MANFAAT SYARI'AT DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Dimyati Sajari
Istilah
syari'ah atau syari'at disebut sekali di dalam Al-Qur'an, yaitu di Surah
Al-Jaatsiyah (45): 18 yang berbunyi sebagai berikut:
ثُمَّ جَعَلْنكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.
Akan tetapi,
istilah syari'at dalam bentuk fi'il (kata kerja, شَرَعَ،
شَرَعُوا) disebut dua kali, yakni di Surah Asy-Syuura (42): 13, 21,
dalam bentuk isim (kata benda, شُرَّعًا) disebut satu
kali, yaitu di Surah Al-A'raaf (7): 163 dan dalam bentuk kata syir'ah
disebut satu kali di Surah Al-Maa'idah (5): 48. Terjemahan beberapa ayat ini sebagai
berikut:
Asy-Syuura
(42): 13: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).
Asy-Syuura
(42): 21: Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Al-`A'raaf (7):
163: Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat
laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada
mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan
air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada
mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
Al-Ma'idah (5):
48: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Syari'ah dan
Fikih
Dewasa ini, penggunaan istilah syari'ah disamakan
maknanya dengan istilah fikih sehingga ketika seseorang berbicara tentang
syari'ah, maka yang dibicarakan adalah masalah fikih. Padahal, ruang lingkup
syari'ah lebih luas di banding ruang lingkup fikih, sebagaimana tercermin dari
definisi berikut:
الشَّرِيْعَةُ
مَاشَرَعَ اللهُ تَعَالى لِعِبَادِهِ مِنَ الْاَحْكَامِ الَّتِىْ جَاءَتْ بِهَا
نَبِىٌّ مِنَ الْاَنْبِيَاءِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِمْ وَعَلى نَبِيِّنَا
وَسَلَّمَ، سَوَاءٌ كَانَتْ مُتَعَلِّقَةً بِكَيْفِيَّةِ عَمَلٍ وَتُسَمَّى
فَرْعِيَّةً وَدُوِّنَ لَهَا عِلْمُ الْفِقْهِ اَوْبِكَيْفِيَّةِ الْاِعْتِقَادِ
وَتُسَمَّى أَصْلِيَّةً وَاعْتِقَادِيَّةً وَدُوِّنَ لَهَا عِلْمُ الْكَلَامِ
وَيُسَمَّى اَيْضًا بِالْمِلَّةِ وَالدِّيْنِ
Syari'at ialah apa (hukum-hukum) yang disyari'atkan (diadakan) oleh Allah
Swt untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya, yakni Nabi
Saw., baik hukum-hukum itu berhubungan dengan bagaimana cara melaksanakan
perbuatan. Hukum ini disebut
sebagai "hukum-hukum cabang" dan
untuk hukum yang cabang inilah ilmu fikih dihimpun, atau pun yang berhubungan
dengan bagaimana caranya menjalankan i'tikad (kepercayaan). Syari'at ini
disebut sebagai "hukum-hukum pokok" dan "keyakinan," dan
untuk inilah ilmu kalam dihimpun. Syara' (syari'at) disebut pula sebagai agama
(millah dan dîn).
الفِقْهُ هُوَ فِى اللَّغَةِ
عِبَارَةٌ عَنْ فَهْمِ غَرْضِ الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلَامِهِ. وَفِى
الْاِصْطِلَاحِ هُوَ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَاالتَّفْصِيْلِيَّةِ وَهُوَ عِلْمٌ مُسْتَنْبَطٌ بِالرَّأْيِ
وَالْاِجْتِهَادِ وَيَحْتَاجُ فِيْهِ اِلَى النَّظَرِ وَالتَّأَمُّلِ وَلِهَذَا
لَايَجُوْزُ أَنْ يُسَمَّى اللهُ فَقِيْهًا لِأَنَّهُ لاَيَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ
Fikih, menurut bahasa, adalah faham akan
tujuan pembicaraan seorang pembicara. Menurut istilah, fikih adalah mengetahui
hukum-hukum syara' yang berkenaan dengan perbuatan, melalui dalil-dalilnya yang
terperinci. Fikih adalah ilmu yang dihasilkan melalui pemikiran dan usaha
sungguh-sungguh (ijtihad), yang memerlukan kepada pemikiran dan perenungan.
Oleh karena itu, Allah tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli fikih),
karena bagi Allah tidak ada sesuatu yang tidak jelas.
Dari definisi di atas dapat diketahui
bahwa ruang lingkup syari'at lebih luas dibanding fikih. Syari'at meliputi Ilmu
Kalam (Tauhid) dan Ilmu Fikih sehingga fikih merupakan bagian dari syari'at.
Bahkan, syari'at disebut pula sebagai Agama (al-millah dan al-din).
Dalam kata lain, syari'at adalah apa yang disyari'atkan Allah Swt (مَاشَرَعَ اللهُ). Apa yang
disyari'atkan Allah ini bukan saja berkaitan dengan Ilmu Kalam dan Fikih/Ilmu
Fikih, tetapi juga dengan Akhlak/Ilmu Akhlak. Dengan demikian, ruang lingkup
syari'at meliputi tiga aspek, yaitu aspek aqidah/ilmu kalam, fikih/ilmu fikih
dan akhlak/ilmu akhlak.
Walaupun begitu, dewasa ini, dalam
penggunaannya syari'at dibatasi pada aspek hukum atau aspek fikih saja sehingga
istilah hukum syara' disamakan maknanya dengan istilah hukum fikih.
Adapun tujuan disyari'atkannya
hukum-hukum syara', yang biasa dikenal dengan istilah maqashid asy-syari'ah
(مَقَاصِدُ الشَّرِيْعَةِ),
dapat ditelusuri di dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. Abu
Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwâfaqât mengatakan bahwa para ulama
telah melakukan penyelidikan terhadap Al-Qur'an dan al-Sunnah tentang tujuan
disyari'atkannya hukum-hukum syara', yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, baik kemaslahatan di dunia ini maupun di akhirat nanti. Al-Syatibi
membagi tingkatan kemaslahatan yang akan diwujudkan untuk manusia ini menjadi
tiga, yaitu kebutuhan dharûriyah, kebutuhan hâjiyah, dan
kebutuhan tahsîniyah. Kebutuhan dharûriyah adalah
kebutuhan primer, kebutuhan yang harus ada, yang kalau tidak ada akan mengancam
kemaslahatan manusia. Menurut al-Syatibi, kebutuhan dharûriyah ini
meliputi lima hal pokok, yaitu: 1) Hifzh al-dîn
(memelihara agama, حفظ الدّين); 2) Hifzh
al-nafs (memelihara jiwa, حفظ النّفس); 3) Hifzh
al-'aql (memelihara akal, حفظ العقل); 4) Hifzh
al-nasl (memelihara kehormatan atau keturunan, حفظ النّسل); dan 5) Hifzh al-mâl
(memelihara harta, حفظ المال). Untuk
memelihara lima pokok kebutuhan manusia inilah syari'at Islam diturunkan. Dalam
rangka memelihara lima pokok kebutuhan manusia ini pula para ulama merumuskan
prinsip dharûrah (keterpaksaan, ضرورة), yakni dalam kondisi dan situasi terpaksa manusia
diperbolehkan melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang (darurat itu
membolehkan suatu yang dilarang, الضرورة
تبيح المحظورات). Di samping prinsip dharurat ini para
ulama juga merumuskan prinsip fleksibilatas hukum, seperti kaidah "Hukum
itu mengikuti keberadaan 'illah (alasannya). Jika ada 'illah, maka hukum itu
ada. Akan tetapi, jika 'illah itu tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada"
(الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما).
Kebutuhan hâjiyah adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak
terpenuhi tidak akan mengancam kemaslahatan manusia, tetapi tetap akan
mempersulit kehidupan manusia. Adanya hukum rukhshah (رخصة, keringanan) merupakan
bukti syari'at Islam mempermudah urusan manusia. Misalnya, dalam hal ibadah mahdhah
umat Islam diberi keringanan untuk menqashar dan menjama' shalat ketika
musafir, diperbolehkan tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain bagi orang
yang sakit dan musafir, tidak diwajibkannya menunaikan ibadah haji bagi yang
tidak mampu, dan sebagainya. Dalam hal ibadah mu'amalah umat Islam
diberi kelonggaran atau pilihan dengan berbagai kontrak (akad), seperti
macam-macam pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa, perseroan (syirkah),
mudhârabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi
laba), dan lain-lain. Dalam hal 'uqubah (sangsi hukum) Islam membolehkan
diyat (bayar denda) bagi pembunuhan tidak sengaja dan menangguhkan, bahkan
membatalkan, hukum potong tangan bagi pencuri terpaksa (yang terpaksa mencuri
untuk menyelamatkan jiwanya atau jiwa keluarganya dari kelaparan).
Kebutuhan tahsîniyah adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak akan mengancam
kemaslahatan manusia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Kebutuhan tahsîniyah ini
merupakan kebutuhan pelengkap, seperti hal-hal yang berkaitan dengan kepatutan
menurut adat istiadat dan berhias sesuai tuntunan moral atau etika. Umpamanya,
dianjurkan berhias-diri ketika hendak ke masjid, dianjurkan berpakaian yang
layak sesuai jati-dirinya atau sesuai status sosialnya, dianjurkan memperbanyak
ibadah sunnah, dianjurkan memerdukan suara ketika membaca Al-Qur'an, dan
sebagainya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan atau
manfaat syari'at adalah untuk mewujudkan kemaslahatn kehidupan manusia, baik
untuk kehidupannya di dunia ini maupun di akhirat nanti. Atas dasar tujuan
disyari'atkannya syari'at inilah para ulama merumuskan prinsip dharurah dan
fleksibilitas hukum. Jadi, dengan syari'at hidup akan maslahat. Wa Allâhu
a'lam bi 'al-shawâb.
Daftar Bacaan:
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1970
Syâthibi, Ibrâhîm bin Mûsâ, Abû Ishâq al-, al-Muwâfaqât
fî Ushûl al-Syarî'ah, Mesir, al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1975
Zahrah, Al-Imâm Muhammad Abu, Ushûl al-Fiqh,
Dâr al-Fikr al-'Arabî, t.t.
Zein, Satria Effendi, M., Ushul Fiqh, Jakarta,
Prenada Media, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar