelompok minoritas yang radikal
dan paling ekstrim adalah kelompok ISIS.
Kelompok-kelompok minoritas yang
mengkafirkan umat mayoritas itu, berdasarkan indikator yang ditetapkan MUI
dalam Rakernas-nya di Jakarta Tahun 2007,
dapat dianggap sebagai kelompok atau aliran yang sesat. Salah satu
indikator ciri-ciri aliran sesat yang ditetapkan MUI adalah “mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti
mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.”
Kelompok minoritas yang sesat itu,
tampaknya, melakukan takfir dikarenakan takfir itu merupakan
dasar idiologis mereka menyendiri atau membentuk kelompok tersendiri. Tanpa
adanya idiologi takfir, maka merekapun tidak akan ada. Dengan kata lain,
disebabkan ada idiologi takfir yang memandang bahwa hanya mereka yang
benar dan hanya mereka yang dipandang sebagai orang beriman, sementara
orang-orang beriman di luar kelompok mereka dianggap sebagai kafir (murtad,
musyrik), maka ada alasan bagi mereka untuk membentuk kelompok tersendiri.
Sudah tentu mereka punya alasan (dalil-dalil) sebagai dasar takfir itu,
sebab al-Qur’an merupakan wahyu Ilahi yang dapat ditafsirkan bagaimana saja
sesuai kebutuhan/kepentingan yang menafsirkannya, meski proses penafsirannya tidak
sesuai dengan kaidah penafsiran yang berlaku. Akan tetapi, ini pula yang
menyirikan mereka sebagai kelompok sesat. Salah satu indikator lain yang
ditetapkan MUI sebagai aliran sesat adalah “melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak
berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.”
Kelompok-kelompok minoritas yang sesat itu jelas tidak menggunakan
kaidah-kaidah tafsir. Kalau mereka menggunakan kaidah-kaidah tafsir, hasilnya
tidak akan berbeda dengan pandangan umat mayoritas.
Tampaknya, di antara kelompok
minoritas yang sesat itu ada yang hanya melakukan takfir sebagai basis
idiologi gerakan mereka. Akan tetapi, ada pula yang mewarisi sikap keras dan
radikal kaum Khawarij yang tidak pernah merasa berdosa kalau ada orang-orang
beriman di luar kelompok mereka dibunuh atau terbunuh oleh mereka. Inilah
kelompok minoritas radikal yang mengembangkan konsep jihad di Indonesia,
yang oleh media dan pemerintah dianggap sebagai kelompok teroris. Mereka bukan
saja memandang pahamnya yang benar dan paham orang lain sesat, tetapi juga
menganggap benar terhadap aksi-aksi mereka yang menyebabkan nyawa beberapa
orang beriman melayang, apalagi nyawa orang-orang non-muslim. Mereka tidak
memilah antara daru as-salam (daerah damai yang di dalamnya dilarang
adanya peperangan) dan daru al-harbi (daerah peperangan yang memang diwajibkan
adanya peperangan). Bagi mereka, semuanya daru al-harbi yang dibenarkan
adanya peperangan. Mereka juga tidak membedakan antara kafir harbi
(orang kafir yang boleh/wajib dibunuh) dan kafir dzimmi (orang kafir
yang berada di wilayah damai yang wajib dilindungi). Pendirian mereka,
tampaknya, hanya satu, yaitu siapapun orangnya yang berada di luar kelompok
mereka adalah kafir yang halal darahnya.
***
Kalau dilihat adanya
kelompok-kelompok minoritas yang sesat itu, khususnya kelompok minoritas
radikal, maka semuanya berawal dari idiologi takfir. Bermula dari takfir
inilah kelompok minoritas radikal mengembangkan konsep jihad dan penghalalan
darah orang-orang yang mereka kafirkan. Padahal, takfir terhadap orang
beriman tidak dibenarkan di dalam Islam. Di dalam Islam, orang yang telah
menyatakan diri memeluk agama Islam dengan cara membaca dua kalimah syahadat
wajib dilindungi darahnya, hartanya, keluarganya, akalnya, dan agamanya. Oleh
karena itu, sangat tidak tepat pengkafiran terhadap Khalifah Ali yang sudah
dijamin masuk sorga oleh Rasulullah Saw. atau terhadap kyai-kyai dan
ulama-ulama yang jasanya terhadap Islam tidak dapat diragukan lagi. Apalagi umat
mayoritas (ahl as-sunnah wa al-jama‘ah) sejak dulu hingga sekarang tidak
pernah memandang orang beriman yang melakukan dosa besar dihukumi sebagai
kafir, tapi bila disepakati bahwa dia telah melakukan dosa besar hanya dinilai
sebagai fasik yang tetap haram hukumnya untuk dibunuh. Wallahu a‘lam.
Pamulang, 18 Agustus
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar