DZIKIR DAN TAQARRUB ILA
ALLAH
Oleh Dimyati Sajari
Secara umum, tidak ada perbedaan bagi orang awam maupun seorang sufi di
dalam berdzikir kepada Allah SWT. Umumnya, sama-sama bertujuan supaya
mendapatkan ketenangan. Namun, ketenangan hati bagi orang awam dengan orang
sufi bisa berbeda-beda bobotnya. Bagi orang awam, ketenangan hati itu mungkin
saja sudah dianggap cukup kalau di dalam hatinya tiada lagi ada kerisauan,
kegelisahan, kecemasan, keterburu-buruan, kepanikan atau kedengkian. Akibatnya,
ketika mereka telah mendapatkan ketenangan ini, maka mereka tiada merasa
berdosa apabila mereka berhenti berdzikir.
Akan tetapi,
bagi sufi ketenangan hati itu bukan sekadar dalam pengertian etis seperti yang
dipahami orang awam itu. Bagi sufi, ketenangan hati itu adalah keadaan berada
sedekat mungkin dengan Allah dan mampu berkomunikasi langsung dengan Allah. Di
sinilah dzikir dijadikan sebagai “makanan spiritual” bagi seorang sufi di dalam
taqarrub ila Allah, di dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Inilah
yang akan diungkap lebih lanjut dalam tulisan ini).
“Makanan
Spiritual”
Oleh karena
dzikir merupakan “makanan spiritual,” maka bagi sufi tiada istilah berhenti
berdzikir. Bahkan, tiada waktu sedetikpun tanpa berdzikir kepada-Nya. Dalam
konteks inilah ucapan Abu Yazid al-Bisthami, “Orang-orang bertobat dari
dosa-dosa mereka dan aku bertobat dari kelalaianku berdzikir kepada-Nya,” dapat
dipahami. Artinya, seorang sufi memandang bahwa kelalaian berdzikir kepada-Nya
berarti memutus inti tujuan sang sufi itu sendiri, yakni taqarrub ila Allah,
sehingga kelalaian berdzikir dipandang sebagai sebuah dosa.
Bagi Sufi,
tujuan taqarrub ila Allah itu sendiri adalah supaya berada sedekat
mungkin dengan Allah. Berada sedekat mungkin dengan Allah ini dimaksudkan agar
sang salik atau sang sufi menyadari benar bahwa ia berada di haribaan
(hadhirat) Allah dan supaya bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. Dalam
tasawuf, kesadaran diri berada di haribaan Allah dan mampu berkomunikasi
langsung dengan Allah ini ada yang mengambil bentuk ma‘rifah atau musyahadah
dan ada pula yang mengambil bentuk ittihad, hulul atau wahdat
al-wujud.
Berada sedekat mungkin dengan Allah atau berada di
haribaan Allah dan mampu berhubungan (berkomunikasi) langsung dengan Allah itu
diperoleh berkat upaya sungguh-sungguh seseorang (sang salik atau sang
sufi) di dalam menyucikan hatinya atau rohaninya. Artinya, upaya penyucian hati
atau rohani dijadikan wahana untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Allah,
untuk bisa berada di haribaan Allah dan atau untuk bisa berkomunikasi langsung
dengan Allah. Upaya penyucian hati atau rohani ini didasarkan pada dua falsafah
bahwa, pertama, Tuhan itu bersifat rohani, bukan jasadi atau materi.
Oleh karena Allah itu bersifat rohani, maka bagian manusia yang bisa
mendekatkan diri dan berkomunikasi langsung dengan Allah adalah bagian
rohaninya, bukan bagian jasmaninya. Kedua, Allah itu bersifat Mahasuci.
Oleh sebab Allah itu Mahasuci, maka yang diterima oleh Allah untuk
mendekati-Nya atau berhubungan langsung dengan-Nya hanyalah yang berhati dan
berjiwa (berohani) suci.
Penyucian
Hati
Berdasarkan dua falsafah itulah orang yang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah atau berhubungan langsung dengan Allah melakukan
penyucian hati yang sungguh-sungguh tiada henti di setiap waktu dan tempat
sepanjang hari. Penyucian hati atau rohani ini sendiri berarti membersihkan
hati atau nurani dari hal-hal yang duniawi, yang syahwati atau dari segala hal
yang bukan Ilahi. Oleh karena hati dan nurani merupakan dimensi batiniah
manusia, maka pembersihan hati dan nurani ini merupakan kerja batin manusia,
bukan kerja badan lahiriah manusia.
Meski begitu, batiniah manusia tidak akan bisa bekerja
tanpa keterlibatan dimensi lahiriahnya. Oleh sebab itu, walau pada dasarnya
pembersihan dan penyucian hati atau rohani ini merupakan kerja batin, tetapi
dalam pelaksanaannya melibatkan anggota bagian luar. Sudah tentu, pembersihan
hati dari hal-hal yang duniawi, yang syahwati atau yang bukan Ilahi ini tidak
mudah dan tidak bisa diusahakan sekaligus. Diperlukan waktu yang lama dan jalan
yang panjang berjenjang, sedikit demi sedikit, tingkat demi tingkat atau tahap
demi tahap. Tahapan-tahapan perjalanan panjang yang harus dilalui sang salik
(sang pejalan menuju Tuhan) inilah disebut maqam-maqam atau maqamat.
Tentang maqam-maqam itu para sufi tidak menyebutkan
tingkatan-tingkatan atau jumlah tingakatan yang sama. Abu al-Qasim Abd al-Karim
al-Qusyairi, misalnya, menyebutkan maqam-maqam itu sebagai berikut: taubat, wara‘, zuhud, tawakkal, sabar dan
ridha. Sementara Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi menyebutkan maqam-maqam ini
teridiri dari taubat, zuhud, sabar, kefakiran, tawadhu‘, taqwa, tawakkal,
ridha, mahabbah dan ma‘rifah. Adapun Abu Hami al-Ghazali mengemukakan maqam-maqam
ini sebagai berikut: taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah,
ma‘rifah dan ridla.
Dari ketiga sufi itu saja dapat dilihat adanya perbedaan
di antara sufi tentang maqam-maqam. Akan tetapi, perbedaan itu tidak perlu
dipandang sebagai sesuatu yang secara substansial bertentangan --karena hal itu sangat terkait dengan
kemampuan dan pengalaman spiritual secara individual masing-masing sufi
sekaligus sangat terkait dengan kondisi dan situasi yang mengitari masing-masing
sufi-- melainkan justeru harus dilihat
pada aspek kesamaannya, yakni aspek bahwa untuk sampai kepada Tuhan itu perlu
perjuangan panjang dan tidak gampang. Dengan kata lain, adanya maqam-maqam yang
bertingkat-tingkat itu menunjukkan bahwa tahapan-tahapan menuju Tuhan itu
begitu sulit dan berliku, begitu berat dan memerlukan waktu yang tidak singkat.
Bisa saja seorang sufi memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berpindah dari
maqam yang satu ke maqam yang berikutnya. Selama ia beluim bisa memenuhi
persyaratan yang diperlukan secara sempurna di suatu maqam yang disinggahinya,
maka ia belum bisa berpindah ke maqam yang berikutnya. Atau, seperti dinyatakan
oleh al-Qusyairi, selama seorang sufi belum memenuhi huku-hukum maqam yang
sedang disinggahinya, maka ia belum bisa beranjak ke maqam berikutnya.
Umpamanya, siapa yang belum sepenuhnya qana‘ah, maka ia belum bisa
meningkat ke tahap tawakkal. Siapa yang belum sepenuhnya bertawakkal,
maka tidak ber-taslim. Siapa yang belum sepenuhnya wara‘, maka ia
belum bisa ke tahap zuhud. Begitu seterusnya untuk maqam-maqam
berikutnya.
Keadaan
Spiritual
Di samping itu, kepindahan seorang sufi dari maqam yang
satu ke maqam yang berikutnya tergantung pula kepada anugerah Allah yang
diterimanya di setiap maqam yang dilewatinya. Artinya, walau maqam-maqam pendekatan
diri kepada Allah itu merupakan bentuk usaha dan ketaatan sang sufi, tetapi
setiap sufi juga mengakui dan menyadari bahwa ketaatannya itu semata-mata
karena anugerah Allah SWT. Bila bukan karena anugerah-Nya, maka ia tidak akan
bisa melakukan ketaatan kepada-Nya atau ia tidak akan bisa mendekatkan dirinya
kepada-Nya. Namun, anugerah Allah yang paling utama dalam kaitannya dengan
maqam-maqam ini adalah dalam bentuk “keadaan spiritual” yang dialami sang sufi
di setiap maqam yang disinggahinya. Keadaan spiritual sang sufi yang disebut hal
ini tidak seperti maqam-maqam sufi yang bersifat permanen, tetapi hanya
bersifat sementara.
Anugerah Allah yang datangnya semata-mata tergantung
kepada kehendak Allah dan tidak bisa diusahakan itu bentuknya akan berbeda-beda
sesuai dengan maqam-maqam yang disinggahi sang sufi, meski “istilahnya” tidak
berbeda. Misalnya, sang sufi merasakan perasaan cemas (qabdh). Meski
sama-sama merasakan kecemasan, tetapi kecemasan yang dialaminya akan berbeda
ketika ia masih berada pada maqam taubat dengan ketika ia berada pada maqam
tawakkal. Jadi, hal (keadaan spiritual) sang sufi pun pada dasarnya
“bergantung” kepada maqam (kedudukan spiritual) yang telah dan sedang
disinggahi sang sufi.
“Tiang
Penopang”
Berkaitan dengan hal dan maqam itu terdapat
sebuah amalan yang sangat penting yang diamalkan sang sufi di setiap maqam yang
telah dan sedang dilewatinya, yang tanpa
amalan ini ia tidak akan sampai kepada Tuhan. Amalan yang amat penting ini
adalah dzikr Allah, dzikir kepada Allah. Dzikir ini, sebagaimana
dikemukakan Syekh Abu Ali al-Daqaq yang dikutip al-Qusyairi, merupakan tiang
penopang yang sangat kuat di jalan menuju Allah. Sungguh dzikir itu merupakan
landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah SWT
tanpa dengan terus menerus berdzikir kepada Allah SWT. “Sesungguhnya hidup tanpa ingatan
kepada-Nya”, kata Sanai, “adalah angin”. Artinya, perjalanan menuju kepada-Nya
akan sia-sia atau tidak akan sampai kepada-Nya tanpa senantiasa mengingat-Nya. Oleh
karena itulah, dzikir (menyebut dan atau mengingat Allah) dijadikan sebagai “makanan
spiritual” bagi para sufi, sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Berkat makanan spiritualnya itu sang sufi akan mencapai
kejiwaan yang sempurna atau akan sampai kepada-Nya. Pencapaian ini disebabkan,
dzikir (makanan spiritual) itu merupakan cara membersihkan hati atau rohani
dari hal-hal yang duniawi, yang syahwati atau dari hal-hal yang bukan Ilahi
sehingga dengan berdzikir hatinya menjadi suci. Dengan kata lain, agar
seseorang itu tidak terus-menerus dihalangi oleh aspek-aspek yang duniawi, yang
syahwati atau hal-hal yang selain Ilahi, maka ia memerlukan cara untuk
mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal yang selain Ilahi ini. Cara ini
adalah dzikir kepada-Nya atau selalu ingat kepada-Nya.
Senantiasa berdzikir kepada-Nya itu --begitu pula berbagai doa dan ibadah
kepada-Nya-- dipandang sebagai cara
mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal yang bukan Ilahi disebabkan ingatan
yang terkonsentrasi hanya kepada-Nya itu bisa mengurangi proses pemikiran
terhadap segala hal yang bukan Dia. Jika pengingatan yang terkonsentrasi hanya
kepada-Nya ini dilakukan terus menerus, maka lama kelamaan pemikiran dan
kesadaran terhadap segala sesuatu yang selain-Nya akan sirna dengan sendirinya.
Oleh karena itulah, orang yang melakukan perjalanan menuju-Nya dituntut untuk
tidak mengingat segala sesuatu yang dapat dilihatnya, segala sesuatu
selain-Nya, dan dituntut untuk hanya berkonsentrasi kepada ingatan yang sejati,
yakni Allah SWT.
Tentu saja,
tuntutan itu khusus ditujukan kepada sang salik. Oleh sebab itu, ingatan
yang sejati (dzikr Allah) itu dipandang sebagai ibadah khusus bagi salik
(sang pejalan menuju Tuhan). Menurut Fadhlalla Haeri dalam bukunya The
Element of Sufism, dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mendapatkan
kemaslahatan ingatan yang sejati (dzikr Allah) atau ibadah khusus sang salik
ini. Dalam pandangan Haeri, setengah jam pertama merupakan waktu untuk
menenangkan diri, setengah jam kedua sang pedzikir mulai memasuki keadaan
meditasi dan setengah jam ketiga sang pedzikir biasanya tidak ada lagi pikiran
atau pandangan batinnya dan meditasi pun berlangsung. Kemudian, setengah jam
yang terakhir manfaat nyata dari dzikr Allah mulai muncul.
Manfaat nyata dzikr Allah itu berbeda-beda,
tergantung maqam yang sedang disinggahi sang salik. Bila ia telah sampai
pada maqam ma‘rifah, misalnya, maka ia bisa berhubungan langsung atau mengenal
langsung kepada Allah, tanpa ada tabir apa pun yang menghalanginya. Atau, bila
ia telah mencapai maqam ittihad, maka ia bisa “bersatu” dengan Tuhan.
Dengan demikian, hanya senantiasa berdzikir kepada-Nya saja sang salik
akan mencapai inti tujuan tasawuf, yaitu berada sedekat mungkin dengan Allah
atau, bahkan untuk beberapa sufi, bersatu dengan Allah. Bagi sufi, tercapainya
inti tujuan tasawuf inilah yang akan menghadirkan ketenangan hatinya dan inilah
tujuan seorang sufi berdzikir kepada Allah SWT. Wallahu a‘lam.
Pamulang, 10 Februari 2009
Baca artikel saya tentang Dzikir: Makanan Spiritual Sang Sufi di http://103.229.202.68/dspace/handle/123456789/32577
BalasHapus