Kamis, 24 November 2016

TERMINOLOGI TAKWA

MAKNA DAN TUJUAN TAKWA
Oleh Dimyati Sajari
(Ketua Harian LPTQ Tangerang Selatan dan Dosen FITK UIN Jakarta)
Makna takwa sering dimaknakan dengan "imtitsâl al-awâmiri wa 'jtinâbu al-nawâhî," seperti dikemukakan oleh Al-Imamaini al-Jalalaini dalam kitabnya Tafsir al-Qur'an al-Karim (Al-Imamaini al-Jalalaini, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Kudus: Makatabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1896, h. 2). Atas dasar makna ini, orang beriman di dalam meningkatkan ketakwaannya ditempuh dengan cara "meningkatan pelaksanaan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya." Hasilnya, orang yang dipandang paling bertakwa adalah orang yang paling banyak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Akan tetapi, apakah memang seperti itu persepsi al-Qur'an tentang takwa dan orang yang berkawa? Boleh jadi tidak hanya seperti itu. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas perspektif al-Qur'an tentang makna dan tujuan takwa.
Pengartian, Arti dan Pengertian Takwa
Kata takwa, semisal dikemukakan Fazlur Rahman, merupakan istilah tunggal yang terpenting di dalam al-Qur'an (Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, Bandung: Pustaka, 1996, h. 43). Di dalam al-Qur'an kata takwa ini digunakan dalam bentuk isim (kata benda) dan fi'il (kata kerja) sebanyak 233 kali (Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur'an al-Karim), yang penyebutannya kira-kira sama banyaknya dengan penyebutan kata iman, amal, shalat dan zakat (Murtadha Muthahhari, Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: Lentera, 1999, h. 12).
Menurut Murtadha Muthahhari, di dalam pengartian atau terjemahan-terjemahan bahasa Persia, jika kata takwa itu digunakan dalam bentuk isim, sebagaimana kata taqwa dan atau muttaqin, maka diartikan dengan arti "menjauhi." Contohnya, ungkapan hudan li al-muttaqin diartikan dengan "petunjuk bagi orang-orang yang menjauhi (larangan)." Namun, bila kata ini digunakan dalam bentuk fi'il, terutama dalam bentuk fi'il amr yang muta'alliq-nya disebutkan, maka diartikan dengan "takut." Misalnya, ungkapan ittaqi Allah atau ittaqu al-nar diartikan menjadi "takutlah kepada Allah" atau "takutlah kepada neraka" (Murtadha Muthahhari, Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, h. 13-14).
Di dalam bahasa Indoensia, kata takwa dalam bentuk fi'il amr juga diartikan dengan "takut." Namun, dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama, ketika kata takwa dalam bentuk fi'il amr itu dikaitkan dengan zharaf zaman, maka ada yang diartikan dengan "takut" dan ada yang diartikan dengan "penjagaan diri." Umpamanya yang diartikan dengan "takut" adalah ayat: "wattaqu yawman la tajzi nafsun 'an nafsin syay'a" (dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun) (QS 2: 123). Adapun contoh yang diartikan dengan "penjagaan diri" atau "pemeliharaan diri" adalah ayat: "Wattaqu yawman la tajzi nafsun 'an nafsin syay'a" (dan jagalah dirimu dari azab hari kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun) (QS 2: 48) dan ayat: "wattaqu yawman turja'una fihi ila Allah" (dan peliharalah dirimu dari—azab yang terjadi pada—hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah) (QS 2: 281).
Dari pengartian di dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya itu, tampaknya pengartian pada Surat al-Baqarah ayat 48 dan 281 itulah yang paling tepat. Hal ini sesuai yang dikatakan Muthahhari bahwa kata takwa itu berasal dari akar kata waqyan, yang berarti menjaga dan memelihara. Arti dari kata ittaqa adalah penjagaan. Dengan demikian, ungkapan seperti ittaqu Allah dan ittaqu al-nara berarti "peliharalah dirimu dari siksa balasan Ilahi" dan "peliharalah dirimu dari siksa neraka." Atas dasar ini, Muthahhari menyatakan bahwa terjemahan yang benar dari kata takwa ialah menjaga dan memelihara diri, dan kata muttaqin berarti orang-orang yang menjaga dan memelihara diri (Murtadha Muthahhari, Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, h. 14).
Makna yang diberikan Muthahhari itu sejalan dengan yang dikemukakan Fazlur Rahman. Menurut Rahman, akar kata taqwa adalah wqy yang berarti "berjaga-jaga atau melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat." Rahman menyatakan bahwa tepat sekali makna takut kepada Allah dalam pengertian takut kepada akibat-akibat perbuatan sendiri, baik akibat-akibat di dunia maupun di akhirat (Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, h. 43).
Definisis atau pengertian takwa menurut Muthahhari dan Rahman itu sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurut Abduh, akar kata taqwa adalah waqa yaqi wiqayah yang berarti jauh atau menjauhi kesusahan (kemadharatan) atau menolak kesusahan. Kemudian, Abduh memberikan makna kata takwa dalam bentuk amr-nya (ittaqi) yang dinisbahkan kepada kata Allah (ittaqi Allahi) dengan "takut kepada azab dan siksa-Nya." Bagi Abduh, penyandaran kata takwa kepada Allah ini adalah untuk menunjukkan betapa besar azab dan siksa-Nya, yang kalau tidak demikian maka manusia tidak akan takut kepada Allah, tidak akan mengakui kekuasaan-Nya dan tidak akan tunduk kepada kehendak-Nya. Dari sini Abduh mendefinisikan orang yang bertakwa sebagai "orang yang menjaga dirinya dari siksa" (man yahma nafsahu min al-'iqab) (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Juz I, h. 124-5).
Pendefinisian Abduh tentang orang yang bertakwa dengan "orang yang menjaga dirinya dari azab dan siksa-Nya" itu menunjukkan bahwa konsep takwa, sebagaimana dikatakan Toshihiko Izutsu, berkaitan erat dengan visi eskatologis (Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concpts in the Qur'an, Montreal: McGill University Press, 1966, h. 195). Dengan demikian, bila kata takwa ini diartikan dengan takut, maka takut yang tidak biasa, tapi takut yang bersifat eskatologis, yakni takut akan azab dan siksa Allah di akhirat nanti. (Menurut Izutsu, takwa tidak bias diartikan dengan "takut yang biasa," sebab untuk "takut yang biasa" ini di dalam al-Qur'an terdapat kata tersendiri yang lebih tepat, yaitu kata khasyyah dan khawf. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concpts in the Qur'an, h. 196). Namun, Abduh tidak berkesimpulan semacam ini. Artinya, Abduh tidak memandang takwa itu sebagai ketakutan yang bersifat eskatologis belaka, melainkan bersifat duniawi pula sehingga bersifat duniawi ukhrawi atau dunia akhirat. Dengan demikian, orang yang bertakwa, dalam pandangan Abduh, tidak hanya menjaga diri dari azab dan siksa-Nya di akhirat nanti, tetapi juga di dunia ini (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Juz I, h. 125).
Oleh karena itulah orang yang bertakwa berarti orang yang memiliki rasa tanggung jawab dunia akhirat, dan sebab rasa tanggung jawabnya inilah orang yang bertakwa, sebagaimana dikatakan Rahman, disebut sebagai makhluk yang bermoral. Dalam konteks inilah Rahman memandang takwa sebagai konsep sentral moralitas bagi manusia ( Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1995, h. 187), meski bukan sebagai konsep moralitas yang bersifat positif, melainkan yang bersifat negatif. Artinya, karena takwa itu berarti menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang akan mengakibatkan tidak baik pula kepadanya, maka takwa itu merupakan moralitas yang bersifat negatif atau, dalam istilah Mustansir Mir, merupakan kebajikan yang bersifat negatif (negative virtue). (Menurut Mustansir Mir, karena takwa itu berarti menahan diri dari tindakan-tindakan yang tidak baik dan mengekang diri dari ketamakan-ketamakan diri, maka takwa itu merupakan sebuah kebajikan negatif, negative virtue. Namun, Mir pun mengatakan bahwa di dalam al-Qur'an kebajikan negatif (takwa) ini sering disebut bersamaan dengan kebajikan yang bersifat posistif, positive virtue, semisal, "Orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik" (QS 7: 35; 4: 128, 129; 5: 93; 16: 128). Kalimat "berbuat baaik" di sini dipandang Mir sebagai kebajikan positif. Mustansir Mir, Dictionary of Qur'anic Terms and Concepts, USA: Garland Reference Library of the Humanities, 1987, h. 157).
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa takwa itu tidak diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi justeru dengan cara sebaliknya, yaitu dengan cara menjauhi larangan-larangan-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Atau, dalam istilah Abduh, "dengan cara menjauhi apa yang dilarang-Nya dan mengikuti apa yang diperintah-Nya" (bi 'jtinabi ma nuhiya wattiba'i ma umira) (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Juz I, h. 125).
Hakikat dan Penggunaan Kata Takwa
Berdasarkan pengertian takwa di atas, maka dapat dikatakan bahwa takwa itu pada hakikatnya bersifat negatif atau merupakan sebuah kebajikan yang negatif (a negative virtue), yang perwujudannya lebih menekankan "peninggalan larangan" dibanding "pelaksanaan perintah." Kemudian, supaya orang yang beriman itu dapat menjauhi larangan-Nya (dan melaksanakan perintah-Nya), maka dapat mengambil dua bentuk. Pertama, menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat atau perbuatan-perbuatan dosa dengan cara menjauhkan diri dari lingkungan (masyarakat) dan hal-hal yang akan mengakibatkan dosa. Dalam bentuk "ekstrimnya," penjauhan semisal ini mengambil bentuk "pengucilan diri dari masyarakat dan orang banyak." Sudah tentu, realisasi takwa semacam ini tidak dapat disalahkan dikarenakan kualitas ketakwaan, sebagaimana dikatakan Quraish Shihab, merupakan "kualitas keimanan" (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, h. 128). Artinya, kalau tidak begitu dia bias terkena dosa, seperti halnya orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan yang berpenyakit menular dapat tertulari penyakit menular tersebut. Apalagi Allah berfirman, "bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS al-Taghabun: 61) dan kemampuan mereka adalah dengan cara mengucilkan diri dari masyarakat orang banyak. Oleh karena itu, cara mereka ini tidak dapat disalahkan, meski cara ini dapat dipandang sebagai perwujudan kualitas keimanan/ketakwaan yang masih lemah.
Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat (buruk dan jahat) dengan cara senantiasa melatih diri menjauhi perbuatan tersebut sehingga, dengan latihan ini, terbentuk kualitas keimanan dan rohani yang kuat. Kualitas keimanan dan rohani seseorang yang kuat ini akan menjaga orang tersebut dari perbuatan dosa dan maksiat sehingga orang tersebut terjaga dari kemaksiatan, meski hidup di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan peralatan dan fasilitas kemaksiatan. Dengan demikian, orang tersebut tidak perlu menjauhi, apalagi mengucilkan diri dari, masyarakat. Bahkan, mereka ini adalah orang-orang yang beriman yang senantiasa berbuat kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Inilah "hakikat ketakwaan" yang sebenarnya, yang menurut Muhammad al-Ghazali (Muhammad Al-Ghazali, Nahw Tafsir Mawdhu'i li Suwar Al-Qur'an Al-Karim, Kairo: Dar al-Syuruq, 1995, h. 17), sepadan maknanya dengan "hakikat kebajikan" (haqiqat al-birri). Pandangan Muhammad al-Ghazali ini berdasarkan Firman Allah: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS 2: 177).
Jadi, berdasarkan ayat itu hakikat takwa sama dengan hakikat birr. Dengan kata lain, kata takwa sinonim dengan kata birr atau hakikat ketakwaan sama dengan hakikat kebajikan. Dalam istilah lain, seperti dikatakan Toshihiko Izutsu, orang-orang yang memiliki cirri-ciri birr dan orang-orang yang memiliki cirri-ciri takwa pada dasarnya adalah sama. Izutsu juga mengatakan bahwa, dengan mengutip pendapat Ibn Taymiyah, kata takwa bila digunakan secara "mutlak," maka maknanya sama dengan birr (dan iman). Namun, bila digunakan secara tidak mutlak, maka makna takwa berbeda dengan makna birr. Misalnya, dalam ayat: "dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) birr dan takwa" (QS 5: 2). Ayat yang menyebutkan birr dan takwa secara bersama-sama semacam ini, menurut Ibn Taymiyah yang dinukil Izutsu, merupakan dua konsep yang berbeda satu sama lain, yang masing-masing secara khusus digunakan sebagai syarat yang penyebutannya secara tidak mutlak, yang diartikan dalam arti sempit atau maknanya tidak sama dengan syarat yang lainnya. Umpamanya, ayat "in tashbiru wa tattaqu" (QS 3: 120, 125, 186), "in tu'minu wa tattaqu" (QS 3: 179, 47: 36), "in tuhsinu wa tattaqu" (QS 4: 128) dan "in tushlihu wa tattaqu" (QS 4: 129), maka makna takwa di sini berbeda maknanya dengan kata sabar, iman, ihsan dan ishlah.
Di samping bermakna berbeda, penyebutan secara iqtiranan itu menunjukkan pula bahwa konsep takwa berkaitan dengan konsep-konsep lain, terutama dengan konsep keimanan. Penyebutan yang terutama berkaitan dengan konsep keimanan ini --Izutsu bahkan mengatakan bahwa semuanya berkaitan dengan konsep kunci "iman"-- dikarenakan konsep ketakwaan, seperti kata Quraish di atas, merupakan kualitas keimanan. Oleh karena merupakan kualitas keimanan, maka di beberapa ayat disebutkan bahwa orang yang beriman identik dengan orang yang bertakwa, semisal ayat: "Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa (= beriman) itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat" (QS 2: 212) dan "Orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa" (QS 10: 63, 27: 53 dan 41: 18).
Namun, di beberapa ayat orang-orang beriman belum mencapai taraf ketakwaan sehingga mereka inilah yang diperintah untuk bertakwa. Umpamanya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman" (QS 2: 278); "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya" (QS 3: 102); dan "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya" (QS 5: 35).
Dalam konteks supaya orang yang beriman bertakwa itulah orang yang beriman diperintah untuk beribadah supaya mereka benar-benar bertakwa. Misalnya, "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa" (QS 2: 21) dan "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (QS 2: 183). Diperintahnya orang beriman untuk beribadah ini dikarenakan ibadah, seperti kata Abduh, akan menyampaikan orang beriman tersebut kepada ketakwaan (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Juz I, h. 186).
Tingkatan dan Ciri-ciri Ketakwaan
Adanya orang-orang beriman yang telah mencapai derajat ketakwaan dan ada yang belum benar-benar bertakwa itu menunjukkan bahwa takwa mempunyai tingkatan-tingkatan, yang menurut Quraish Shihab sesuai dengan tingkat pengabdian dan kedekatan seseorang kepada Allah. Quraish menyebutkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa "iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah ketakwaan." Quraishpun mengatakan, "Kalau takwa diibaratkan sebagai pakaian, maka jelas pakaian bermacam ragam dan kualitasnya, demikian pula halnya dengan takwa" (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, h. 129).
Pendapat Quraish tentang tingkatan-tingkatan ketakwaan itu berdasarkan ayat yang menyebutkan ciri-ciri orang bertakwa. Bila cirri-ciri orang bertakwa di ayat 133-135 Surah Ali Imran, di Surah al-Baqarah ayat 2-4 dan di Surah al-Baqarah ayat 177 dirangkum menjadi satu, maka terdapat 14 ciri atau tanda orang bertakwa, yaitu:
1.         Beriman kepada Allah.
2.         Beriman kepada malaikat-malaikat Allah.
3.         Beriman kepada kitab-kitab Allah.
4.         Beriman kepada rasul-rasul Allah.
5.         Beriman kepada hari akhir.
6.         Mendirikan shalat.
7.         Menunaikan zakat.
8.         Menginfakkan sebagian rizki (harta) yang dicintainya, baik di waktu lapang atau sempit, kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibn sabil (musafir) dan peminta-minta.
9.         Mampu menahan amarahnya (lapang dada), bahkan memaafkan orang yang melakukan kesalahan atau kalau dapat, berbuat baik terhadap mereka.
10.     Bila melakukan dosa dia segera sadar dan memohon ampun kepada Allah.
11.     Tidak berkelanjutan melakukan hal-hal yang diketahuinya sebagai dosa.
12.     Memerdekakan hamba sahaya.
13.     Menepati janji bila berjanji.
14.     Bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Keindahan dan Tujuan Takwa
Melihat 14 ciri atau tanda ketakwaan itu dapat dipahami bahwa orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang terhiasi dengan kebajikan-kebajikan, baik kebajikan yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Kebajikan negatif, sebagaimana telah dijelaskan, adalah kebajikan yang timbul dari penghindaran diri dari larangan-larangan-Nya, sementara kebajikan positif adalah kebajikan yang timbul dari pelaksanaan perintah-perintah-Nya atau dari perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan demikian, orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang bajik, orang-orang yang telah terhiasi dengan pakaian kebajikan, yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai pakaian takwa. Pendeknya, orang yang bertakwa adalah orang yang telah berpakaian ketakwaan, sebuah pakaian yang terbaik yang diturunkan oleh Tuhan, yang tidak saja berfungsi sebagai penutup aurat (keaiban, ketercelaan, kemaksiatan), tetapi juga berfungsi sebagai keindahan (perhiasan), sebagaimana Firman-Nya: "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat" (QS 7: 26).
Jadi, orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang terhiasi dengan pakaian-pakaian kebajikan (ketakwaan), sehingga yang nampak dalam diri mereka hanyalah keindahan-keindahan ketakwaan atau pakaian ketakwaan (libas al-taqwa). Oleh karena mereka telah terbungkus dengan pakaian ketakwaan, maka merekapun dianugerahi oleh Allah dengan kemampuan membedakan antara yang benar dengan yang salah, antara yang baik dengan yang buruk, atau antara yang "kanan" dengan yang "kiri." Merekapun akan dihapus segala kesalahannya dan diampuni segala dosanya, semisal Firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar" (QS 8: 29).
Bila segala kesalahan dan dosa diampuni, maka otomatis akan dimasukkan ke dalam sorga. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada sorga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa" (QS 3: 133). Itulah sebabnya Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya, karena Allah hanya akan memberikan keberuntungan kepada mereka. "Dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan" (QS 3: 130). Keberuntungan yang dimaksud di sini adalah sorga Allah Swt, seperti Firman-Nya: "Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah" (QS 3: 15).
Di sorga itulah wajah mereka berseri-seri, karena cita-cita mereka untuk memperoleh nikmat terbesar, yakni memandang wajah-Nya, dikabulkan Allah. (Menurut Imam Al-Ghazali, memandang wajah Allah (al-nazhru ila wajhi Allah) merupakan kenikmatan yang terbesar (a'zhamu na'im) bagi orang yang masuk sorga, terutama bagi pecinta yang telah begitu lama merindukan-Nya bertemu dengan-Nya. Imam Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz IV, Semarang: Toha Putera, t.t., h. 305-307). "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat" (QS 75: 22-23). Boleh dikata, memandang wajah Allah inilah tujuan orang masuk sorga. Oleh karena yang masuk sorga hanya orang yang bertakwa, maka tepat sekali bila dikatakan bahwa bisa memandang Allah itu merupakan tujuan orang-orang bertakwa. (Dalam pandangan Al-Ghazali, tujuan masuk sorga bagi 'arif dan pecinta adalah berjumpa kembali dengan Allah dan mendapatkan kebahagiaan karena berjumpa dengan-Nya. Di bagian lain Al-Ghazali mengatakan bahwa kebahagiaan yang sebenarnya di negeri akhirat (al-sa'adah fi dari al-baqa') adalah berjumpa dengan Allah dan kesengsaraan yang sebenarnya (al-syaqawah) adalah terhalanginya untuk bertemu dengan-Nya. Imam Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz IV, h. 137 dan 4). Dengan kata lain, dapat "berkumpul" dan kembali lagi kepada Allah merupakan tujuan orang-orang bertakwa. "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali" (QS 2: 156).
Akan tetapi, di dunia pun mereka juga memiliki tujuan, yaitu secara pribadi supaya mereka mendapatkan jalan keluar dari segala persoalan, memperoleh rizki dari segala arah yang tidak disangka-sangka, mendapatkan kemudahan dalam segala urusan, dihapus segala kesalahan dan pahalanya dilipatgandakan (QS 65: 2-5). Kemudian, secara kolektif tujuan takwa adalah supaya diberkahi Allah dari segala arah. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi" (QS 7: 91).
Pembinaan Takwa
Melihat betapa mulia dan indahnya tujuan orang bertakwa itu, maka perlu dilakukan pembinaan ketakwaan secara terus menrus supaya lahir pribadi-pribadi dan masyarakat bertakwa. Caranya adalah, sesuai makna dan pengertian takwa di atas, dengan senantiasa meginternalisasikan akan azab dan siksa-Nya yang amat dahsyat, yang hanya bisa dihindari melalui penjauhan larangan-larangan-Nya dan pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Melalui cara inilah manusia dapat selamat dari azab dan siksa-Nya.
Untuk itu, diperlukan adanya pengetahuan tentang sebab-sebab yang menimbulkan azab dan siksa Allah tersebut. Menurut Abduh, takut kepada azab dan siksa Allah ini, baik siksa dunia maupun akhirat, berarti "takut" kepada sebab-sebabnya, yakni memelihara diri dari sebab-sebab yang menimbulkan siksa-Nya (bittiqa'i asbabih), yang meliputi dua hal, yaitu sebab melanggar agama dan syariat-Nya (mukhalafatu dini Allahi wa syar'ihi) serta sebab melanggar hokum-hukum-Nya atau sunah-sunah-Nya yang diberlakukan pada ciptaan-Nya (mukhalafatu ssunanihi fi nizhami khalqihi), yng sering disebut Sunnatullah atau hukum alam. Dalam pandangan Abduh, menjaga diri dari siksa akhirat adalah dengan cara menjaga diri melalui keimanan yang benar (al-iman al-shalih), tauhid yang murni, amal shalih, menjauhi kemusyrikan, kekufuran, kemaksiatan dan kekejian. Adapun siksa dunia dijaga melalui pengetahuan terhadap sunah-sunah Allah di dunia (alam) ini, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan badan dan keseimbangan ciptaan (yang berpasang-pasangan) serta hukum sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks itulah Abduh memberikan contoh tentang takwa yag berkaitan dengan makanan yang baik, semisal Firman-Nya yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS 5: 87), dan haramnya khamar, seperti Firman-Nya yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS 5: 90).
Artinya, makanan dan minuman itu berkaitan dengan kesehatan badan sehingga orang yang beriman harus menjaga diri dari makanan dan minuman yang tidak baik dan tidak halal. Kemudian, minuman-minuman keras, perjudian dan kemusyrikan berkaiatn secara langsung dengan keteraturan kehidupan sosial sehingga orang-orang beriman diwajibkan menjauhi perbuatan-perbuatan syaitan tersebut.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti kata takwa yang benar bukanlah "takut," tetapi "menjaga dan memelihara diri," yakni menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan berakibat tidak baik pula terhadapnya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan mendatangkan azab dan siksa-Nya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dunia maupun akhirat.
Beranjak dari arti dan pengertian takwa itu berarti realisasi dan pembinaan ketakwaan tidak diawali dengan pelaksanaan perintah-perintah-Nya baru kemudian meninggalkan larangan-larangan-Nya, tetapi justeru sebaliknya, yakni dengan mendahulukan peninggalan larangan-larangan-Nya dibanding pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Jadi, pengertian dan pembinaan takwa yang benar adalah meninggalkan larangan-larangan-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Oleh karena itu, ketakwaan dipandang sebagai kebajikan yang bersifat negatif. Atau, hakikat takwa adalah kebajikan negatif. Dengan demikian, orang-orang yang bertakwa adalah yang telah terhiasi dengan kebajikan-kebajikan negatif, dan hiasan ini adalah pakaian takwa. Adapun tujuan orang yang bertakwa ini di dunia, secara pribadi, supaya diberi jalan keluar atas segala kesulitan, dimudahkan segala urusan, memperoleh rizki dari arah yang tidak terduga sebelumnya, diampuni segala kesalahan dan dosanya. Sementara itu, secara kolektif, supaya diberkahi Allah dari segala arah langit dan bumi. Sedangkan tujuan finalnya adalah masuk sorga dan berjumpa Allah di dalam sorga. Berjumpa kembali dengan Allah di dalam sorga ini merupakan nikmat yang terbesar dari Allah yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Wallahu a'lam.

4 komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates