Kamis, 01 Desember 2016

MANFAAT SYARI'AT



MANFAAT SYARI'AT DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Dimyati Sajari
Istilah syari'ah atau syari'at disebut sekali di dalam Al-Qur'an, yaitu di Surah Al-Jaatsiyah (45): 18 yang berbunyi sebagai berikut:
ثُمَّ جَعَلْنكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.
Akan tetapi, istilah syari'at dalam bentuk fi'il (kata kerja, شَرَعَ، شَرَعُوا) disebut dua kali, yakni di Surah Asy-Syuura (42): 13, 21, dalam bentuk isim (kata benda, شُرَّعًا) disebut satu kali, yaitu di Surah Al-A'raaf (7): 163 dan dalam bentuk kata syir'ah disebut satu kali di Surah Al-Maa'idah (5): 48. Terjemahan beberapa ayat ini sebagai berikut:
Asy-Syuura (42): 13: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Asy-Syuura (42): 21: Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Al-`A'raaf (7): 163: Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.  
Al-Ma'idah (5): 48: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Syari'ah dan Fikih
Dewasa  ini, penggunaan istilah syari'ah disamakan maknanya dengan istilah fikih sehingga ketika seseorang berbicara tentang syari'ah, maka yang dibicarakan adalah masalah fikih. Padahal, ruang lingkup syari'ah lebih luas di banding ruang lingkup fikih, sebagaimana tercermin dari definisi berikut:

 الشَّرِيْعَةُ مَاشَرَعَ اللهُ تَعَالى لِعِبَادِهِ مِنَ الْاَحْكَامِ الَّتِىْ جَاءَتْ بِهَا نَبِىٌّ مِنَ الْاَنْبِيَاءِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِمْ وَعَلى نَبِيِّنَا وَسَلَّمَ، سَوَاءٌ كَانَتْ مُتَعَلِّقَةً بِكَيْفِيَّةِ عَمَلٍ وَتُسَمَّى فَرْعِيَّةً وَدُوِّنَ لَهَا عِلْمُ الْفِقْهِ اَوْبِكَيْفِيَّةِ الْاِعْتِقَادِ وَتُسَمَّى أَصْلِيَّةً وَاعْتِقَادِيَّةً وَدُوِّنَ لَهَا عِلْمُ الْكَلَامِ وَيُسَمَّى اَيْضًا بِالْمِلَّةِ وَالدِّيْنِ
Syari'at ialah apa (hukum-hukum) yang disyari'atkan (diadakan) oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya, yakni Nabi Saw., baik hukum-hukum itu berhubungan dengan bagaimana cara melaksanakan perbuatan. Hukum ini disebut sebagai "hukum-hukum cabang" dan untuk hukum yang cabang inilah ilmu fikih dihimpun, atau pun yang berhubungan dengan bagaimana caranya menjalankan i'tikad (kepercayaan). Syari'at ini disebut sebagai "hukum-hukum pokok" dan "keyakinan," dan untuk inilah ilmu kalam dihimpun. Syara' (syari'at) disebut pula sebagai agama (millah dan dîn).
الفِقْهُ هُوَ فِى اللَّغَةِ عِبَارَةٌ عَنْ فَهْمِ غَرْضِ الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلَامِهِ. وَفِى الْاِصْطِلَاحِ هُوَ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَاالتَّفْصِيْلِيَّةِ وَهُوَ عِلْمٌ مُسْتَنْبَطٌ بِالرَّأْيِ وَالْاِجْتِهَادِ وَيَحْتَاجُ فِيْهِ اِلَى النَّظَرِ وَالتَّأَمُّلِ وَلِهَذَا لَايَجُوْزُ أَنْ يُسَمَّى اللهُ فَقِيْهًا لِأَنَّهُ لاَيَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ
Fikih, menurut bahasa, adalah faham akan tujuan pembicaraan seorang pembicara. Menurut istilah, fikih adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang berkenaan dengan perbuatan, melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fikih adalah ilmu yang dihasilkan melalui pemikiran dan usaha sungguh-sungguh (ijtihad), yang memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu, Allah tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli fikih), karena bagi Allah tidak ada sesuatu yang tidak jelas.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ruang lingkup syari'at lebih luas dibanding fikih. Syari'at meliputi Ilmu Kalam (Tauhid) dan Ilmu Fikih sehingga fikih merupakan bagian dari syari'at. Bahkan, syari'at disebut pula sebagai Agama (al-millah dan al-din). Dalam kata lain, syari'at adalah apa yang disyari'atkan Allah Swt (مَاشَرَعَ اللهُ). Apa yang disyari'atkan Allah ini bukan saja berkaitan dengan Ilmu Kalam dan Fikih/Ilmu Fikih, tetapi juga dengan Akhlak/Ilmu Akhlak. Dengan demikian, ruang lingkup syari'at meliputi tiga aspek, yaitu aspek aqidah/ilmu kalam, fikih/ilmu fikih dan akhlak/ilmu akhlak.
Walaupun begitu, dewasa ini, dalam penggunaannya syari'at dibatasi pada aspek hukum atau aspek fikih saja sehingga istilah hukum syara' disamakan maknanya dengan istilah hukum fikih.
Adapun tujuan disyari'atkannya hukum-hukum syara', yang biasa dikenal dengan istilah maqashid asy-syari'ah (مَقَاصِدُ الشَّرِيْعَةِ), dapat ditelusuri di dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwâfaqât mengatakan bahwa para ulama telah melakukan penyelidikan terhadap Al-Qur'an dan al-Sunnah tentang tujuan disyari'atkannya hukum-hukum syara', yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan di dunia ini maupun di akhirat nanti. Al-Syatibi membagi tingkatan kemaslahatan yang akan diwujudkan untuk manusia ini menjadi tiga, yaitu kebutuhan dharûriyah, kebutuhan hâjiyah, dan kebutuhan tahsîniyah. Kebutuhan dharûriyah adalah kebutuhan primer, kebutuhan yang harus ada, yang kalau tidak ada akan mengancam kemaslahatan manusia. Menurut al-Syatibi, kebutuhan dharûriyah ini meliputi lima hal pokok, yaitu: 1) Hifzh al-dîn (memelihara agama, حفظ الدّين); 2) Hifzh al-nafs (memelihara jiwa, حفظ النّفس); 3) Hifzh al-'aql (memelihara akal, حفظ العقل); 4) Hifzh al-nasl (memelihara kehormatan atau keturunan, حفظ النّسل); dan 5) Hifzh al-mâl (memelihara harta, حفظ المال). Untuk memelihara lima pokok kebutuhan manusia inilah syari'at Islam diturunkan. Dalam rangka memelihara lima pokok kebutuhan manusia ini pula para ulama merumuskan prinsip dharûrah (keterpaksaan, ضرورة), yakni dalam kondisi dan situasi terpaksa manusia diperbolehkan melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang (darurat itu membolehkan suatu yang dilarang, الضرورة تبيح المحظورات). Di samping prinsip dharurat ini para ulama juga merumuskan prinsip fleksibilatas hukum, seperti kaidah "Hukum itu mengikuti keberadaan 'illah (alasannya). Jika ada 'illah, maka hukum itu ada. Akan tetapi, jika 'illah itu tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada" (الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما).
Kebutuhan hâjiyah adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak akan mengancam kemaslahatan manusia, tetapi tetap akan mempersulit kehidupan manusia. Adanya hukum rukhshah (رخصة, keringanan) merupakan bukti syari'at Islam mempermudah urusan manusia. Misalnya, dalam hal ibadah mahdhah umat Islam diberi keringanan untuk menqashar dan menjama' shalat ketika musafir, diperbolehkan tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain bagi orang yang sakit dan musafir, tidak diwajibkannya menunaikan ibadah haji bagi yang tidak mampu, dan sebagainya. Dalam hal ibadah mu'amalah umat Islam diberi kelonggaran atau pilihan dengan berbagai kontrak (akad), seperti macam-macam pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa, perseroan (syirkah), mudhârabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi laba), dan lain-lain. Dalam hal 'uqubah (sangsi hukum) Islam membolehkan diyat (bayar denda) bagi pembunuhan tidak sengaja dan menangguhkan, bahkan membatalkan, hukum potong tangan bagi pencuri terpaksa (yang terpaksa mencuri untuk menyelamatkan jiwanya atau jiwa keluarganya dari kelaparan).
Kebutuhan tahsîniyah adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak akan mengancam kemaslahatan manusia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Kebutuhan tahsîniyah ini merupakan kebutuhan pelengkap, seperti hal-hal yang berkaitan dengan kepatutan menurut adat istiadat dan berhias sesuai tuntunan moral atau etika. Umpamanya, dianjurkan berhias-diri ketika hendak ke masjid, dianjurkan berpakaian yang layak sesuai jati-dirinya atau sesuai status sosialnya, dianjurkan memperbanyak ibadah sunnah, dianjurkan memerdukan suara ketika membaca Al-Qur'an, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan atau manfaat syari'at adalah untuk mewujudkan kemaslahatn kehidupan manusia, baik untuk kehidupannya di dunia ini maupun di akhirat nanti. Atas dasar tujuan disyari'atkannya syari'at inilah para ulama merumuskan prinsip dharurah dan fleksibilitas hukum. Jadi, dengan syari'at hidup akan maslahat. Wa Allâhu a'lam bi 'al-shawâb.

Daftar Bacaan:
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970
Syâthibi, Ibrâhîm bin Mûsâ, Abû Ishâq al-, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî'ah, Mesir, al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1975
Zahrah, Al-Imâm Muhammad Abu, Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Fikr al-'Arabî, t.t.
Zein, Satria Effendi, M., Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates