Selasa, 06 Desember 2016

AL-QUR'AN DAN SAINS MODERN



Oleh Dimyati Sajari
A. Pendahuluan
            Masalah utama umat Islam adalah masalah keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Ketiga masalah ini bermuara pada satu masalah, yaitu masalah ilmu pengetahuan (sains). Lebih tepatnya adalah masalah tiadanya ilmu pengetahuan dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan umat Islam (Naquib al-Attas, 1995: 7). Dengan demikian, umat Islam terbelakang dalam hal sains dan keterbelakangan ini membawa akibat bagi terwujudnya kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan umat.
            Tentu saja keterbelakangan umat Islam dalam bidang sains dengan segala implikasinya itu menyedihkan banyak umat yang telah tercerahkan, karena dalam keyakinan umat Islam al-Qur'an adalah "segala-galanya." Khusus berkenaan dengan sains, sebagaimana diungkap Syed Muhammad naquib al-Attas lebih lanjut (1995: 33), al-Qur'an berarti sumber sains. Banyak ayat-ayat al-Qur'an (dan juga hadis-hadis Nabi Saw) yang memposisikan sains begitu pentingnya sehingga umat Islam diwajibkan mencari, menuntut dan mengembangkannya. Bahkan, al-Qur'an (dan al-Sunnah) banyak mengungkapkan ajaran-ajarannya tentang sains, seperti penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang (Maurice Bucaille, 1978: 172). Akan tetapi, umat Islam tidak menguasai sains modern, termasuk ajaran-ajaran sains yang dikemukakan al-Qur'an (dan Sunnah) tersebut. Kenapa?
B. Kekeliruan Pemahaman
            Sudah tentu, secara apriori saja dapat dikatakan bahwa ada yang keliru dengan umat Islam dewasa ini. Artinya, kalau umat Islam pada zaman pertengahan berada di garda paling depan di dalam penguasaan terhadap sains sementara umat Islam sekarang ini justeru berada di paling belakang, maka dipastikan bahwa umat Islam dewasa ini telah keliru memahami pedoman hidupnya, yakni al-Qur'an (dan Sunnah). Kekeliruan ini berkaitan dengan pemanfaatan al-Qur'an sebagai sumber sains. Ada beberapa kelompok umat, seperti dikemukakan Ahmad Baiquni (1994: 1), yang menganggap bahwa untuk mengembangkan sains kita cukup membaca ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur'an saja. Dengan demikian, mereka ini menilai kegiatan "mempelajari dan mengembangkan sains melalui penelitian" sebagai usaha yang sia-sia, tiada gunanya, mebuang-buang waktu, dan memboroskan uang.
            Pandangan semacam itu, menurut Ahmad Baiquni (1994: 2), mengandung "bahaya." Kebahayaan pandangan ini tiadk saja karena a;-Qur'an bukanlah buku pelajaran biologi atau sains secara umum (buku pelajaran biasanya menjelaskan pelajarannya secara terperinci sedangkan al-Qur'an hanya mengungkapkan garis besarnya), tetapi juga bisa bertentangan dengan hasil observasi. Misalnya, tentang penciptaan langit dan bumi seperti yang diungkapkan di surat al-Anbiya' ayat ke-30 yang artinya:
            "Dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu keduanya."
            Ulama dan cendekiawan yang hidup seribu tahun yang lalu mungkin akan memahami keterpaduan langit dan bumi itu dengan mengatakan bahwa pada waktu itu langit belum "terangkat" dan masih terletak di bumi, sebab pandangan yang lazim waktu itu memandang bumi ini datar sedangkan langit melengkung seperti bola raksasa yang melingkungi bumi, dengan bintang-bintang yang menempel padanya. Ternyata, berdasarkan pengukuran astronomis, bintang-bintang yang ada di langit itu jaraknya dari bumi tidak sama dan bintang-bintang itu pun tidak menempel pada apapun.
            Melalui contoh itu saja dapat diketahui bahwa justeru sia-sialah usaha mereka yang menyusun sains hanya dari membaca al-Qur'an. Hasil pemahaman mereka dapat bertentangan dengan kenyataan, karena tidak didukung oleh observasi dan pengukuran. Bila mereka menyebarluaskan ajarannya itu degan mengatakannya sebagai "ajaran sains menurut al-Qur'an" –padahal mereka menggunakan konsepsinya sendiri yang tidak benar dan tidak berdasarkan fakta yang nyata—maka masyarakat akan mengatakan bahwa ajaran al-Qur'an itu kolot dan tidak benar. "Inilah bahaya yang saya sebutkan di atas," tuis Prof. Baiquni (1994: 3).
            Untuk itulah pemahaman saja terhadap ayat-ayat al-Qur'an tentang sains tidaklah memadai. Pemahaman ini haruslah dibarengi dengan observasi, sebagaimana perintah Allah yang artinya:
             "Katakanlah (wahai Muhammad): Periksalah (dengan nazhar atau intizhar) apa-apa yang ada di langit dan di bumi" (QS Yunus: 151).
            Tentu saja observasi itu harus diikuti dengan data-data statistiak (pengukuran terhadap besaran-besarannya), sebab Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran, semisal Firman-Nya yang artinya:
             "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran" (QS al-Qamar: 49).
            Di samping itu, ada juga sekelompok umat yang beranggapan bahwa untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an, termasuk ayat-ayat yang berkenaan dengan sains, cukup dengan penguasaan bahasa Arab yang memadai. Anggapan ini tidak kalah kelirunya dengan pandangan sekelompok umat di atas. Maurice Bucaille (1978: 179) mengatakan bahwa untuk memahami ayat-ayat al-qur'an, pengetahuan yang mendalam tentang Bahasa Arab saja tidak cukup. Selain Bahasa Arab, ahli tafsir perlu memiliki pengetahuan ilmiah yang bermacam-macam… Dengan mengikuti persoalan-persoalan yang timbul, orangmengerti bahwa bermacam-macam pengetahuan ilmiah sangatlah perlu untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an tertentu, (walau belum seluruh ayat al-Qur'an dapat diterangkan oleh sains modern).
            Bucaille (1978: 195-198) memberikan contoh tentang penterjemahan kata ayyām dalam kaitannya dengan penciptaan langit dan bumi, dengan "hari." Misalnya Surat al-A'rāf ayat 54 yang menyatakan: "Tuhanmu adalah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari." Menurut Bucaille, sains modern tidak memungkinkan manusia untuk mengatakan bahwa proses kompleks yang berakhir dengan terciptanya alam dapat dihitung "enam." Namun sains modern sudah menunjukkan secara formal bahwa persoalannya adalah beberapa periode yang sangat panjang sehingga arti "hari" sebagai yang kita pahami sangat tidak tepat. Dengan demikian, sesuai pandangan sains modern, kata ayyām dalam ayat tersebut tidak dipahami dengan "enam hari," tapi "enam periode" (kata ayyām sendiri dapat berarti "waktu yang tak terbatas, waktu yang lama").
            Dari dua contoh kekeliruan pemahaman yang masing-masing ditunjukkan oleh Prof. Baiquni dan Maurice Bucaille itu dapat ditegaskan bahwa kalau terjadi kontradiksi antara al-Qur'an dan sains modern, maka kontradiksi itu terjadi akibat dari kesalahpemahaman terhadap al-Qur'an. Bucaille (1978: 182) mengatakan, "… kita akan menemukan bahwa riwayat-riwayat Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains."
C. Al-Qur'an dan Pemahaman Sains Modern.
            Telah ditunjukkan di atas bahwa untuk memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan sains tidak cukup hanya dengan memahami ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur'an tersebut, tapi juga harus diikuti dengan obeservasi terhadap "gejala-gejala alam." Observasi ini tidak saja untuk mendapatkan padanan makna antara ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut al-kaun dengan ayat-ayat Allah yang berada di alam semesta (Baiquni, 1995: 59, Sirajuddin Zar, 1994: 30), tapi juga dalam rangka penerangan tentang kekuasaan Tuhan (Bucaille, 1978: 179) atau dalam rangka memperkuat keyakinan bahwa Tuhan memang MahaKuasa (Zar, 1994: 29).
            Penyelidikan atau observasi terhadap gejala-gejala alam itu berkemungkinan mempertebal iman karena gejala-gejala alam itu pun disebut al-Qur'an sebagai ayat-ayat Allah (Baiquni, 1994: 2). Dengan demikian, ayat-ayat Allah terbagi dua, yaitu "yang tersurat" (al-Qur'an) dan "yang tidak tersurat" (alam semesta). Baik ayat-ayat Allah "yang tersurat" maupun "yang tidak tersurat" ini saling mengisi dan melengkapi: antara yang satu dengan yang lainnya ditemukan suatu keserasian atau kecocokan karena keduanya memang dirancang untuk tujuan demikian oleh "tangan" yang sama dan sumber yang sama, yakni Allah Swt (Zar, 1994: 30).
            Di samping itu, jagad raya ini, dalam Bahasa Arab, disebut "alam" ('ālam) yang satu akar kata dengan "ilmu" ('ilm, pengetahuan) dan "alamat" ('alamah, pertanda). "disebut demikian," tulis Nurcholish Madjid (1992: 289), "karena jagad raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa." Selanjutnya Nurcholish menyatakan bahwa sebagai pertanda adanya Tuhan jagad raya juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia.
            Jadi, dengan melaksanakan perintah Allah, yaitu mengobservasialam jagad raya, maka Iman akan semakin kokoh. Tentu saja tidak hanya Iman yang kian kuat yang didapatkan, tetapi juga ilmu pengetahuan (sains) karena observasi yang disertai dengan pengukuran merupakan dasar sains modern (Baiquni, 1995: 61). Dengan kata lain, ilmu pengetahuan diberikan Allah kepada manusia melalui kegiatan manusia sendiri dalam usahanya memahami alam raya ini. Sebab itu, ilmu pengetahuan tidak lain ialah usaha manusia untuk memahami hokum Allah yang pasti bagi alam semesta ini (Madjid, 1992: 292).
            Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa penyelidikan (observasi) terhadap alam sangat menunjang keimanan dan juga dapat mengembangkan sains modern. Mengingat sangat pentingnya observasi ini, maka tidak aneh kalau sekitar 750 ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan alam semesta dan fenomena-fenomenanya secara umum menunjukkan perintah (memerintahkan) manusia untuk memperhatikan, mempelajari, dan meneliti alam semesta (Zar, 1994: 28). Dengan mengobservasi alam semesta –disertai pengukuran-pengukurannya—maka akan diperoleh sains modern.
            Salah satu ayat yang memerintahkan manusia (umat Islam) untuk mengadakan observasi adalah ayat 101 Surat Yunus, sebagaimana telah dikutip di atas. Baiquni (1994: 4-7) mengartikan kata unzhuru dalam ayat tersebut tidak dengan lihatlah, sebab kata ini juga digunakan dalam ayat 17 s.d. 20 Surat al-Ghasyiyah, tetapi "melihat dengan perhatian" untuk dapat menjawab: bagaimana onta diciptakan, bagaimana langit diangkat atau ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dibentangkan.
            Lebih lanjut Baiquni menyatakan bahwa dengan membaca al-Qur'an dan berintizhar disertai pikiran yang kritis dan penalaran yang rasional, seperti dikemukakan dalam Surat al-Nahl ayat 11 dan 12, maka kita akan memperoleh sains sebagai hasilnya. Menurutnya, sains adalah consensus yang tercapai di antara para pakar sebagai kesimpulan penalaran secara rasional atas hasil peikiran dan analisis yang kritis terhadap data-data yang dikumpulkan dari pengukuran besar-besaran pada observasi gejala-gejala alamiah.
            "Jadi," tulis Baiquni, "menurut pengertian saya, pengembangan sains itu justeru diperintahkan oleh Allah Swt agar kita dapat memahami ayat-ayat al-Qur'an lebih sempurna sehingga tampak kebesaran dan kekuasaan-Nya secara lebih nyata… Mengabaikan sains dan membiarkannya terlantar, pada hemat saya, merupakan perbuatan dosa karena mengabaikan perintah dan petunjuk Ilahi. Kalau seluruh masyarakat, apalagi seluruh umat mengabaikannya, maka hukuman dapat menimpa; dalam bentuk kebodohan, kelemahan, penjajahan, dan sebagainya."
D. Penutup.
            Pernyataan Prof. baiquni itu, nampaknya, telah menjawab persoalan penyebab keterbelakangan umat Islam dalam bidang sains dengan segala implikasinya, semisal kebodohan, kelemahan, dan kemiskinan. Bila diinventarisasi, maka penyebab itu adalah:
1.      Umat keliru memahami ayat-ayat al-kaun di dalam al-Qur'an karena umat tidak menyertainya dengan observasi terhadap ayat-ayat yang terdapat di alam jagad raya.
2.      Umat keliru memahami ayat-ayat al-kaun di dalam al-Qur'an karena tidak memakai sains sebagai alat bantunya.
3.      Umat tidak lagi menggiatkan diri untuk mengobservasi ayat-ayat Tuhan di alam jagad raya yang merupakan prasyarat terciptanya sains modern.
            Tiga hal itulah, paling tidak, yang menyebabkan umat terbelakang dalam bidang sains modern. Keterbelakangan ini membawa akibat keterbelakangan yang lain, semisal dalam bidang ekonomi, ssosial, pendidikan, dan politik. Akan tetapi, lepas dari ini semua, yang jelas tidak ada ketidakserasian antara al-Qur'an dan sains modern. "Seluruh ayat-ayat al-Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains modern," demikian penegasan Maurice Bucaille. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1995. Islam dan Filsafat Sains. Terjemahan oleh Saiful Muzani dari Islam and the Philosophy of Science. Bandung: Mizan.
Baiquni, Ahmad. 1994. Al-Qur'an, Ilmu Pengetahuan` dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhaktu Wakaf.
---------, 1995. "Konsep-konsep Kosmologis." Dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Bucaille, Maurice. 1978. Bibel, Quran, dan Sains Modern. Terjemahan oleh H.M. Rasyidi dari La Bible la Coran Et la Science (1976). Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Zar, Sirajuddin. 1994. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan al-Quran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates