AL-MUHÂSIBÎ
Oleh Dimyati Sajari
AL-MUHÂSIBÎ
Al-Harits al-Muhâsibî (165-243 H/781-837 M) bernama lengkap Abû ‘Abd
Allâh al-Hârits b. Asad al-Muhâsibî. Dia lahir di Basrah, tapi tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan ulama-ulama
Baghdad pernah berguru kepadanya. Dia menguasai ilmu-ilmu zhahir,
ilmu-ilmu muamalat dan ilmu bathin. Dia wafat tahun 243 H di Baghdad.
Al-Muhâsibî sebagaimana dikatakan A.J. Arberry di dalam bukunya An
Account of the Mystics of Islam, merupakan pengarang sufi pertama
terkemuka yang tulisan-tulisannya benar-benar berpengaruh terhadap
pemikiran-pemikiran sufi selanjutnya. Dialah yang pertama kali
mensistematisasikan ajaran zuhd. Dia pula, menurut ‘Abd al-Qadir Ahmad
‘Atha’ di dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Muhâsibî yang ia edit,
yaitu kitab al-Washaya, yang pertama kali berbicara tentang jiwa
(al-tahlil al-nafsiy) di dalam pemikiran Islam (al-fikr al-Islamiy),
yang ia abdikan kepada syari‘ah Islam. Sejalan dengan penilaian ‘Abd
al-Qadir Ahmad ‘Atha’ ini Fazlur Rahman dalam bukunya Islam menilai
al-Muhâsibî sebagai tokoh besar pertama yang merintis jenis tasawuf
ortodoks, yang dengan praktek dan ajarannya berusaha menyatukan
ortodoksi dan sufisme.
Peran yang dimainkan al-Muhâsibî itu, bisa diduga, terkait erat dengan
kondisi dan situasi yang membutuhkan respons al-Muhâsibî, yang bisa
dipilah menjadi dua dimensi, yaitu dimensi pemikiran
(intelektual-spiritual) dan dimensi kekuasaan. Dari segi pemikiran, pada
era al-Muhâsibî bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ulama
atau ahli hukum dan kaum teolog di satu sisi dan kelompok sufi yang
bermaksud memberikan pendasaran yang lebih bersifat bathini di dalam
menjalankan ibadah di sisi yang lain.
Respons terhadap Hukum dan Teologi
Untuk di bidang hukum, era al-Muhâsibî merupakan era yang sudah
terkodifikasi secara sistematis. Dia lahir sepuluh tahun setelah
kelahiran Imam Syafi‘i atau sesudah kewafatan Imam Abu Hanifah (150 H)
dan empat belas tahun sebelum kewafatan Imam Malik bin Anas (w. 179
H/795 M) serta wafat dua tahun setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H/885 M). Hal ini berarti, di satu segi al-Muhâsibî menyaksikan
pandangan hukum Hanafi dan Maliki telah terumuskan secara baku dan di
lain segi menyaksikan secara langsung al-Syafi‘i serta Ibn Hanbal sedang
merumuskan pandangan hukumnya. Oleh karena Imam al-Syafi‘i wafat pada
tahun 204 H/819 M tatkala al-Muhâsibî berusia 39 tahun --al-Muhâsibî
sendiri wafat pada tahun 243 H/837 M dalam usia 78 tahun-- berarti
ketika al-Syafi‘i wafat ia pun menyaksikan pandangan hukum Syafi‘i telah
terkodifikasi secara baku. Bahkan, menurut Annemarie Schimmel dalam
bukunya Mystical Dimension of Islam, al-Muhâsibî termasuk dalam mazhab
hukum Syafi‘i, seperti halnya al-Junaid (w. 298/910), Rûdhbârî (w. ),
al-Ghazālī (w. ) dan lain-lain. Artinya, al-Muhâsibî tidak hanya
menyaksikan hukum al-Syafi‘i dirumuskan dan terumuskan secara matang,
tetapi ia pun bergabung ke dalam mazhab Syafi‘i.
Menyaksikan bidang hukum telah terumuskan secara sistematis itu tak syak
lagi mempengaruhi al-Muhâsibî untuk merumuskan ajaran zuhd, yang
sebelumnya belum terumuskan. Dalam istilah Fazlur Rahman, perumusan
ajaran asketik (zuhd) merupakan reaksi terhadap perumusan Islam secara
hukum. Kalau aspek hukum ini lebih bersentuhan dengan segi-segi
formal-lahiriah beragama, maka zuhd ini lebih menekankan dimensi
bathiniah keberagamaan seseorang. Di sinilah al-Muhâsibî pun merumuskan
ajaran tentang jiwa (nafs) atau tentang dimensi batin manusia. Penekanan
pada dimensi batin ini tidak dimaksudkan untuk menolak hukum syari‘ah
(kehidupan lahiriah), tetapi justeru dikhidmadkan untuk hukum syari‘ah,
sekaligus dimaksudkan untuk menekankan pentingnya penjagaan terus
menerus terhadap kesucian niat sekaligus kritik-diri (muhasabat al-nafs)
yang tak henti-hentinya, khususnya berkenaan dengan penipuan diri,
kebanggaan diri dan
Di bidang teologi, masa al-Muhâsibî adalah era Mu‘tazilah, kecuali
beberapa tahun di akhir kehidupannya merupakan era ahl a-l-sunnah.
Al-Muhâsibî sendiri mendapatkan pengetahaun dari teologi Mu‘tazilah.
Pada era al-Ma‘mun teologi ini dijadikan sebagai teologi negara.
Mungkin saja disebabkan posisinya sebagai teologi negara ini doktrin
Mu‘tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an dipaksakan untuk diterima oleh
seluruh warga negara, termasuk kepada para ulama. Ahl al-hadits yang
dipelopori Ibn Hanbal menolak paham ini. Atas penolakannya ini Ibn
Hanbal disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara. Peristiwa ini
menyebabkan kaum Mu‘tazilah mendapat tantangan atau kritik dari kaum
Hanabilah. Al-Muhâsibî termasuk mendapatkan kritik dari kaum Hanabilah.
Bahkan, al-Muhâsibî mendapatkan kritik langsung dari Ibn Hanbal, meski
posisinya sebagai teolog Mu‘tazilah bukan satu-satunya alasan Ibn Hanbal
untuk melakukan kritik kepadanya. Alasan lainnya adalah karena
al-Muhâsibî, seperti dikatakan Arberri, sebagai ahli hadis dinilai Ibn
Hanbal memakai perawi-perawi hadis yang lemah. Kritik Ibn Hanbal ini
melahirkan hubungan yang senantiasa tegang di antara keduanya.
Barangkali dikarenakan adanya kritik kaum Hanabilah atau ahl al-hadits
itulah yang menjadi salah satu sebab al-Muhâsibî melakukan konversi dari
teologi Mu‘tazilah ke Sufisme. Penyebab lainnya, mungkin saja, adalah
kehidupan kekuasaan yang jauh dari nilai-nilai moral agama. Walaupun
melakukan konversi dari teologi Mu‘tazilah ke Sufisme, tetapi telaah
metodis teologi Mu‘tazilah, sebagaimana diinformasikan Schimmel, telah
memberinya kemahiran berbahasa. Hasilnya, ia bisa menyumbangkan bahasa
yang sangat teknis bagi tasawuf.
Era Peralihan dari Asketisisme ke Sufisme
Berkaitan dengan kehidupan sufisme, era al-Muhâsibî tampaknya merupakan
era peralihan dari asketisisme ke sufisme. Abû al-Wafâ’ al-Ghunaimî
al-Taftazânî dalam bukunya Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-Islâm mengakui
bahwa sulit menentukan secara tepat kapan waktu beralihnya gerakan zuhud
ke tasawuf, mengingat perkembangan suatu pemikiran tidak tunduk kepada
batasan waktu yang ketat. Namun, ia menyatakan bahwa di akhir abad kedua
Hijriah sebagian asketis telah memiliki kecenderungan kepada sufisme
(tasawuf) dan sebagian penulis telah memandang mereka sebagai sufi.
Kurang lebih pada permulaan abad ketiga Hijriah kecenderungan peralihan
dari asketisme ke sufisme yang terjadi di akhir abad kedua Hijriah itu
menjadi nyata. Dengan adanya peralihan ini Taftazânî mengatakan bahwa
mulai awal abad ketiga Hijriah para zahid tidak lagi dikenal dengan
sebutan ini, tetapi dengan nama atau sebutan sufi. Taftazânî pun
mengemukakan bahwa pada masa ini mereka cenderung memperbincangkan
konsep-konsep yang belum dikenal sebelumnya, semisal konsep tentang
moral, jiwa, olah-spiritual, maqâm dan hâl, ma‘rifat, tauhid, fana’ dan
hulul. Bahkan, mereka tidak sekadar membicarakan konsep-konsep ini, tapi
juga merumuskannya secara teoritis. Lebih dari itu, mereka telah
menyusun aturan-aturan praktis bagi sufisme dan menggunakan bahasa
simbolis yang khusus dikenal di kalangan mereka sendiri, yang asing bagi
kalangan di luar mereka.
Sesuai dengan kecenderungan memperbincangkan dan merumuskan
konsep-konsep sufisme itu muncullah karya-karya tentang tasawuf
(sufisme). Tokoh-tokoh yang melakukan kegiatan ini mulai abad ketiga
Hijriah dan abad-abad berikutnya, di antaranya, adalah al-Muhâsibî (w.
243 H/857 M) dengan karya utamanya Al-Ri‘âyah li Huqûq Allâh, Abû Bakr
al-Kharrâz (w. 286 H/899 M) dengan karyanya Kitâb ash-Shidq, al-Hakim
al-Tirmidzi (w. 285 H/898 M) dengan karyanya Khatm al-Awliyâ’, Abû
al-Qâsim al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/911 M) dengan Kitâb
al-Fanâ’-nya, Abû Nashr al-Sarrâj (w. 377 H/988 M) dengan Kitâb
al-Luma‘, Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî (w. 385 H/995 M) dengan Kitâb
al-Ta‘rruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abû Thâlib al-Makkî (w. 386
H/996 M) dengan Qût al-Qulûb, Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w. 465 H/1074 M)
dengan Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, ‘Alî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî (w. 1071
M) dengan Kasyf al-Mahjûb, dan Abû Hâmid al-Ghazzâlî (w. 505 H/1111 M)
dengan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.
Dari tokoh-tokoh yang menulis konsep-konsep tasawuf itu terlihat bahwa
al-Muhâsibî merupakan tokoh pemulanya. Al-Muhâsibî, di samping sebagai
tokoh pemula, juga termasuk tokoh awal yang mewakili tipikal sufisme
Baghdad yang ortodoks, yang mungkin ia peroleh dari pengikut-pengikut
Hasan al-Bashrî. Tokoh terpenting di kalangan sufi Baghdad, Abû al-Qâsim
Muhammad al-Junayd (w. 298 H/911 M), adalah murid al-Muhâsibî.
Karya-karya al-Muhâsibî
Karya-karya al-Muhâsibî, sebagaimana karya-karya para alim lain
sezamanya, disusun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanayaan yang
diajukan kepadanya. Karyanya yang terbesar, al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh,
mencerminkan model dealektis ini, yakni dialog antara al-Muhâsibî dengan
salah seorang muridnya (yang tidak disebutkan namanya). Muridnya itu
mengajukan beberapa pertanyaan pendek dan dijawab oleh al-Muhâsibî
dengan jawaban yang panjang dan menyeluruh. Jawaban itu diungkapkan
dengan gaya bahasa yang lugas, tidak puitis. Tampaknya, al-Muhâsibî
ingin agar tema yang ia bicarakan dalam kitab ini tidak menimbulkan
kekeliruan pemahaman oleh para pembacanya.
Sesuai dengan nama pengarangnya, yaitu al-Muhâsibî yang bermakna
muhâsabat (telaah-diri yang terus menerus), kitab “Pemeliharaan Hak-hak
Allah” (al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh) berisi tentang berbagai bentuk
egoisme manusia, metode untuk menelaahnya (mengujinya), peringatan untuk
bersikap waspada terhadapnya, dan peringatan agar tidak terikat dan
disibukkan olehnya. Bentuk-bentuk utama egoisme manusia yang dibahas
oleh al-Muhâsibî dalam kitabnya ini meliputi: kesombongan dan keinginan
untuk menampilkan kebaikan diri (riyâ’), narsisisme (sikap atau tindakan
mencintai diri sendiri secara berlebihan), ‘ujub (angkuh, yaitu
penipuan diri sendiri dengan membesar-besarkan dirinya sebagai seorang
yang mulia dan benar dalam segala tindakan serta melupakan
kesalahan-kesalahannya), kibr (sikap membanggakan diri dengan
memposisikan dirinya sebagai tuan atau Tuhan), dan ghirrat (khayalan
bahwa dirinya merupakan orang yang tepat, yaitu ketika seseorang
membayangkan bahwa penolakannya terhadap perubahan perilaku yang merusak
dibenarkan oleh harapan-harapannya terhadap kasih sayang Tuhan).
Selain itu, dalam kitabnya al-Washâyâ, al-Muhâsibî di dalam muqaddimah
yang bersifat otobiografis melukiskan krisis yang terjadi pada masanya
dan akibat yang harus ditanggung dalam kehidupan batinnya dan mungkin
juga kehidupan materialnya. Dalam otobiografi ini, menurut al-Jâbirî,
al-Muhâsibî menyadari krisis yang terjadi dan berusaha melampauinya,
yakni berusaha keluar darinya secara sadar, sama seperti yang dilakukan
al-Ghazâlî tiga abad kemudian. Mungkin sekali otobiografi al-Muhâsibî
ini mengilhami al-Ghazâlî ketika menulis otobiografinya di dalam
kitabnya al-Munqidz min al-Dhalâl.
Di dalam muqaddimah kitabnya al-Washâyâ atau al-Nashâ’ih itu al-Muhâsibî
menulis:
“Umat masa kini telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh golongan
(firqat) atau lebih dan, di antara mereka, hanya satu golongan yang
selamat. Golongan lainnya, hanya Allah Yang Maha Tahu. Dalam
kehidupanku, aku takkan berhenti, meski sedikit, untuk meneliti
pertentangan-pertentangan umat ini dan mencari metode yang jelas dan
jalan yang benar. Kucari jalan ke akhirat melalui para ‘ulama
(mutakallim), kutelaah berbagai doktrin tentang Allah melalui penafsiran
para ahli fiqh, kurenungkan keadaan-keadaan umat dan kulihat berbagai
mazhab dan pendapat mereka, kupikirkan sesuai kemampuanku, dan kulihat
bahwa perselisihan mereka bagaikan laut yang dalam, manusia banyak yang
tenggelam di sana dan sedikit yang selamat...”
Di dalam buku otobigrafinya itu al-Muhâsibî mencari justifikasi
perpidahannya dari fiqih dan teologi ke dunia tasawuf dengan
terang-terangan, dalam istilah al-Jabiri, tetap berpegang teguh kepada
“rasionlitas agama” yang ditetapkan al-Kitab dan al-Sunnah. Dengan kata
lain, al-Muhâsibî berusaha merekonsiliasikan antara tasawuf dan
syariah, suatu usaha yang terus dilanjutkan oleh sufi-sufi sesudahnya.
Karya al-Muhâsibî lainnya adalah al-Masâ’il fî A‘mâl al-Qulûb wa
al-Jawârih wa al- Makâsib wa al-‘Aql. Di dalam kitab ini al-Muhâsibî
membahas tentang “zuhud,” “diam dan berfikir,” “kaya, syukur dan
kefakiran,” “menolak was-was (bisikan syetan),” “sombong, dengki dan
penipuan diri,” “riyâ’ dan was-was,” “mengenal nafsu,” “lalai dan lupa,”
“tawakkal,” “usaha mencari rizki,” “tinggal usaha,” “sifat warâ‘,”
“hakikiat akal dan maknanya,” “akal dari Allah,” dan sebagainya.