Kamis, 01 Desember 2016

DZIKIR DAN TAQARRUB ILA ALLAH



Description: Picture 007DZIKIR DAN TAQARRUB ILA ALLAH
Oleh Dimyati Sajari

Secara umum, tidak ada perbedaan bagi orang awam maupun seorang sufi di dalam berdzikir kepada Allah SWT. Umumnya, sama-sama bertujuan supaya mendapatkan ketenangan. Namun, ketenangan hati bagi orang awam dengan orang sufi bisa berbeda-beda bobotnya. Bagi orang awam, ketenangan hati itu mungkin saja sudah dianggap cukup kalau di dalam hatinya tiada lagi ada kerisauan, kegelisahan, kecemasan, keterburu-buruan, kepanikan atau kedengkian. Akibatnya, ketika mereka telah mendapatkan ketenangan ini, maka mereka tiada merasa berdosa apabila mereka berhenti berdzikir.
Akan tetapi, bagi sufi ketenangan hati itu bukan sekadar dalam pengertian etis seperti yang dipahami orang awam itu. Bagi sufi, ketenangan hati itu adalah keadaan berada sedekat mungkin dengan Allah dan mampu berkomunikasi langsung dengan Allah. Di sinilah dzikir dijadikan sebagai “makanan spiritual” bagi seorang sufi di dalam taqarrub ila Allah, di dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Inilah yang akan diungkap lebih lanjut dalam tulisan ini).
“Makanan Spiritual”
Oleh karena dzikir merupakan “makanan spiritual,” maka bagi sufi tiada istilah berhenti berdzikir. Bahkan, tiada waktu sedetikpun tanpa berdzikir kepada-Nya. Dalam konteks inilah ucapan Abu Yazid al-Bisthami, “Orang-orang bertobat dari dosa-dosa mereka dan aku bertobat dari kelalaianku berdzikir kepada-Nya,” dapat dipahami. Artinya, seorang sufi memandang bahwa kelalaian berdzikir kepada-Nya berarti memutus inti tujuan sang sufi itu sendiri, yakni taqarrub ila Allah, sehingga kelalaian berdzikir dipandang sebagai sebuah dosa.
Bagi Sufi, tujuan taqarrub ila Allah itu sendiri adalah supaya berada sedekat mungkin dengan Allah. Berada sedekat mungkin dengan Allah ini dimaksudkan agar sang salik atau sang sufi menyadari benar bahwa ia berada di haribaan (hadhirat) Allah dan supaya bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. Dalam tasawuf, kesadaran diri berada di haribaan Allah dan mampu berkomunikasi langsung dengan Allah ini ada yang mengambil bentuk ma‘rifah atau musyahadah dan ada pula yang mengambil bentuk ittihad, hulul atau wahdat al-wujud.
            Berada sedekat mungkin dengan Allah atau berada di haribaan Allah dan mampu berhubungan (berkomunikasi) langsung dengan Allah itu diperoleh berkat upaya sungguh-sungguh seseorang (sang salik atau sang sufi) di dalam menyucikan hatinya atau rohaninya. Artinya, upaya penyucian hati atau rohani dijadikan wahana untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Allah, untuk bisa berada di haribaan Allah dan atau untuk bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. Upaya penyucian hati atau rohani ini didasarkan pada dua falsafah bahwa, pertama, Tuhan itu bersifat rohani, bukan jasadi atau materi. Oleh karena Allah itu bersifat rohani, maka bagian manusia yang bisa mendekatkan diri dan berkomunikasi langsung dengan Allah adalah bagian rohaninya, bukan bagian jasmaninya. Kedua, Allah itu bersifat Mahasuci. Oleh sebab Allah itu Mahasuci, maka yang diterima oleh Allah untuk mendekati-Nya atau berhubungan langsung dengan-Nya hanyalah yang berhati dan berjiwa (berohani) suci.
Penyucian Hati
            Berdasarkan dua falsafah itulah orang yang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah atau berhubungan langsung dengan Allah melakukan penyucian hati yang sungguh-sungguh tiada henti di setiap waktu dan tempat sepanjang hari. Penyucian hati atau rohani ini sendiri berarti membersihkan hati atau nurani dari hal-hal yang duniawi, yang syahwati atau dari segala hal yang bukan Ilahi. Oleh karena hati dan nurani merupakan dimensi batiniah manusia, maka pembersihan hati dan nurani ini merupakan kerja batin manusia, bukan kerja  badan lahiriah manusia.
            Meski begitu, batiniah manusia tidak akan bisa bekerja tanpa keterlibatan dimensi lahiriahnya. Oleh sebab itu, walau pada dasarnya pembersihan dan penyucian hati atau rohani ini merupakan kerja batin, tetapi dalam pelaksanaannya melibatkan anggota bagian luar. Sudah tentu, pembersihan hati dari hal-hal yang duniawi, yang syahwati atau yang bukan Ilahi ini tidak mudah dan tidak bisa diusahakan sekaligus. Diperlukan waktu yang lama dan jalan yang panjang berjenjang, sedikit demi sedikit, tingkat demi tingkat atau tahap demi tahap. Tahapan-tahapan perjalanan panjang yang harus dilalui sang salik (sang pejalan menuju Tuhan) inilah disebut maqam-maqam atau  maqamat.
            Tentang maqam-maqam itu para sufi tidak menyebutkan tingkatan-tingkatan atau jumlah tingakatan yang sama. Abu al-Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi, misalnya, menyebutkan maqam-maqam itu sebagai berikut:  taubat, wara‘, zuhud, tawakkal, sabar dan ridha. Sementara Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi menyebutkan maqam-maqam ini teridiri dari taubat, zuhud, sabar, kefakiran, tawadhu‘, taqwa, tawakkal, ridha, mahabbah dan ma‘rifah. Adapun Abu Hami al-Ghazali mengemukakan maqam-maqam ini sebagai berikut: taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma‘rifah dan ridla.
            Dari ketiga sufi itu saja dapat dilihat adanya perbedaan di antara sufi tentang maqam-maqam. Akan tetapi, perbedaan itu tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang secara substansial bertentangan   --karena hal itu sangat terkait dengan kemampuan dan pengalaman spiritual secara individual masing-masing sufi sekaligus sangat terkait dengan kondisi dan situasi yang mengitari masing-masing sufi--  melainkan justeru harus dilihat pada aspek kesamaannya, yakni aspek bahwa untuk sampai kepada Tuhan itu perlu perjuangan panjang dan tidak gampang. Dengan kata lain, adanya maqam-maqam yang bertingkat-tingkat itu menunjukkan bahwa tahapan-tahapan menuju Tuhan itu begitu sulit dan berliku, begitu berat dan memerlukan waktu yang tidak singkat. Bisa saja seorang sufi memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berpindah dari maqam yang satu ke maqam yang berikutnya. Selama ia beluim bisa memenuhi persyaratan yang diperlukan secara sempurna di suatu maqam yang disinggahinya, maka ia belum bisa berpindah ke maqam yang berikutnya. Atau, seperti dinyatakan oleh al-Qusyairi, selama seorang sufi belum memenuhi huku-hukum maqam yang sedang disinggahinya, maka ia belum bisa beranjak ke maqam berikutnya. Umpamanya, siapa yang belum sepenuhnya qana‘ah, maka ia belum bisa meningkat ke tahap tawakkal. Siapa yang belum sepenuhnya bertawakkal, maka tidak ber-taslim. Siapa yang belum sepenuhnya wara‘, maka ia belum bisa ke tahap zuhud. Begitu seterusnya untuk maqam-maqam berikutnya.
Keadaan Spiritual
            Di samping itu, kepindahan seorang sufi dari maqam yang satu ke maqam yang berikutnya tergantung pula kepada anugerah Allah yang diterimanya di setiap maqam yang dilewatinya. Artinya, walau maqam-maqam pendekatan diri kepada Allah itu merupakan bentuk usaha dan ketaatan sang sufi, tetapi setiap sufi juga mengakui dan menyadari bahwa ketaatannya itu semata-mata karena anugerah Allah SWT. Bila bukan karena anugerah-Nya, maka ia tidak akan bisa melakukan ketaatan kepada-Nya atau ia tidak akan bisa mendekatkan dirinya kepada-Nya. Namun, anugerah Allah yang paling utama dalam kaitannya dengan maqam-maqam ini adalah dalam bentuk “keadaan spiritual” yang dialami sang sufi di setiap maqam yang disinggahinya. Keadaan spiritual sang sufi yang disebut hal ini tidak seperti maqam-maqam sufi yang bersifat permanen, tetapi hanya bersifat sementara.
            Anugerah Allah yang datangnya semata-mata tergantung kepada kehendak Allah dan tidak bisa diusahakan itu bentuknya akan berbeda-beda sesuai dengan maqam-maqam yang disinggahi sang sufi, meski “istilahnya” tidak berbeda. Misalnya, sang sufi merasakan perasaan cemas (qabdh). Meski sama-sama merasakan kecemasan, tetapi kecemasan yang dialaminya akan berbeda ketika ia masih berada pada maqam taubat dengan ketika ia berada pada maqam tawakkal. Jadi, hal (keadaan spiritual) sang sufi pun pada dasarnya “bergantung” kepada maqam (kedudukan spiritual) yang telah dan sedang disinggahi sang sufi.
“Tiang Penopang”   
            Berkaitan dengan hal dan maqam itu terdapat sebuah amalan yang sangat penting yang diamalkan sang sufi di setiap maqam yang telah dan sedang  dilewatinya, yang tanpa amalan ini ia tidak akan sampai kepada Tuhan. Amalan yang amat penting ini adalah dzikr Allah, dzikir kepada Allah. Dzikir ini, sebagaimana dikemukakan Syekh Abu Ali al-Daqaq yang dikutip al-Qusyairi, merupakan tiang penopang yang sangat kuat di jalan menuju Allah. Sungguh dzikir itu merupakan landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah SWT tanpa dengan terus menerus berdzikir kepada Allah SWT.  “Sesungguhnya hidup tanpa ingatan kepada-Nya”, kata Sanai, “adalah angin”. Artinya, perjalanan menuju kepada-Nya akan sia-sia atau tidak akan sampai kepada-Nya tanpa senantiasa mengingat-Nya. Oleh karena itulah, dzikir (menyebut dan atau mengingat Allah) dijadikan sebagai “makanan spiritual” bagi para sufi, sebagaimana telah dikemukakan di atas.
            Berkat makanan spiritualnya itu sang sufi akan mencapai kejiwaan yang sempurna atau akan sampai kepada-Nya. Pencapaian ini disebabkan, dzikir (makanan spiritual) itu merupakan cara membersihkan hati atau rohani dari hal-hal yang duniawi, yang syahwati atau dari hal-hal yang bukan Ilahi sehingga dengan berdzikir hatinya menjadi suci. Dengan kata lain, agar seseorang itu tidak terus-menerus dihalangi oleh aspek-aspek yang duniawi, yang syahwati atau hal-hal yang selain Ilahi, maka ia memerlukan cara untuk mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal yang selain Ilahi ini. Cara ini adalah dzikir kepada-Nya atau selalu ingat kepada-Nya.
            Senantiasa berdzikir kepada-Nya itu    --begitu pula berbagai doa dan ibadah kepada-Nya--   dipandang sebagai cara mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal yang bukan Ilahi disebabkan ingatan yang terkonsentrasi hanya kepada-Nya itu bisa mengurangi proses pemikiran terhadap segala hal yang bukan Dia. Jika pengingatan yang terkonsentrasi hanya kepada-Nya ini dilakukan terus menerus, maka lama kelamaan pemikiran dan kesadaran terhadap segala sesuatu yang selain-Nya akan sirna dengan sendirinya. Oleh karena itulah, orang yang melakukan perjalanan menuju-Nya dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu yang dapat dilihatnya, segala sesuatu selain-Nya, dan dituntut untuk hanya berkonsentrasi kepada ingatan yang sejati, yakni Allah SWT.
Tentu saja, tuntutan itu khusus ditujukan kepada sang salik. Oleh sebab itu, ingatan yang sejati (dzikr Allah) itu dipandang sebagai ibadah khusus bagi salik (sang pejalan menuju Tuhan). Menurut Fadhlalla Haeri dalam bukunya The Element of Sufism, dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mendapatkan kemaslahatan ingatan yang sejati (dzikr Allah) atau ibadah khusus sang salik ini. Dalam pandangan Haeri, setengah jam pertama merupakan waktu untuk menenangkan diri, setengah jam kedua sang pedzikir mulai memasuki keadaan meditasi dan setengah jam ketiga sang pedzikir biasanya tidak ada lagi pikiran atau pandangan batinnya dan meditasi pun berlangsung. Kemudian, setengah jam yang terakhir manfaat nyata dari dzikr Allah mulai muncul.
            Manfaat nyata dzikr Allah itu berbeda-beda, tergantung maqam yang sedang disinggahi sang salik. Bila ia telah sampai pada maqam ma‘rifah, misalnya, maka ia bisa berhubungan langsung atau mengenal langsung kepada Allah, tanpa ada tabir apa pun yang menghalanginya. Atau, bila ia telah mencapai maqam ittihad, maka ia bisa “bersatu” dengan Tuhan. Dengan demikian, hanya senantiasa berdzikir kepada-Nya saja sang salik akan mencapai inti tujuan tasawuf, yaitu berada sedekat mungkin dengan Allah atau, bahkan untuk beberapa sufi, bersatu dengan Allah. Bagi sufi, tercapainya inti tujuan tasawuf inilah yang akan menghadirkan ketenangan hatinya dan inilah tujuan seorang sufi berdzikir kepada Allah SWT. Wallahu a‘lam.
Pamulang, 10 Februari 2009

1 komentar:

  1. Baca artikel saya tentang Dzikir: Makanan Spiritual Sang Sufi di http://103.229.202.68/dspace/handle/123456789/32577

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates