Selasa, 06 Desember 2016

AL-MUHÂSIBÎ

Oleh Dimyati Sajari 
AL-MUHÂSIBÎ Al-Harits al-Muhâsibî (165-243 H/781-837 M) bernama lengkap Abû ‘Abd Allâh al-Hârits b. Asad al-Muhâsibî. Dia lahir di Basrah, tapi tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan ulama-ulama Baghdad pernah berguru kepadanya. Dia menguasai ilmu-ilmu zhahir, ilmu-ilmu muamalat dan ilmu bathin. Dia wafat tahun 243 H di Baghdad. Al-Muhâsibî sebagaimana dikatakan A.J. Arberry di dalam bukunya An Account of the Mystics of Islam, merupakan pengarang sufi pertama terkemuka yang tulisan-tulisannya benar-benar berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran sufi selanjutnya. Dialah yang pertama kali mensistematisasikan ajaran zuhd. Dia pula, menurut ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha’ di dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Muhâsibî yang ia edit, yaitu kitab al-Washaya, yang pertama kali berbicara tentang jiwa (al-tahlil al-nafsiy) di dalam pemikiran Islam (al-fikr al-Islamiy), yang ia abdikan kepada syari‘ah Islam. Sejalan dengan penilaian ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha’ ini Fazlur Rahman dalam bukunya Islam menilai al-Muhâsibî sebagai tokoh besar pertama yang merintis jenis tasawuf ortodoks, yang dengan praktek dan ajarannya berusaha menyatukan ortodoksi dan sufisme. Peran yang dimainkan al-Muhâsibî itu, bisa diduga, terkait erat dengan kondisi dan situasi yang membutuhkan respons al-Muhâsibî, yang bisa dipilah menjadi dua dimensi, yaitu dimensi pemikiran (intelektual-spiritual) dan dimensi kekuasaan. Dari segi pemikiran, pada era al-Muhâsibî bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ulama atau ahli hukum dan kaum teolog di satu sisi dan kelompok sufi yang bermaksud memberikan pendasaran yang lebih bersifat bathini di dalam menjalankan ibadah di sisi yang lain. Respons terhadap Hukum dan Teologi Untuk di bidang hukum, era al-Muhâsibî merupakan era yang sudah terkodifikasi secara sistematis. Dia lahir sepuluh tahun setelah kelahiran Imam Syafi‘i atau sesudah kewafatan Imam Abu Hanifah (150 H) dan empat belas tahun sebelum kewafatan Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M) serta wafat dua tahun setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/885 M). Hal ini berarti, di satu segi al-Muhâsibî menyaksikan pandangan hukum Hanafi dan Maliki telah terumuskan secara baku dan di lain segi menyaksikan secara langsung al-Syafi‘i serta Ibn Hanbal sedang merumuskan pandangan hukumnya. Oleh karena Imam al-Syafi‘i wafat pada tahun 204 H/819 M tatkala al-Muhâsibî berusia 39 tahun --al-Muhâsibî sendiri wafat pada tahun 243 H/837 M dalam usia 78 tahun-- berarti ketika al-Syafi‘i wafat ia pun menyaksikan pandangan hukum Syafi‘i telah terkodifikasi secara baku. Bahkan, menurut Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimension of Islam, al-Muhâsibî termasuk dalam mazhab hukum Syafi‘i, seperti halnya al-Junaid (w. 298/910), Rûdhbârî (w. ), al-Ghazālī (w. ) dan lain-lain. Artinya, al-Muhâsibî tidak hanya menyaksikan hukum al-Syafi‘i dirumuskan dan terumuskan secara matang, tetapi ia pun bergabung ke dalam mazhab Syafi‘i. Menyaksikan bidang hukum telah terumuskan secara sistematis itu tak syak lagi mempengaruhi al-Muhâsibî untuk merumuskan ajaran zuhd, yang sebelumnya belum terumuskan. Dalam istilah Fazlur Rahman, perumusan ajaran asketik (zuhd) merupakan reaksi terhadap perumusan Islam secara hukum. Kalau aspek hukum ini lebih bersentuhan dengan segi-segi formal-lahiriah beragama, maka zuhd ini lebih menekankan dimensi bathiniah keberagamaan seseorang. Di sinilah al-Muhâsibî pun merumuskan ajaran tentang jiwa (nafs) atau tentang dimensi batin manusia. Penekanan pada dimensi batin ini tidak dimaksudkan untuk menolak hukum syari‘ah (kehidupan lahiriah), tetapi justeru dikhidmadkan untuk hukum syari‘ah, sekaligus dimaksudkan untuk menekankan pentingnya penjagaan terus menerus terhadap kesucian niat sekaligus kritik-diri (muhasabat al-nafs) yang tak henti-hentinya, khususnya berkenaan dengan penipuan diri, kebanggaan diri dan Di bidang teologi, masa al-Muhâsibî adalah era Mu‘tazilah, kecuali beberapa tahun di akhir kehidupannya merupakan era ahl a-l-sunnah. Al-Muhâsibî sendiri mendapatkan pengetahaun dari teologi Mu‘tazilah. Pada era al-Ma‘mun teologi ini dijadikan sebagai teologi negara. Mungkin saja disebabkan posisinya sebagai teologi negara ini doktrin Mu‘tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an dipaksakan untuk diterima oleh seluruh warga negara, termasuk kepada para ulama. Ahl al-hadits yang dipelopori Ibn Hanbal menolak paham ini. Atas penolakannya ini Ibn Hanbal disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara. Peristiwa ini menyebabkan kaum Mu‘tazilah mendapat tantangan atau kritik dari kaum Hanabilah. Al-Muhâsibî termasuk mendapatkan kritik dari kaum Hanabilah. Bahkan, al-Muhâsibî mendapatkan kritik langsung dari Ibn Hanbal, meski posisinya sebagai teolog Mu‘tazilah bukan satu-satunya alasan Ibn Hanbal untuk melakukan kritik kepadanya. Alasan lainnya adalah karena al-Muhâsibî, seperti dikatakan Arberri, sebagai ahli hadis dinilai Ibn Hanbal memakai perawi-perawi hadis yang lemah. Kritik Ibn Hanbal ini melahirkan hubungan yang senantiasa tegang di antara keduanya. Barangkali dikarenakan adanya kritik kaum Hanabilah atau ahl al-hadits itulah yang menjadi salah satu sebab al-Muhâsibî melakukan konversi dari teologi Mu‘tazilah ke Sufisme. Penyebab lainnya, mungkin saja, adalah kehidupan kekuasaan yang jauh dari nilai-nilai moral agama. Walaupun melakukan konversi dari teologi Mu‘tazilah ke Sufisme, tetapi telaah metodis teologi Mu‘tazilah, sebagaimana diinformasikan Schimmel, telah memberinya kemahiran berbahasa. Hasilnya, ia bisa menyumbangkan bahasa yang sangat teknis bagi tasawuf. Era Peralihan dari Asketisisme ke Sufisme Berkaitan dengan kehidupan sufisme, era al-Muhâsibî tampaknya merupakan era peralihan dari asketisisme ke sufisme. Abû al-Wafâ’ al-Ghunaimî al-Taftazânî dalam bukunya Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-Islâm mengakui bahwa sulit menentukan secara tepat kapan waktu beralihnya gerakan zuhud ke tasawuf, mengingat perkembangan suatu pemikiran tidak tunduk kepada batasan waktu yang ketat. Namun, ia menyatakan bahwa di akhir abad kedua Hijriah sebagian asketis telah memiliki kecenderungan kepada sufisme (tasawuf) dan sebagian penulis telah memandang mereka sebagai sufi. Kurang lebih pada permulaan abad ketiga Hijriah kecenderungan peralihan dari asketisme ke sufisme yang terjadi di akhir abad kedua Hijriah itu menjadi nyata. Dengan adanya peralihan ini Taftazânî mengatakan bahwa mulai awal abad ketiga Hijriah para zahid tidak lagi dikenal dengan sebutan ini, tetapi dengan nama atau sebutan sufi. Taftazânî pun mengemukakan bahwa pada masa ini mereka cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang belum dikenal sebelumnya, semisal konsep tentang moral, jiwa, olah-spiritual, maqâm dan hâl, ma‘rifat, tauhid, fana’ dan hulul. Bahkan, mereka tidak sekadar membicarakan konsep-konsep ini, tapi juga merumuskannya secara teoritis. Lebih dari itu, mereka telah menyusun aturan-aturan praktis bagi sufisme dan menggunakan bahasa simbolis yang khusus dikenal di kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan di luar mereka. Sesuai dengan kecenderungan memperbincangkan dan merumuskan konsep-konsep sufisme itu muncullah karya-karya tentang tasawuf (sufisme). Tokoh-tokoh yang melakukan kegiatan ini mulai abad ketiga Hijriah dan abad-abad berikutnya, di antaranya, adalah al-Muhâsibî (w. 243 H/857 M) dengan karya utamanya Al-Ri‘âyah li Huqûq Allâh, Abû Bakr al-Kharrâz (w. 286 H/899 M) dengan karyanya Kitâb ash-Shidq, al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H/898 M) dengan karyanya Khatm al-Awliyâ’, Abû al-Qâsim al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/911 M) dengan Kitâb al-Fanâ’-nya, Abû Nashr al-Sarrâj (w. 377 H/988 M) dengan Kitâb al-Luma‘, Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî (w. 385 H/995 M) dengan Kitâb al-Ta‘rruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abû Thâlib al-Makkî (w. 386 H/996 M) dengan Qût al-Qulûb, Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w. 465 H/1074 M) dengan Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, ‘Alî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî (w. 1071 M) dengan Kasyf al-Mahjûb, dan Abû Hâmid al-Ghazzâlî (w. 505 H/1111 M) dengan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Dari tokoh-tokoh yang menulis konsep-konsep tasawuf itu terlihat bahwa al-Muhâsibî merupakan tokoh pemulanya. Al-Muhâsibî, di samping sebagai tokoh pemula, juga termasuk tokoh awal yang mewakili tipikal sufisme Baghdad yang ortodoks, yang mungkin ia peroleh dari pengikut-pengikut Hasan al-Bashrî. Tokoh terpenting di kalangan sufi Baghdad, Abû al-Qâsim Muhammad al-Junayd (w. 298 H/911 M), adalah murid al-Muhâsibî. Karya-karya al-Muhâsibî Karya-karya al-Muhâsibî, sebagaimana karya-karya para alim lain sezamanya, disusun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanayaan yang diajukan kepadanya. Karyanya yang terbesar, al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh, mencerminkan model dealektis ini, yakni dialog antara al-Muhâsibî dengan salah seorang muridnya (yang tidak disebutkan namanya). Muridnya itu mengajukan beberapa pertanyaan pendek dan dijawab oleh al-Muhâsibî dengan jawaban yang panjang dan menyeluruh. Jawaban itu diungkapkan dengan gaya bahasa yang lugas, tidak puitis. Tampaknya, al-Muhâsibî ingin agar tema yang ia bicarakan dalam kitab ini tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman oleh para pembacanya. Sesuai dengan nama pengarangnya, yaitu al-Muhâsibî yang bermakna muhâsabat (telaah-diri yang terus menerus), kitab “Pemeliharaan Hak-hak Allah” (al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh) berisi tentang berbagai bentuk egoisme manusia, metode untuk menelaahnya (mengujinya), peringatan untuk bersikap waspada terhadapnya, dan peringatan agar tidak terikat dan disibukkan olehnya. Bentuk-bentuk utama egoisme manusia yang dibahas oleh al-Muhâsibî dalam kitabnya ini meliputi: kesombongan dan keinginan untuk menampilkan kebaikan diri (riyâ’), narsisisme (sikap atau tindakan mencintai diri sendiri secara berlebihan), ‘ujub (angkuh, yaitu penipuan diri sendiri dengan membesar-besarkan dirinya sebagai seorang yang mulia dan benar dalam segala tindakan serta melupakan kesalahan-kesalahannya), kibr (sikap membanggakan diri dengan memposisikan dirinya sebagai tuan atau Tuhan), dan ghirrat (khayalan bahwa dirinya merupakan orang yang tepat, yaitu ketika seseorang membayangkan bahwa penolakannya terhadap perubahan perilaku yang merusak dibenarkan oleh harapan-harapannya terhadap kasih sayang Tuhan). Selain itu, dalam kitabnya al-Washâyâ, al-Muhâsibî di dalam muqaddimah yang bersifat otobiografis melukiskan krisis yang terjadi pada masanya dan akibat yang harus ditanggung dalam kehidupan batinnya dan mungkin juga kehidupan materialnya. Dalam otobiografi ini, menurut al-Jâbirî, al-Muhâsibî menyadari krisis yang terjadi dan berusaha melampauinya, yakni berusaha keluar darinya secara sadar, sama seperti yang dilakukan al-Ghazâlî tiga abad kemudian. Mungkin sekali otobiografi al-Muhâsibî ini mengilhami al-Ghazâlî ketika menulis otobiografinya di dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dhalâl. Di dalam muqaddimah kitabnya al-Washâyâ atau al-Nashâ’ih itu al-Muhâsibî menulis: “Umat masa kini telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh golongan (firqat) atau lebih dan, di antara mereka, hanya satu golongan yang selamat. Golongan lainnya, hanya Allah Yang Maha Tahu. Dalam kehidupanku, aku takkan berhenti, meski sedikit, untuk meneliti pertentangan-pertentangan umat ini dan mencari metode yang jelas dan jalan yang benar. Kucari jalan ke akhirat melalui para ‘ulama (mutakallim), kutelaah berbagai doktrin tentang Allah melalui penafsiran para ahli fiqh, kurenungkan keadaan-keadaan umat dan kulihat berbagai mazhab dan pendapat mereka, kupikirkan sesuai kemampuanku, dan kulihat bahwa perselisihan mereka bagaikan laut yang dalam, manusia banyak yang tenggelam di sana dan sedikit yang selamat...” Di dalam buku otobigrafinya itu al-Muhâsibî mencari justifikasi perpidahannya dari fiqih dan teologi ke dunia tasawuf dengan terang-terangan, dalam istilah al-Jabiri, tetap berpegang teguh kepada “rasionlitas agama” yang ditetapkan al-Kitab dan al-Sunnah. Dengan kata lain, al-Muhâsibî berusaha merekonsiliasikan antara tasawuf dan syariah, suatu usaha yang terus dilanjutkan oleh sufi-sufi sesudahnya. Karya al-Muhâsibî lainnya adalah al-Masâ’il fî A‘mâl al-Qulûb wa al-Jawârih wa al- Makâsib wa al-‘Aql. Di dalam kitab ini al-Muhâsibî membahas tentang “zuhud,” “diam dan berfikir,” “kaya, syukur dan kefakiran,” “menolak was-was (bisikan syetan),” “sombong, dengki dan penipuan diri,” “riyâ’ dan was-was,” “mengenal nafsu,” “lalai dan lupa,” “tawakkal,” “usaha mencari rizki,” “tinggal usaha,” “sifat warâ‘,” “hakikiat akal dan maknanya,” “akal dari Allah,” dan sebagainya.

AL-QUR'AN DAN SAINS MODERN



Oleh Dimyati Sajari
A. Pendahuluan
            Masalah utama umat Islam adalah masalah keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Ketiga masalah ini bermuara pada satu masalah, yaitu masalah ilmu pengetahuan (sains). Lebih tepatnya adalah masalah tiadanya ilmu pengetahuan dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan umat Islam (Naquib al-Attas, 1995: 7). Dengan demikian, umat Islam terbelakang dalam hal sains dan keterbelakangan ini membawa akibat bagi terwujudnya kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan umat.
            Tentu saja keterbelakangan umat Islam dalam bidang sains dengan segala implikasinya itu menyedihkan banyak umat yang telah tercerahkan, karena dalam keyakinan umat Islam al-Qur'an adalah "segala-galanya." Khusus berkenaan dengan sains, sebagaimana diungkap Syed Muhammad naquib al-Attas lebih lanjut (1995: 33), al-Qur'an berarti sumber sains. Banyak ayat-ayat al-Qur'an (dan juga hadis-hadis Nabi Saw) yang memposisikan sains begitu pentingnya sehingga umat Islam diwajibkan mencari, menuntut dan mengembangkannya. Bahkan, al-Qur'an (dan al-Sunnah) banyak mengungkapkan ajaran-ajarannya tentang sains, seperti penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang (Maurice Bucaille, 1978: 172). Akan tetapi, umat Islam tidak menguasai sains modern, termasuk ajaran-ajaran sains yang dikemukakan al-Qur'an (dan Sunnah) tersebut. Kenapa?
B. Kekeliruan Pemahaman
            Sudah tentu, secara apriori saja dapat dikatakan bahwa ada yang keliru dengan umat Islam dewasa ini. Artinya, kalau umat Islam pada zaman pertengahan berada di garda paling depan di dalam penguasaan terhadap sains sementara umat Islam sekarang ini justeru berada di paling belakang, maka dipastikan bahwa umat Islam dewasa ini telah keliru memahami pedoman hidupnya, yakni al-Qur'an (dan Sunnah). Kekeliruan ini berkaitan dengan pemanfaatan al-Qur'an sebagai sumber sains. Ada beberapa kelompok umat, seperti dikemukakan Ahmad Baiquni (1994: 1), yang menganggap bahwa untuk mengembangkan sains kita cukup membaca ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur'an saja. Dengan demikian, mereka ini menilai kegiatan "mempelajari dan mengembangkan sains melalui penelitian" sebagai usaha yang sia-sia, tiada gunanya, mebuang-buang waktu, dan memboroskan uang.
            Pandangan semacam itu, menurut Ahmad Baiquni (1994: 2), mengandung "bahaya." Kebahayaan pandangan ini tiadk saja karena a;-Qur'an bukanlah buku pelajaran biologi atau sains secara umum (buku pelajaran biasanya menjelaskan pelajarannya secara terperinci sedangkan al-Qur'an hanya mengungkapkan garis besarnya), tetapi juga bisa bertentangan dengan hasil observasi. Misalnya, tentang penciptaan langit dan bumi seperti yang diungkapkan di surat al-Anbiya' ayat ke-30 yang artinya:
            "Dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu keduanya."
            Ulama dan cendekiawan yang hidup seribu tahun yang lalu mungkin akan memahami keterpaduan langit dan bumi itu dengan mengatakan bahwa pada waktu itu langit belum "terangkat" dan masih terletak di bumi, sebab pandangan yang lazim waktu itu memandang bumi ini datar sedangkan langit melengkung seperti bola raksasa yang melingkungi bumi, dengan bintang-bintang yang menempel padanya. Ternyata, berdasarkan pengukuran astronomis, bintang-bintang yang ada di langit itu jaraknya dari bumi tidak sama dan bintang-bintang itu pun tidak menempel pada apapun.
            Melalui contoh itu saja dapat diketahui bahwa justeru sia-sialah usaha mereka yang menyusun sains hanya dari membaca al-Qur'an. Hasil pemahaman mereka dapat bertentangan dengan kenyataan, karena tidak didukung oleh observasi dan pengukuran. Bila mereka menyebarluaskan ajarannya itu degan mengatakannya sebagai "ajaran sains menurut al-Qur'an" –padahal mereka menggunakan konsepsinya sendiri yang tidak benar dan tidak berdasarkan fakta yang nyata—maka masyarakat akan mengatakan bahwa ajaran al-Qur'an itu kolot dan tidak benar. "Inilah bahaya yang saya sebutkan di atas," tuis Prof. Baiquni (1994: 3).
            Untuk itulah pemahaman saja terhadap ayat-ayat al-Qur'an tentang sains tidaklah memadai. Pemahaman ini haruslah dibarengi dengan observasi, sebagaimana perintah Allah yang artinya:
             "Katakanlah (wahai Muhammad): Periksalah (dengan nazhar atau intizhar) apa-apa yang ada di langit dan di bumi" (QS Yunus: 151).
            Tentu saja observasi itu harus diikuti dengan data-data statistiak (pengukuran terhadap besaran-besarannya), sebab Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran, semisal Firman-Nya yang artinya:
             "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran" (QS al-Qamar: 49).
            Di samping itu, ada juga sekelompok umat yang beranggapan bahwa untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an, termasuk ayat-ayat yang berkenaan dengan sains, cukup dengan penguasaan bahasa Arab yang memadai. Anggapan ini tidak kalah kelirunya dengan pandangan sekelompok umat di atas. Maurice Bucaille (1978: 179) mengatakan bahwa untuk memahami ayat-ayat al-qur'an, pengetahuan yang mendalam tentang Bahasa Arab saja tidak cukup. Selain Bahasa Arab, ahli tafsir perlu memiliki pengetahuan ilmiah yang bermacam-macam… Dengan mengikuti persoalan-persoalan yang timbul, orangmengerti bahwa bermacam-macam pengetahuan ilmiah sangatlah perlu untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an tertentu, (walau belum seluruh ayat al-Qur'an dapat diterangkan oleh sains modern).
            Bucaille (1978: 195-198) memberikan contoh tentang penterjemahan kata ayyām dalam kaitannya dengan penciptaan langit dan bumi, dengan "hari." Misalnya Surat al-A'rāf ayat 54 yang menyatakan: "Tuhanmu adalah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari." Menurut Bucaille, sains modern tidak memungkinkan manusia untuk mengatakan bahwa proses kompleks yang berakhir dengan terciptanya alam dapat dihitung "enam." Namun sains modern sudah menunjukkan secara formal bahwa persoalannya adalah beberapa periode yang sangat panjang sehingga arti "hari" sebagai yang kita pahami sangat tidak tepat. Dengan demikian, sesuai pandangan sains modern, kata ayyām dalam ayat tersebut tidak dipahami dengan "enam hari," tapi "enam periode" (kata ayyām sendiri dapat berarti "waktu yang tak terbatas, waktu yang lama").
            Dari dua contoh kekeliruan pemahaman yang masing-masing ditunjukkan oleh Prof. Baiquni dan Maurice Bucaille itu dapat ditegaskan bahwa kalau terjadi kontradiksi antara al-Qur'an dan sains modern, maka kontradiksi itu terjadi akibat dari kesalahpemahaman terhadap al-Qur'an. Bucaille (1978: 182) mengatakan, "… kita akan menemukan bahwa riwayat-riwayat Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains."
C. Al-Qur'an dan Pemahaman Sains Modern.
            Telah ditunjukkan di atas bahwa untuk memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan sains tidak cukup hanya dengan memahami ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur'an tersebut, tapi juga harus diikuti dengan obeservasi terhadap "gejala-gejala alam." Observasi ini tidak saja untuk mendapatkan padanan makna antara ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut al-kaun dengan ayat-ayat Allah yang berada di alam semesta (Baiquni, 1995: 59, Sirajuddin Zar, 1994: 30), tapi juga dalam rangka penerangan tentang kekuasaan Tuhan (Bucaille, 1978: 179) atau dalam rangka memperkuat keyakinan bahwa Tuhan memang MahaKuasa (Zar, 1994: 29).
            Penyelidikan atau observasi terhadap gejala-gejala alam itu berkemungkinan mempertebal iman karena gejala-gejala alam itu pun disebut al-Qur'an sebagai ayat-ayat Allah (Baiquni, 1994: 2). Dengan demikian, ayat-ayat Allah terbagi dua, yaitu "yang tersurat" (al-Qur'an) dan "yang tidak tersurat" (alam semesta). Baik ayat-ayat Allah "yang tersurat" maupun "yang tidak tersurat" ini saling mengisi dan melengkapi: antara yang satu dengan yang lainnya ditemukan suatu keserasian atau kecocokan karena keduanya memang dirancang untuk tujuan demikian oleh "tangan" yang sama dan sumber yang sama, yakni Allah Swt (Zar, 1994: 30).
            Di samping itu, jagad raya ini, dalam Bahasa Arab, disebut "alam" ('ālam) yang satu akar kata dengan "ilmu" ('ilm, pengetahuan) dan "alamat" ('alamah, pertanda). "disebut demikian," tulis Nurcholish Madjid (1992: 289), "karena jagad raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa." Selanjutnya Nurcholish menyatakan bahwa sebagai pertanda adanya Tuhan jagad raya juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia.
            Jadi, dengan melaksanakan perintah Allah, yaitu mengobservasialam jagad raya, maka Iman akan semakin kokoh. Tentu saja tidak hanya Iman yang kian kuat yang didapatkan, tetapi juga ilmu pengetahuan (sains) karena observasi yang disertai dengan pengukuran merupakan dasar sains modern (Baiquni, 1995: 61). Dengan kata lain, ilmu pengetahuan diberikan Allah kepada manusia melalui kegiatan manusia sendiri dalam usahanya memahami alam raya ini. Sebab itu, ilmu pengetahuan tidak lain ialah usaha manusia untuk memahami hokum Allah yang pasti bagi alam semesta ini (Madjid, 1992: 292).
            Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa penyelidikan (observasi) terhadap alam sangat menunjang keimanan dan juga dapat mengembangkan sains modern. Mengingat sangat pentingnya observasi ini, maka tidak aneh kalau sekitar 750 ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan alam semesta dan fenomena-fenomenanya secara umum menunjukkan perintah (memerintahkan) manusia untuk memperhatikan, mempelajari, dan meneliti alam semesta (Zar, 1994: 28). Dengan mengobservasi alam semesta –disertai pengukuran-pengukurannya—maka akan diperoleh sains modern.
            Salah satu ayat yang memerintahkan manusia (umat Islam) untuk mengadakan observasi adalah ayat 101 Surat Yunus, sebagaimana telah dikutip di atas. Baiquni (1994: 4-7) mengartikan kata unzhuru dalam ayat tersebut tidak dengan lihatlah, sebab kata ini juga digunakan dalam ayat 17 s.d. 20 Surat al-Ghasyiyah, tetapi "melihat dengan perhatian" untuk dapat menjawab: bagaimana onta diciptakan, bagaimana langit diangkat atau ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dibentangkan.
            Lebih lanjut Baiquni menyatakan bahwa dengan membaca al-Qur'an dan berintizhar disertai pikiran yang kritis dan penalaran yang rasional, seperti dikemukakan dalam Surat al-Nahl ayat 11 dan 12, maka kita akan memperoleh sains sebagai hasilnya. Menurutnya, sains adalah consensus yang tercapai di antara para pakar sebagai kesimpulan penalaran secara rasional atas hasil peikiran dan analisis yang kritis terhadap data-data yang dikumpulkan dari pengukuran besar-besaran pada observasi gejala-gejala alamiah.
            "Jadi," tulis Baiquni, "menurut pengertian saya, pengembangan sains itu justeru diperintahkan oleh Allah Swt agar kita dapat memahami ayat-ayat al-Qur'an lebih sempurna sehingga tampak kebesaran dan kekuasaan-Nya secara lebih nyata… Mengabaikan sains dan membiarkannya terlantar, pada hemat saya, merupakan perbuatan dosa karena mengabaikan perintah dan petunjuk Ilahi. Kalau seluruh masyarakat, apalagi seluruh umat mengabaikannya, maka hukuman dapat menimpa; dalam bentuk kebodohan, kelemahan, penjajahan, dan sebagainya."
D. Penutup.
            Pernyataan Prof. baiquni itu, nampaknya, telah menjawab persoalan penyebab keterbelakangan umat Islam dalam bidang sains dengan segala implikasinya, semisal kebodohan, kelemahan, dan kemiskinan. Bila diinventarisasi, maka penyebab itu adalah:
1.      Umat keliru memahami ayat-ayat al-kaun di dalam al-Qur'an karena umat tidak menyertainya dengan observasi terhadap ayat-ayat yang terdapat di alam jagad raya.
2.      Umat keliru memahami ayat-ayat al-kaun di dalam al-Qur'an karena tidak memakai sains sebagai alat bantunya.
3.      Umat tidak lagi menggiatkan diri untuk mengobservasi ayat-ayat Tuhan di alam jagad raya yang merupakan prasyarat terciptanya sains modern.
            Tiga hal itulah, paling tidak, yang menyebabkan umat terbelakang dalam bidang sains modern. Keterbelakangan ini membawa akibat keterbelakangan yang lain, semisal dalam bidang ekonomi, ssosial, pendidikan, dan politik. Akan tetapi, lepas dari ini semua, yang jelas tidak ada ketidakserasian antara al-Qur'an dan sains modern. "Seluruh ayat-ayat al-Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains modern," demikian penegasan Maurice Bucaille. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1995. Islam dan Filsafat Sains. Terjemahan oleh Saiful Muzani dari Islam and the Philosophy of Science. Bandung: Mizan.
Baiquni, Ahmad. 1994. Al-Qur'an, Ilmu Pengetahuan` dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhaktu Wakaf.
---------, 1995. "Konsep-konsep Kosmologis." Dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Bucaille, Maurice. 1978. Bibel, Quran, dan Sains Modern. Terjemahan oleh H.M. Rasyidi dari La Bible la Coran Et la Science (1976). Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Zar, Sirajuddin. 1994. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan al-Quran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

ASNĀF ZAKAT FITRAH


Oleh Dimyati sajari*

A. Pendahuluan.
Sedekah atau shadaqah di dalam Islam secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sedekah wajib dan sedekah sunah. Sedekah wajib biasa disebut dengan zakat dan sedekah sunah biasa disebut dengan sedekah atau infaq. Oleh karena itu, ketika Allah menyebut innama al-shadaqâtu (dibaca: innamash shadaqâtu): “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu,” maka yang dimaksud adalah keseluruhan sedekah yang ada dalam Islam, baik sedekah yang wajib (zakat) maupun sedekah yang sunah (sedekah atau infaq).
            Khusus untuk sedekah yang wajib itu, yakni zakat, Islam pada garis besarnya membagi menjadi dua pula, yaitu zakât mâl (zakat harta) dan zakât fitrah (ada yang menyebut sedekah fitrah). Baik zakat mal maupun zakat fitrah ini pentasharrufannya (pembagiannya, pendistribusiannya) dibagi menjadi delapan ashnâf (delapan bagian, delapan kelompok), sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam Surah al-Taubah ayat 60. Jadi, zakat fitrahpun dibagikan menjadi delapan bagian. Kenapa? Bukankah ada hadis yang menyatakan bahwa zakat fitrah itu “untuk makanan bagi orang-orang miskin” (thu‘matan lil masâkîn) yang harus “dibagikan kepada mereka sebelum shalat ‘Id” (an tuaddâ qabla khurûj al-nâsi ilâ al-shalâh)? Dua pertanyaan inilah yang sering ditanyakan ketika ada penyuluhan BAZIS dan dua pertanyaan ini pula yang akan dijawab di bawah ini.
B. Pendapat Ulama tentang Ashnâf Zakât Fitrah.
            Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, maka akan dikemukakan pendapat beberapa ulama tentang ashnaf zakat fitrah. Menurut Imam al-Ghazali, pembagian (pendistribusian) zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat mal, sebagaimana tulisnya:
وقسمتها كقسمة زكاة الأموال فيجب فيها استيعاب الأصناف
Artinya: “Dan pembagian zakat fitrah itu seperti pembagian zakat mal. Oleh karena itu, wajib di dalam zakat fitrah itu membagikannya kepada kelompok-kelompok tersebut” (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, h. 212).
            Syaikh Sayid Sabiq juga mengatakan bahwa pendistribusian zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat mal, yakni menjadi delapan ashnaf, seperti tulisnya:
مصرف زكاة الفطر مصرف الزكاة، أى أنها توزع على الأصناف الثمانية المذكورة فى آية: إنماالصدقات للفقراء...
Artinya: “Orang yang diberi zakat fitrah itu sama dengan orang yang diberi zakat, yakni dibagikan kepada delapan golongan yang disebutkan di dalam ayat: Sesungguhnya sedekah-sedekah itu untuk para fakir …” (Fiqh Sunnah, Jilid I, h. 351).                                                                                                                           
            Kemudian, Doktor Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa para fuqaha’ (ulama ahli fiqh) telah bersepakat tentang pembagian zakat fitrah. Menurut al-Zuhaili, para fuqaha’ telah bersepakat bahwa orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah yang berhak menerima zakat wajib; karena zakat fitrah merupakan zakat, maka tempat pentasharrufannya (pembagiannya) sama halnya dengan zakat-zakat yang lain, seperti ungkapannya:
إتفق الفقهاء على أن مصرف زكاة الفطر هو مصارف الزكاة المفروضة، لأن صدقة الفطر زكاة، فكان مصرفها مصرف سائر الزكوات، ولأنها صدقة، فتدخل فى عموم قوله تعالى: إنماالصدقات للفقراء والمساكين. ولا يجوز دفعها إلى من لايجوز دفع زكاة المال إليه...
Artinya: “Ahli-ahli fiqh telah bersepakat bahwa tempat pendistribusian (orang-orang yang berhak menerima) zakat fitrah adalah orang yang berhak menerima zakat yang diwajibkan. Oleh karena sedekah fitrah itu merupakan zakat, maka tempat pembagian zakat fitrah adalah tempat pembagian zakat-zakat yang lain. Oleh sebab zakat fitrah itu merupakan sedekah, maka zakat fitrah termasuk di dalam keumuman Firman Allah Ta‘ala:  ‘Sesungguhnya sedekah-sedekah itu untuk orang-orang fakir dan miskin.’ (Oleh karena itu), zakat fitrah itu tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak menerima zakat harta…” (Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, h. 912-913).
            Di samping itu, di dalam al-Muhadzdzab pun disebutkan bahwa zakat-zakat itu wajib dibagikan kepada delapan bagian.
ويجب صرف جميع الصدقات إلى ثمانية أصناف
Artinya: “Dan wajib membagikan keseluruhan sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu kepada delapan golongan...” (Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‘i, Juz I, h. 170).
            Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikutip di atas jelaslah bahwa menurut ulama-ulama tersebut pembagian (ashnâf) zakat fitrah itu sama dengan pembagian zakat-zakat yang lainnya. Alasan para ulama itu adalah karena zakat fitrah merupakan bagian dari zakat-zakat yang lainnya, maka pembagiannyapun tidak bisa dipisah-pisahkan atau tidak bisa dibedakan dengan pembagian zakat-zakat yang lainnya, yakni dibagikan kepada delapan ashnâf atau delapan golongan.
C. Pensyariatan Zakat Fitrah dan Zakat Mal.
            Tentu para ulama di atas mengetahui dan memahami adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari sahabat Ibn ‘Abbas yang berbunyi:
فرض رسول الله صلعم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين
Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna serta dari percakapan yang kotor (keji) dan sebagai makanan bagi orang-orang yang miskin.”
            Hadis itu menyatakan bahwa zakat fitrah itu untuk membersihkan jiwa orang yang berpuasa dan untuk memberi makan kepada orang-orang yang miskin. Akan tetapi, kenapa ulama-ulama fiqh itu tidak mengatakan bahwa ashnaf zakat fitrah hanya untuk orang-orang miskin atau hanya untuk fakir-miskin?
            Tampaknya, para ulama fiqh itu tidak berpendapat bahwa ashnaf zakat fitrah hanya untuk fakir-miskin adalah, di samping alasan di atas, karena pensyariatan zakat fitrah lebih dulu dibanding pensyariatan zakat mal atau zakat-zakat yang lain sehingga hadis yang bersifat khâsh (mengkhususkan untuk fakir-miskin) itu tidak bisa mentakhshish (mengkhususkan) ayat 60 Surah al-Taubah yang bersifat umum, yaitu menggunakan bentuk plural al-shadaqât. Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah menyatakan bahwa zakat fitrah diperintahkan sebelum perintah zakat. Bunyi hadis tersebut adalah:
كان رسول الله صلعم يأمرنا بها قبل نزول الزكاة
Artinya: “Adalah Rasulullah SAW memerintahkan zakat fitrah kepada kami sebelum turunnya perintah zakat.”
            Selain itu, al-Malibari di dalam kitabnya Fath al-Mu‘în mengatakan bahwa zakat mal itu diwajibkan pada tahun kedua hijrah setelah diwajibkannya zakat fitrah, seperti tulisnya:
وفرضت زكاة المال فى السنة الثانية من الهجرة بعد صدقة الفطر...
Artinya: “Zakat harta diwajibkan pada tahun kedua hijrah setelah diwajibkannya sedekah fitrah…” (Fath al-Mu‘în, h. 48).
Al-Malibari juga mengatakan bahwa diwajibkannya zakat fitrah itu pada tahun kedua hijrah, sebagaimana tahun diwajibkannya berpuasa:
لأن وجوبها به وفرضت كرمضان فى ثانى سنى الهجرة...
Artinya: “Karena kewajiban dan diwajibkannya zakat fitrah itu seperti diwajibkannya berpuasa ramadhan, yakni keduanya diwajibkan pada tahun kedua hijrah” (Fath al-Mu‘în, h. 50).
            Senada dengan al-Malibari itu, al-Zuhaili mengatakan:
شرعت زكاة الفطر فى السنة الثانية من الهجرة، عام فرض صوم رمضان، قبل الزكاة
Artinya: “Zakat fitrah itu disyariatkan pada tahun kedua hijrah, tahun diwajibkannya berpuasa ramadhan, sebelum (disyariatkannya) zakat” (Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, h. 900).
            Sayid Sabiq pun menyatakan bahwa zakat fitrah itu disyariatkan pada bulan Sya‘ban tahun kedua hijrah:
شرعت زكاة الفطر فى شعبان، من السنة الثانية من الهجرة لتكون طهرة للصائم...
Artinya: “Zakat fitrah itu disyariatkan pada bulan Sya‘ban di tahun kedua hijrah untuk menyucikan orang yang berpuasa…” (Fiqh al-Sunnah, Jilid I, h. 348).
            Dari nukilan-nukilan itu terlihatlah bahwa pensyariatan zakat fitrah itu terjadi pada bulan Sya‘ban atau disyariatkan berbarengan dengan pensyariatan puasa ramadhan pada tahun kedua hijrah, sebelum pensyariatan zakat-zakat yang lainnya. Oleh karena zakat fitrah itu lebih dulu disyariatkan dibanding pensyariatan zakat-zakat yang lainnya, maka hadis tentang zakat fitrah sebagai “makanan orang-orang msikin” tidak bisa dijadikan alasan untuk mengkhususkan ashnaf zakat fitrah kepada fakir-miskin saja, melainkan justeru harus mengikuti ashnaf yang delapan yang ditentukan belakangan, yakni yang ditentukan di Surat al-Taubah ayat 60. Apalagi ketentuan tentang ashnaf delapan ini ditentukan oleh al-Qur’an. Sudah tentu, derajat al-Qur’an lebih tinggi dibanding derajat al-Hadis.
            Walau begitu; walau ashnaf zakat fitrah itu juga delapan, tetapi karena hadis di atas, maka golongan fakir-miskin merupakan golongan yang lebih diutamakan dibanding golongan-golongan yang lain untuk mendapatkan zakat fitrah, sebagaimana pendapat Sayyid Sabiq:
والفقراء هم أولى الأصناف بها، لما تقدم فى الحديث فرض رسول الله صلعم زكاة الفطر... وطعمة للمساكين
Artinya: "Para fakir itu lebih utama mendapat bagian zakat fitrah dibanding golongan-golongan yang lainnya, berdasarkan hadits di atas: Rasullullah mewajibkan zakat  fitrah . . . sebagai makanan orang-orang miskin” (Fiqh al-Sunnah, Jilid I, h. 351).
Jadi, walaupun ashnaf zakat fitrah itu dibagikan kepada delapan ashnaf sebagaimana zakat-zakat yang lain, tetapi ashnaf fakir-miskin harus lebih diutamakan dibanding ashnaf-ashnaf yang lain. Bagian ashnaf fakir-miskin inilah yang wajib diberikan kepada mereka sebelum shalat ‘Id al-Fitri, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari-Muslim: “wa amara bihâ an tuaddâ qabla khurûj al-nâsi ilâ al-shalâh (dan Rasulullah memerintahkan supaya zakat fitrah itu ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat ‘Id).” Adapun ashnaf-ashnaf yang lain tidak ada kewajiban memberikannya sebelum shalat ‘Id.
D. Kesimpulan.
            Berdasarkan uraian di atas bisa diketahui bahwa ashnaf zakat fitrah pun sama dengan ashnaf zakat-zakat yang lainnya, yakni delapan ashnaf. Akan tetapi, ashnaf fakir-miskin merupakan ashnaf yang paling berhak untuk menerima zakat fitrah dan bagian mereka ini harus diberikan sebelum shlat ‘Id. (Sebenarnya, untuk zakat selain zakat fitrahpun ashnaf fakir-miskin merupakan ashnaf yang harus diutamakan). Untuk ashnaf yang lain tidak harus diberikan sebelum shalat ‘Id. Wallahu a‘lam.
Ciputat, Medio September 2003.
Datar Bacaan:
Syaikh Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut, Darul Fikr, 1983.
Doktor Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, Damsyiq, Darul Fikr, 1989.
Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurrah al- ‘Aini, Cirebon, al-Maktabah al-Mishriyyah, t. t.
Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imâmi al-Syafi’i, Semarang, Toha Putra, t. t.
Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-Din, Juz I, Semarang, Toha Putra, t. t.


*Drs. Dimyati Sajari, M.Ag: Ketua II Pengurus BP BAZIS Kec. Ciputat Kab. Tangerang. Makalah ini disusun sebagai bahan “Silaturrahim” antara Pengurus BP BAZIS Kec. Ciputat dengan Pengurus UPZ Tk. Desa dan DKM se-Kec. Ciputat pada bulan September-Oktober 2003.

AKHLAK TERCELA: GHIBAH


            Salah satu akhlak tercela (akhlaq mazhmumah) adalah ghibah. Di bawah ini akan diungkap tentang ghibah ini, meski belum menguraikan segala hala yang beraitan dengan ghibah.
A. Arti Ghibah
            Dari segi bahasa (lughah), ghibah berarti mengumpat, memfitnah atau mempergunjing. Adapun dari segi istilah (isthilahi), ghibah berarti menyebut atau memperkatakan perihal seseorang ketika orang itu tidak ada dan sama sekali orang itu tidak suka (membencinya) bila perkataan (gunjingan) tersebut sampai kepadanya. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyā' mengatakan, "Sesungguhnya definisi ghibah adalah engkau menyebut saudaramu tentang apa yang ia tidak suka disebutkan bila hal itu sampai kepadanya" (أن حد الغيبة أن تذكرأخاك بما يكرهه لو بلغه ).
            Definisi atau pengertian tersebut sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw.:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلم. قال: أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله اعلم. قال: ذكرك اخاك بما يكرهه. قيل: افرايت ان كان فى أخى ما اقول. قال: ان كان فيه ماتقول فقد اغتبته وان لم يكن فيه مل تقول فقد بهته (رواه مسلم وابو داود و احمد)
            Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Tahukah kamu apakah ghibah itu?" Sahabat menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah bersabda: "Yaitu engkau menyebut saudaramu tentang apa yang ia tidak suka hal itu disebutkan." Ditanyakan: "Bagaimana pendapat Rasulullah bila teman saya itu memang seperti yang saya katakana itu?" Rasulullah menjawab: "Bila ia seperti yang engkau katakana, maka sungguh engkau telah menghibahnya. Jika ia tidak seperti yang engkau katakana, maka sungguh engkau telah menuduhnya dengan kedustaan." (HR Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
            Di samping menyebutkan tentang ghibah, hadis tersebut juga menyebut tentang buhtah (بهته), yaitu mengatakan tentang orang lain, tetapi orang lain itu tidak seperti yang ia katakana. Oleh karena orang yang dikatakan tidak seperti yang ia katakana, maka perkataan tersebut disebut perkataan yang dusta, tuduhan kedustaan (بهته). Kemudian, ada pula tuduhan yang berdasarkan informasi yang sampai kepada orang yang menuduh tersebut, tetapi tuduhan tersebut tidak benar. Tuduhan yang berdasarkan informasi yang tidak benar ini disebut ifk (افك). Al-Ghazali membedakan ghibah, buhtah dan ifk sebagai berikut:
الغيبة ان تقول ما فيه، البهتان ان تقول ما ليس فيه والإفك ان تقول مابلغك
B. Batasan Ghibah
            Ghibah tersebut dapat berkaitan dengan kekuarangan fisik, nasab, watak, tingkah laku, ucapan, keagamaan dan keduniaan seseorang, termasuk di dalamnya pakaian, rumah, dan cara jalan seseorang. Adapun yang berhubungan dengan kekuarangan fisik seseorang, misalnya menyebut orang lain "matanya juling," "panunan," "hitam," "hidungnya pesek," dan sebagainya. Yang berakaitan dengan nasab, misalnya mengatakan tentang orang lain sebagai "anak tukang sepatu," "anak tukang bakul," "anak kuli bangunan," dan sebagainya. Sementara yang berhubungan dengan akhlak (watak) dibagi menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan agama dan yang berhubungan dengan keduniaan. Yang berhubungan dengan agama, semisal mengatakan orang lain "ia pemabuk," "pembohong," "tidak mau shalat," "tidak mau membayar zakat," dan lain-lain. Yang berkaitan dengan keduniaan, seperti mengatakan: ia kurang beradab, banyak omong, banyak  makan, tukang tidur, dan lain sebagainya.
            Sehubungan dengan ghibah yang berkaitan dengan agama itu, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ada yang berpendapat kalau dalam hal yang berhubungan dengan agama tidak termasuk ghibah dikarenakan orang tersebut hanya menyebutkan (mencela) tentang apa yang telah dicela oleh Allah sehingga mencelanya, misalnya dengan mengatakan: "Orang itu durhaka," diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah dilapori tentang seorang wanita yang banyak kebaikannya dan puasanya, tetapi ia (suka) menyakiti tetangganya dengan lisannya. Menurut Rasulullah, wanita ini tempatnya di neraka (هي فى النار). Sebaliknya, ketika Rasulullah Saw. dilapori tentang seorang wanita yang sedikit shalatnya, puasanya dan sedekahnya—kalau bersedekah hanya berupa remuk-remukan rotinya—tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya. Menurut Rasulullah, "ia tempatnya di sorga" (هي فى الجنة) (HR Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibban dan Al-Hakim).
            Pandangan tersebut ditolak oleh al-Ghazali. Bagi al-Ghazali, pandangan ini "tidak benar" (فاسد), sebab hadis ini berkenaan dengan status hokum tentang wanita yang ditanyakan tersebut, bukan dimaksudkan untuk mengetahui (menyebutkan) kekuarangan wanita tersebut. Oleh karena itu, menyebut orang lain tentang apa yang orang lain itu tidak suka disebutkan tetap disebut ghibah—meski berkaitan dengan masalah agama—dan berarti "memakan daging saudaranya" (آكل لحم أخيه).
C. Hukum Ghibah
            Zainuddin al-Malibari di dalam Irsyad al-'Ibad ila Sabil al-Rasyad mengatakan bahwa para ulama bersepakat untuk mengharamkan ghibah. Bahkan, kebanyakan ulama menyatakan bahwa ghibah itu dosa besar (ان الغسبة حرام اجماعا بل قال كثيرون اتها كبيرة). Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam al-Ghazali. Bahkan, al-Ghazali mengatakan bahwa ghibah dalam hatipun hukumnya haram. Alasannya adalah karena su' al-zhan (سؤ الظان) itu haram, sebagaimana perkataan yang tidak baik (سؤالقول), dan persangkaan yang tidak baik itu letaknya di dalam hati. Akan tetapi, dalam pandangan al-Ghazali, ghibah dalam hati itu dimaafkan.
D. Ghibah yang Dibolehkan
            Menurut al-Ghazali, bila hanya melalui ghibah tujuan syara' yang sebenarnya dapat digapai, maka untuk tujuan ini ghibah diperbolehkan dan dianggap tidak berdosa. Ghibah yang diperbolehkan ini ada enam macam. Pertama, ghibah dalam arti mengadukan kezaliman (التظلم). Maka sesungguhnya orang yang menuturkan tentang seorang hakim yang berbuat zalim, tidak dapat dipercaya dan menerima suap, maka hal itu merupakan ghibah bila ia tidak terzalimi. Adapun orang yang terzalimi (dizalimi) seorang hakim, maka ia berhak untuk mengadukan kezaliman hakim itu kepada penguasa dan berhak menyebutkan kezaliman itu bila hanya dengan cara demikian haknya akan terpenuhi (فإن من ذكر قاضيا بالظلم والخيانة واخذ الرشوة كان مغتابا عاصيا ان لم يكن مظلوما. أما المظلوم من جهة القاضى فله أن يتظلم الى السلطان و ينسبه الى الظلم اذلايمكنه استيفاء حقه إلا به).
            Kedua, ghibah dalam pengertian meminta tolong untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang durhaka kembali ke jalan yang benar (الإستعانة على تغيير المنكر ورد العاصى الى منهج الصلاح).
            Ketiga, ghibah dalam rangka meminta fatwa terhadap mufti (ulama pemberi fatwa) tentang apa yang harus dilakukannya berkaitan dengan kezaliman yang telah diperbuat seseorang.
            Keempat, ghibah dalam arti mengingatkan orang Islam dari kejahatan atau ketidakbaikan. Oleh karena itu, ketika melihat seorang ulama (fakih) berulangkali mendatangi orang yang berbuat bid'ah atau orang yang membuat kerusakan (fasik) dan takut si fakih itu tertular kebid'ahan dan kefasikannya, maka diperbolehkan untuk menyingkapkan (memberitahukan) tentang kebid'ahan dan kefasikan orang itu (تحذير المسلم من الشر فإذا رايت فقيها يتردد الى مبتدع او فاسق وخفت ان تتعدى اليه بدعته وفسقه فلك أن تكشف له بدعته وفسقه).
            Kelima, bila ada manusia yang dikenal dengan laqab (gelarnya), maka tidak berdosa jika menyebut orang tersebut dengan gelarnya, seperti memanggil "si pincang" atau "si buta," dengan syarat orang yang dipanggil dengan laqabnya tersebut tidak marah (ان يكون الإنسان معروفا بلقب يعرب عن عيبه كالأعرج والأعمش فلا اثم على من يقول بحيث لايكرهه صاحبه لوعلمه بعد أن قد صار مشهورا به).
Keenam, bila ada orang yang terang-terangan melakukan kefasikan, seperti seorang laki-laki yang berperilaku sebagai seorang perempuan, maka tidak berdosa jika melakukan ghibah terhadap kefasikan orang tersebut karena ia sendiri telah melakukan kefasikan atau kejahatan secara terang-terangan (أن يكون مجاهرا بالفسق كالمخنث وصاحب الماخور والمجاهر بشرب الخمر... فإذا ذكرت فيه مايتظاهر به فلا اثم عليك).
E. Penutup
            Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya ghibah itu hukumnya haram. Akan tetapi, jika hanya dengan cara ghibah itu tujuan syara' dapat ditegakkan, maka ghibah diperbolehkan. Apabila melalui cara lain tujuan syariat dapat dicapai, maka ghibah hukumnya haram. Wallahu a'lam (dimyati sajari).

BERKAT ANAK YATIM



Sering kali pasangan suami isteri yang sudah lama menikah dan belum dikaruniai ‘momongan’ dianjurkan supaya memelihara anak yatim sebagai ‘pancingan.’ Anjuran ini berdasar suatu kisah di dalam al-Qur’an, yaitu kisah Nabi Zakaria As.
Dapat dibaca di dalam al-Qur’an (QS 19: 1-11), Nabi Zakaria As sudah lama menikah, tapi belum dianugerahi seorang anak. Nabi Zakaria menyadari bahwa dirinya sudah sangat tua, tulang belulangnya telah melemah tak berdaya, dan rambutnya telah memutih semua. Sementara itu, isterinya diakuinya merupakan wanita yang mandul (yang tidak mungkin bisa memberinya keturunan).
Meski begitu, Nabi Zakaria tidak pernah patah semangat untuk senantiasa memohon kepada Allah supaya dikaruniai seorang putera. Dari lubuk hatinya yang terdalam keluarlah suaranya yang lirih menggetarkan jiwa bahwa dirinya merasa khawatir akan nasib agamanya dan nasib perjuangannya setelah dirinya tiada. Oleh sebab itu, beliau berdoa kepada-Nya, “maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera.”
Di lain ayat diceritakan bahwa Nabi Zakaria memenangkan perlombaan pengasuhan Maryam, seorang anak yatim yang ditinggal ayahnya tatkala masih dalam kandungan. Maryam adalah puteri ‘Imran, seorang pemimpin Masjid al-Aqsha, yang juga paman Nabi Zakaria sendiri. Ketika Maryam lahir, maka mantan-mantan anak buah ‘Imran berebutan ingin mengasuh Maryam. Oleh karena itu, diadakan perlombaan dengan cara melemparkan anak-anak panah mereka ke dalam sungai dengan ketentuan: siapa yang anak panahnya tidak tenggelam, maka dialah yang berhak memelihara Maryam. Perlombaan ini dimenangkan Nabi Zakaria As.
Sebelum memenangkan hak asuh atas Maryam itu, Nabi Zakaria telah ditunjuk sebagai penjaga Masjid al-Aqsha, menggantikan posisi ‘Imran. Tatkala mengasuh Maryam, Nabi Zakaria tidak menempatkan Maryam di rumah Nabi Zakaria, tetapi di Mihrab Masjid al-Aqsha. Tidak seorang pun boleh masuk ke Mihrab (kamar Maryam) ini kecuali Nabi Zakaria As.
Di Mihrab yang dijadikan kamar bagi Maryam itulah Nabi Zakaria berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (QS 3: 38). Sewaktu Nabi Zakaria sedang berdiri shalat di kamar Maryam inilah Malaikat Jibril menyerunya dan memberinya kabar gembira bahwa doanya dikabulkan Allah Swt. “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya...” (QS 3: 39).
Kisah pengasuhan anak yatim yang dilakukan Nabi Zakaria ini menjadi teladan bagi pasangan suami isteri yang telah lama menikah dan belum dianugerahi keturunan. Dari sudut logika manusia biasa, tidak mungkin Nabi Zakaria yang sudah tua renta dan isterinya pun mandul bisa mendapatkan keturunan. Namun, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya bahwa tiada yang mustahil bagi Dia. Setelah mengasuh anak yatim doa Nabi Zakaria yang tiada kenal putus asa yang selama itu belum didengar Allah dikabulkan Allah Swt. Nabi Zakaria dikaruniai seorang putera dan karunia ini beliau terima berkat (sesudah) mengasuh anak yatim.
Menariknya, bukan saja dikabulkannya doa Nabi Zakaria itu berkat (setelah) mengasuh anak yatim, tetapi juga tempat beliau berdoa. Doa beliau yang mustajabah itu di kamar Maryam, kamar seorang anak yatim suci yang sangat beliau jaga kesuciannya. Tampaknya, hal ini merupakan pelajaran bahwa tidak saja anak yatim itu membawa berkah, tetapi kamar anak yatim yang diasuh dengan penuh kasih sayang pun merupakan kamar yang diberkati sehingga berdoa di dalamnya tidak akan ditolak Allah Swt. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berkat mengasuh anak yatim dan berdoa di kamar anak yatimlah Nabi Zakaria dianugerahi seorang putera. Maryam sendiri, kemudian, dijadikan Allah sebagai seorang wanita pilihan, seorang wanita suci, seorang wanita mulia yang pada zamannya tiada bandingannya. Wallahu a‘lam.
Pamulang, 17 Desember 2009

BERSYUKURLAH KAUM IBU

BERSYUKURLAH KAUM IBU
Oleh Dimyati Sajari
Sungguh mulia kaum ibu. Mereka mendapatkan kemuliaan dan kehormatan dari Allah yang tidak akan pernah didapatkan kaum bapak. Mereka sejak diciptakannya Siti Hawa, isteri Nabi Adam As., telah dijadikan wasilah atau sarana oleh Allah akan adanya manusia-manusia di atas bumi ini. Sedari itu, tidak seorang pun lahir ke dunia ini kecuali melalui seorang ibu.
Dipilihnya kaum ibu sebagai wasilah akan adanya manusia-manusia baru itulah yang membuat kaum ibu mulia dan terhormat, karena semua yang dijadikan wasilah oleh Allah adalah makhluk-makhluk mulia dan terhormat. Kalau dibandingkan antara para nabi dan rasul dengan kaum ibu, maka nabi dan rasul dijadikan Allah mulia dan terhormat disebabkan mereka dijadikan wasilah oleh Allah untuk memberi petunjuk kepada umat manusia, sementara kaum ibu dijadikan wasilah oleh Allah akan adanya manusia-manusia baru di muka bumi ini. Dapat dikatakan bahwa bila tidak ada manusia, maka tidak akan ada nabi dan rasul yang diberi tugas membimbing manusia, sebab manusianya tidak ada. Dengan demikian, nabi dan rasul hanya dijadikan wasilah Allah untuk membimbing umat manusia, tetapi kaum ibu dijadikan wasilah oleh Allah akan adanya umat manusia. Jika nabi dan rasul menempati posisi kedua setelah Allah dalam hal risalah, maka kaum ibu menempati posisi nomor dua setelah Sang Pencipta itu sendiri dalam hal penciptaan  umat manusia.
Atas dasar posisinya itu, maka seorang ibu menempati posisi kedua pula dalam hal pengabdian seorang anak setelah penghambaannya kepada Allah Yang Mahakuasa (QS 31: 14 dan QS 17: 23). Di dalam sebuah hadis Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang paling berhak dilayani oleh seorang anak adalah ibunya. Setelah menyebut ‘ibumu’ tiga kali berturut-turut barulah Rasulullah menyebut ‘bapakmu’ ((HR Bukhari Muslim).
Oleh sebab itu, selayaknyalah kaum ibu sangat bersyukur kepada Allah. Mereka telah dijadikan Allah di posisi kedua setelah Allah sendiri dalam hal penjadian umat manusia dan dalam hal pengabdian seorang anak.
Salah satu bentuk syukur yang selayaknya kaum ibu lakukan adalah menjaga kesucian rahim. Allah telah menjadikan kaum ibu sebagai sarana akan adanya manusia-manusia baru dan proses penjadian ini berada di rahim kaum ibu. Rahim itu suci. Kesucian rahim itu merupakan simbol kesucian Yang Mahasuci. Bahkan, rahim juga merupakan lambang kasih sayang Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Manusia pun diciptakan dalam bingkai rahim (kasih sayang) Allah yang secara fisik disimbolkan dengan rahim kaum ibu ini. Dengan demikian, kaum ibu tidak hanya diberi rahim, tetapi juga dijadikan simbol kasih sayang suci Ilahi yang tiada batas di atas dunia ini.
Di situlah, kaum ibu sepantasnya bersyukur yang tiada terkira kepada-Nya dengan cara, di antaranya, senantiasa menjaga kesucian rahimnya dan senantiasa menjadi simbol kasih sayang suci Ilahi yang tiada batas di atas bumi ini. Bersyukurlah, ibu. Kaum bapak tidak mungkin mendapatkan kemuliaan dan kehormatan, sebagaimana yang kaum ibu dapatkan. Mudah-mudahan di “Hari Ibu” ini kaum ibu semakin bersyukur kepada-Nya. Āmîn. Wa Allâhu a ‘lamu bi ash-shawâb.
Pamulang, 17 Desember 2009

Adab Makan

Adab Makan Setiap yang diajarkan Rasulullah Saw pasti memiliki kandungan makna yang sangat mendalam, yang setiap umat dapat menggali maknanya atau hikmahnya. Salah satunya adalah ajaran Rasulullah tentang adab makan. Dalam kaitannya dengan adab makan ini, di antara yang diajarkan Rasulullah adalah agar orang yang hendak makan membaca basmallah, memulai dan mengakhiri dengan doa, memakan dengan tangan kanan, mengambil makanan dari yang terdekat, mengambil makanan dari bagian pinggir, mengunyah makanan dengan pelan-pelan (sehingga tidak berbunyi), memungut makanan yang jatuh, berhenti makan sebelum kenyang, dan tidak membiarkan satu butirpun makanan yang tersisa, baik yang menempel di jari tangan maupun di piring. Berkaitan dengan membersihkan sisa makanan itu Rasulullah memberi tahu bahwa kita tidak tahu di bagian mana makanan yang diberkati. Bisa saja makanan yang diberkati itu merupakan sisa yang menempel di jari-jemari atau di piring (wadah makanan) yang justeru akan dibuang. Kalau ternyata yang diberkati itu yang dibuang, maka orang yang makan tidak mendapatkan berkah dari makannya. Di sinilah Rasulullah mengajarkan supaya sedikitpun tidak menyisakan dan membuang makanan. Bila dihubungkan dengan doa sesudah makan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum, dan menjadikan kami termasuk orang yang berserah diri,” maka ajaran Rasulullah untuk tidak menyisakan atau membuang makanan itu minimal terdapat dua hal yang dapat diambil pelajaran. Pertama, Allahlah yang memberi makan dan minum, tetapi Allah tidak pernah memberi makan dan minum itu langsung terhidang di meja makanan. Ada proses panjang yang dilalui sampai makanan itu terhidang. Dalam proses panjang ini terdapat orang-orang (petani, tukang panggul, sopir, pedagang, tukang masak dan sebagainya) yang dijadikan Allah sebagai perantara memberi makan-minum terhadap hamba-hamba-Nya. Atas dasar ini, menyia-nyiakan makanan bukan saja tidak bersyukur kepada Allah, tetapi juga tidak menghormati orang-orang yang bersusah-payah yang telah dijadikan Allah sebagai sarana Allah memberi makan dan minum kepadanya. Oleh karena itu, doa syukur selayaknya dibarengi dengan sikap hormat dan penghargaan terhadap orang-orang yang dijadikan Allah sebagai perantara memberi makan dan minum kepadanya, meski orang-orang itu boleh jadi status sosialnya berada jauh di bawah dirinya. Kedua, Allah tidak menginformasikan bahwa semua makanan dan minuman itu diberkati oleh-Nya, tetapi di antara makanan dan minuman ada yang diberkati oleh-Nya. Hanya saja, Allah tidak memberitahukan makanan atau minuman yang mana yang diberkati. Bisa jadi, makanan atau minuman yang Dia berkati adalah yang tersisa atau yang akan dibuang, bukan yang telah dimakan atau diminum. Hal ini berarti membuang makanan atau minuman yang seharusnya dimakan atau diminum bukan saja merupakan tindakan mengkufuri nikmat, tetapi juga tidak ada kesadaran dalam batinnya bahwa hanya untuk sekadar makan atau minum saja masih banyak hamba-hamba-Nya yang kurang mampu, bahkan tidak tersedia. Dari du hal itu saja dapat diperkirakan bahwa ada orang-orang yang mengucapkan syukur setelah makan dan minum pada dasarnya mereka tidak bersyukur kalau tidak memperhatikan du hal di atas. Apalagi bagi yang tidak memanjatkan doa syukur kepada-Nya. Mereka ini, boleh jadi, termasuk orang-orang yang benar-benar kufur terhadap nikmat-nikmat-Nya. Na'udzu billahi min dzalik

Kamis, 01 Desember 2016

SKB Tentang AHMADIYAH



(Salinan)
KEPUTUSAN BERSAMA  MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 3 Tahun 2008
Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008
Nomor: 199 Tahun 2008

TENTANG
PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA DAN/ ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT

MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG DAN MENTERI RALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapaun, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya masing- masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang;
  2. bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan- kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan- kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok- pokok ajaran ajama itu;
  3. bahwa pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui serangkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, dan dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008;
  4. bahwa dari hasil pemantauan terhadap 12 (dua belas) butir Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) secagaimana dimaksud pada huruf c, Tim Kordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh penganut, anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sehingga dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat;
  5. bahwa warga masyrakat wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional;
  6. bahwa dengan maksud untuk menjaga dan memupuk ketentraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, serta berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/ atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat.

Mengingat;
  1. Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Kitab Undang- Undah Hukum Pidana (KUHP) pasal 156 dan pasal 156a;
  3. Undang-Undang nomor 1/PnPs/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/ atauPenodaan Agama jo Undang- Undang nomor 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang- Undang;
  4. Undang- Undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
  5. Undang- Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia;
  6. Undang- Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
  7. Undang- Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 tahun 2005
  8. Undang- Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak- hak Sipil dan Politik;
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan;
  10. Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1989 tetang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
  11. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tetang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005
  12. Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Nomor 63 Tahun 2005;
  13. Keputusan Bersama menteri Agama dan menteri Dalam negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia;
  14. Keputusan jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Kordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM);
  15. Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
  16. Keputusan menteri Dalam Negeri Nomor 130 tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negri;
  17. Peraturan menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;

Memperhatikan:
  1. Hasil Rapat Tim Kordinasi PAKEM Pusat tanggal 12 Mei 2005
  2. Hasil Rapat Tim Kordinasi PAKEM Pusat tanggal 15 Januari 2008
  3. Hasil Rapat Tim Kordinasi PAKEM Pusat tanggal 16 April 2008

MEMUTUSKAN:
Menetapkan   : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG DANMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT

KESATU: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakuakan penfsiran suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok- pokok ajaran agama itu.

KEDUA: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad. SAW

KETIGA: Penganut, anggota dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU  dan Diktun KEDUA dapat dikenai sangsi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

KEEMPAT: Memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan  bermasyarakat, dengan tidak melakukan perbuatan dan/ atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

KELIMA: Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud dapa Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

KEENAM: Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan langkah- langkah pembinaan dalam rangka pangamanan dan pengawasan pelaksanaan surat Keputusan Bersama ini

KETUJUH: Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juni 2008

MENTERI AGAMA              JAKSA AGUNG                   MENTERI DALAM NEGERI

            Ttd                                          Ttd                                          Ttd

MUHAMAD M.BASUNI     HENDARMA SUPANDJI    H.MARDIYANTO


 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates