KEOTENTIKAN AJARAN TASAWUF
Oleh Dimyati Sajari
Dosen “Ilmu Pemikiran Islam” Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15413
Abstrak: Tuduhan tentang
ketidakotentikan ajaran tasawuf masih terjadi di era kontemporer ini. Tulisan
ini ikut serta menjawab tuduhan ini. Melalui penelusuran pengertian dan asal
usul kata sufi (tasawuf) serta sejarah munculnya tasawuf menunjukkan bahwa
tuduhan itu tidak benar dikarenakan tidak dapat dibuktikan. Memang terdapat
suatu bukti akan adanya pengaruh dari luar, tetapi disebabkan pengaruh itu
terjadi ketika tasawuf telah terpancang kuat, tidak terjadi ketika tasawuf
masih dalam bentuk gerakan zuhud, maka pengaruh itu hanya menyentuh di
permukaan, tidak menyentuh esensi ajaran tasawuf. Dengan demikian, tasawuf itu
otentik ajaran Islam, otentik bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, bukan
sesuatu yang diselundupkan ke dalam Islam.
Kata
kunci: tasawuf, zuhud (asketik), bid’ah, otentik, spiritualitas.
Abstract: The accusations of Sufism
authenticity doctrine is still going on in this contemporary era. This paper
participated to answer this charge. Search through the definition and origin of
the word Sufi (Sufism) as well as the history of the emergence of Sufism showed
that the accusations were not true because there is no provable. Indeed, there is
an evidence of influence from the outside, but due to the effect that occurs when
Sufism has stuck strong, does not occur when Sufism is still in the form of the
ascetic movement, then the effect was only touched on the surface, do not touch
the essence of Sufism. Thus, Sufism was the authentic teachings of Islam, the
authentic source of al-Quran and al-Hadith, not something that is smuggled into
Islam.
Key words: sufism, ascetic,
heresy, authentic, spirituality.
A.
Pendahuluan
Dewasa ini, tuduhan tentang ketidakotentikan
tasawuf masih terjadi. Misalnya, Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain dan Abdullah
Mustofa Numsuk menyatakan bahwa tasawuf itu merupakan ajaran Budha.[1]
Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim mengatakan bahwa tasawuf merupakan
bid’ah dalam Islam dan kaum sufi dipandang sebagai ahli bid’ah.[2] Di
Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz, melalui penukilannya terhadap fatwa-fatwa Saudi
Arabia, menyetujui bahwa tasawuf/tarekat itu tidak ada dasarnya di dalam
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sehingga tasawuf/tarekat dia vonis sebagai bid‘ah
yang sesat menyesatkan. Dzikir bersama-sama pun dikelompokkan Jaiz termasuk kategori
bid‘ah.[3]
Tuduhan itu, seperti tuduhan bahwa kaum sufi
menolak ibadah formal (aspek ritual Islam); kaum sufi hanya mengurusi penyucian
batin; kaum sufi menyimpang dari syari’at dan mengabaikan hukum-hukum syari’at
yang lahiriah;[4]
merupakan rangkaian panjang yang senantiasa mewarnai sejarah tasawuf, dari dulu
hingga sekarang.[5] Tuduhan
ini, sebenarnya, telah ditanggapi oleh kaum sufi atau para pendukung tasawuf.
Akan tetapi, karena yang mereka kehendaki adalah para pelaku tasawuf itu
meninggalkan dunia tasawuf, bukan jawaban atau penjelasan, maka sebagian mereka
bersikukuh tidak mau menerima jawaban itu. Akibatnya, mereka (sebagian kaum
eksoterik itu) tetap melakukan “penyerangan” terhadap tasawuf hingga sekarang.
Tentu saja tidak semua pengkritik tasawuf itu selamanya anti-tasawuf. Justeru
sebagian dari ulama terkemuka, sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, akhirnya
bergabung dan menjadi pendukung utama kehidupan sufistik.[6]
Terlepas dari ketidaksediaan sebagian para
penuduh tasawuf itu hingga kini (dan tidak menutup kemungkinan mereka pun dapat
berubah), makalah ini bermaksud untuk ikut serta memberikan jawaban itu. Tulisan
ini disajikan untuk melengkapi tulisan penulis tentang “Loyalitas Kaum Sufi
terhadap Syari’at” yang telah dipublikasikan di Jurnal Ahkam.[7] Bila di
tulisan “Loyalitas Kaum Sufi terhadap Syari’at” bertujuan untuk memberikan
jawaban bahwa hukum syari‘at merupakan supremasi tertinggi dalam Islam,
sehingga tidak seorang pun umat, apalagi kaum sufi, yang menolak atau
mengabaikan syari‘at, maka tulisan ini hendak menunjukkan bahwa tasawuf itu
otentik Islam, otentik berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis, dan bukan sesuatu di
luar Islam yang diselundupkan ke dalam Islam. Tulisan ini sejalan dengan
jawaban Abû
Bakr Sirâj al-Dîn terhadap tuduhan kaum ulama yang menuduh bahwa
praktek-praktek dan teori-teori sufisme tidak berasal dari era kerasulan. Dalam
artikelnya “The Nature and Origin of Sufism” Sirâj al-Dîn menyatakan bahwa hakikat
dan asal-usul praktek-praktek dan teori-teori sufisme benar-benar berasal dari
era kerasulan, bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.[8] Hal
yang sama diungkap oleh penulis-penulis yang bukunya dirujuk dalam makalah ini,
semisal A.J. Arberry, Titus Burckhardt, Reynold
A. Nicholson, dan Martin Lings, yang menjawab tuduhan itu dan
menunjukkan keotentikan ajaran tasawuf.
Makalah ini, seperti diungkap di atas, bertujuan
ikut serta memberikan jawaban terhadap tuduhan mengenai ketidakotentikan ajaran
tasawuf. Benarkah demikian? Benarkah tasawuf tidak otentik ajaran Islam? Dalam
rangka menjawab pertanyaan ini, penyajian makalah ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian tentang pengertian dan asal usul kata tasawuf serta bagian
tentang sejarah tasawuf. Asumsi yang dibangun dalam tulisan ini adalah: tidak
mungkin tasawuf sebagai suatu ajaran yang diamalkan umat Islam dan pengamalan
itu tetap eksis berabad-abad hingga sekarang kalau tidak otentik Islam, apalagi
bertentangan dengan Islam. Suatu ajaran yang tidak bersumber dari Islam dan
bertentangan dengan Islam, pastilah dia akan cepat sirna dari dunia Islam.
Kenyataannya, tasawuf tetap eksis hingga kini dan pendukung atau pelaku tasawuf
tidak pernah surut sampai dewasa ini. Hal ini dapat diasumsikan, tasawuf itu
otentik ajaran Islam.
B.
Pengertian Tasawuf dan Asal-usul Kata Tasawuf
Sebelum mengkaji tentang pengertian tasawuf dan
asal-usul kata tasawuf, tepatlah dipahami pernyataan Abû al-Hasan 'Alî
b. Ahmad b. Sahl al-Bûsyinjî (w. 348 H), sebagaimana dinukil ‘Alî ibn
‘Utsmân al-Hujwîrî (w. 463
H/1071 M). Pernyataan
al-Bûsyinjî ini penting diketahui bagi orang yang mempersoalkan istilah tasawuf
atau orang yang memandang istilah tasawuf sebagai istilah yang baru, yang
konsekuensinya—sebagai istilah baru—tasawuf dianggap tidak berasal dari Islam.
Padahal, sebagai sebuah ajaran, tasawuf itu telah diamalkan sebelum istilah
tasawuf itu ada atau sebelum istilah tasawuf itu menjadi populer di
tengah-tengah umat. Hal inilah yang dapat dipahami dari ungkapan al-Bûsyinjî
yang menyatakan bahwa tasawuf pada masanya merupakan nama tanpa hakikat, tetapi
sebelum eranya (tasawuf itu) merupakan hakikat tanpa nama (التصوف اليوم اسم بلا حقيقة، وقد كان من قبل
حقيقة بلا اسم).[9]
Ungkapan al-Bûsyinjî itu mengisyaratkan bahwa
pada masanya istilah kata tasawuf itu sudah menjadi suatu istilah yang sangat
populer di masyarakat, tetapi hakikat pengamalan tasawuf itu sendiri diakuinya
tiada lagi. Namun, pada era sebelumnya al-Bûsyinjî mengakui bahwa pengamalan
tasawuf justeru merupakan realita yang hakiki yang tidak dapat dipungkiri lagi.
Meski pandangan al-Bûsyinjî ini sangat bermakna, tetapi pandangan al-Bûsyinjî ini
belum tentu disetujui oleh semua pendukung sufi yang sama-sama bermaksud
membela tasawuf dan kaum sufi, seperti yang akan terlihat dalam tulisan ini.
Adapun penilaiannya bahwa pada masa al-Bûsyinjî tasawuf itu nama tanpa hakikat,
boleh dikata pula sebagai suatu generalisasi yang bersifat pukul rata. Oleh
karena itu, penjelasan mengenai pengertian dan asal usul kata tasawuf akan diketahui
adanya perbedaan pandangan di antara pendukung tasawuf ini, meski keduanya
sama-sama melakukan pembelaan terhadap tasawuf dan kaum sufi dari segala bentuk
tuduhan.
Tentang pengertian tasawuf terdapat banyak sekali
pengertian atau definisi. Ibrâhîm Basyûnî mengatakan bahwa hingga abad ke-3 H
saja, yakni sejak tahun 200 H sampai tahun 334 H (tahun wafatnya al-Syibli),
telah terdapat empat puluh definisi. Menurut Basyûnî, banyaknya definisi
tentang tasawuf ini dikarenakan sulitnya menghasilkan definisi yang mencakup
keseluruhan makna mengenai tasawuf. Basyûnî mengatakan bahwa hal ini disebabkan
kaum sufi tidak membatasi tasawuf itu sebagai ilmu sebagaimana para filosof
membatasi filsafat.[10]
Hampir senada dengan pendapat Basyûnî ini,
Reynold A. Nicholson mengatakan bahwa adanya beberapa definisi tentang tasawuf
justeru menunjukkan makna yang sangat penting yang terletak pada kenyataan
bahwa tasawuf itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang tidak dapat
didefinisikan.[11]
Lebih lanjut Nicholson mengemukakan bahwa beragam pengertian tentang tasawuf
itu hanya mampu menjelaskan apa yang telah dialami sang sufi itu sendiri. Oleh
karena itu, menurut Nicholson, tidak akan pernah ada rumusan yang utuh yang
mampu menyentuh setiap relung pengalaman spiritual manusia; rumusan yang ada
hanya mampu menyentuh sebagian saja dari beberapa segi dan sifat tasawuf.
Seorang sufi yang hidup
di abad ke-4 H, yaitu Abû
Nashr al-Sarrâj al-Thûsî (w. 377/988) di dalam kitabnya Al-Luma‘
mengutip tujuh definisi mengenai tasawuf.[12]
Definisi pertama diambil dari Muhammad bin ‘Alî al-Qashshâb, guru
al-Junaid al-Baghdâdî (w. 298 H/911 M). Menurut al-Qashshâb, seperti dinukil
al-Sarrâj, tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang tampak jelas di zaman yang
mulia, yang berasal dari orang yang mulia, beserta kaum yang mulia (أَخْلَاقٌ كَرِيْمَةٌ ظَهَرَتْ فِى زَمَانٍ
كَرِيْمٍ مِنْ رَجُلٍ كَرِيْمٍ مَعَ قَوْمٍ كَرَامٍ). Adapun menurut al-Junaid, tokoh kedua
yang pendapatnya dikutip al-Sarrâj, tasawuf adalah hendaknya engkau bersama
Allah tanpa menyertakan yang selain-Nya (أَنْ تَكُوْنَ مَعَ اللهِ تَعَالَى بِلاَ عَلاَقَةٍ).
Kemudian, sufi yang ketiga yang dirujuk
al-Sarrâj adalah Ruwaim bin Ahmad (w. 303/915). Dalam pandangan Ruwaim,
tasawuf adalah mengarahkan diri bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya (اِسْتِرْسَالُ النَّفْسِ مَعَ اللهِ تَعَالَى
عَلَى مَايُرِيْدُهُ). Tokoh yang keempat yang dinukil al-Sarrâj adalah Sumnûn bin Hamzat.
Sufi ini menyatakan bahwa tasawuf adalah hendaknya engkau merasa tidak memiliki
sesuatu dan tidak dimilik oleh sesuatu (أَنْ لاَ تَمْلِكُ شَيْئًا وَلاَ يَمْلِكُكَ شَيْءٌ). Selanjutnya, Abû
Muhammad al-Jarîrî (w. w. 311 H). Bagi al-Jarîrî, tasawuf adalah masuk ke
dalam setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang hina (الدُّخُوْلُ فِى كُلِّ خُلُقٍ سَنِىٍّ
وَالْخُرُوْجُ مِنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنِىٍّ). Sementara ‘Amr bin’ Utsmân al-Makkî berpendapat
bahwa tasawuf adalah hendaknya hamba itu di setiap waktu melakukan sesuatu yang
utama di setiap waktu itu (أَنْ
يَكُوْنَ الْعَبْدُ فِى كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ أَوْلَى فِى الْوَقْتِ). Terakhir, tokoh yang
dirujuk adalah ‘Alî bin ‘Abd al-Rahmân al-Qannâd. Menurutnya, sebagaimana
ditulis al-Sarrâj, tasawuf adalah menempuh maqam-maqam dan mempertahankannya
dengan melanggengkan berkomunikasi dengan Allah (نَشْرُ مَقَامٍ وَاتِّصَالُ بِدَوَامٍ).[13]
Selain ketujuh pengertian di atas, al-Sarrâj
masih menukil beberapa definisi tentang tasawuf ketika membahas mengenai jati diri
kaum sufi. Al-Sarrâj mengatakan bahwa banyak jawaban tentang tasawuf yang
diberikan oleh tokoh-tokoh yang kesufiannya tidak diragukan lagi. Di antara
jamaah yang memberikan jawaban ini, menurut al-Sarrâj, adalah Ibrâhîm b.
al-Muwallad al-Raqqî. Al-Sarrâj menginformasikan bahwa al-Raqqî ini memberikan
jawaban tentang tasawuf lebih dari seratus jawaban. Kemudian, al-Sarrâj
mengelompokkan jawaban-jawaban syaikh sufi mengenai tasawuf itu menjadi tiga
kelompok. Pertama, jawaban yang membutuhkan persyaratan ilmu, yaitu
menyucikan hati dari kotoran-kotoran, berakhlak mulia ketika bersama dengan
sesama, dan mengikuti Rasulullah Saw. dalam syariah. Kedua, jawaban yang
mempergunakan bahasa hakikat (lisân al-haqîqat), yaitu
tiadanya rasa memiliki, keluar dari perbudakan sifat hina, dan mencukupkan diri
hanya dengan Sang Pencipta langit. Ketiga, jawaban melalui bahasa Tuhan
(lisân al-Haqq), yakni menyucikan kekotoran mereka melalui kesucian-Nya
dan menyucikan sifat-sifat hina mereka melalui Sifat-Nya.[14]
Di samping itu, Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî (w. 385 H/995 M), seorang sufi yang hidup sezaman dengan al-Sarrâj, mengutip pandangan Abû al-Hasan
al-Nûrî (w.
295/908) dan
al-Junaid al-Baghdâdî.[15]
Tokoh kedua yang dikutip al-Kalâbâdzî ini,
yakni al-Junaid, pandangannya telah dinukil al-Sarrâj di atas, tetapi
pandangan al-Junaid tentang tasawuf berbeda antara yang dinukil al-Kalâbâdzî dengan yang dirujuk al-Sarrâj
tersebut. Menurut al-Nûrî, seperti dikutip al-Kalâbâdzî, tasawuf adalah meninggalkan setiap kesenangan hawa nafsu,[16]
sedangkan dalam pandangan al-Junaid, sebagaimana dinukil al-Kalâbâdzî, tasawuf adalah sucinya hati dari
hal-hal yang bertalian dengan makhluk, memutuskan watak-watak bawaan instinktif
(yang rendah), memadamkan sifat-sifat kebiologisan (yang buruk), menjauhi
ajakan hawa nafsu, menempatkan sifat-sifat spiritual (sifat yang baik),
mengkaji ilmu-ilmu hakikat, mengamalkan sesuatu yang keutamaannya lebih abadi,
memberikan nasihat untuk seluruh umat, benar-benar patuh kepada Allah, dan
mengikuti Rasulullah Saw. di dalam melaksanakan syari’at.
Dari pengertian-pengertian itu dapat dilihat
adanya benang merah yang menghubungkannya, yaitu akhlak. Dari sinilah,
barangkali, yang menyebabkan beberapa sufi, semisal Abû al-Hasan
al-Nûrî, Abû Muhammad Murta‘isy (w. 328/939) dan Abû ‘Alî al-Qarmînî,
yang pendapatnya dinukil al-Hujwîrî mengaitkan tasawuf dengan akhlak.[17]
Abû al-Hasan al-Nûrî, misalnya, mengatakan bahwa tasawuf itu bukan
bentuk dan bukan pula ilmu pengetahuan, tetapi akhlak. Begitu pula Abû Muhammad
Murta‘isy mendefinisikan tasawuf sebagai akhlak yang baik (al-tashawwuf husn
al-khuluq). Dengan nada yang hampir sama, Abû ‘Alî al-Qarmînî menyatakan
bahwa tasawuf adalah akhlak kerelaan (al-akhlâq al-mardhiyyat).
“Oleh karena itu,” tulis al-Hujwîrî, “para pendukung keyakinan ini telah
menyucikan akhlak dan tindakan mereka serta berusaha membebaskan diri mereka
dari noda-noda bawaan.” Dikarenakan kesucian akhlak, tindakan dan kesucian
batin (jiwa) mereka itulah mereka disebut sufi.”[18]
Untuk memahami lebih jelas lagi mengenai makna
atau pengertian tasawuf di atas, maka perlu dilihat asal-usul kata tasawuf
tersebut. Menurut bahasa, tasawuf (tashawwuf, التصوف) berasal dari kata sufi (shûfî, صوفى), sedangkan kata sufi sendiri ada yang mengatakan berasal dari kata shafâ’ (kesucian, الصفاء) dan shafwat (pilihan, الصفوة).
Ada pula yang mengatakan berasal dari kata al-shaff
(الصفّ)
atau al-shuffat (الصُّفَّة)
dan ada pula yang mengemukakan berasal dari kata shûf (الصوف).
Menurut al-Kalâbâdzî, bila kata sufi itu berasal dari kata shafâ’
(kesucian, الصفاء)
dan shafwat (pilihan, الصفوة),
maka kata ini akan menjadi al-shafawiyyat
(الصفوية).
Jika kata sufi ini berasal dari kata al-shaff
(barisan, الصف) atau al-shuffat
(bangku, الصُّفَّة), maka kata ini akan menjadi al-shaffiyyat (الصَّفِّيَّة)
dan al-shuffiyyat (الصُّفِّيَّة). Boleh jadi, kata
al-Kalâbâdzî, adanya huruf waw (و) sebelum huruf fa’ (ف) pada kata shûfiyat (صوفية) merupakan tambahan pada
kata shaffiyyat dan kata shuffiyyat, yang berfungsi
memperpanjang di dalam pengucapannya, sebagaimana yang biasa berlaku. Akan
tetapi, al-Kalâbâdzî tetap mengatakan bahwa dari sudut bahasa yang benar kata
sufi itu berasal dari kata shûf (wol, الصوف) sehingga pengucapannya seperti halnya kata itu sendiri.[19]
Akan tetapi, tidak semua
orang mengatakan bahwa asal-usul kata sufi itu dari shûf, yakni shûf
dalam arti tashawwafa (memakai baju wol), sebagaimana kata taqammasha
(dari kata qamîsh) yang berarti memakai baju gamis. “Orang Arab,” kata
Qusyayrî (w.
465 H/1073 M), “tidak mengkhususkan makna tashawwafa dengan
pengenaan pakaian wol, tapi ada yang mengaitkan kata sufi itu dengan sifat
masjid Rasulullah Saw, ada yang menghubungkan dengan kata al-shafwu
(suci), dan ada yang menisbahkan kepada kata al-shaff (barisan)."
Namun, dalam pandangan Qusyayrî, penisbatan kepada sifat masjid Nabi Saw. bukan
untuk para sufi; kata al-shafwu sebagai asal kata sufi sangat jauh dari
segi tata bahasa Arab; dan kata al-shaff tidak sesuai dengan penisbatan
kepada kata sufi. Tampaknya, dari beberapa pendapat ini Qusyayrî ingin
mengatakan bahwa asal kata sufi yang benar adalah dari kata shûf, yang
menurutnya bukan merupakan kata jadian (ghayru musytaq), melainkan kata
yang baku (jâmid), sebagaimana nama julukan (gelar).[20]
Di samping itu, ada pula
yang berpendapat bahwa kata sufi itu berasal dari kata sophos (hikmat) dalam bahasa Yunani. Namun, pendapat ini ditolak
walau diakui bahwa kaum sufi itu memang berkaitan erat dengan hikmat. Alasannya
adalah dikarenakan huruf sigma (s)
dalam bahasa Yunani ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi huruf sin
(س), bukan shad (ص), seperti kata philosophia menjadi falsafat (فلسفة).
Oleh karena itu, kalau kata sufi itu berasal dari kata sophos seharusnya menjadi sûfî
(سوفي), bukan shûfî (صوفي).[21]
Walaupun
kata sufi itu dari segi bahasa yang benar
berasal dari kata shûf dan sufi itu
disebut sufi dikarenakan pakaian mereka dari shûf (wol), tetapi munculnya beberapa teori tentang asal-usul kata
sufi itu tampaknya menunjukkan indikasi bahwa para sufi itu memang memiliki
kualitas-kualitas tersebut. Mereka memang mempunyai sifat-sifat seperti ahl al-shuffat (miskin, tapi
rajin beribadah dan baik hati/dermawan), mereka memang berada di shaff terdepan, dan mereka memang
orang-orang yang disucikan Allah Swt. Di sinilah al-Hujwîrî mengatakan
bahwa secara umum kesucian (shafâ’) itu terpuji dan ketidaksucian
(kotor, kadr) itu tercela. “Oleh karena itu,” tulis al-Hujwîrî, “para
pendukung keyakinan ini telah menyucikan akhlak dan tindakan mereka serta
berusaha membebaskan diri mereka dari noda-noda bawaan.” Disebabkan kesucian
(baik) akhlak dan tindakan mereka serta kesucian batin (jiwa) mereka itulah
mereka disebut sufi.”[22]
Jadi, inti sufisme atau tasawuf adalah penyucian diri sehingga sufi itu disebut
sufi dikarenakan kesucian batin mereka atau kesucian hati mereka, dan kesucian
mereka ini hanya untuk Allah Swt. semata.[23]
Dengan kata lain, sufi adalah orang yang telah
suci batinnya atau kalbunya dan telah “sampai” kepada al-Haqq, sedangkan
orang yang berusaha untuk mencapai kesucian ini disebut mutashawwif
disebabkan tashawwuf termasuk ke dalam bentuk tafâ‘ul, yang
mengandung makna “bersusah payah” (takalluf). Dengan demikian, tasawuf
adalah sebuah upaya penyucian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.[24]
Adapun munculnya teori-teori yang berbeda
tentang sejarah kemunculan tasawuf dan tentang asal-usul kata tasawuf itu
disebabkan teori-teori itu muncul jauh belakangan dibandingkan keberadaan
tasawuf itu sendiri. Abû al-Hasan 'Alî b. Ahmad b. Sahl al-Bûsyinjî
(w. 348 H), seperti telah dikutip di atas, menyatakan, ”Tasawuf pada saat ini
merupakan nama tanpa hakikat, tetapi sebelumnya merupakan hakikat tanpa
nama" (التصوف اليوم اسم بلا حقيقة،
وقد كان من قبل حقيقة بلا اسم).[25]
Dari ungkapan al-Bûsyinjî itu dapat diketahui
bahwa tasawuf sebelumnya, yakni pada masa sahabat, tābi'în dan tābi'u
at-tābi'în, merupakan hakikat (amaliah) tanpa nama, tapi pada masanya (abad
keempat hijriah) merupakan nama tanpa hakikat. Hal ini berarti, perilaku
sufistik telah ada sebelum istilah tasawuf itu sendiri ada sehingga ketika
istilah itu ada memunculkan beberapa teori yang berbeda. Pendapat al-Bûsyinjî
ini, tentu saja, bertentangan dengan pendapat Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî yang
menyatakan bahwa istilah sufi telah ada sebelum datangnya Islam.[26]
Namun, dua pandangan itu dapat disatukan dengan
menyatakan bahwa teori-teori tentang asal-usul tasawuf itu berbeda-beda
dikarenakan penulis-penulis mengenai asal-usul tasawuf itu lahir jauh
belakangan. Jadi, yang lahirnya jauh belakangan adalah penulis-penulis tentang
asal-usul kata sufi atau tasawuf, bukan waktu dikenalnya istilah tasawuf.
Al-Sarrâj sendiri, yang bukunya dianggap sebagai buku pertama mengenai pedoman
tasawuf yang tetap eksis hingga sekarang, hidup di pertengahan abad keempat
hijriah (w. 377 H/988 M). Padahal, sebagaimana akan diungkap di bawah tatkala
mengungkap Sejarah Tasawuf, kata sufi atau tasawuf sebagai istilah telah ada
sebelum Islam dan dipergunakan secara luas pada abad kedua hijriah atau pada paruh kedua abad kedelapan masehi.
Artinya, terdapat sekitar dua abad antara meluasnya penggunaan kata sufi atau
tasawuf itu dengan hidupnya al-Sarrâj. Begitu juga jaraknya dengan kehidupan
Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî (w. 385 H/995 M) dan Abû Thâlib al-Makkî
(w. 386 H/996 M), dua tokoh penulis buku pedoman tasawuf yang hidup sezaman dengan
al-Sarrâj. Dengan demikian, tidak aneh kalau muncul beberapa teori tentang
asal-usul kata tasawuf.
Selain itu, perbedaan teori-teori itu mungkin
juga disebabkan sang perumus teori merumuskan teorinya berdasarkan informasi
dan penglihatannya terhadap keadaan atau sifat-sifat sang sufi, yang boleh jadi
informasi dan penglihatan mereka pun tidak sama. Akibatnya, muncullah
teori-teori yang berbeda tentang kemunculan dan asal-usul tasawuf, meski
perbedaan itu dari segi kualitas menunjukkan kebenarannya. Artinya, kaum sufi
memiliki kualitas sebagaimana yang diindikasikan dari teori-teori tersebut:
mereka memakai wol (shûf), mereka
berada di barisan terdepan (al-shaff al-awwal), mereka
miskin, tapi rajin ibadah dan baik hati seperti ahl al-shuffat,
mereka orang-orang suci (shafâ’) dan pilihan (shafwat), dan
merekapun orang-orang bijak (sophos).
C.
Sejarah Tasawuf
Tokoh yang pada awalnya sebutan sufi ditujukan
kepadanya adalah Abû Hâsyim al-Kûfî (w.
160/776)[27]
atau, ada juga yang menyebutnya dengan nama, ‘Utsmân bin Syârik dari Kûfah.
Namun, Abû Hâsyim bukanlah sufi yang pertama dikarenakan tasawuf pada mulanya
berbentuk gerakan kezuhudan (asketis). “Tipe yang tertua dari sufisme
(tasawuf),” tulis Reynold A. Nicholson, “adalah kehidupan asketis.”[28]
Nicholson juga mengatakan bahwa istilah sufi itu pertama kalinya dikenakan pada
orang-orang Islam yang hidup asketis.[29]
Dengan kata lain, sufi-sufi yang awal itu sebelum disebut sufi disebut
zahid-zahid (zuhhâd),[30]
meski ada pula yang menyebut zahid-zahid itu sebagai tokoh-tokoh sufi yang
awal.[31]
Dengan demikian, gerakan tasawuf pada mulanya adalah gerakan kezuhudan dan
sebutan sufi itu pada awalnya ditujukan kepada zahid-zahid tersebut.[32]
Zahid-zahid itu disebut sufi disebabkan mereka
memakai pakaian wol dari bulu domba (shûf). Menurut Nicholson, gaya ini
meniru gaya hidup asketik kaum Nasrani[33]
atau, menurut Julian Baldick, gaya ini terpengaruh oleh gaya hidup asketik kaum
Nasrani.[34]
Pengaruh asketik Nasrani terhadap tasawuf atau
zahid-zahid itu mungkin saja benar, tetapi mungkin juga salah (dalam arti,
tidak ada pengaruh dari Nasrani atau agama-agama dan tradisi-tradisi lain
terhadap tasawuf). Pengaruh asketik Nasrani terhadap tasawuf dikatakan “mungkin
saja benar” disebabkan terbukti ada beberapa sufi (zahid), seperti Ahmad
ibn al-Ahwârî dan Ibrâhîm ibn Adham, yang melakukan dialog atau belajar
dengan pendeta Nasrani.[35]
Di lain hal, semisal dikatakan Arberry, sudah lazim disepakati bahwa tidak
satupun gerakan keagamaan lahir dan berkembang tanpa berbenturan dengan
berbagai keyakinan dan kepercayaan lain yang telah mapan, yang cenderung
meninggalkan pengaruh dalam pembentukan pemikiran dan perasaan baru.[36]
Walau begitu, landasan-landasan tasawuf beserta
amalan-amalan tasawuf telah terpancang kukuh, jauh sebelum ia membuka
kemungkinan bagi pengaruh-pengaruh dari luar. “Ketika pengaruh itu akhirnya
terasa,” tulis Martin Lings, “maka pengaruh-pengaruh itu hanya menyentuh
permukaannya saja.”[37]
Begitu pula Nicholson, sebagaimana dikutif Taftâzânî, menyatakan, “meski kami
mengakui agama Nasrani mempunyai dampak terhadap pembentukan tasawuf dari jenis
pertamanya, tetapi kami berpendapat bahwa ucapan-ucapan para sufi yang asketis,
seperti Ibrâhîm ibn Adham, Fudhail ibn ‘Iyâdh dan Syaqiq al-Balakhî, tidak
menunjukkan bahwa mereka itu terkena dampak agama Nasrani, kecuali sedikit
sekali. Dalam kata lain, tampaklah bahwa tasawuf jenis asketis ini adalah hasil
gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah.”[38]
Dalam kalimat Harun Nasution, terlepas dari kemungkinan adanya atau tidak
adanya pengaruh dari luar, ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Saw. dapat membawa
kepada timbulnya aliran sufi dalam Islam, yaitu kalau yang dimaksud dengan
sufisme ialah ajaran-ajaran tentang berada sedekat mungkin dengan Tuhan.[39]
Dari pernyataan Martin Lings dan Nicholson itu
dapat ditegaskan bahwa pengaruh Nasrani dan agama-agama atau tradisi-tradisi
lain, bila pengaruh itu ada, maka hanya menyentuh permukaannya saja atau hanya
sedikit saja. Inti ajaran tasawuf tidak tersentuh sama sekali. Bahkan, dapat
dikatakan, kalau ada pengaruh agama Nasrani, agama-agama dan tradisi-tradisi
lain, termasuk ajaran Budha, maka pengaruh itu terjadi ketika gerakan kezuhudan
telah berubah menjadi gerakan tasawuf. Sufi-sufi awal (zahid-zahid) tidak
terpengaruh oleh ajaran-ajaran non-Islam, sehingga inti ajaran tasawuf tetap
tidak berubah, tetap Islam.
Zahid-zahid (sufi-sufi awal) itu tidak
terpengaruh oleh asketisme Nasrani dikarenakan: Pertama, kesamaan
pakaian, yakni memakai wol (shûf), tidak dapat dijadikan alasan bahwa
zahid-zahid itu terpengaruh oleh asketik-asketik Nasrani disebabkan memakai
pakaian wol dalam tradisi Islam dipandang bukan monopoli Nabi Isa a.s. yang
kemudian diikuti asketik-asketik Nasrani, tetapi nabi-nabi lain pun, termasuk
Nabi Muhammad Saw., memakai wol. “Namun, wol itu merupakan pakaian para nabi
dan rasul.” Demikian jawaban Nabi Saw. terhadap keluhan ‘Uyainah ibn Hishn
yang memusingkan bau pakaian wol ahl al-shuffat.[40]
Selain itu, sahabat Abû Mûsâ al-Asy‘arî
meriwayatkan pula bahwa Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya sebanyak 70 orang
nabi telah melewati padang al-Ruhâ’ dengan kaki telanjang (tanpa
sandal, alas kaki) dan mengenakan mantel, dan mereka sedang memperbaiki al-bait
al-‘atîq.” Abû Mûsâ al-Asy‘arî pun meriwayatkan: “Nabi Saw. berpakaian wol,
mengendarai keledai dan mendatangi orang-orang lemah yang meminta bantuan.”[41]
Kedua, Nabi Saw. memakai wol, maka para sahabat pun,
terutama sahabat yang dikenal sebagai ahl badr dan atau ahl al-shuffat,[42]
berpakaian wol. Hâsan al-Bashrî menyatakan bahwa dia telah bertemu
dengan 70 orang yang mengikuti perang Badar dan pakaian mereka adalah wol.[43]
Berpakaian wol, hidup mulia dan berzuhud ini dilakukan para sahabat, seperti
dikemukakan Arberry, atas dasar meneladani Nabi Saw.[44]
Apa yang dilakukan sahabat-sahabat ini ditiru generasi sesudahnya (tâbi‘în)
dan generasi sesudah sahabat ditiru generasi setelahnya lagi (tâbi‘
al-tâbi‘în) dan seterusnya. Dengan kata lain, yang pertama (Nabi Saw.)
menyeru kepada yang kedua (sahabat), yang kedua menyeru kepada yang ketiga (tâbi‘în),
yang ketiga menyeru kepada yang keempat (tâbi‘ al-tâbi‘în), dan
seterusnya.[45]
Dengan demikian, kehidupan zuhud dan berpakaian wol bersumber langsung dari
Nabi Saw., bukan dari asketik-asketik Nasrani. “Tidak ada alasan yang memadai
untuk meragukan keotentikan sejarah spiritual yang diwariskan para guru sufi,”
tulis Titus Burckhardt, “dikarenakan warisan para guru sufi ini dapat
ditelusuri dalam suatu mata rantai (silsilat) yang tidak terputus
sampai Nabi Saw. sendiri.”[46]
Hal ini berarti, ajaran para guru sufi berasal dari Nabi Saw., bukan dari
sumber-sumber di luar Islam, sehingga—seperti dikatakan Burckhardt—tidak ada
alasan yang memadai untuk meragukan keotentikan sejarah spiritual yang
diwariskan para guru sufi.
Salah satu bukti bahwa generasi tâbi‘în
meniru generasi sahabat adalah Hâsan al-Bashrî (w. 110 H/728 M), tokoh
terpenting gerakan zuhud, adalah murid ‘Alî ibn Abî Thâlib (dan Hâsan
ibn ‘Alî). Uwais al-Qurni juga murid ‘Alî,[47]
sehingga ada hubungan yang tidak terputus antara sahabat dengan generasi tâbi‘în.
Ketiga, hidup zuhud dan berpakaian wol itu berasal
dari Nabi Saw., yang berarti dapat dipahami bahwa tasawuf itu bersumber
langsung dari al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. “Al-Qur’an merupakan pewenang
tertinggi,” tulis Arberry, “yang darinya para sufi mencari tuntunan dan pembenaran.”
Arberry pun mengakui bahwa al-Hadis merupakan “pilar kedua” setelah al-Qur’an,
yang kepadanya sang sufi dan seluruh generasi Muslim menyandarkan kepercayaan
dan kehidupannya. “Pilar ketiga” adalah ajaran wali-wali-Nya dan “pilar
keempat” adalah pengalaman-pengalaman spiritual pribadi sang sufi.[48]
Jadi, tasawuf tidak bersumber dari ‘sesuatu’ di luar Islam, tetapi secara
otentik bersumber dari Islam sendiri, bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, di
samping ajaran para wali dan pengalaman spiritual pribadi para sufi. “Sufi juga
termasuk kelompok ahli ilmu,” tulis al-Sarrâj, “yang mengamalkan ayat al-Qur’an
dan Hadis-hadis Rasulullah Saw.”[49]
Burckhardt pun menegaskan bahwa alasan yang paling menentukan untuk menyetujui
kalau asal usul sufisme pengikut Muhammad Saw. adalah terletak pada sufisme itu
sendiri. Lebih lanjut Burckhardt mengemukakan, sekiranya kearifan sufi itu
berasal dari sumber di luar Islam, maka orang-orang yang mencita-citakan
kearifan itu—yang sudah tentu tidak berpegang kepada teks-teks buku dan tidak
pula semata-mata bersifat mental-spiritual—tidak dapat menyandarkan kepada
simbolisme al-Qur’an dan tidak akan mampu menyadari bahwa kearifan itu selalu
kembali lagi serta tidak akan sanggup memahami kalau, dalam kenyataannya,
segala sesuatu yang membentuk suatu bagian integral dari metode spiritual
sufisme adalah secara terus-menerus diambil dari al-Qur’an dan ajaran Nabi Saw.[50]
Pandangan Arberry, Burckhardt dan al-Sarrâj
ini menunjukan tidak mungkinnya ajaran tasawuf dari sumber non-Islam, yang
berarti pula tidak mungkinnya membuktikan ketidakotentikan tasawuf.
Keempat, kata tasawuf atau sufi bukanlah kata yang
baru,[51]
sehingga ajaran tasawuf bukanlah ajaran yang baru yang berasal dari ajaran
non-Islam, tetapi benar-benar merupakan bagian dari ajaran Islam. Menurut al-Sarrâj, kata itu telah dipergunakan para era tâbi‘în,
tâbi‘ al-tâbi‘în, pada era Nabi Saw. dan sahabat, bahkan pada era
pra-Islam.[52]
Al-Sarrâj mengutip laporan Hasan
Bashrî yang menginformasikan bahwa dia melihat seorang sufi sedang berthawaf
(mengelilingi Ka’bah) dan dia menawarinya sesuatu, tetapi sufi itu tidak
mau menerimanya. Sang sufi itu pun mengakui, seperti dilaporkan Hasan
Bashrî yang dinukil al-Sarrâj, bahwa dia masih memiliki uang empat dawânîq
(2/3 dirham). “Cukuplah bagiku,” kata sufi itu sebagaimana informasi Hasan
Bashrî yang ditulis al-Sarrâj, “apa yang aku miliki ini.”[53]
Bagi al-Sarrâj, laporan Hasan Bashrî
ini merupakan bukti bahwa kata itu telah dipergunakan pada masa Hasan
Bashrî, masa tâbi‘în.[54]
Kemudian, al-Sarrâj merujuk ungkapan Sufyan
al-Tsauri (w. 161/777)[55]
yang mengatakan, “kalau Abû Hasyim itu bukan seorang sufi, niscaya aku tidak
akan mengenal makna yang sebenarnya mengenai rahasia pamer (riyâ’),” sebagai
bukti bahwa kata itu telah digunakan pada zaman tâbi‘ al-tâbi‘în,
masa Sufyan al-Tsauri dan Abû Hasyim
al-Kûfî (w. 160/776).
Selanjutnya, al-Sarrâj mengemukakan bahwa para sahabat itu tidak disebut sufi, meski
pada era sahabat ini telah digunakan, dikarenakan bagi sahabat,
bersahabat dengan Rasulullah Saw. merupakan suatu kehormatan dan keistimewaan
tersendiri, (yang tidak dialami dan dimiliki oleh generasi-generasi sesudah
mereka) sehingga untuk menghormati dan memulyakannya mereka disebut sahabat
Nabi Saw., bukan sebutan yang lain, termasuk sebutan sufi. Dengan demikian,
sebutan sahabat bagi mereka merupakan kemuliaan dan kehormatan atas persahabatannya
bersama Rasulullah Saw. Oleh karenanya, ketika para sahabat itu dinisbatkan
kepada Rasulullah Saw. yang merupakan keadaan yang paling mulia, maka mustahil
mengutamakan mereka dengan suatu keutamaan selain persahabatannya bersama
Rasulullah Saw.[56]
Adapun bukti bahwa pada zaman sahabat dan Nabi Saw. kata sufi itu telah digunakan
dapat dilihat dari sabda-sabda Nabi Saw. dan pernyataan-pernyataan Abû Mûsâ
al-Asy‘arî yang telah dinukil di atas.
Terakhir, untuk menunjukkan bahwa kata sufi itu
telah dipakai di zaman pra-Islam, al-Sarrâj
mengutip kitab “Sejarah Mekkah” (Akhbar Makkah) karya Muhammad bin
Ishaq bin Yasar (w. 150/767). Di dalam kitab Akhbar Makkah yang dinukil al-Sarrâj ini diceritakan bahwa sebelum
Islam datang pernah terjadi di suatu waktu yang cukup lama tidak seorangpun
yang berthawaf di Bayt al-Harâm.
Kemudian, datanglah dari negeri yang jauh seorang laki-laki sufi yang berthawaf
di Bayt al-Harâm. “Bila cerita ini
benar,” kata al-Sarrâj, “maka cerita ini menunjukkan bahwa istilah sufi telah
dikenal sebelum masa Islam.” Dalam penilaian al-Sarrâj, orang yang dinamai
dengan sebutan sufi pada masa pra-Islam ini pastilah orang yang memiliki
keutamaan dan kebaikan.”[57]
Pandangan al-Sarrâj itu,
kata M. Hamiduddin, didukung Abû al-Fârâb ibn al-Jawzî, Zamakhsyari dan
Fîrûzâbâdî. Hamiduddin menginformasikan bahwa Zaki Mubârak dalam kitabnya al-Tashawwuf al-Islâmî fî al-Adab wa
al-Akhlâq telah mengutip dari kitab Talbîs
Iblis Ibn Zawzî yang menyebutkan kalau Muhammad ibn Nâshir telah
menceritakan kepada Ibn Zawzî tentang Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Sa‘îd al-Hibal.
Tokoh yang disebut terakhir ini mengisahkan bahwa ‘Abû Muhammad ‘Abd
al-Ghânî ibn Sa‘îd al-Hâfizh pernah bertanya kepada Walîd ibn Qâsim
mengenai sebab-sebab seseorang disebut sufi. Walîd ibn Qâsim diinformasikan
memberikan jawaban bahwa pada masa pra-Islam telah ada sekelompok orang yang
dikenal sebagai sufi (al-shûfiyyat).
Orang-orang yang disebut sebagai sufi pada zaman pra-Islam ini digambarkan
Walîd ibn Qâsim dengan sifat meninggalkan hal-hal yang duniawi demi Tuhan Yang
Mahakuasa dan menjadikan Ka‘bah sebagai tempat tetap dan pengabdian (ibadah)
mereka. Kemudian, ditegaskan bahwa orang-orang yang hidup seperti mereka inilah
yang dikenal sebagai sufi.[58]
Musthafâ ‘Abd al-Râziq mengomentari
tentang munculnya istilah sufi atau tasawuf di atas dengan menegaskan bahwa
penggunaan istilah sufi dan mutashawwif
secara luas baru terjadi pada abad kedua hijriah dan sesudahnya. Menurutnya,
sama saja apakah istilah sufi ini digunakan untuk menjelaskan orang yang zuhud
yang terjadi pada pertengahan abad kedua hijriah; ataukah merupakan suatu
istilah yang telah dikenal di dalam Islam sebelum abad kedua hijriah; dan
ataukah merupakan suatu istilah yang termasuk istilah jahiliyyah.[59]
Penegasan ‘Abd al-Râziq
itu sejalan dengan penyebutan tokoh-tokoh tertentu sebagai sufi pada abad kedua
hijriah atau pada paruh kedua abad kedelapan masehi, seperti telah disebutkan
di atas, yaitu Jâbir ibn Hayyân (tahun kematiannya tidak diketahui
secara pasti), seorang kimiawan dan murid Imâm Ja‘far al-Shâdiq (w. 148/765),
dan Abû Hâsyim al-Kûfî al-Shûfî (w. 160/776). Kemudian, di awal abad ketiga
hijriah ‘Abdak merupakan tokoh pertama di Baghdad yang disebut sufi. Dengan
demikian, bisa saja istilah sufi atau tasawuf itu telah dikenal sebelum abad
kedua dan, bahkan, sebelum datangnya Islam, tapi istilah ini menjadi populer
atau digunakan secara luas pada abad kedua dan ketiga hijriah. Sejak abad kedua
dan ketiga hijriah inilah tokoh-tokoh yang sebelumnya disebut zuhhâd, nussâk, ‘ubbâd atau qurrâ’ disebut sebagai sufi.[60]
Dalam pandangan Arberry, setelah pertengahan abad ketiga hijriah atau
kesembilan masehi gelar sufi menjadi sebutan permanen bagi para pelaku
kezuhudan.[61]
Dengan demikian, istilah sufi atau tasawuf bukanlah istilah baru dalam Islam.
Sebagai sebuah istilah yang tidak baru dalam Islam, berarti tuduhan
ketidakotentikan ajaran tasawuf tidak dapat dibuktikan.
D.
Penutup
Dari uraian-urian di atas dapat
dilihat tidak mungkinnya membuktikan ketidakotentikan ajaran tasawuf. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak benar tasawuf itu tidak otentik Islam.
Kesimpulan ini atas dasar bukti yang menunjukkan bahwa tasawuf itu otentik ajaran
Islam, otentik bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, seperti di uraikan di
atas. Kalau ada pengaruh dari luar, maka pengaruh itu tidak terjadi ketika tasawuf
masih dalam bentuk awalnya, yakni dalam bentuk gerakan kezuhudan, tetapi
tatkala tasawuf itu telah menjadi gerakan tasawuf yang mengandung unsur-unsur
intelektualitas. Itu pun hanya menyentuh permukaannya saja, hanya menyentuh
kulitnya saja, sehingga inti ajaran tasawuf tetap ajaran Islam yang tidak
terpengaruh oleh unsur apa pun. Oleh sebab itulah benar apa yang dikatakan
Titus Burckhardt: “Sufisme (tasawuf) tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang
ditambah-tambahkan ke dalam Islam dikarenakan, kalau demikian (sesuatu yang
ditambah-tambahkan ke dalam Islam), maka tasawuf akan menjadi sesuatu yang
bersifat pinggiran dalam kaitannya dengan sarana-sarana spiritualitas Islam.”
Kenyataannya, tasawuf merupakan jantung spiritualitas umat Islam hingga sekarang.
Wa Allâhu a‘lam.
Daftar
Pustaka
Abduh,
Muhammad al- dan Halim, Thariq Abdul, Koreksi bagi Kaum Sufi, terj. A.
Bahauddin dan Muslim Muslih, Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
‘Athâ’, ‘Abd al-Qâdir Ahmad, al-Tashawwuf al-Islâmiy bayn al-Ashâlat wa ‘il-Iqtibâs fî ‘Ashr
al-Nâblisî, Beirut: Dâr al-Jayl, 1987.
Baldick,
Julian, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, London: I.B. Tauris
& Co Ltd., 1989.
Basyûnî,
Ibrâhîm, Nasy’at al-Tashawwuf al-Islâmî, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif
Bimishra, t.t.
Burckhardt, Titus, An
Introduction to Sufi Doctrine, Kashmir-Lahore: SH. Muhammad Asyraf, 1973.
Ghallâb, Muhammad, al-Tashawwuf al-Muqâran, Kairo: Maktabat Nahdhat Mishra wa
Muthbi‘utihâ, t.t.
Hamiduddin,
M., “Early Sufis: Doctrine,” dalam M.M. Syarif (Ed.), A History of Muslim
Philosophy, Delhi: Low Price Publications, 1995.
Hujwîrî,
‘Alî ibn ‘Utsmân al-, Kasyf al-Mahjûb, terj. ke dalam Bahasa Arab
Is‘ad Abd al-Hâdî Qundail, Kairo: Dar al-Kutub, 1974.
Hushain,
Ahmad bin Abdul Aziz al- dan Numsuk, Abdullah Mustofa, Kesesatan Sufi:
Tasawuf, Ajaran Budha!, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2001.
Jaiz,
Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2002.
Johansen,
Julian, Sufism and Islamic Reform in Egypt: The Battle for Islamic Tradition,
Oxford: Clarendon Press, 1996.
Kalâbâdzî, Abû
Bakr Muhammad al-, Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf,
Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat, 1969.
Lings,
Martin, What is Sufism? London: George Allen & Unwin Ltd., 1975.
Massignon, Louis, & Musthafâ ‘Abd al-Râziq, Islam
& Tasawuf, terj. Irwan Raihan & M. Halabi Hamdy, Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2001.
Nasr,
Seyyed Hossein, Living Sufism, London: Unwin Paperbacks, 1980.
Nasution,
Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1995.
Nicholson,
Reynold A., Th Mystics of Islam, London: Routledge & Kegan Paul
Ltd., 1966.
Qusyairî, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-, Risalah
Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
--------Sufi
Book of Spiritual Ascent (al-Risalah al-Qusyairiyah), terj. Rabia Harris,
Chicago: ABC International Group Inc., 1997 .
Rahman, Fazlur,
Islam, Chicago dan London: University of Chicago Press, 1979.
Sirriyeh,
Elizabeth, Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking and Rejection of
Sufism in the Modern World, RoutledgeCurzon: Taylor & Francis Group,
1999.
Taftazani,
Abu al-Wafa’ al-Ghunaimi al-, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.
Thûsî, Abû
Nashr al-Sarrâj al-, Al-Luma‘, Pentahqiq dan Kata Pengantar: ‘Abd
al-Halîm Mahmûd dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqî Surûr, Kairo: Maktabat
al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t.
[1] Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain dan Abdullah
Mustofa Numsuk, Kesesatan Sufi: Tasawuf, Ajaran Budha!, (Jakarta: Pustaka
as-Sunnah, 2001), 6-8.
[2] Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, Koreksi
bagi Kaum Sufi, terj. A. Bahauddin dan Muslim Muslih, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1998), 1-5. Bid’ah adalah mengada-ada dalam Islam, yakni suatu amaliah yang
belum pernah dicontohkan sebelumnya oleh Nabi Saw.
[3] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat
di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), 256-59.
[4] Adanya tuduhan-tuduhan ini diungkap Julian
Johansen, Sufism and Islamic Reform in Egypt: The Battle for Islamic
Tradition, (Oxford: Clarendon Press, 1996), 1 dan Syekh Fadhlalla Haeri, The
Elements of Sufism, (Shaftesbury, Dorset, Brisbane dll: Element, 1997),
77-8.
[5] Atas dasar inilah, barangkali, yang melatari
Johansen berpendapat bahwa tasawuf merupakan satu-satunya “khazanah spiritual
dan intelektual” dalam Islam yang paling menyita perhatian hampir di sepanjang
sejarah Islam. Menurut Johansen, tasawuf senantiasa menjadi sebuah isu
perdebatan. Julian Johansen, Sufism
and Islamic Reform in Egypt, 1. Lihat pula Fazlur Rahman, Islam, (Chicago
dan London: University of Chicago Press, 1979), 134 dan Elizabeth Sirriyeh, Sufis
and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking and Rejection of Sufism in the Modern
World, (RoutledgeCurzon: Taylor & Francis Group, 1999).
[6] Fazlur Rahman, Islam, 134-37.
[7] Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, Vol. XIV No. 1,
Januari 2014, 123-34.
[8] Abû Bakr Sirâj al-Dîn, “The
Nature and Origin of Sufism,” dalam Seyyed Hossein Nasr (Ed.), Islamic
Spirituality, (New York: Crossroad, 1987), 236.
[9] ‘Alî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb,
terj. ke dalam Bahasa Arab Is‘ad Abd al-Hâdî Qundail, (Kairo: Dar al-Kutub,
1974), 239.
[10] Ibrâhîm Basyûnî, Nasy’at
al-Tashawwuf al-Islâmî, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif Bimishra, t.t.), 17.
[11] Reynold A. Nicholson, Th Mystics of Islam,
(London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1966), 25.
[12] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, Pentahqiq dan Kata
Pengantar: ‘Abd al-Halîm Mahmûd dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqî Surûr, (Kairo:
Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t.), 45.
[13] Abû Nashr
al-Sarrâj, Al-Luma‘, h. 45
[14] Abû Nashr al-Sarrâj, Al-Luma‘, h. 48
[15] Abû Bakr
Muhammad al-Kalâbâdzî,
Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, selanjutnya ditulis Al-Ta‘arruf,
(Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat, 1969), 34.
[16] Definisi al-Nûrî ini dinukil pula ole ‘Alî ibn
‘Utsmân al-Hujwîrî di dalam kitabnya Kasyf al-Mahjûb, 232.
[17] Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb,
237-38.
[18] Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 227.
[19] Abû Bakr
Muhammad al-Kalâbâdzî, al-Ta‘arruf, 33.
[20] Abul Qasim
Abdul Karim Hawazin al-Qusyairî an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber
Kajian Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 415.
[21] Muhammad Ghallâb,
al-Tashawwuf al-Muqâran, (Kairo:
Maktabat Nahdhat Mishra wa Muthbi‘utihâ, t.t.), 27 dan Titus Burckhardt,
An Introduction to Sufi Doctrine, (Kashmir-Lahore:
SH. Muhammad Asyraf, 1973), 3.
[22] Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 227.
[23] Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 228.
[24] Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 231
dan Abu al-Qasim al-Qusyairi, Sufi Book of Spiritual Ascent (al-Risalah
al-Qusyairiyah), terj. Rabia Harris, (Chicago: ABC International Group
Inc., 1997), 297.
[25] Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 239.
[26] Abû Nashr
al-Sarrâj, al-Luma‘, 42-3.
[27] ‘Alî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb,
231 dan Abu al-Qasim al-Qusyairi, Sufi Book of Spiritual Ascent (al-Risalah
al-Qusyairiyah), 297.
[28] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
4 dan A.J. Arberry, Sufism, 35.
[29] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
3-4.
[30] Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, (London:
Unwin Paperbacks, 1980), 99.
[31] A.J. Arberry, Sufism, 33.
[32] Perbedaan gerakan kezuhudan dan gerakan
tasawuf adalah gerakan kezuhudan merupakan gerakan murni keagamaan (kesalihan,
spiritualitas), sementara gerakan tasawuf merupakan gerakan keagamaan
(spiritualitas) yang telah dimasuki unsur-unsur intelektualitas, gerakan
tasawuf merupakan elaborasi terhadap gerakan kezuhudan, gerakan kezuhudan tidak
mengandung unsur teosofi, sedangkan gerakan tasawuf telah mengandung unsur
teosofi, gerakan kezuhudan merupakan gerakan hidup sederhana dan menjauhi
kenikmatan duniawi, sementara gerakan tasawuf merupakan gerakan yang menjadikan
kehidupan zuhud itu sebagai langkah awal untuk menggapai kehidupan spiritual
yang lebih tinggi. Lih. M. Hamiduddin, “Early Sufis: Doctrine,” dalam M.M.
Syarif (Ed.), A History of Muslim Philosophy, (Delhi: Low Price
Publications, 1995), 316; A.J. Arberry, Sufism, 33; dan Reynold A.
Nicholson, The Mystics of Islam, 6.
[33] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
4.
[34] Julian Baldick, Mystical Islam: An
Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1989), 15.
[35] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
11 dan A.J. Arberry, Sufism, 36-7.
[36] A.J. Arberry, Sufism, 11.
[37] Martin Lings, What is Sufism? (London:
George Allen & Unwin Ltd., 1975), 5. Dengan demikian, tidak tepat tuduhan
Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain dan Abdullah Mustofa Numsuk bahwa tasawuf itu
merupakan ajaran Budha. Kalaupun ternyata pengaruh itu ada, maka pengaruh itu
hanya menyentuh permukaannya saja sehingga tidak mampu merubah esensinya. Oleh
karena tidak mampu merubah esensinya, maka tidak dapat dikatakan bahwa tasawuf
itu merupakan ajaran Budha.
[38] Abu al-Wafa’ al-Ghunaimi al-Taftazani, Sufi
dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985),
56.
[39] Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme
dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9, 61.
[40] Abû Bakr
Muhammad al-Kalâbâdzî, al-Ta‘arruf, 30.
[41] Abû Bakr
Muhammad al-Kalâbâdzî, al-Ta‘arruf, 31.
[42] Tentang nama-nama ahl al-shuffat
ini lihat Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, Bab 9.
[43] Abû Bakr
Muhammad al-Kalâbâdzî, al-Ta‘arruf, 31.
[44] A.J. Arberry, Sufism, 32.
[45] Mengenai estafetisasi ajaran Nabi Saw. ini
lihat Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 7-13.
[46] Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi
Doctrine, 5.
[47] S.H. Nasr, Living Sufism, 99.
[48] A.J. Arberry, Sufism, Bab Introduction.
[49] Abû Nashr
al-Sarrâj, al-Luma‘, 31.
[50] Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi
Doctrine, 5-6.
[51] Al-Qusyairî menyatakan secara eksplisit,
sebagaimana dinukil Hamiduddin, bahwa kata tasawuf telah digunakan umat sebelum
abad ke-2 H/8 M atau sebelum tahun 200 H/815 M. M. Hamiduddin, “Early Sufis,”
315-16.
[52] Abû Nashr
al-Sarrâj, al-Luma‘, 42-3.
[53] Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘,
42.
[54] Abû Nashr
al-Sarrâj, al-Luma‘, 42-3.
[55] Sufyan
al-Tsauri, menurut al-Hujwîrî, merupakan salah satu dari empat tokoh,
yakni Abû Hanîfah, Mis‘ar ibn Kidam, Syuraik dan Sufyan sendiri, yang diundang
Khalifah al-Manshûr untuk dipilih, salah satunya, menjadi qadhi. Di tengah
perjalanan menuju Khalifah, Abû Hanîfah usul supaya Mis‘ar pura-pura gila,
Sufyan supaya lari, dia akan menolak jabatan itu, dan hendaknya Syuraik yang
menjadi qadhi. Akhirnya, Syuraik dipilih sebagai qadhi. Al-Hujwîrî, Kasyf
al-Mahjûb, 303.
[56] Posisi mereka sebagai sahabat Rasulullah Saw.
ini yang membuat mereka menjadi pemimpin-pemimpin ahli zuhud, ahli ibadah,
orang-orang yang bertawakal, orang-orang fakir, orang-orang yang ridha,
orang-orang yang sabar, orang-orang yang rendah hati (mukhbitîn) dan
lain sebagainya.
[57] Abû Nashr
al-Sarrâj, al-Luma‘, 42-3.
[58] M.
Hamiduddin, “Early Sufis: Doctrine,” 315.
[59] Louis Massignon & Musthafâ
‘Abd al-Râziq mengatakan
bahwa al-Sarrâj mengemukakan pendapat ini untuk membebaskan paham tasawuf dari
tuduhan sebagai istilah baru yang tidak dikenal pada zaman sahabat dan tâbi‘în.
Louis Massignon & Musthafâ ‘Abd al-Râziq, Islam & Tasawuf, terj.
Irwan Raihan & M. Halabi Hamdy, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 44.
[60] ‘Abd al-Qâdir Ahmad
‘Athâ’, al-Tashawwuf al-Islâmiy bayn
al-Ashâlat wa ‘il-Iqtibâs fî ‘Ashr al-Nâblisî, (Beirut: Dâr al-Jayl,
1987), 180. Muhammad
al-Abduh dan Thariq Abdul Halim tidak menyetujui penisbatan sufi untuk zuhhâd, nussâk, ‘ubbâd atau qurrâ’ ini dikarenakan dia
menyatakan bahwa zuhhâd, nussâk, ‘ubbâd atau qurrâ’ ini merupakan
kelompok umat yang berada pada jalur yang benar, sementara kaum sufi dia
pandang sebagai ahli bid’ah. Muhammad
al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, Koreksi bagi Kaum Sufi, 3.
[61] A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam,
35.