Senin, 29 Mei 2017

SYI‘AH: ASAL USULNYA DAN AJARAN SYI‘AH ZAIDIYAH



SYI‘AH:
ASAL USULNYA DAN AJARAN SYI‘AH ZAIDIYAH
Oleh Dimyati Sajari
A.      Pendahuluan
       Kata Syi‘ah, dari segi bahasa, bisa berarti “kaum, sahabat, pengikut, penolong, dan atau pendukung”. Akan tetapi, dari segi terminologi, kata Syi‘ah dipergunakan untuk “menunjuk kepada suatu kelompok yang berkeyakinan bahwa imamah itu bukan didasarkan kepada kemaslahatan umat dengan cara menyerahkan penunjukkannya kepada keinginan umat, melainkan merupakan pilar agama dan suatu perkara yang penting dalam Islam—yang tidak mungkin Nabi melupakannya (lupa tidak menunjuk penggantinya) dan tidak mungkin pula Nabi menyerahkan urusan imamah ini kepada umat. Bahkan, Nabi wajib menunjuk siapa penggantinya bagi mereka (umat) (Jali, 1988: 151).
       Beranjak dari pendapatnya itu—Nabi menunjuk penggantinya—kaum Syi’i lebih lanjut mengemukakan bahwa Nabi telah menunjuk Ali sebagai penggantinya, sehingga kekhalifahan merupakan hak Ali dan keturunannya (lewat istrinya Fatimah) berdasarkan wasiat dan penunjukkan.
Atas dasar itulah Syahrastani (1996: 179) mendefinisikan kaum Syi’i sebagai “Kaum yang berpandangan bahwa persoalan imamah dan kekhalifahan Ali berdasarkan nash dan wasiat, baik secara terang-terangan (terbuka) maupun secara tersembunyi. Mereka juga berkeyakinan bahwa imamah—jabatan kepala dalam Syi‘ah disebut imam—itu tidak keluar dari anak keturunan Ali. Jika imamah itu jatuh ke tangan orang (kelompok) lain, maka hal itu dimungkinkan karena kezaliman mereka atau karena penyembunyian hak yang sah itu oleh mereka (selain keturunan Ali).
Disebabkan itulah, Harun Nasution (1985: 97) menulis, “Kaum Syi‘ah, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat bahwa jabatan Kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam, bahkan pula tidak hak setiap orang Quraisy… Dalam paham kaum Syi‘ah, imamah (jabatan Kepala Negara) adalah hak monopoli Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya”.
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa kaum Syi‘ah adalah “Kaum yang berpandangan (berkeyakinan) bahwa imamah merupakan hak monopoli Ali dan keturunannya, dan hak ini berdasarkan nash, wasiat atau penunjukkan”. Di samping itu, seperti diungkap Thabathaba’ (1989: 32), “dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mereka mengikuti mazhab Ahlul Bait”, kecuali Syi‘ah Zaidiyah.
B.       Asal Usul Syi‘ah
       Asal usul atau lahirnya Syi‘ah sama dengan Khawarij, yaitu dilatarbelakangi persoalan politik. Lebih tepatnya, persoalan tahkim antara Ali dan Muawiyah memunculkan lahirnya Khawarij dan Syi‘ah, sehingga pada waktu itu umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok/golongan, yaitu Khawarij, Syi‘ah dan kelompok Muawiyah. Kelompok Khawarij adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali, sedangkan kelompok Syi‘ah adalah kelompok yang tetap setia terhadap Ali (Nasution, 1985: 95; Sou’yb, 1982: 11-12; Halm, 1991: 11).
Oleh karena kaum Syi‘ah adalah kaum yang tetap setia kepada Ali pascatahkim, maka bisa dikatakan bahwa lahirnya Syi‘ah adalah setelah peristiwa tahkim tersebut. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa lahirnya Syi‘ah adalah masa terakhir kekhalifahan Khalifah Usman. Pendapat ini menjadi pegangan bagi kaum yang mengaitkan asal-usulnya Syi‘ah dengan gerakan Abdullah bin Saba’ (Lihat Jali, 1988: 154).
Walau begitu, bibit-bibit lahirnya kaum Syi‘ah bisa ditelusuri semenjak sepeninggal Nabi. Sebagaimana diketahui, setelah Nabi wafat (11 H) umat Islam “terpecah” menjadi tiga golongan, yaitu golongan Anshar, golongan Muhajirin dan golongan Ali (Amin, 1969: 252-253; Syalabi, 1983: 176-177; Jali, 1988: 153-154).
Kaum Anshar adalah kaum yang berpendirian bahwa khilafah atau jabatan khalifah merupakan hak mereka (kaum Anshar). Sementara dipihak lain, kaum Muhajirin berpendirian bahwa jabatan Khalifah itu merupakan hak kaum Muhajirin. Perdebatan di Saqifah Bani Sa’idah waktu itu “dimenangkan” pihak Muhajirin dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah.
Ketika umat Islam melakukan baiat terhadap Abu Bakar, keluarga Nabi (Ahlul Bait)—terutama Ali dan isterinya, Fatimah—tidak mau membaiatnya. Alasannya adalah karena mereka yang paling dekat dengan Nabi. Dan orang yang paling utama atau paling mulia di antara Ahlul Bait adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dalam pendirian Ahlul Bait, yang paling berhak menjadi pengganti Nabi adalah Ali. Pendirian Ahlul Bait ini didukung sahabat-sahabat Nabi, seperti Ammar, Abu Dzar, Salman al-Farisi, Jabir bin Abdullah, al-Abbas, Ubay bin Ka’ab, Hudzaifah dan lain-lainnya (Lihat Amin, 1969: 267; Jali, 1988: 154; Dabashi, 1993: 95). Pendukung-pendukung Ali (Ahlul Bait) ini, nampaknya, merupakan cikal bakal lahirnya pendukung-pendukung “fanatik” Ali dan keturunannya era pascatahkim.
Akan tetapi, kaum Syi‘ah sendiri tidak melihat cikal bakal lahirnya Syi‘ah itu setelah wafatnya Nabi. Seorang penulis dari kalangan Syi’i, Muhammad al-Husayn Ali Kasyif al-Ghitha-i, sebagaimana dikutip Ahmad Jali (1988: 152), berpendapat dalam kitabnya Ashl al-Syi‘ah wa Ushuluha bahwa “Peletak dasar asal usul Syi‘ah adalah Nabi sendiri. Dalam pengertian, Nabilah yang menanamnya, memeliharanya, dan memupuknya, sehingga berkembang baik pada masa Nabi sendiri, dan berkembang lebih baik lagi sepeninggal Nabi”.
Ahmad Jali mengutip penulis Syi’i yang lain, yaitu Muhammad Jawad Mughniyah, yang lebih tegas lagi mengatakan, “Sesungguhnya Nabilah yang membangun dan mengadakan Akidah Syi‘ah, dan yang meminta untuk mencintai Ali dan keturunanya… Sekiranya bukan karena Nabi yang mengadakan Syi‘ah dan gerakannya, maka tidak akan ada jejak dan pengaruhnya”.
Permintaan Nabi adalah untuk mencintai Ali itu dipahami sebagai upaya Nabi agar apa yang telah dijanjikan Nabi kepada Ali terwujud. Thabathaba’i (1989: 37) menjelaskan tentang adanya janji kepada Nabi kepada orang-orang yang mula-mula menerima ajakannya akan menjadi pewaris dan penerusnya. Ali adalah yang pertama kali tampil ke depan dan memeluk Islam. Nabi menerima penyerahan diri Ali dan kemudian memenuhi janjinya, yaitu ketika Ali berkata, “Aku adalah yang termuda dari semua yang memeluk agama Islam dan akulah wazirmu. Nabi meletakkan tangannya di pundak Ali dan berkata, “Orang ini adalah saudaraku, pewaris dan khalifahku, kalian harus mentaatinya”. Orang-orang menertawakannya dan berkata kepada Abu Thalib, “Ia telah menyuruhmu mematuhi putramu” (Lihat juga Jali, 1988: 153).
Janji pengangkatan Ali itu dipertegas kembali sepulang Nabi dari haji wada’. Menurut sebuah riwayat yang sangat masyhur di kalangan Syi‘ah, Rasulullah SAW tatkala pulang dari haji wada’ beristirahat di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khumm. Waktu itu Nabi meminta umat Islam mendirikan kemah-kemah dan berkumpul. Kemudian Nabi bersabda, “… Sesungguhnya Allah itu pemimpinku, dan aku adalah pemimpin bagi setiap orang beriman”. Lalu beliau mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib seraya bersabda, “Barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka dia ini (Ali) adalah pemimpin baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya…” (al-Musawi, 1986: 37-38; Halm, 1991: 8).
Menurut Thabathaba’i (1989: 38), peristiwa Ghadir Khumm itu merupakan bukti nyata tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi; sebagai pemimpin dan pelindung umat. Thabathaba’i, untuk kajian lebih lanjut, menyebut Ghayatul-Maram, Abaqat al-Musawi, dan al-Ghadir-nya Amini (Lihat juga al-Musawi, 1986: 38).
Atas dasar itulah orang-orang Syi‘ah berpendirian bahwa kedudukan Ali sebagai pengganti (Imam, Khalifah) Nabi berdasarkan nash (nash Rasulullah); pengangkatan dan atau penunjukkan yang dilakukan Nabi sendiri. Pengangkatan atau penunjukkan ini juga disebut wasiat, sehingga Ali merupakan wasi (وصى) Nabi, yaitu pengganti yang kepadanya dilimpahkan Nabi sepenuh kepercayaan. Wasi sesudah Ali adalah Hasan, kemudian Husein dan seterusnya cucu-cucu Nabi (Nasution, 1985: 101). Ali, sebagai wasi Nabi, menunjuk wasi sesudahnya dan wasi sesudah Ali menunjuk wasi berikutnya, dan begitu seterusnya sehingga kedudukan imam itu selalu berdasarkan penunjukkan imam sebelumnya (Amin, 1969: 267).
Sebagai pemegang wasiat, Ali mempunyai kedudukan yang diwarisi dari Nabi. Dalam arti, Ali menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husein dari Ali, Ali Zainal Abidin dari Husein, dan demikianlah imam-imam seterusnya (Lihat Nasution, 1985; 101-102). Oleh karena itu, jika Nabi terbebas dari dosa (ma‘shum), maka Ali dan para imam juga ma‘shum, sebab Ali mewarisi kemakshuman itu dari Nabi. Bila Nabi merupakan sumber pembuat atau penegak hukum syari’at, maka demikian pula penerima warisannya (Ali dan keturunan Ali). Sebab itulah, dalam pendangan Syi‘ah, iman kepada imam (keimaman atau kewasiatan) merupakan bagian dari akidah dan penyempurna dua kalimah syahadat (Jali, 1988: 152).
Itulah gambaran umum pandangan kaum Syi‘ah. Pandangan itu, sesuai perkembangan sejarahnya, melahirkan varibel-variabel yang berbeda, yang tiap-tiap variabel mempunyai pendukungnya sendiri-sendiri. Pendukung variabel-variabel ini—atau variabel-variabelnya itu sendiri—yang disebut golongan-golongan. Dengan demikian, dalam Syi‘ah terdapat beberapa golongan, di antaranya golongan Syi‘ah Ghulat, Ismailiyah, Itsna ‘Asyariah, dan Zaidiyah. Berikut akan dibahas Syi‘ah Zaidiyah.

C.  Syi‘ah Zaidiyah
       Syiah Zaidiyah adalah kelompok/golongan dalam Syi‘ah pengikut Zaid bin Ali al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (w. 122 H/740 M). Zaid bin Ali ini adalah putera Imam keempat, Ali Zaenal Abidin bin al-Husain, dari seorang “wanita sahaya” (ibu Zaid adalah seorang wanita dari lembah Sind yang ketika terjadi penaklukkan wilayah itu menjadi tawanan perang. Setelah dibawa ke Madinah ia dibeli oleh Ali bin al-Husain, yang kemudian memerdekakannya dan menikahinya).
Zaid bin Ali sejak mudanya amat mencintai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ia tidak hanya belajar ddengan ulama-ulama di kota kelahirannya, Madinah, tapi juga di Basrah dan Iraq. Ketekunannya belajar ini mengangkatnya ke derajat yang tinggi dalam bidang ilmu fiqh. Ahmad Jali (1988: 245) menyatakan adanya anggapan bahwa Abu Hanifah (w. 150 H) belajar ilmu kepada Zaid dan sangat fanatik terhadap Zaid. Ahmad Jali juga menyebutkan posisi Zaid sebagai imam mazhab fiqh bagi pengikut-pengikutnya.  Akan tetapi, Ahmad Jali juga menyatakan bahwa kaum Zaidiyah mengambil fiqhnya Abu Hanifah, atau fiqh mereka lebih dekat dengan fiqhnya Abu Hanifah dibanding dengan fiqh kaum Syi‘ah.
Dalam bidang teologi, Zaid belajar kepada Washil bin Atha’ (80-131 H), sehingga pemikiran teologinya—dan semua pengikutnya—menganut teologi mu’tazilah (Syahrastani, 1996: 190), atau berkecenderungan ke Mu’tazilah. Syahrastani mengemukakan bahwa kakaknya Zaid, Muhammad al-Baqir (w. 133 H) yang menjadi Imam V, sangat mengecam belajarnya Zaid kepada Washil ini. Kecaman itu muncul karena Zaid belajar ke Washil yang memandang berkemungkinannya Ali bin Abi Thalib bersalah dalam perang Jamal dan Siffin. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan kaum Syi‘ah yang memandang Ali tidak bersalah.
Dekatnya pemikiran fiqh Zaidiyah dengan fiqh Hanafi dan teologi Zaidiah ke Mu’tazilah—dan juga pemikiran politiknya sebagaimana akan kita lihat—membuat mereka amat dekat dengan pendirian Ahl al-Sunnah. Dengan kata lain, Syi‘ah Zaidiyah adalah kelompok dalam Syi‘ah yang paling moderat. Bahkan, kelihatannya, dimasukkannya mereka ke golongan Syi‘ah—hanya—disebabkan berpendirian bahwa Imamah itu merupakan hak keturunan Ali dari isterinya Fatimah (Thabathaba’i, 1989:34).


D.  Pemikiran Politik Syi‘ah Zaidiyah
       Dalam pandangan politik, Zaid—Imam kaum Zaidiyah—berpandangan bahwa imamah itu tidak berdasarkan kepada nash dan tidak ada wahyu yang turun untuk menentukan Imam (Amin, 1969: 272). Dengan demikian, Nabi tidak menunjuk Ali sebagai penggantinya. Menurut Zaid, Nabi hanya menentukan sifat-sifatnya, seperti berilmu, bertakwa, bermurah hati, dan pemberani.
Pada masa sepeninggal Nabi, sahabat yang paling memenuhi persyaratan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu, Ali-lah yang paling berhak menjadi Imam atau Khalifah.
Sahabat atau orang yang paling memenuhi persyaratan (memiliki sifat-sifat utama) tersebut disebut al-afdhal (الأفضَل ) dan yang kurang memenuhi persyaratan disebut al-mafhul (المفضول). Bagi Zaid, mungkin saja dan boleh saja orang yang kurang berkeutamaan (المفضول) menjadi Imam, walau pada saat itu terdapat orang yang memenuhi persyaratan atau berkeutamaan (الأفضَل ), karena syarat itu merupakan syarat kesempurnaan, bukan syarat kewajiban (Jali, 1988: 251). Oleh sebab itu, Zaid dan pengikutnya mengakui kekhalifahan orang yang kurang memenuhi persyaratan, yakni Abu Bakar dan Umar (Syahrastani, 1996: 190; Nasution, 1985: 102-103).
Untuk Imam sepeninggal al-Imam al-Afdhal Ali bin Abi Thalib, di samping memenuhi persyaratan yang dimiliki oleh Imam Ali juga ada persyaratan tambahan, yaitu dia harus keturunan Ali dari isterinya Fatimah dan harus menuntut haknya sebagai Imam (Jali, 1988: 248). Tuntutan hak ini dalam bentuk perlawanan terbuka (mengangkat senjata) terhadap penguasa yang zalim dan atau penguasa yang tidak berhak menjadi penguasa, yaitu penguasa Umayyah dan Abbasiyyah. Dalam konteks ini, Zaid dan pengikutnya tidak setuju adanya taqiyah dan Imam tersembunyi serta adanya unsur-unsur Ilahiyyah dalam diri Imam (Amin, 1969: 272). Zaid juga mengakui kemungkinan adanya dua Imam dalam waktu yang bersamaan, tapi harus di daerah yang berbeda.
Atas pendirian Zaid bahwa seorang Imam harus melakukan pemberontakan itu, al-Baqir menganggap Zaid tidak mengakui bapaknya sendiri, Ali Zainal Abidin, sebagai Imam, sebab bapaknya tidak mengadakan perlawanan terbuka. Bahkan, menganjurkan untuk mengadakan perlawananpun tidak.
Dikarenakan pendiriannya itu, Zaid mengadakan perlawanan terhadap penguasa Umayyah pada waktu itu, Khalifah Hisyam. Dalam pertempuran di Kudisia, Irak, pada tahun 740 M ia terbunuh. Kemudian anaknya, Yahya, memimpin pemberontakan terhadap khalifah Umayyah saat itu, Walid Ibn Yazid. Dalam pertempuran di Khurasan, ia terbunuh. Namun, puterannya bisa dilarikan ke Yaman. Di Yaman inilah Syi‘ah Zaidiyah berkembang dan berkuasa hingga tahun 1960-an.
Pendirian Zaid itu diikuti secara variatif oleh pengikut-pengikutnya, kecuali kelompok Jarudiah (pengikut Abul Jarud Ziad bin Abu Ziad). Kelompok ini berkeyakinan bahwa Nabi telah mengangkat Ali sebagai penggantinya. Hanya saja, pengangkatan ini bersifat simbolik, sehingga tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah. Jadi, dalam pandangan kaum Jarudiah, Ali-lah yang berhak menggantikan Nabi. Mereka juga mengkafirkan sahabat-sahabat yang mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah (Syahrastani, 1996: 193), karena dianggap tidak berupaya mencari pengganti Nabi yang sebenarnya.
Di samping itu, kelompok Sulaimaniyah (pengikut Sulaiman bin Jarir) berpendirian bahwa Imamah merupakan hal yang harus diputuskan berdasarkan pilihan rakyat atau ditentukan oleh dua orang yang terbaik di antara umat Islam. Kelompok ini juga menganggap syahnya Imamah dipegang oleh orang yang memenuhi persyaratan, al-mafdhul (Syahrastani, 1996: 195). Syahrastani menyebutkan bahwa pendapat kelompok Sulaimaniyah ini dianut pula oleh kelompok Shalihiyah dan kelompok Batiniyah.

E.  Pemikiran Teologi Syi‘ah Zaidiyah
       Telah disebutkan bahwa Zaid bin Ali belajar teologi kepada Washil bin Atha’, sehingga pemikiran teologisnya dan pengikutnya cenderung ke Mu’tazilah. Berikut akan dikemukakan pemikiran teologisnya. Seluruh pemikiran teologis Syi‘ah Zaidiyah ini dinukil dari al-Ghurabi.
1.    Berkenaan dengan Allah SWT.
       Jumhur Ulama Zaidiyah menganggap Tuhan itu “sesuatu”, tapi tidak seperti sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Pendapat ini terwakili oleh ungkapan Abu Hasyim, “Sesungguhnya Allah itu sesuatu” (إن اللهَ شيء  ).
Adapun mengenai sifat Allah, kaum Zaidiyah terbagi dua. Pertama, kelompok Jarir bin Zaid. Kelompok ini terbagi dua. Pertama, kelompok Jarir bin Zaid. Kelompok ini berpendapat bahwa Allah itu mengetahui dengan pengetahuan-Nya, tetapi pengetahuan-Nya itu bukan Dia dan bukan yang selain Dia, dan pengetahuan-Nya itu sesuatu
بعلم لاهو هو ولا غيره, وأن علمه شيء )    أن البارى عالم).
Allah itu berkuasa dengan kekuasaannya-Nya, tetapi kekuasaan-Nya itu bukan Dia dan bukan pual selain Dia, dan kekuasaan-Nya itu sesuatu. Demikian pendapat kelompok ini tentang sifat-sifat nafsiah Tuhan. Mengenai sifat hissiyah Tuhan, kelompok ini berpendapat, “Allah itu hidup dengan kehidupan-Nya, mendengar dengan pendengaran-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya ini bukan Dia, dan bukan pula yang selain Dia”. Kelompok ini kemudian menakwilkan sifat hissaniyah Tuhan, seperti ungkapan mereka, “Wajah Allah adalah Allah” ( إن وجه الله هو الله). Kelihatannya al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan mengambil pendapat ini.
Berkenaan dengan af‘al Tuhan, mereka berpendapat, “Kehendak Allah terhadap sesuatu itu merupakan kebencian-Nya untuk berkehendak yang sebaliknya; Allah selalu berkehendak dan selalu benci untuk berbuat maksiat; murkanya Allah terhadap orang-orang kafir adalah ridha-Nya untuk mengazab mereka dan ridha-Nya mengazab mereka adalah kemurkaan-Nya; ridha Alah terhadap orang-orang beriman adalah murka-Nya untuk mengazab mereka adalah ridha-Nya untuk mengampuni mereka”.
Sementara itu, kelompok dua, sama seperti kaum Mu’tazilah di dalam memahami sifat satiniyah Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Allah itu mengetahui bukan dengan pengetahuan, berkuasa bukan dengan kekuasaan, mendengar bukan dengan pendengaran, melihat bukan dengan  penglihatan, dan hidup bukan dengan kehidupan-Nya (حي بغير حياة ).
Sehubungan dengan qudrah Tuhan, kaum Zaidiyah juga terbagi dua. Pertama, kelompok Sulaiman bin Jarir. Kelompok ini menolak untuk mensifati Tuhan berbuat zalim, karena menunjukkan kelemahan, tetapi juga mustahil Allah Yang Maha Suci berbuat zalim, dan kemampuan Allah itu tidak berkaitan dengan kemustahilan. Sedangkan kelompok kedua beranggapan bahwa Allah mampu berbuat zalim, tetapi Dia tidak berbuat zalim.

2.    Berkenaan dengan Manusia
Berkenaan dengan perbuatan manusia, kaum Zaidiyah juga menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan. Dia-lah yang menciptakan, mengadakan, dan menciptakan kembali perbuatan manusia. Dia-lah, dengan kekuasaan-Nya, yangmemperbarui dan menciptakan kembali perbuatan manusia.
Kelompok kedua berpendapat sebgaimana pendapat Mu’tazilah: Perbuatan manusia bukan diciptakan dan diperbarui oleh Tuhan, tetapi merupakan kasb manusia; manusia yang memperbarui, meciptakan kembali, mengadakan, dan yang memperbuat perbuatannya. Mereka menyebut perbuatan manusia sebagai kasb (كسبا), bukan خلقا. Apakah kasb ini sama maknanya dengan khalq? Nampaknya, kata al-Ghurabi, lebih pada makna khalq. Yang jelas, mereka menyebut kasb untuk perbuatan manusia, bukan khalq sebagaimana Mu’tazilah.
Berkaitan dengan daya (الاستطاعة) kaum Zaidiyah ada yang berpendapat bahwa daya tersebut diberikan bersamaan dengan perbuatan (مع العمل); ada yang berpendapat diberikan sebelum perbuatan, tetapi aktualnya ketika berbuat (قبل الفعل مع الفعل فى حال الفعل); dan ada yang berpandangan diberikan sebelum berbuat (قبل الفعل).
Mengenai Iman, mereka ada yang menganggap Iman itu ma’rifah, ikrar, dan menjauhi yang dilarang. Namun ada pula yang memandang Iman sebagai keseluruhan ketaatan (جميع الطاعات) atau perbuatan ketaatan (أعمال الطاعات). Tentang orang yang berdosa besar, kaum Zaidiyah awal mengatakan mereka kekal dalam neraka, tetapi yang belakangan menyatakan tidak kekal dalam neraka.

F.   Penutup
       Pembahasan tentang asal-usul Syi‘ah dan doktrin Syi‘ah Zaidiyah mengenai politik dan teologi di atas jauh dari memuaskan. Masih diperlukan penelitian kepustakaan yang lebih memadai dan teliti.
Lebih dari itu, untuk melihat dekat-tidaknya doktrin Syi‘ah Zaidiyah dengan kaum Syi‘ah sendiri atau dengan kaum Sunni diperlukan kajian perbandingan berjalin-berkelindan. Dalam bidang teologi saja, Syi‘ah Zaidiyah dikatakan berkecenderungan ke teologi Mu’tazilah. Namun, Mu’tazilah yang mana? Dalam ari, tokoh Mu’tazilah yang mana? Apalagi, ternyata, di kalangan Zaidiyah ada yang berkecenderungan (ke) seperti Asy’ari.
Sayang seribu sayang, kutipan pemikiran teologi Syi‘ah Zaidiyah hanya dinukil dari al-Ghurabi. Hal ini, jelas, merupakan salah satu kelemahan makalah ini. Mudah-mudahan saja kelemahan ini justeru menjadi pemicu tersendiri untuk mengkaji kembali di kemudian hari.
Wallahu a’lam.


















DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. 1969. Fajr al-Islam. Cet. X. Lebanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy.
A.    Syalabi. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Dabashi, Hamid. 1993. Authority in Islam.  New Brunswick (USA) dan Londok (UK).
Gharaby al, Ali Musthafa. T.T Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shabih wa Auladih.
Halm, Heinz. 1991. Shiism. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Jali, Ahmad Muhammad Ahmad. 1988. Dirasah ‘an al-Farq fi Tarikh al-Muslimin: al-Khawarij wa al-Syi‘ah. Cet. II. Sl-Riyadh: al-MAmlakah al-‘Arabiyyah al Su’udiyyah.
Musawi al, A. Syafaruddin. 1986. Dialog Sunnah Syi‘ah. Cet.III. terjemahan oleh Muhammad al-Baqir dari Al-Muraja’at. Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. cet. V. Jakarta: UI-Press.
Sou’yb Joesoef. 1982. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran sekta Syi‘ah. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Syahrastani, Muhammad bin ‘Abdul Karim 1996. Sekte-sekte Islam. Terjemahan oleh Karsidi Diningrat dari Muslim Sect dan Divisions. The Section on Muslim Sects in Kitab al-Milal wan-Nihal. Bandung: Penerbit Pustaka.
Thabathaba’i, Allamah M.H. 1989. Islam Syi‘ah: Asal-usul dan perkembangannya. Terjemahan oleh Johan Effemdi dari Shi’ite Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.










 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates