Selasa, 06 Desember 2016

AKHLAK TERCELA: GHIBAH


            Salah satu akhlak tercela (akhlaq mazhmumah) adalah ghibah. Di bawah ini akan diungkap tentang ghibah ini, meski belum menguraikan segala hala yang beraitan dengan ghibah.
A. Arti Ghibah
            Dari segi bahasa (lughah), ghibah berarti mengumpat, memfitnah atau mempergunjing. Adapun dari segi istilah (isthilahi), ghibah berarti menyebut atau memperkatakan perihal seseorang ketika orang itu tidak ada dan sama sekali orang itu tidak suka (membencinya) bila perkataan (gunjingan) tersebut sampai kepadanya. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyā' mengatakan, "Sesungguhnya definisi ghibah adalah engkau menyebut saudaramu tentang apa yang ia tidak suka disebutkan bila hal itu sampai kepadanya" (أن حد الغيبة أن تذكرأخاك بما يكرهه لو بلغه ).
            Definisi atau pengertian tersebut sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw.:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلم. قال: أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله اعلم. قال: ذكرك اخاك بما يكرهه. قيل: افرايت ان كان فى أخى ما اقول. قال: ان كان فيه ماتقول فقد اغتبته وان لم يكن فيه مل تقول فقد بهته (رواه مسلم وابو داود و احمد)
            Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Tahukah kamu apakah ghibah itu?" Sahabat menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah bersabda: "Yaitu engkau menyebut saudaramu tentang apa yang ia tidak suka hal itu disebutkan." Ditanyakan: "Bagaimana pendapat Rasulullah bila teman saya itu memang seperti yang saya katakana itu?" Rasulullah menjawab: "Bila ia seperti yang engkau katakana, maka sungguh engkau telah menghibahnya. Jika ia tidak seperti yang engkau katakana, maka sungguh engkau telah menuduhnya dengan kedustaan." (HR Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
            Di samping menyebutkan tentang ghibah, hadis tersebut juga menyebut tentang buhtah (بهته), yaitu mengatakan tentang orang lain, tetapi orang lain itu tidak seperti yang ia katakana. Oleh karena orang yang dikatakan tidak seperti yang ia katakana, maka perkataan tersebut disebut perkataan yang dusta, tuduhan kedustaan (بهته). Kemudian, ada pula tuduhan yang berdasarkan informasi yang sampai kepada orang yang menuduh tersebut, tetapi tuduhan tersebut tidak benar. Tuduhan yang berdasarkan informasi yang tidak benar ini disebut ifk (افك). Al-Ghazali membedakan ghibah, buhtah dan ifk sebagai berikut:
الغيبة ان تقول ما فيه، البهتان ان تقول ما ليس فيه والإفك ان تقول مابلغك
B. Batasan Ghibah
            Ghibah tersebut dapat berkaitan dengan kekuarangan fisik, nasab, watak, tingkah laku, ucapan, keagamaan dan keduniaan seseorang, termasuk di dalamnya pakaian, rumah, dan cara jalan seseorang. Adapun yang berhubungan dengan kekuarangan fisik seseorang, misalnya menyebut orang lain "matanya juling," "panunan," "hitam," "hidungnya pesek," dan sebagainya. Yang berakaitan dengan nasab, misalnya mengatakan tentang orang lain sebagai "anak tukang sepatu," "anak tukang bakul," "anak kuli bangunan," dan sebagainya. Sementara yang berhubungan dengan akhlak (watak) dibagi menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan agama dan yang berhubungan dengan keduniaan. Yang berhubungan dengan agama, semisal mengatakan orang lain "ia pemabuk," "pembohong," "tidak mau shalat," "tidak mau membayar zakat," dan lain-lain. Yang berkaitan dengan keduniaan, seperti mengatakan: ia kurang beradab, banyak omong, banyak  makan, tukang tidur, dan lain sebagainya.
            Sehubungan dengan ghibah yang berkaitan dengan agama itu, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ada yang berpendapat kalau dalam hal yang berhubungan dengan agama tidak termasuk ghibah dikarenakan orang tersebut hanya menyebutkan (mencela) tentang apa yang telah dicela oleh Allah sehingga mencelanya, misalnya dengan mengatakan: "Orang itu durhaka," diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah dilapori tentang seorang wanita yang banyak kebaikannya dan puasanya, tetapi ia (suka) menyakiti tetangganya dengan lisannya. Menurut Rasulullah, wanita ini tempatnya di neraka (هي فى النار). Sebaliknya, ketika Rasulullah Saw. dilapori tentang seorang wanita yang sedikit shalatnya, puasanya dan sedekahnya—kalau bersedekah hanya berupa remuk-remukan rotinya—tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya. Menurut Rasulullah, "ia tempatnya di sorga" (هي فى الجنة) (HR Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibban dan Al-Hakim).
            Pandangan tersebut ditolak oleh al-Ghazali. Bagi al-Ghazali, pandangan ini "tidak benar" (فاسد), sebab hadis ini berkenaan dengan status hokum tentang wanita yang ditanyakan tersebut, bukan dimaksudkan untuk mengetahui (menyebutkan) kekuarangan wanita tersebut. Oleh karena itu, menyebut orang lain tentang apa yang orang lain itu tidak suka disebutkan tetap disebut ghibah—meski berkaitan dengan masalah agama—dan berarti "memakan daging saudaranya" (آكل لحم أخيه).
C. Hukum Ghibah
            Zainuddin al-Malibari di dalam Irsyad al-'Ibad ila Sabil al-Rasyad mengatakan bahwa para ulama bersepakat untuk mengharamkan ghibah. Bahkan, kebanyakan ulama menyatakan bahwa ghibah itu dosa besar (ان الغسبة حرام اجماعا بل قال كثيرون اتها كبيرة). Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam al-Ghazali. Bahkan, al-Ghazali mengatakan bahwa ghibah dalam hatipun hukumnya haram. Alasannya adalah karena su' al-zhan (سؤ الظان) itu haram, sebagaimana perkataan yang tidak baik (سؤالقول), dan persangkaan yang tidak baik itu letaknya di dalam hati. Akan tetapi, dalam pandangan al-Ghazali, ghibah dalam hati itu dimaafkan.
D. Ghibah yang Dibolehkan
            Menurut al-Ghazali, bila hanya melalui ghibah tujuan syara' yang sebenarnya dapat digapai, maka untuk tujuan ini ghibah diperbolehkan dan dianggap tidak berdosa. Ghibah yang diperbolehkan ini ada enam macam. Pertama, ghibah dalam arti mengadukan kezaliman (التظلم). Maka sesungguhnya orang yang menuturkan tentang seorang hakim yang berbuat zalim, tidak dapat dipercaya dan menerima suap, maka hal itu merupakan ghibah bila ia tidak terzalimi. Adapun orang yang terzalimi (dizalimi) seorang hakim, maka ia berhak untuk mengadukan kezaliman hakim itu kepada penguasa dan berhak menyebutkan kezaliman itu bila hanya dengan cara demikian haknya akan terpenuhi (فإن من ذكر قاضيا بالظلم والخيانة واخذ الرشوة كان مغتابا عاصيا ان لم يكن مظلوما. أما المظلوم من جهة القاضى فله أن يتظلم الى السلطان و ينسبه الى الظلم اذلايمكنه استيفاء حقه إلا به).
            Kedua, ghibah dalam pengertian meminta tolong untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang durhaka kembali ke jalan yang benar (الإستعانة على تغيير المنكر ورد العاصى الى منهج الصلاح).
            Ketiga, ghibah dalam rangka meminta fatwa terhadap mufti (ulama pemberi fatwa) tentang apa yang harus dilakukannya berkaitan dengan kezaliman yang telah diperbuat seseorang.
            Keempat, ghibah dalam arti mengingatkan orang Islam dari kejahatan atau ketidakbaikan. Oleh karena itu, ketika melihat seorang ulama (fakih) berulangkali mendatangi orang yang berbuat bid'ah atau orang yang membuat kerusakan (fasik) dan takut si fakih itu tertular kebid'ahan dan kefasikannya, maka diperbolehkan untuk menyingkapkan (memberitahukan) tentang kebid'ahan dan kefasikan orang itu (تحذير المسلم من الشر فإذا رايت فقيها يتردد الى مبتدع او فاسق وخفت ان تتعدى اليه بدعته وفسقه فلك أن تكشف له بدعته وفسقه).
            Kelima, bila ada manusia yang dikenal dengan laqab (gelarnya), maka tidak berdosa jika menyebut orang tersebut dengan gelarnya, seperti memanggil "si pincang" atau "si buta," dengan syarat orang yang dipanggil dengan laqabnya tersebut tidak marah (ان يكون الإنسان معروفا بلقب يعرب عن عيبه كالأعرج والأعمش فلا اثم على من يقول بحيث لايكرهه صاحبه لوعلمه بعد أن قد صار مشهورا به).
Keenam, bila ada orang yang terang-terangan melakukan kefasikan, seperti seorang laki-laki yang berperilaku sebagai seorang perempuan, maka tidak berdosa jika melakukan ghibah terhadap kefasikan orang tersebut karena ia sendiri telah melakukan kefasikan atau kejahatan secara terang-terangan (أن يكون مجاهرا بالفسق كالمخنث وصاحب الماخور والمجاهر بشرب الخمر... فإذا ذكرت فيه مايتظاهر به فلا اثم عليك).
E. Penutup
            Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya ghibah itu hukumnya haram. Akan tetapi, jika hanya dengan cara ghibah itu tujuan syara' dapat ditegakkan, maka ghibah diperbolehkan. Apabila melalui cara lain tujuan syariat dapat dicapai, maka ghibah hukumnya haram. Wallahu a'lam (dimyati sajari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates