AL-QUR'AN DAN SAINS MODERN
Oleh Dimyati Sajari
A. Pendahuluan
Masalah utama umat
Islam adalah masalah keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Ketiga masalah
ini bermuara pada satu masalah, yaitu masalah ilmu pengetahuan (sains). Lebih
tepatnya adalah masalah tiadanya ilmu pengetahuan dan otoritas dalam hal ilmu
di kalangan umat Islam (Naquib al-Attas, 1995: 7). Dengan demikian, umat Islam
terbelakang dalam hal sains dan keterbelakangan ini membawa akibat bagi
terwujudnya kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan umat.
Tentu saja
keterbelakangan umat Islam dalam bidang sains dengan segala implikasinya itu
menyedihkan banyak umat yang telah tercerahkan, karena dalam keyakinan umat
Islam al-Qur'an adalah "segala-galanya." Khusus berkenaan dengan
sains, sebagaimana diungkap Syed Muhammad naquib al-Attas lebih lanjut (1995:
33), al-Qur'an berarti sumber sains. Banyak ayat-ayat al-Qur'an (dan juga
hadis-hadis Nabi Saw) yang memposisikan sains begitu pentingnya sehingga umat
Islam diwajibkan mencari, menuntut dan mengembangkannya. Bahkan, al-Qur'an (dan
al-Sunnah) banyak mengungkapkan ajaran-ajarannya tentang sains, seperti
penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang
(Maurice Bucaille, 1978: 172). Akan tetapi, umat Islam tidak menguasai sains
modern, termasuk ajaran-ajaran sains yang dikemukakan al-Qur'an (dan Sunnah)
tersebut. Kenapa?
B. Kekeliruan Pemahaman
Sudah tentu, secara
apriori saja dapat dikatakan bahwa ada yang keliru dengan umat Islam dewasa
ini. Artinya, kalau umat Islam pada zaman pertengahan berada di garda paling
depan di dalam penguasaan terhadap sains sementara umat Islam sekarang ini
justeru berada di paling belakang, maka dipastikan bahwa umat Islam dewasa ini
telah keliru memahami pedoman hidupnya, yakni al-Qur'an (dan Sunnah). Kekeliruan
ini berkaitan dengan pemanfaatan al-Qur'an sebagai sumber sains. Ada beberapa
kelompok umat, seperti dikemukakan Ahmad Baiquni (1994: 1), yang menganggap
bahwa untuk mengembangkan sains kita cukup membaca ayat-ayat kauniyah di
dalam al-Qur'an saja. Dengan demikian, mereka ini menilai kegiatan
"mempelajari dan mengembangkan sains melalui penelitian" sebagai
usaha yang sia-sia, tiada gunanya, mebuang-buang waktu, dan memboroskan uang.
Pandangan semacam itu,
menurut Ahmad Baiquni (1994: 2), mengandung "bahaya." Kebahayaan
pandangan ini tiadk saja karena a;-Qur'an bukanlah buku pelajaran biologi atau
sains secara umum (buku pelajaran biasanya menjelaskan pelajarannya secara
terperinci sedangkan al-Qur'an hanya mengungkapkan garis besarnya), tetapi juga
bisa bertentangan dengan hasil observasi. Misalnya, tentang penciptaan langit
dan bumi seperti yang diungkapkan di surat al-Anbiya' ayat ke-30 yang artinya:
"Dan
tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya
dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu keduanya."
Ulama dan cendekiawan
yang hidup seribu tahun yang lalu mungkin akan memahami keterpaduan langit dan
bumi itu dengan mengatakan bahwa pada waktu itu langit belum
"terangkat" dan masih terletak di bumi, sebab pandangan yang lazim
waktu itu memandang bumi ini datar sedangkan langit melengkung seperti bola
raksasa yang melingkungi bumi, dengan bintang-bintang yang menempel padanya. Ternyata,
berdasarkan pengukuran astronomis, bintang-bintang yang ada di langit itu
jaraknya dari bumi tidak sama dan bintang-bintang itu pun tidak menempel pada
apapun.
Melalui contoh itu saja
dapat diketahui bahwa justeru sia-sialah usaha mereka yang menyusun sains hanya
dari membaca al-Qur'an. Hasil pemahaman mereka dapat bertentangan dengan
kenyataan, karena tidak didukung oleh observasi dan pengukuran. Bila mereka
menyebarluaskan ajarannya itu degan mengatakannya sebagai "ajaran sains
menurut al-Qur'an" –padahal mereka menggunakan konsepsinya sendiri yang
tidak benar dan tidak berdasarkan fakta yang nyata—maka masyarakat akan
mengatakan bahwa ajaran al-Qur'an itu kolot dan tidak benar. "Inilah
bahaya yang saya sebutkan di atas," tuis Prof. Baiquni (1994: 3).
Untuk itulah pemahaman
saja terhadap ayat-ayat al-Qur'an tentang sains tidaklah memadai. Pemahaman ini
haruslah dibarengi dengan observasi, sebagaimana perintah Allah yang artinya:
"Katakanlah (wahai Muhammad):
Periksalah (dengan nazhar atau intizhar) apa-apa yang ada di
langit dan di bumi" (QS Yunus: 151).
Tentu saja observasi
itu harus diikuti dengan data-data statistiak (pengukuran terhadap
besaran-besarannya), sebab Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran,
semisal Firman-Nya yang artinya:
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu dengan ukuran" (QS al-Qamar: 49).
Di samping itu, ada
juga sekelompok umat yang beranggapan bahwa untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an,
termasuk ayat-ayat yang berkenaan dengan sains, cukup dengan penguasaan bahasa
Arab yang memadai. Anggapan ini tidak kalah kelirunya dengan pandangan
sekelompok umat di atas. Maurice Bucaille (1978: 179) mengatakan bahwa untuk
memahami ayat-ayat al-qur'an, pengetahuan yang mendalam tentang Bahasa Arab
saja tidak cukup. Selain Bahasa Arab, ahli tafsir perlu memiliki pengetahuan
ilmiah yang bermacam-macam… Dengan mengikuti persoalan-persoalan yang timbul,
orangmengerti bahwa bermacam-macam pengetahuan ilmiah sangatlah perlu untuk
memahami ayat-ayat al-Qur'an tertentu, (walau belum seluruh ayat al-Qur'an
dapat diterangkan oleh sains modern).
Bucaille (1978:
195-198) memberikan contoh tentang penterjemahan kata ayyām dalam
kaitannya dengan penciptaan langit dan bumi, dengan "hari." Misalnya
Surat al-A'rāf ayat 54 yang menyatakan: "Tuhanmu adalah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam hari." Menurut Bucaille, sains modern tidak
memungkinkan manusia untuk mengatakan bahwa proses kompleks yang berakhir
dengan terciptanya alam dapat dihitung "enam." Namun sains modern
sudah menunjukkan secara formal bahwa persoalannya adalah beberapa periode yang
sangat panjang sehingga arti "hari" sebagai yang kita pahami sangat
tidak tepat. Dengan demikian, sesuai pandangan sains modern, kata ayyām
dalam ayat tersebut tidak dipahami dengan "enam hari," tapi
"enam periode" (kata ayyām sendiri dapat berarti "waktu
yang tak terbatas, waktu yang lama").
Dari dua contoh
kekeliruan pemahaman yang masing-masing ditunjukkan oleh Prof. Baiquni dan
Maurice Bucaille itu dapat ditegaskan bahwa kalau terjadi kontradiksi antara
al-Qur'an dan sains modern, maka kontradiksi itu terjadi akibat dari
kesalahpemahaman terhadap al-Qur'an. Bucaille (1978: 182) mengatakan, "…
kita akan menemukan bahwa riwayat-riwayat Qur'an sepenuhnya sesuai dengan
sains."
C. Al-Qur'an dan Pemahaman Sains Modern.
Telah ditunjukkan di
atas bahwa untuk memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan sains tidak cukup
hanya dengan memahami ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur'an tersebut, tapi
juga harus diikuti dengan obeservasi terhadap "gejala-gejala alam."
Observasi ini tidak saja untuk mendapatkan padanan makna antara ayat-ayat
al-Qur'an yang menyangkut al-kaun dengan ayat-ayat Allah yang berada di
alam semesta (Baiquni, 1995: 59, Sirajuddin Zar, 1994: 30), tapi juga dalam
rangka penerangan tentang kekuasaan Tuhan (Bucaille, 1978: 179) atau dalam
rangka memperkuat keyakinan bahwa Tuhan memang MahaKuasa (Zar, 1994: 29).
Penyelidikan atau
observasi terhadap gejala-gejala alam itu berkemungkinan mempertebal iman
karena gejala-gejala alam itu pun disebut al-Qur'an sebagai ayat-ayat Allah
(Baiquni, 1994: 2). Dengan demikian, ayat-ayat Allah terbagi dua, yaitu
"yang tersurat" (al-Qur'an) dan "yang tidak tersurat" (alam
semesta). Baik ayat-ayat Allah "yang tersurat" maupun "yang
tidak tersurat" ini saling mengisi dan melengkapi: antara yang satu dengan
yang lainnya ditemukan suatu keserasian atau kecocokan karena keduanya memang
dirancang untuk tujuan demikian oleh "tangan" yang sama dan sumber
yang sama, yakni Allah Swt (Zar, 1994: 30).
Di samping itu, jagad
raya ini, dalam Bahasa Arab, disebut "alam" ('ālam) yang satu
akar kata dengan "ilmu" ('ilm, pengetahuan) dan
"alamat" ('alamah, pertanda). "disebut demikian,"
tulis Nurcholish Madjid (1992: 289), "karena jagad raya ini adalah pertanda
adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa." Selanjutnya
Nurcholish menyatakan bahwa sebagai pertanda adanya Tuhan jagad raya juga
disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia.
Jadi, dengan
melaksanakan perintah Allah, yaitu mengobservasialam jagad raya, maka Iman akan
semakin kokoh. Tentu saja tidak hanya Iman yang kian kuat yang didapatkan,
tetapi juga ilmu pengetahuan (sains) karena observasi yang disertai dengan
pengukuran merupakan dasar sains modern (Baiquni, 1995: 61). Dengan kata lain,
ilmu pengetahuan diberikan Allah kepada manusia melalui kegiatan manusia
sendiri dalam usahanya memahami alam raya ini. Sebab itu, ilmu pengetahuan
tidak lain ialah usaha manusia untuk memahami hokum Allah yang pasti bagi alam
semesta ini (Madjid, 1992: 292).
Berdasarkan uraian di
atas jelaslah bahwa penyelidikan (observasi) terhadap alam sangat menunjang
keimanan dan juga dapat mengembangkan sains modern. Mengingat sangat pentingnya
observasi ini, maka tidak aneh kalau sekitar 750 ayat al-Qur'an yang berkenaan
dengan alam semesta dan fenomena-fenomenanya secara umum menunjukkan perintah
(memerintahkan) manusia untuk memperhatikan, mempelajari, dan meneliti alam
semesta (Zar, 1994: 28). Dengan mengobservasi alam semesta –disertai
pengukuran-pengukurannya—maka akan diperoleh sains modern.
Salah satu ayat yang
memerintahkan manusia (umat Islam) untuk mengadakan observasi adalah ayat 101
Surat Yunus, sebagaimana telah dikutip di atas. Baiquni (1994: 4-7) mengartikan
kata unzhuru dalam ayat tersebut tidak dengan lihatlah, sebab kata ini juga
digunakan dalam ayat 17 s.d. 20 Surat al-Ghasyiyah, tetapi "melihat dengan
perhatian" untuk dapat menjawab: bagaimana onta diciptakan, bagaimana
langit diangkat atau ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditegakkan, dan
bagaimana bumi dibentangkan.
Lebih lanjut Baiquni
menyatakan bahwa dengan membaca al-Qur'an dan berintizhar disertai pikiran yang
kritis dan penalaran yang rasional, seperti dikemukakan dalam Surat al-Nahl
ayat 11 dan 12, maka kita akan memperoleh sains sebagai hasilnya. Menurutnya,
sains adalah consensus yang tercapai di antara para pakar sebagai kesimpulan
penalaran secara rasional atas hasil peikiran dan analisis yang kritis terhadap
data-data yang dikumpulkan dari pengukuran besar-besaran pada observasi
gejala-gejala alamiah.
"Jadi," tulis
Baiquni, "menurut pengertian saya, pengembangan sains itu justeru
diperintahkan oleh Allah Swt agar kita dapat memahami ayat-ayat al-Qur'an lebih
sempurna sehingga tampak kebesaran dan kekuasaan-Nya secara lebih nyata…
Mengabaikan sains dan membiarkannya terlantar, pada hemat saya, merupakan
perbuatan dosa karena mengabaikan perintah dan petunjuk Ilahi. Kalau seluruh
masyarakat, apalagi seluruh umat mengabaikannya, maka hukuman dapat menimpa;
dalam bentuk kebodohan, kelemahan, penjajahan, dan sebagainya."
D. Penutup.
Pernyataan Prof.
baiquni itu, nampaknya, telah menjawab persoalan penyebab keterbelakangan umat
Islam dalam bidang sains dengan segala implikasinya, semisal kebodohan,
kelemahan, dan kemiskinan. Bila diinventarisasi, maka penyebab itu adalah:
1. Umat keliru memahami ayat-ayat al-kaun di dalam al-Qur'an karena
umat tidak menyertainya dengan observasi terhadap ayat-ayat yang terdapat di
alam jagad raya.
2. Umat keliru memahami ayat-ayat al-kaun di dalam al-Qur'an karena
tidak memakai sains sebagai alat bantunya.
3. Umat tidak lagi menggiatkan diri untuk mengobservasi ayat-ayat
Tuhan di alam jagad raya yang merupakan prasyarat terciptanya sains modern.
Tiga hal itulah, paling
tidak, yang menyebabkan umat terbelakang dalam bidang sains modern.
Keterbelakangan ini membawa akibat keterbelakangan yang lain, semisal dalam
bidang ekonomi, ssosial, pendidikan, dan politik. Akan tetapi, lepas dari ini
semua, yang jelas tidak ada ketidakserasian antara al-Qur'an dan sains modern.
"Seluruh ayat-ayat al-Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains modern,"
demikian penegasan Maurice Bucaille. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1995. Islam
dan Filsafat Sains. Terjemahan oleh Saiful Muzani dari Islam and the
Philosophy of Science. Bandung: Mizan.
Baiquni, Ahmad. 1994. Al-Qur'an,
Ilmu Pengetahuan` dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhaktu Wakaf.
---------, 1995. "Konsep-konsep
Kosmologis." Dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Bucaille, Maurice. 1978. Bibel,
Quran, dan Sains Modern. Terjemahan oleh H.M. Rasyidi dari La Bible la
Coran Et la Science (1976). Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam
Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Zar, Sirajuddin. 1994. Konsep
Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan al-Quran. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar