SYI‘AH:
ASAL USULNYA DAN AJARAN SYI‘AH ZAIDIYAH
Oleh Dimyati Sajari
A.
Pendahuluan
Kata Syi‘ah, dari segi bahasa, bisa
berarti “kaum, sahabat, pengikut, penolong, dan atau pendukung”. Akan tetapi,
dari segi terminologi, kata Syi‘ah dipergunakan untuk “menunjuk kepada suatu
kelompok yang berkeyakinan bahwa imamah itu bukan didasarkan kepada
kemaslahatan umat dengan cara menyerahkan penunjukkannya kepada keinginan umat,
melainkan merupakan pilar agama dan suatu perkara yang penting dalam Islam—yang
tidak mungkin Nabi melupakannya (lupa tidak menunjuk penggantinya) dan tidak
mungkin pula Nabi menyerahkan urusan imamah ini kepada umat. Bahkan,
Nabi wajib menunjuk siapa penggantinya bagi mereka (umat) (Jali, 1988: 151).
Beranjak dari pendapatnya itu—Nabi menunjuk
penggantinya—kaum Syi’i lebih lanjut mengemukakan bahwa Nabi telah menunjuk Ali
sebagai penggantinya, sehingga kekhalifahan merupakan hak Ali dan keturunannya
(lewat istrinya Fatimah) berdasarkan wasiat dan penunjukkan.
Atas
dasar itulah Syahrastani (1996: 179) mendefinisikan kaum Syi’i sebagai “Kaum
yang berpandangan bahwa persoalan imamah dan kekhalifahan Ali
berdasarkan nash dan wasiat, baik secara terang-terangan
(terbuka) maupun secara tersembunyi. Mereka juga berkeyakinan bahwa imamah—jabatan
kepala dalam Syi‘ah disebut imam—itu tidak keluar dari anak keturunan Ali. Jika
imamah itu jatuh ke tangan orang (kelompok) lain, maka hal itu
dimungkinkan karena kezaliman mereka atau karena penyembunyian hak yang sah itu
oleh mereka (selain keturunan Ali).
Disebabkan
itulah, Harun Nasution (1985: 97) menulis, “Kaum Syi‘ah, berlainan dengan kaum
Khawarij, berpendapat bahwa jabatan Kepala Negara bukanlah hak tiap orang
Islam, bahkan pula tidak hak setiap orang Quraisy… Dalam paham kaum Syi‘ah, imamah
(jabatan Kepala Negara) adalah hak monopoli Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya”.
Dengan
demikian, bisa dipahami bahwa kaum Syi‘ah adalah “Kaum yang berpandangan
(berkeyakinan) bahwa imamah merupakan hak monopoli Ali dan keturunannya,
dan hak ini berdasarkan nash, wasiat atau penunjukkan”. Di samping itu, seperti
diungkap Thabathaba’ (1989: 32), “dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam
mereka mengikuti mazhab Ahlul Bait”, kecuali Syi‘ah Zaidiyah.
B.
Asal Usul Syi‘ah
Asal usul atau lahirnya Syi‘ah sama
dengan Khawarij, yaitu dilatarbelakangi persoalan politik. Lebih tepatnya,
persoalan tahkim antara Ali dan Muawiyah memunculkan lahirnya Khawarij
dan Syi‘ah, sehingga pada waktu itu umat Islam terbagi menjadi tiga
kelompok/golongan, yaitu Khawarij, Syi‘ah dan kelompok Muawiyah. Kelompok
Khawarij adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali, sedangkan kelompok Syi‘ah
adalah kelompok yang tetap setia terhadap Ali (Nasution, 1985: 95; Sou’yb,
1982: 11-12; Halm, 1991: 11).
Oleh karena
kaum Syi‘ah adalah kaum yang tetap setia kepada Ali pascatahkim, maka bisa
dikatakan bahwa lahirnya Syi‘ah adalah setelah peristiwa tahkim tersebut.
Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa lahirnya Syi‘ah adalah masa
terakhir kekhalifahan Khalifah Usman. Pendapat ini menjadi pegangan bagi kaum
yang mengaitkan asal-usulnya Syi‘ah dengan gerakan Abdullah bin Saba’ (Lihat
Jali, 1988: 154).
Walau begitu,
bibit-bibit lahirnya kaum Syi‘ah bisa ditelusuri semenjak sepeninggal Nabi.
Sebagaimana diketahui, setelah Nabi wafat (11 H) umat Islam “terpecah” menjadi
tiga golongan, yaitu golongan Anshar, golongan Muhajirin dan golongan Ali
(Amin, 1969: 252-253; Syalabi, 1983: 176-177; Jali, 1988: 153-154).
Kaum
Anshar adalah kaum yang berpendirian bahwa khilafah atau jabatan khalifah
merupakan hak mereka (kaum Anshar). Sementara dipihak lain, kaum Muhajirin
berpendirian bahwa jabatan Khalifah itu merupakan hak kaum Muhajirin.
Perdebatan di Saqifah Bani Sa’idah waktu itu “dimenangkan” pihak Muhajirin
dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah.
Ketika
umat Islam melakukan baiat terhadap Abu Bakar, keluarga Nabi (Ahlul Bait)—terutama
Ali dan isterinya, Fatimah—tidak mau membaiatnya. Alasannya adalah karena
mereka yang paling dekat dengan Nabi. Dan orang yang paling utama atau paling
mulia di antara Ahlul Bait adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian,
dalam pendirian Ahlul Bait, yang paling berhak menjadi pengganti Nabi
adalah Ali. Pendirian Ahlul Bait ini didukung sahabat-sahabat Nabi,
seperti Ammar, Abu Dzar, Salman al-Farisi, Jabir bin Abdullah, al-Abbas, Ubay
bin Ka’ab, Hudzaifah dan lain-lainnya (Lihat Amin, 1969: 267; Jali, 1988: 154;
Dabashi, 1993: 95). Pendukung-pendukung Ali (Ahlul Bait) ini, nampaknya,
merupakan cikal bakal lahirnya pendukung-pendukung “fanatik” Ali dan
keturunannya era pascatahkim.
Akan
tetapi, kaum Syi‘ah sendiri tidak melihat cikal bakal lahirnya Syi‘ah itu
setelah wafatnya Nabi. Seorang penulis dari kalangan Syi’i, Muhammad al-Husayn
Ali Kasyif al-Ghitha-i, sebagaimana dikutip Ahmad Jali (1988: 152), berpendapat
dalam kitabnya Ashl al-Syi‘ah wa Ushuluha bahwa “Peletak dasar asal usul
Syi‘ah adalah Nabi sendiri. Dalam pengertian, Nabilah yang menanamnya,
memeliharanya, dan memupuknya, sehingga berkembang baik pada masa Nabi sendiri,
dan berkembang lebih baik lagi sepeninggal Nabi”.
Ahmad
Jali mengutip penulis Syi’i yang lain, yaitu Muhammad Jawad Mughniyah, yang
lebih tegas lagi mengatakan, “Sesungguhnya Nabilah yang membangun dan
mengadakan Akidah Syi‘ah, dan yang meminta untuk mencintai Ali dan keturunanya…
Sekiranya bukan karena Nabi yang mengadakan Syi‘ah dan gerakannya, maka tidak
akan ada jejak dan pengaruhnya”.
Permintaan
Nabi adalah untuk mencintai Ali itu dipahami sebagai upaya Nabi agar apa yang
telah dijanjikan Nabi kepada Ali terwujud. Thabathaba’i (1989: 37) menjelaskan
tentang adanya janji kepada Nabi kepada orang-orang yang mula-mula menerima
ajakannya akan menjadi pewaris dan penerusnya. Ali adalah yang
pertama kali tampil ke depan dan memeluk Islam. Nabi menerima penyerahan diri
Ali dan kemudian memenuhi janjinya, yaitu ketika Ali berkata, “Aku adalah yang
termuda dari semua yang memeluk agama Islam dan akulah wazirmu. Nabi meletakkan
tangannya di pundak Ali dan berkata, “Orang ini adalah saudaraku, pewaris dan
khalifahku, kalian harus mentaatinya”. Orang-orang menertawakannya dan
berkata kepada Abu Thalib, “Ia telah menyuruhmu mematuhi putramu” (Lihat juga
Jali, 1988: 153).
Janji
pengangkatan Ali itu dipertegas kembali sepulang Nabi dari haji wada’. Menurut
sebuah riwayat yang sangat masyhur di kalangan Syi‘ah, Rasulullah SAW tatkala pulang
dari haji wada’ beristirahat di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khumm.
Waktu itu Nabi meminta umat Islam mendirikan kemah-kemah dan berkumpul.
Kemudian Nabi bersabda, “… Sesungguhnya Allah itu pemimpinku, dan aku adalah
pemimpin bagi setiap orang beriman”. Lalu beliau mengangkat tangan Ali bin Abi
Thalib seraya bersabda, “Barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya,
maka dia ini (Ali) adalah pemimpin baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang
mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya…” (al-Musawi, 1986: 37-38;
Halm, 1991: 8).
Menurut
Thabathaba’i (1989: 38), peristiwa Ghadir Khumm itu merupakan bukti
nyata tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi; sebagai pemimpin dan pelindung
umat. Thabathaba’i, untuk kajian lebih lanjut, menyebut Ghayatul-Maram,
Abaqat al-Musawi, dan al-Ghadir-nya Amini (Lihat juga al-Musawi,
1986: 38).
Atas
dasar itulah orang-orang Syi‘ah berpendirian bahwa kedudukan Ali sebagai
pengganti (Imam, Khalifah) Nabi berdasarkan nash (nash
Rasulullah); pengangkatan dan atau penunjukkan yang dilakukan Nabi sendiri.
Pengangkatan atau penunjukkan ini juga disebut wasiat, sehingga Ali
merupakan wasi (وصى) Nabi, yaitu pengganti
yang kepadanya dilimpahkan Nabi sepenuh kepercayaan. Wasi sesudah Ali
adalah Hasan, kemudian Husein dan seterusnya cucu-cucu Nabi (Nasution, 1985:
101). Ali, sebagai wasi Nabi, menunjuk wasi sesudahnya dan wasi
sesudah Ali menunjuk wasi berikutnya, dan begitu seterusnya sehingga
kedudukan imam itu selalu berdasarkan penunjukkan imam sebelumnya (Amin, 1969:
267).
Sebagai
pemegang wasiat, Ali mempunyai kedudukan yang diwarisi dari Nabi. Dalam arti,
Ali menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husein dari Ali, Ali Zainal Abidin
dari Husein, dan demikianlah imam-imam seterusnya (Lihat Nasution, 1985; 101-102).
Oleh karena itu, jika Nabi terbebas dari dosa (ma‘shum), maka Ali dan
para imam juga ma‘shum, sebab Ali mewarisi kemakshuman itu dari Nabi.
Bila Nabi merupakan sumber pembuat atau penegak hukum syari’at, maka demikian
pula penerima warisannya (Ali dan keturunan Ali). Sebab itulah, dalam pendangan
Syi‘ah, iman kepada imam (keimaman atau kewasiatan) merupakan bagian dari
akidah dan penyempurna dua kalimah syahadat (Jali, 1988: 152).
Itulah
gambaran umum pandangan kaum Syi‘ah. Pandangan itu, sesuai perkembangan
sejarahnya, melahirkan varibel-variabel yang berbeda, yang tiap-tiap variabel
mempunyai pendukungnya sendiri-sendiri. Pendukung variabel-variabel ini—atau variabel-variabelnya
itu sendiri—yang disebut golongan-golongan. Dengan demikian, dalam Syi‘ah
terdapat beberapa golongan, di antaranya golongan Syi‘ah Ghulat, Ismailiyah, Itsna
‘Asyariah, dan Zaidiyah. Berikut akan dibahas Syi‘ah Zaidiyah.
C.
Syi‘ah Zaidiyah
Syiah Zaidiyah adalah kelompok/golongan
dalam Syi‘ah pengikut Zaid bin Ali al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (w. 122
H/740 M). Zaid bin Ali ini adalah putera Imam keempat, Ali Zaenal Abidin bin
al-Husain, dari seorang “wanita sahaya” (ibu Zaid adalah seorang wanita dari
lembah Sind yang ketika terjadi penaklukkan wilayah itu menjadi tawanan perang.
Setelah dibawa ke Madinah ia dibeli oleh Ali bin al-Husain, yang kemudian
memerdekakannya dan menikahinya).
Zaid
bin Ali sejak mudanya amat mencintai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ia
tidak hanya belajar ddengan ulama-ulama di kota kelahirannya, Madinah, tapi
juga di Basrah dan Iraq. Ketekunannya belajar ini mengangkatnya ke derajat yang
tinggi dalam bidang ilmu fiqh. Ahmad Jali (1988: 245) menyatakan adanya
anggapan bahwa Abu Hanifah (w. 150 H) belajar ilmu kepada Zaid dan sangat
fanatik terhadap Zaid. Ahmad Jali juga menyebutkan posisi Zaid sebagai imam
mazhab fiqh bagi pengikut-pengikutnya.
Akan tetapi, Ahmad Jali juga menyatakan bahwa kaum Zaidiyah mengambil
fiqhnya Abu Hanifah, atau fiqh mereka lebih dekat dengan fiqhnya Abu Hanifah dibanding
dengan fiqh kaum Syi‘ah.
Dalam
bidang teologi, Zaid belajar kepada Washil bin Atha’ (80-131 H), sehingga
pemikiran teologinya—dan semua pengikutnya—menganut teologi mu’tazilah
(Syahrastani, 1996: 190), atau berkecenderungan ke Mu’tazilah. Syahrastani
mengemukakan bahwa kakaknya Zaid, Muhammad al-Baqir (w. 133 H) yang menjadi Imam
V, sangat mengecam belajarnya Zaid kepada Washil ini. Kecaman itu muncul karena
Zaid belajar ke Washil yang memandang berkemungkinannya Ali bin Abi Thalib
bersalah dalam perang Jamal dan Siffin. Pandangan ini bertentangan dengan
pandangan kaum Syi‘ah yang memandang Ali tidak bersalah.
Dekatnya
pemikiran fiqh Zaidiyah dengan fiqh Hanafi dan teologi Zaidiah ke Mu’tazilah—dan
juga pemikiran politiknya sebagaimana akan kita lihat—membuat mereka amat dekat
dengan pendirian Ahl al-Sunnah. Dengan kata lain, Syi‘ah Zaidiyah adalah
kelompok dalam Syi‘ah yang paling moderat. Bahkan, kelihatannya, dimasukkannya
mereka ke golongan Syi‘ah—hanya—disebabkan berpendirian bahwa Imamah itu
merupakan hak keturunan Ali dari isterinya Fatimah (Thabathaba’i, 1989:34).
D.
Pemikiran Politik Syi‘ah Zaidiyah
Dalam pandangan politik, Zaid—Imam kaum
Zaidiyah—berpandangan bahwa imamah itu tidak berdasarkan kepada nash dan
tidak ada wahyu yang turun untuk menentukan Imam (Amin, 1969: 272). Dengan
demikian, Nabi tidak menunjuk Ali sebagai penggantinya. Menurut Zaid, Nabi
hanya menentukan sifat-sifatnya, seperti berilmu, bertakwa, bermurah hati, dan
pemberani.
Pada masa sepeninggal Nabi, sahabat yang paling memenuhi
persyaratan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu, Ali-lah yang paling
berhak menjadi Imam atau Khalifah.
Sahabat atau orang yang paling memenuhi persyaratan (memiliki
sifat-sifat utama) tersebut disebut al-afdhal (الأفضَل
) dan yang kurang memenuhi persyaratan disebut al-mafhul (المفضول). Bagi Zaid, mungkin saja dan boleh saja
orang yang kurang berkeutamaan (المفضول)
menjadi Imam, walau pada saat itu terdapat orang yang memenuhi persyaratan atau
berkeutamaan (الأفضَل ), karena syarat itu
merupakan syarat kesempurnaan, bukan syarat kewajiban (Jali, 1988: 251). Oleh sebab
itu, Zaid dan pengikutnya mengakui kekhalifahan orang yang kurang memenuhi
persyaratan, yakni Abu Bakar dan Umar (Syahrastani, 1996: 190; Nasution, 1985:
102-103).
Untuk Imam sepeninggal al-Imam al-Afdhal Ali bin Abi Thalib,
di samping memenuhi persyaratan yang dimiliki oleh Imam Ali juga ada
persyaratan tambahan, yaitu dia harus keturunan Ali dari isterinya Fatimah dan
harus menuntut haknya sebagai Imam (Jali, 1988: 248). Tuntutan hak ini dalam
bentuk perlawanan terbuka (mengangkat senjata) terhadap penguasa yang zalim dan
atau penguasa yang tidak berhak menjadi penguasa, yaitu penguasa Umayyah dan
Abbasiyyah. Dalam konteks ini, Zaid dan pengikutnya tidak setuju adanya taqiyah
dan Imam tersembunyi serta adanya unsur-unsur Ilahiyyah dalam diri Imam
(Amin, 1969: 272). Zaid juga mengakui kemungkinan adanya dua Imam dalam waktu
yang bersamaan, tapi harus di daerah yang berbeda.
Atas pendirian Zaid bahwa seorang Imam harus melakukan
pemberontakan itu, al-Baqir menganggap Zaid tidak mengakui bapaknya sendiri,
Ali Zainal Abidin, sebagai Imam, sebab bapaknya tidak mengadakan perlawanan
terbuka. Bahkan, menganjurkan untuk mengadakan perlawananpun tidak.
Dikarenakan pendiriannya itu, Zaid mengadakan perlawanan terhadap
penguasa Umayyah pada waktu itu, Khalifah Hisyam. Dalam pertempuran di Kudisia,
Irak, pada tahun 740 M ia terbunuh. Kemudian anaknya, Yahya, memimpin
pemberontakan terhadap khalifah Umayyah saat itu, Walid Ibn Yazid. Dalam
pertempuran di Khurasan, ia terbunuh. Namun, puterannya bisa dilarikan ke
Yaman. Di Yaman inilah Syi‘ah Zaidiyah berkembang dan berkuasa hingga tahun
1960-an.
Pendirian Zaid itu diikuti secara variatif oleh
pengikut-pengikutnya, kecuali kelompok Jarudiah (pengikut Abul Jarud Ziad bin
Abu Ziad). Kelompok ini berkeyakinan bahwa Nabi telah mengangkat Ali sebagai
penggantinya. Hanya saja, pengangkatan ini bersifat simbolik, sehingga tidak
bisa dipahami oleh orang-orang yang mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah.
Jadi, dalam pandangan kaum Jarudiah, Ali-lah yang berhak menggantikan Nabi.
Mereka juga mengkafirkan sahabat-sahabat yang mengangkat Abu Bakar sebagai
khalifah (Syahrastani, 1996: 193), karena dianggap tidak berupaya mencari
pengganti Nabi yang sebenarnya.
Di samping itu, kelompok Sulaimaniyah (pengikut Sulaiman bin Jarir)
berpendirian bahwa Imamah merupakan hal yang harus diputuskan berdasarkan
pilihan rakyat atau ditentukan oleh dua orang yang terbaik di antara umat
Islam. Kelompok ini juga menganggap syahnya Imamah dipegang oleh orang yang
memenuhi persyaratan, al-mafdhul (Syahrastani, 1996: 195). Syahrastani
menyebutkan bahwa pendapat kelompok Sulaimaniyah ini dianut pula oleh kelompok
Shalihiyah dan kelompok Batiniyah.
E.
Pemikiran Teologi Syi‘ah Zaidiyah
Telah disebutkan bahwa Zaid bin Ali
belajar teologi kepada Washil bin Atha’, sehingga pemikiran teologisnya dan
pengikutnya cenderung ke Mu’tazilah. Berikut akan dikemukakan pemikiran
teologisnya. Seluruh pemikiran teologis Syi‘ah Zaidiyah ini dinukil dari
al-Ghurabi.
1.
Berkenaan
dengan Allah SWT.
Jumhur Ulama Zaidiyah menganggap Tuhan
itu “sesuatu”, tapi tidak seperti sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya. Pendapat ini terwakili oleh ungkapan Abu Hasyim, “Sesungguhnya
Allah itu sesuatu” (إن اللهَ شيء ).
Adapun
mengenai sifat Allah, kaum Zaidiyah terbagi dua. Pertama, kelompok Jarir bin
Zaid. Kelompok ini terbagi dua. Pertama, kelompok Jarir bin Zaid. Kelompok ini
berpendapat bahwa Allah itu mengetahui dengan pengetahuan-Nya, tetapi
pengetahuan-Nya itu bukan Dia dan bukan yang selain Dia, dan pengetahuan-Nya
itu sesuatu
بعلم لاهو هو ولا غيره, وأن علمه شيء ) أن البارى عالم).
Allah
itu berkuasa dengan kekuasaannya-Nya, tetapi kekuasaan-Nya itu bukan Dia dan
bukan pual selain Dia, dan kekuasaan-Nya itu sesuatu. Demikian pendapat
kelompok ini tentang sifat-sifat nafsiah Tuhan. Mengenai sifat hissiyah
Tuhan, kelompok ini berpendapat, “Allah itu hidup dengan kehidupan-Nya,
mendengar dengan pendengaran-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya ini bukan Dia,
dan bukan pula yang selain Dia”. Kelompok ini kemudian menakwilkan sifat
hissaniyah Tuhan, seperti ungkapan mereka, “Wajah Allah adalah Allah” ( إن وجه الله هو الله). Kelihatannya
al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan mengambil pendapat ini.
Berkenaan
dengan af‘al Tuhan, mereka berpendapat, “Kehendak Allah terhadap sesuatu
itu merupakan kebencian-Nya untuk berkehendak yang sebaliknya; Allah selalu
berkehendak dan selalu benci untuk berbuat maksiat; murkanya Allah terhadap
orang-orang kafir adalah ridha-Nya untuk mengazab mereka dan ridha-Nya mengazab
mereka adalah kemurkaan-Nya; ridha Alah terhadap orang-orang beriman adalah
murka-Nya untuk mengazab mereka adalah ridha-Nya untuk mengampuni mereka”.
Sementara
itu, kelompok dua, sama seperti kaum Mu’tazilah di dalam memahami sifat
satiniyah Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Allah itu mengetahui bukan dengan
pengetahuan, berkuasa bukan dengan kekuasaan, mendengar bukan dengan
pendengaran, melihat bukan dengan
penglihatan, dan hidup bukan dengan kehidupan-Nya (حي بغير حياة ).
Sehubungan
dengan qudrah Tuhan, kaum Zaidiyah juga terbagi dua. Pertama, kelompok Sulaiman
bin Jarir. Kelompok ini menolak untuk mensifati Tuhan berbuat zalim, karena
menunjukkan kelemahan, tetapi juga mustahil Allah Yang Maha Suci berbuat zalim,
dan kemampuan Allah itu tidak berkaitan dengan kemustahilan. Sedangkan kelompok
kedua beranggapan bahwa Allah mampu berbuat zalim, tetapi Dia tidak berbuat
zalim.
2.
Berkenaan
dengan Manusia
Berkenaan
dengan perbuatan manusia, kaum Zaidiyah juga menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan. Dia-lah yang
menciptakan, mengadakan, dan menciptakan kembali perbuatan manusia. Dia-lah,
dengan kekuasaan-Nya, yangmemperbarui dan menciptakan kembali perbuatan
manusia.
Kelompok
kedua berpendapat sebgaimana pendapat Mu’tazilah: Perbuatan manusia bukan
diciptakan dan diperbarui oleh Tuhan, tetapi merupakan kasb manusia;
manusia yang memperbarui, meciptakan kembali, mengadakan, dan yang memperbuat
perbuatannya. Mereka menyebut perbuatan manusia sebagai kasb (كسبا), bukan خلقا.
Apakah kasb ini sama maknanya dengan khalq? Nampaknya, kata
al-Ghurabi, lebih pada makna khalq. Yang jelas, mereka menyebut kasb
untuk perbuatan manusia, bukan khalq sebagaimana Mu’tazilah.
Berkaitan
dengan daya (الاستطاعة) kaum Zaidiyah ada
yang berpendapat bahwa daya tersebut diberikan bersamaan dengan perbuatan (مع العمل); ada yang berpendapat diberikan sebelum
perbuatan, tetapi aktualnya ketika berbuat (قبل الفعل
مع الفعل فى حال الفعل); dan ada yang berpandangan diberikan
sebelum berbuat (قبل الفعل).
Mengenai
Iman, mereka ada yang menganggap Iman itu ma’rifah, ikrar, dan menjauhi yang
dilarang. Namun ada pula yang memandang Iman sebagai keseluruhan ketaatan (جميع الطاعات) atau perbuatan ketaatan (أعمال الطاعات). Tentang orang yang berdosa besar, kaum
Zaidiyah awal mengatakan mereka kekal dalam neraka, tetapi yang belakangan
menyatakan tidak kekal dalam neraka.
F.
Penutup
Pembahasan tentang asal-usul Syi‘ah dan
doktrin Syi‘ah Zaidiyah mengenai politik dan teologi di atas jauh dari
memuaskan. Masih diperlukan penelitian kepustakaan yang lebih memadai dan
teliti.
Lebih dari itu, untuk melihat dekat-tidaknya doktrin Syi‘ah
Zaidiyah dengan kaum Syi‘ah sendiri atau dengan kaum Sunni diperlukan kajian
perbandingan berjalin-berkelindan. Dalam bidang teologi saja, Syi‘ah Zaidiyah
dikatakan berkecenderungan ke teologi Mu’tazilah. Namun, Mu’tazilah yang mana?
Dalam ari, tokoh Mu’tazilah yang mana? Apalagi, ternyata, di kalangan Zaidiyah
ada yang berkecenderungan (ke) seperti Asy’ari.
Sayang seribu sayang, kutipan pemikiran teologi Syi‘ah Zaidiyah
hanya dinukil dari al-Ghurabi. Hal ini, jelas, merupakan salah satu kelemahan makalah
ini. Mudah-mudahan saja kelemahan ini justeru menjadi pemicu tersendiri untuk
mengkaji kembali di kemudian hari.
Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Ahmad. 1969. Fajr al-Islam. Cet. X. Lebanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy.
A.
Syalabi.
1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Dabashi, Hamid. 1993. Authority in Islam. New Brunswick (USA) dan Londok (UK).
Gharaby al, Ali
Musthafa. T.T Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah Muhammad
Ali Shabih wa Auladih.
Halm, Heinz. 1991. Shiism. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Jali, Ahmad
Muhammad Ahmad. 1988. Dirasah ‘an al-Farq fi Tarikh al-Muslimin: al-Khawarij
wa al-Syi‘ah. Cet. II. Sl-Riyadh: al-MAmlakah al-‘Arabiyyah al Su’udiyyah.
Musawi al, A. Syafaruddin. 1986. Dialog Sunnah Syi‘ah. Cet.III.
terjemahan oleh Muhammad al-Baqir dari Al-Muraja’at. Bandung: Mizan.
Nasution,
Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. cet. V.
Jakarta: UI-Press.
Sou’yb Joesoef.
1982. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran sekta Syi‘ah. Jakarta:
Pustaka Alhusna.
Syahrastani,
Muhammad bin ‘Abdul Karim 1996. Sekte-sekte Islam. Terjemahan oleh
Karsidi Diningrat dari Muslim Sect dan Divisions. The Section on Muslim
Sects in Kitab al-Milal wan-Nihal. Bandung: Penerbit Pustaka.
Thabathaba’i,
Allamah M.H. 1989. Islam Syi‘ah: Asal-usul dan perkembangannya. Terjemahan
oleh Johan Effemdi dari Shi’ite Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.