Kamis, 01 Desember 2016

JUAL BELI KREDIT



JUAL BELI KREDIT*

            Akad atau transaksi jual beli ada yang dilakukan secara tunai dan ada yang secara hutang. Akad atau traksaksi jual beli dengan cara berutang ini biasa disebut jual beli secara kredit. Dengan demikian, jual beli secara kredit merupakan bagian dari jual beli secara umum. Pada kesempatan ta‘allum kali ini jual beli secara kredit akan kita bahas bersama-sama.

Pengertian.
            Sebelum membahas jual beli secara kredit, maka perlu dipahami terlebih dulu apa yang dimaksud dengan jual beli secara umum dan jual beli kredit secara khusus. Di kalangan ulama Hanafiyah terdapat dua pengertian jual beli. Pertama, jual beli adalah “saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.” Kedua, jual beli adalah “tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.” Dari pengertian ini bisa dipahami bahwa jual beli itu harus dilakukan dengan ijab (pernyataan membeli dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari penjual), atau melalui saling memberikan barang dan harga antara penjual dan pembeli. Adapaun barang yang dijualbelikan harus yang bermanfaat, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah tidak termasuk barang yang boleh dijualbelikan, karena tidak bermanfaat bagi manusia (Muslim). Kalau barang-barang ini dijual belikan, maka --menurut ulama Hanafiyah-- tidak sah jual belinya.
            Sementara itu, menurut jumhur ulama (ulama Malikiyah, Syafi‘iyah dan Hanbaliyah), pengertian jual beli adalah “saling tukar menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.” Pengertian ini menekankan pada kata “milik dan pemilikan,” karena ada tukar-menukar harta yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa-menyewa.
            Adapun jual beli secara kredit adalah “tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat dengan pembayaran harga yang telah disepakati bersama tidak secara tunai, tetapi ditangguhkan sampai waktu tertentu yang disepakati dan ditentukan kedua belah pihak.” Terkadang jual beli secara kredit ini pihak penjual menerima sebagian harganya secara tunai, sedangkan sisanya dibayar secara angsuran. Namun, terkadang pihak penjual sama sekali tidak menerima uang muka dan seluruh harganya dibayar secara kredit. Jual beli secara kredit ini tidak sama dengan pinjam-meminjam dan tidak sama pula dengan jual beli pesanan yang harganya dibayar lunas terlebih dulu sebelum penyerahan barangnya. Dalam hal jual beli secara kredit, yang ditangguhkan adalah pembayaran harganya, bukan penyerahan barangnya.

Bentuk Jual Beli Kredit.
Jual beli secara kredit ada dua bentuk, yaitu:
1.       Jual beli kredit dengan ketentuan pihak penjual (kreditur) tidak mengambil keuntungan/tambahan harga dari penangguhan pembayaran dari pihak pembeli (dibitur).
2.       jual beli kredit dengan ketentuan pihak penjual mengambil keuntungan/tambahan harga dari pihak pembeli sebagai akibat dari penangguhan pembayaran. Misalnya, seseorang menjual rumahnya 100 juta jika dibayar secara tunai dan 110 juta jika dibayar secara kredit selama setahun. Di sini pihak penjual mengambil penambahan 10 juta sebagai akibat penangguhan pembayaran selama setahun.

Rukun dan Syarat.
            Rukun dan syarat jual beli kredit adalah:
1.       Dua orang yang berakad (debitur dan kreditur) berakal, baligh, tidak dalam keadaan bodoh atau marah, dan memiliki ikhtiar (melaksanakan akad dengan kehendak sendiri, bukan karena paksaan).
2.       Barang yang dijualbelikan suci zatnya, bermanfaat, milik sendiri secara sempurna, dapat diserahterimakan, dan dapat diketahui sifat, jenis, kadar dan kualitasnya.
3.       Ada ijab dan qabul. Ijab adalah ungakapan dari pihak penjual sebagai simbol keikhlasannya menyerahkan miliknya kepada pihak pembeli. Sedangkan qabul adalah ungkapan dari pihak pembeli sebagai simbol kerelaannya menerima barang itu sebagai miliknya. Ijab-qabul ini sah apabila: a) terjadi kesinambungan  (ittishal) antara keduanya; b) terjadi kesesuaian, baik dario segi harga, waktu dan cara pembayarannya; c) ucapan yang digunakan keduanya dalam bentuk masa lampau, bukan masa yang akan datang.
4.       Ada harga yang disepakati kedua belah pihak yang pembayarannya ditangguhkan. Syaratnya: jelas jumlahnya, jelas masa pembayarannya dan cara angsurannya serta ditetapkan atas dasar kerelaan bersama, tidak ada yang merasa dipaksa.

Hukum Jual Beli kredit.
            Jual beli secara kredit merupakan bagian dari jual beli secara umum. Oleh karena merupakan bagian dari jual beli, maka ulama sepakat bahwa jual beli secara kredit itu disyariatkan di dalam Islam. Mereka juga sepakat membolehkan jual beli secara kredit dalam bentuk pertama, yakni pihak penjual tidak mengambil tambahan harga sebagai akibat penangguhan pembayaran. Mereka berdasar pada ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimplakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya…” (QS 2:282).
            Di samping itu, mereka juga berdasar sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang melepaskan seseorang muslim dari suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskannya dari kesulitan di akhirat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada seseorang dari kesulitan, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Allah selalu bersama hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya” (HR Muslim, Abu Daud dan al-Tirmidzi).
“Seorang muslim yang memberi piutang terhadap muslim lain sebanyak dua kali, maka seolah-olah ia telah bersedekah sekali” (HR Abu Daud).
            Mengenai jula beli kredit dalam bentuk kedua, yaitu pihak penjual mengambil tambahan harga sebagai konsekuensi penangguhan pembayaran dari pihak pembeli, juga dibolehkan oleh ulama Hanafiyah, Syafi‘iyah dan jumhur fuqaha’. Syaratnya: ada kesepakatan kedua belah pihak, baik tentang harga dan jangka waktu pembayarannya. Mereka berdasar pada:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu denga jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (QS 4:29).
“Sesungguhnya jual beli itu tergantung pada kesepakatan dan kerelaan kedua bel;ah pihak” (HR Ibnu Hibban).
            Meskipun mereka membolehkan jual beli kredit dalam bentuk kedua, tetapi mereka tidak setuju kalau pihak penjual menetapkan harga kredit secara semena-mena. Menurut mereka, Islam tidak menghendaki jual beli semacam ini mengarah kepada kepentingan bisnis semata, tanpa mempedulikan aspek sosialnya. Harga kredit yang terlalu tinggi, melebihi di atas harga standar, menimbulkan kesan adanya kelaliman. Oleh karena itu, mereka memandang haram hukumnya bila pihak penjual menetapkan harga di atas harga standar (kebiasaan di pasar). Mereka berdasar pada:
            Anas ra bercerita bahwa di masa Rasulullah SAW harga bahan-bahan pokok di Madinah melonjak tinggi. Lalu masyarakat mengadu kepada Rasulullah SAW dan meminta kepada Rasulullah agar mematok harga di pasar. Rasulullah menjawab: “Hanya Allahlah yang berhak menetapkan harga. Aku berharap kelak di akhirat tidak seorangpun yang menuntutku tentang kelaliman  terhadap darah dan harta” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Abu Daud).
            Penolakan Rasulullah untuk menetapkan harga karena takut dianggap penganiaya terhadap jiwa dan harta itu dipahami sebagai bentuk keharaman menetapkan harga secara semena-mena.
            Akan tetapi, Imam Malik membolehkan pihak penjual menentukan harga menurut keinginannya, meski hal itu menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Alasannya, pemilik harta berhak bertindak atas hartanya, termasuk menentukan harga kreditnya.

Perpanjangan/Percepatan Waktu.
            Bila pihak pembeli karena keadaan belum mampu membayar pada waktu yang telah disepakati bersama, maka boleh meminta perpanjangan waktu dan pihak penjual boleh meminta tambahan keuntungan sebagai imbalan perpanjangan waktu tersebut. Namun, Islam lebih suka jika pihak penjual tidak mengambil tambahan harga dengan adanya perpanjangan waktu itu, sebab hal itu akan kian menyulitkan pihak pembeli membayar hutangnya. Allah berfirman:
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS 2:280).
            Bila karena kondisi pihak penjual meminta percepatan pembayaran dan dia bersedia menurunkan jumlah hutang sebagai imbalan percepatan pembayaran, maka jumhur ulama fiqh mengatakan: “Penurunan jumlah utang sebagai imbalan atas penyegeraan jangka waktu pembayaran tidak dibolehkan.” Menurut mereka, pengurangan jumlah utang yang akan dibayar kepada pihak penjual dalam keadaan demikian termasuk perbuatan aniaya.
            Berdasarkan uraian di atas, maka jual beli secara kredit dibolehkan. Hanya saja, jumhur ulama mensyaratkan agar tidak ada pihak yang dilalimi dan agar harga tidak ditentukan secara semena-mena. Wallau a‘lam.

Ciputat, 19 Maret 2006.

Makalah ini disadur oleh Dimyati Sajari dari Ensiklopedi Hukum Islam untuk bahan Ta‘allum di MT Mushalla Al-Jihad Ciputat, Ahad, 21 Agustus 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates