JUAL
BELI KREDIT*
Akad atau transaksi jual beli ada yang dilakukan secara
tunai dan ada yang secara hutang. Akad atau traksaksi jual beli dengan cara
berutang ini biasa disebut jual beli secara kredit. Dengan demikian, jual beli
secara kredit merupakan bagian dari jual beli secara umum. Pada kesempatan ta‘allum
kali ini jual beli secara kredit akan kita bahas bersama-sama.
Pengertian.
Sebelum membahas jual beli secara kredit, maka perlu
dipahami terlebih dulu apa yang dimaksud dengan jual beli secara umum dan jual
beli kredit secara khusus. Di kalangan ulama Hanafiyah terdapat dua pengertian
jual beli. Pertama, jual beli adalah “saling menukar harta dengan harta
melalui cara tertentu.” Kedua, jual beli adalah “tukar-menukar sesuatu
yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.” Dari
pengertian ini bisa dipahami bahwa jual beli itu harus dilakukan dengan ijab
(pernyataan membeli dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari
penjual), atau melalui saling memberikan barang dan harga antara penjual dan
pembeli. Adapaun barang yang dijualbelikan harus yang bermanfaat, sehingga
bangkai, minuman keras, dan darah tidak termasuk barang yang boleh
dijualbelikan, karena tidak bermanfaat bagi manusia (Muslim). Kalau
barang-barang ini dijual belikan, maka --menurut ulama Hanafiyah-- tidak sah
jual belinya.
Sementara itu, menurut jumhur ulama (ulama Malikiyah,
Syafi‘iyah dan Hanbaliyah), pengertian jual beli adalah “saling tukar menukar
harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.” Pengertian ini
menekankan pada kata “milik dan pemilikan,” karena ada tukar-menukar harta yang
sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa-menyewa.
Adapun jual beli secara kredit adalah “tukar-menukar
sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat
dengan pembayaran harga yang telah disepakati bersama tidak secara tunai,
tetapi ditangguhkan sampai waktu tertentu yang disepakati dan ditentukan kedua
belah pihak.” Terkadang jual beli secara kredit ini pihak penjual menerima
sebagian harganya secara tunai, sedangkan sisanya dibayar secara angsuran.
Namun, terkadang pihak penjual sama sekali tidak menerima uang muka dan seluruh
harganya dibayar secara kredit. Jual beli secara kredit ini tidak sama dengan
pinjam-meminjam dan tidak sama pula dengan jual beli pesanan yang harganya
dibayar lunas terlebih dulu sebelum penyerahan barangnya. Dalam hal jual beli
secara kredit, yang ditangguhkan adalah pembayaran harganya, bukan penyerahan
barangnya.
Bentuk Jual Beli Kredit.
Jual
beli secara kredit ada dua bentuk, yaitu:
1. Jual
beli kredit dengan ketentuan pihak penjual (kreditur) tidak mengambil
keuntungan/tambahan harga dari penangguhan pembayaran dari pihak pembeli
(dibitur).
2. jual
beli kredit dengan ketentuan pihak penjual mengambil keuntungan/tambahan harga
dari pihak pembeli sebagai akibat dari penangguhan pembayaran. Misalnya,
seseorang menjual rumahnya 100 juta jika dibayar secara tunai dan 110 juta jika
dibayar secara kredit selama setahun. Di sini pihak penjual mengambil
penambahan 10 juta sebagai akibat penangguhan pembayaran selama setahun.
Rukun dan Syarat.
Rukun
dan syarat jual beli kredit adalah:
1. Dua
orang yang berakad (debitur dan kreditur) berakal, baligh, tidak dalam keadaan
bodoh atau marah, dan memiliki ikhtiar (melaksanakan akad dengan kehendak
sendiri, bukan karena paksaan).
2. Barang
yang dijualbelikan suci zatnya, bermanfaat, milik sendiri secara sempurna,
dapat diserahterimakan, dan dapat diketahui sifat, jenis, kadar dan
kualitasnya.
3. Ada ijab
dan qabul. Ijab adalah ungakapan dari pihak penjual sebagai simbol
keikhlasannya menyerahkan miliknya kepada pihak pembeli. Sedangkan qabul adalah
ungkapan dari pihak pembeli sebagai simbol kerelaannya menerima barang itu
sebagai miliknya. Ijab-qabul ini sah apabila: a) terjadi kesinambungan (ittishal) antara keduanya; b) terjadi
kesesuaian, baik dario segi harga, waktu dan cara pembayarannya; c) ucapan yang
digunakan keduanya dalam bentuk masa lampau, bukan masa yang akan datang.
4. Ada
harga yang disepakati kedua belah pihak yang pembayarannya ditangguhkan.
Syaratnya: jelas jumlahnya, jelas masa pembayarannya dan cara angsurannya serta
ditetapkan atas dasar kerelaan bersama, tidak ada yang merasa dipaksa.
Hukum Jual Beli kredit.
Jual
beli secara kredit merupakan bagian dari jual beli secara umum. Oleh karena
merupakan bagian dari jual beli, maka ulama sepakat bahwa jual beli secara
kredit itu disyariatkan di dalam Islam. Mereka juga sepakat membolehkan jual
beli secara kredit dalam bentuk pertama, yakni pihak penjual tidak mengambil
tambahan harga sebagai akibat penangguhan pembayaran. Mereka berdasar pada
ayat:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berutang itu mengimplakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada utangnya…” (QS 2:282).
Di
samping itu, mereka juga berdasar sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang melepaskan
seseorang muslim dari suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskannya dari
kesulitan di akhirat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada seseorang dari
kesulitan, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat.
Allah selalu bersama hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya” (HR Muslim, Abu Daud dan
al-Tirmidzi).
“Seorang muslim yang memberi
piutang terhadap muslim lain sebanyak dua kali, maka seolah-olah ia telah
bersedekah sekali”
(HR Abu Daud).
Mengenai
jula beli kredit dalam bentuk kedua, yaitu pihak penjual mengambil tambahan
harga sebagai konsekuensi penangguhan pembayaran dari pihak pembeli, juga
dibolehkan oleh ulama Hanafiyah, Syafi‘iyah dan jumhur fuqaha’. Syaratnya: ada
kesepakatan kedua belah pihak, baik tentang harga dan jangka waktu pembayarannya.
Mereka berdasar pada:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu denga jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu…” (QS
4:29).
“Sesungguhnya jual beli itu
tergantung pada kesepakatan dan kerelaan kedua bel;ah pihak” (HR Ibnu Hibban).
Meskipun
mereka membolehkan jual beli kredit dalam bentuk kedua, tetapi mereka tidak
setuju kalau pihak penjual menetapkan harga kredit secara semena-mena. Menurut
mereka, Islam tidak menghendaki jual beli semacam ini mengarah kepada
kepentingan bisnis semata, tanpa mempedulikan aspek sosialnya. Harga kredit
yang terlalu tinggi, melebihi di atas harga standar, menimbulkan kesan adanya
kelaliman. Oleh karena itu, mereka memandang haram hukumnya bila pihak penjual
menetapkan harga di atas harga standar (kebiasaan di pasar). Mereka berdasar
pada:
Anas ra bercerita bahwa di masa Rasulullah SAW harga
bahan-bahan pokok di Madinah melonjak tinggi. Lalu masyarakat mengadu kepada
Rasulullah SAW dan meminta kepada Rasulullah agar mematok harga di pasar.
Rasulullah menjawab: “Hanya Allahlah yang berhak menetapkan harga. Aku berharap
kelak di akhirat tidak seorangpun yang menuntutku tentang kelaliman terhadap darah dan harta” (HR Bukhari,
Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Abu Daud).
Penolakan
Rasulullah untuk menetapkan harga karena takut dianggap penganiaya terhadap
jiwa dan harta itu dipahami sebagai bentuk keharaman menetapkan harga secara
semena-mena.
Akan
tetapi, Imam Malik membolehkan pihak penjual menentukan harga menurut
keinginannya, meski hal itu menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Alasannya,
pemilik harta berhak bertindak atas hartanya, termasuk menentukan harga
kreditnya.
Perpanjangan/Percepatan Waktu.
Bila
pihak pembeli karena keadaan belum mampu membayar pada waktu yang telah
disepakati bersama, maka boleh meminta perpanjangan waktu dan pihak penjual
boleh meminta tambahan keuntungan sebagai imbalan perpanjangan waktu tersebut.
Namun, Islam lebih suka jika pihak penjual tidak mengambil tambahan harga
dengan adanya perpanjangan waktu itu, sebab hal itu akan kian menyulitkan pihak
pembeli membayar hutangnya. Allah berfirman:
“Dan jika (orang berutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”
(QS 2:280).
Bila
karena kondisi pihak penjual meminta percepatan pembayaran dan dia bersedia
menurunkan jumlah hutang sebagai imbalan percepatan pembayaran, maka jumhur
ulama fiqh mengatakan: “Penurunan jumlah utang sebagai imbalan atas penyegeraan
jangka waktu pembayaran tidak dibolehkan.” Menurut mereka, pengurangan jumlah
utang yang akan dibayar kepada pihak penjual dalam keadaan demikian termasuk
perbuatan aniaya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka jual beli secara kredit dibolehkan. Hanya saja, jumhur
ulama mensyaratkan agar tidak ada pihak yang dilalimi dan agar harga tidak
ditentukan secara semena-mena. Wallau a‘lam.
Ciputat, 19 Maret 2006.
Makalah ini disadur oleh Dimyati Sajari dari Ensiklopedi
Hukum Islam untuk bahan Ta‘allum di MT Mushalla Al-Jihad Ciputat,
Ahad, 21 Agustus 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar