Senin, 20 Agustus 2018

HAJI DAN KURBAN


HAJI DAN KURBAN

Oleh Dimyati Sajari
(Dosen PAI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Ibadah haji dan kurban (qubān) sering dipahami sebagai dua bentuk ibadah yang saling terkait erat. Keterkaitan kedua bentuk ibadah ini ada yang memahaminya sebagai keterkaitan sebab-akibat: orang berkurban karena berhaji atau, sebaliknya, orang berhaji karena berkurban. Ada pula yang memahami sebagai hubungan sebab-akibat kesempurnaan: orang berhaji tidak akan sempurna kalau tidak berkurban dan orang yang berkurban pun tidak sempurna bila tidak berhaji.
Pemahaman itu merembet ke anggapan berikutnya: Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji dipandang aib dan pelit jika di tahun-tahun berikutnya dia tidak berkurban. Padahal, hubungan ibadah haji dan kurban dapat dimaknai secara kontekstual, sesuai kondisi dan situasi yang mengitarinya.

Waktu Pelaksanaan.
Tentu saja tidak ada yang membantah kalau ibadah haji dan kurban itu ada keterkaitannya. Akan tetapi, keterkaitan ini tampaknya hanya dari segi waktu pelaksanaan dan pensyariatan. Hubungan dari segi waktu adalah ibadah kurban harus dilaksanakan di bulan haji (di hari nahr dan tasyrīq, yakni di tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah), tidak boleh dilaksanakan di luar waktu ini. Bagi yang berkurban di luar waktu yang sudah ditentukan ini, maka kurbannya tidak sah.
Walau begitu, untuk tempat pelaksanaan ibadah kurban tidak harus di Tanah Suci, tetapi boleh di luar Tanah Suci, sesuai keinginan orang yang hendak berkurban. Tentu saja afdhalnya berkurban itu di wilayah masing-masing orang yang berkurban, karena orang yang lebih mengutamakan berkurban di tempat lain dibanding di tempatnya sendiri dapat menimbulkan fitnah dan sū’uzhzhann di kalangan tetangga.
Selain soal tempat, dilihat dari status hukum ibadah haji dan kurban juga tidak sama: berhaji hukumnya wajib bagi yang mampu (istithā‘ah), sedangkan bagi yang mampu berkurban hukumnya sunnah muakkad. Hukum sunnah muakkad ini pun bagi yang selain jamaah haji, sementara  yang sedang menunaikan ibadah haji, menurut Imam Syafi’i, tidak disunnahkan untuk berkurban.

Waktu Pensyariatan.
Sebenarnya, pensyariatan ibadah haji dan kurban tidak disyariatkan secara bersamaan. Ibadah haji disyariatkan sejak Nabi Ibrahim a.s., tetapi ibadah kurban disyariatkan sejak masa manusia pertama, Nabi Adam a.s. Di Surah Al-Mā’idah ayat 27-31 Allah Swt. menyuruh kedua putera Nabi Adam a.s., yakni Habil dan Qabil, untuk berkurban. Diinformasikan bahwa kurban Habil diterima, tetapi kurban Qabil ditolak. Akibat dari penolakan ini Qabil timbul rasa iri dan dengki, dan akhirnya membunuh Habil.
Walau diperintahnya berkurban itu untuk pertama kalinya ditujukan kepada Habil dan Qabil, tetapi tampaknya umat Islam lebih mengaitkan ibadah kurban itu dengan ibadah haji yang awal mulanya disyariatkan kepada Nabi Ibrahim a.s. Karena inilah, maka ibadah haji dan kurban sering dinyatakan sebagai bentuk napak tilas apa yang pernah dilakukan oleh tiga figur manusia yang tidak akan pernah ada lagi di dunia ini, yakni Nabi Ibrahim a.s., Ismail a.s., dan Siti Hajar a.s.
Sebagaimana disebutkan di dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 26-27, seusai membangun Ka’bah (Baitullah yang berfungsi sebagai tempat thawaf, i‘tikaf, dan shalat), Nabi Ibrahim a.s. diperintah oleh Allah Swt. untuk menyeru seluruh manusia (sepanjang zaman) supaya menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci (Baitullah). Perintah menyeru melaksanakan ibadah haji ini dikaitkan langsung dengan pembagian daging kurban, yakni dimakan sebagian dan sebagiannya lagi dibagikan kepada orang-orang yang susah dan fakir (yang membutuhkan).
Perintah berkurbannya sendiri secara dramatis disebutkan di dalam Surah Ash-Shaffāt ayat 102-111. Diawali dari perintah kepada Nabi Ibrahim a.s. melalui mimpi untuk menyembelih buah hatinya, Ismail (yang waktu itu merupakan anak satu-satunya), dan kesabaran (kesediaan) Ismail untuk dijadikan kurban, maka Allah Swt. menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Dari penebusan ini dipahami bahwa berkurban dilakukan bukan dengan cara menyembelih anak, tapi menyembelih binatang ternak.
(Berkaitan dengan kurban itu tampaknya di dunia arab sudah terdapat latar historis yang mengakar dalam masyarakat bahwa kurban yang paling hakiki dilakukan bukan dengan menyembelih binatang ternak, tetapi dengan penyembelihan anak yang paling disayang. Ditebusnya Ismail dengan seekor domba besar, dari satu segi, kelihatannya dimaksudkan untuk menghapus tradisi berkurban dengan menyembelih anak tersayang. Tradisi ini tampaknya belum hilang dalam masyarakat arab ketika ayah Rasulullah s.a.w., yakni Abdullah, masih kecil. Dikisahkan bahwa Abdul Muththalib, kakek Rasulullah s.a.w., saat masih memiliki anak satu diejek oleh ‘Adi bin Naufal bin Manaf. Atas ejekan itu Abdul Muththalib bersumpah (bernadzar) untuk mempersembahkan salah satu anaknya untuk Ka’bah jika dia dianugerahi sepuluh anak laki-laki. Walhasil, Abdul Muththalib dianugerahi sepuluh anak laki-laki. Tatkala hendak mempersembahkan salah satu di antara mereka itu ke Ka’bah, ternyata undian jatuh pada anak terkecilnya yang paling dia sayangi, Abdullah. Singkat cerita, Abdullah terbebas dari penyembelihan dengan tebusan seratus ekor unta. Mengingat peristiwa ini Rasulullah s.a.w. bersabda—yang diperselisihkan kesahihannya oleh para ulama: “Aku adalah putra dua manusia yang hampir disembelih.” Manusia pertama yang dimaksud Rasulullah s.a.w. adalah Nabi Ismail a.s. dan manusia yang kedua adalah Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah Rasulullah sendiri.

‘Arafah
Walau ibadah haji itu merupakan napak tilas jejak ibadah Nabi Ibrahim a.s., tetapi kelihatannya tidak semua rangkaian ibadah haji berasal dari Nabi Ibrahim a.s. Wukuf di Arafah (al-hajju ‘arafah), yang merupakan puncak ibadah haji, murni berasal dari Rasulullah s.a.w. Waktu wukuf di `Arafah ini dimulai dari tergelincirnya matahari pada tanggal 9 Dzul Hijjah sampai waktu terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzul Hijjah (yubtadau min zawâlil yaumit tâsi`i ilâ thulû`i fajri yaumil `âsyir).
Ungkapan yang digunakan di dalam kitab-kitab untuk wukuf itu ternyata bukan al-wukûf fil `arafah (wukuf di `Arafah), melainkan al-wukûf bi `arafah. Makna al-wukûf bi `arafah dapat saja diartikan “wukuf dengan `arafah”, tetapi bisa pula diartikan lebih dari itu. Secara bahasa, wukûf  berarti “berdiri” atau “berhenti”, kata bi berati “dengan, demi atau untuk,” dan kata `arafah berarti “mengetahui atau mengenal”. Dengan demikian, makna kalimat al-wukûf bi `arafah adalah “berhenti dengan mengenal,” “berhenti demi mengenal “ atau “berhenti untuk mengenal,” yakni untuk mengenal Allah Swt. atau berkenalan dengan Allah Swt.

Makhluk Penggoda.
Setelah mengenal Allah, maka harus mengesakan-Nya, harus mentauhidkan-Nya, dan tidak boleh menyekutukan-Nya. Godaan untuk menyekutukan-Nya berawal dari godaan iblis atau syetan. Untuk benar-benar mampu mentauhidkan-Nya, maka makhluk penggodanya (iblis) ini harus dihancurkan. Penghancuran iblis inilah yang kelihatannya disimbolkan dengan melontar jamrah (jamak: jamarāt; muslim Indonesia lebih akrab dengan istilah jumrah).
Bagaimanapun hebatnya, makhluk penggoda itu posisinya berada di luar diri manusia sehingga, boleh dikata, mudah untuk menangkalnya. Berbeda dengan penggoda yang bersemayam di dalam hati. Jenis penggoda ini jauh lebih berbahaya daripada iblis-syetan. Penggoda yang bersemayam di hati ini godaannya sangat lembut, tetapi efeknya sangat menghancurkan. Godaan jenis penggoda ini mampu menjerat manusia dalam kubang kemusyrikan tanpa manusia itu menyadarinya. Bahkan, manusia itu boleh jadi justru yang merasa paling mentauhidkan Allah Swt.
Penggoda yang bersemayam di dalam hati itulah yang disebut dengan “cinta.” Objek cinta ini sendiri sebenarnya berada di luar dirinya, tetapi karena sesuatu yang berada di luar dirinya itu dicintainya, maka sesuatu itu disemayamkan di dalam hatinya. Akibatnya, dia menjadikan sesuatu itu sebagai tandingan (andād) akan cintanya kepada Allah. Bahkan, dia lebih mencintai sesuatu itu dibanding Allah, meski orang beriman itu idealnya benar-benar mencintai Allah daripada apa pun (QS Al-Baqarah: 165).
Tatkala seseorang mencintai sesuatu selain Allah, berarti di dalam hatinya ada cinta kepada selain Allah. Semakin dia mencintai sesuatu, maka akan semakin memenuhi relung-relung hatinya, yang berarti semakin meminimalisir cintanya kepada Allah Swt. Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi pada diri seorang nabi.
Kelihatannya, ketika Nabi Ibrahim a.s. dianugerahi Ismail a.s., maka Nabi Ibrahim berpotensi untuk membuat tandingan cinta untuk Allah atau menduakan cintanya kepada Allah (andāda Allāh atau syāraka Allāh). Dari perspektif ini dapat dipahami bahwa berkurban adalah mengurbankan hal-hal yang dicintai supaya tidak membuat tandingan cinta atau menduakan cinta untuk Allah; supaya cinta hatinya hanya untuk Allah. Oleh sebab yang sangat dicintai Nabi Ibrahim adalah Ismail, maka Ismail harus dikurbankan. Akan tetapi, karena Allah hanya menuntut ketulusan cinta, bukan pengurbanan anak tersayang, maka kurban disyariatkan dengan menyembelih hewan kurban.
Hanya saja, berkurban di hari nahr dan tasyrīq itu hanya waktu ceremonialnya belaka. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengurbankan hal-hal yang dicintai kepada yang berhak menerimanya, yang boleh jadi bentuknya berupa infak, sedekah, bantuan, santunan, pemeliharaan anak yatim, pembangunan jalan, pembangunan lembaga pendidikan dan sebagainya. Barangkali inilah makna kurban yang sebenarnya. Wallāhu a‘alm.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates