Rabu, 09 Agustus 2017

AL-GHAZALI: PENGETAHUAN TUHAN



AL-GHAZALI: PENGETAHUAN TUHAN

Ada tiga hal, setidaknya, berkenaan dengan masalah yang hendak dibicarakan kali ini yang harus diketahui agar tidak menimbulkan kerancuan. Pertama, tulisan ini hanya berdasarkan buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang diterjemahkan oleh Ahmadi Taha. Kedua, untuk membicarakan pengetahuan Tuhan menurut al-Ghazali mengandaikan kita telah mengetahui pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali, terutama Ibn Sina. Ketiga, pengetahuan adalah “gambaran akan sesuatu yang ada dalam jiwa.” Menganalogikan dengan definisi ini, maka pengetahuan Tuhan adalah “gambaran akan sesuatu yang ada dalam diri Tuhan.” Oleh karena ia berada dalam diri Tuhan, maka persoalannya adalah: Apakah pengetahuan itu hanya meliputi Diri Tuhan, ataukah hanya meliputi hal-hal di luar Tuhan, atau kedua-duanya? Apakah pengetahuan Tuhan identik dengan esensi Tuhan?
Akal Murni
Walaupun pengandaian kita telah mengetahui pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali, tetapi di sini saya tetap akan menampilkan pemikiran para filsuf itu. Pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali tentang pengetahuan Tuhan, nampaknya, terbagi menjadi dua. Pertama, yang berpendapat bahwa pengetahuan hanya meliputi Dirinya Sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan Tuhan tentang Dirinya. Hal ini karena Tuhan merupakan Akal Murni, Sebab dari segala sebab. Akal Murni tidak mengetahui materi, sebab tidak mungkin Akal Murni berhubungan dengan materi serta tidak mungkin materi keluar dari yang bukan materi, yakni mustahil keluar dari Akal Murni. Dan Sebab dari segala sebab tidak mungkin mengetahui apa-apa yang terjadi dunia. Dengan demikian, singkat kata, pengetahuan Tuhan identik dengan esensi Tuhan.
Kedua, pengetahuan Tuhan hanya meliputi hal-hal yang selain Dirinya, atau katakanlah, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan Tuhan tentang alam semesta. Hal ini karena alam semesta merupakan hasil karya-Nya atau hasil ciptaan-Nya. Alam timbul dari esensi-Nya, karena pengetahuan-Nya akan alam. Prinsip alam adalah pengetahuan-Nya tentang alam. Dan pengetahuan-Nya tentang alam identik dengan Dirinya Sendiri. Apabila dia tidak mempunyai pengetahuan tentang alam, maka alam tidak akan tercipta. Representasi ideal system universal merupakan sebab bagi emanasi alam. Karena itu, pengetahuan Tuhan hanya meliputi hal-hal yang universal, dan tidak meliputi hal-hal yang particular, hal-hal yang terikat waktu: lampau, kini dan nanti.
Pengetahuan = Sifat
Pendapat al-Ghazali tentang pengetahuan Tuhan hampir saja merupakan gabungan dari dua pendapat di atas sekiranya al-Ghazali tidak mengkanter pendapat-pendapat itu dan tidak mengemukakan argumen-argumen yang lain. Jadi, menurut al-Ghazali, pengetahuan Tuhan meliputi Dirinya dan apa-apa yang selain diri-Nya, baik hal itu universalitas atau partikular, dan pengetahuan Tuhan tidak identik dengan esensi Tuhan, atau tepatnya, pengetahuan Tuhan dalam pandangan al-Ghazali adalah sifat Tuhan.
Apabila Tuhan hanya mengetahui Dirinya atau hanya yang selain-Nya, maka implikasinya—menurut al-Ghazali—adalah akibat-akibat  dari Tuhan lebih mulia dari Tuhan. Karena malaikat, manusia ataupun makhluk-makhluk berakal yang lain, begitu argumen al-Ghazali, mengetahui dirinya sendiri; prinsipnya; dan wujud-wujud yang lain. Semua makhluk hidup menyadari dirinya, sebab itu Tuhan Yang Hidup pasti mengetahui Dirinya. Kesadaran makhluk akan dirinya tidak sama dengan esensi dirinya, tetapi antara kesadaran dengan yang mempunyai kesadaran tidak bisa dilepaskan. Begitu juga, pengetahuan Tuhan bukan esensi Tuhan, tetapi antara pengetahuan Tuhan dengan esensi Tuhan tak terpisahkan. Pengetahuan Tuhan adalah sifat Tuhan.
Alam adalah ciptaan Tuhan. Penciptaan Tuhan itu tentunya juga didasarkan pada iradah mutlak-Nya. Dan setiap objek kehendak pasti diketahui oleh yang berkehendak. Sebab itu alam pasti diketahui oleh-Nya, karena alam dikehendaki oleh-Nya, dan menggantungkan asal-mulanya pada kehendak-Nya. Alam berasal dari kehendak-Nya. Yang mempunyai kehendak pasti yang hidup. Karena itu Ia pasti juga hidup (Hayy). Dan setiap wujud yang hidup yang mengetahui yang lainnya harus a fortiori mempunyai pengetahuan-diri. Dengan demikian, alam merupakan objek pengetahuan Tuhan.
Pengetahuan Tuhan tentang alam tidak hanya menyangkut masalah yang universal saja, tetapi juga yang partikular. Pengetahuan Tuhan yang partikular ini tidak melalui yang universal, tetapi secara langsung kepada hal-hal yang partikular, hal-hal yang berubah, hal-hal yang dibawahi waktu: lalu, kini dan nanti. Apabila partikular-partikular itu berubah, maka pengetahuan Tuhan pun berubah, KARENA PENGETAHUAN MENGIKUTI OBJEK PENGETAHUAN. Apabila objek pengetahuan berubah, maka pengetahuan pun berubah. Akan tetapi, Tuhan bukan pengetahuan. Pengetahuan Tuhan itu hanya merupakan sifat Tuhan. Karena itu, perubahan pada pengetahuan Tuhan adalah perubahan pada sifat Tuhan, bukan pada esensi Tuhan. Oleh sebab itu tidak menjadi soal. Di lain hal, pengetahuan Tuhan akan sesuatu bukan menjadi syarat untuk sempurnanya Tuhan, seperti manusia yang membutuhkan pengetahuan untuk menjadi sempurna, sebab Tuhan itu Maha Sempurna. Kalau kita mengandaikan bahwa Tuhan ingin sempurna dengan pengetahuan, tentu kita menganggap esensi-Nya, qua esensi, tidak sempurna.
Kini, penolakan terhadap hal-hal yang berubah pada-Nya tidak membuktikan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnan. Ketidaksempurnaan hanya terletak pada indera-indera dan pada kebutuhan-kebutuhan indera itu. Tuhan tidak mempunyai indera dan tidak membutuhkan indera seperti manusia. Pengetahuan Tuhan tidak membutuhkan indera, dan Tuhan tidak menerima perubahan-perubahan melalui indera. Ia Maha Sempurna. Ia mengetahui melalui pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya itu adalah sifat-Nya. Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan.
Dan… wa Allahu a‘lam bi al-shawab.
Ciputat, 8 Ramadhan 1410 H
(Makalah sewaktu S1 yang saya ketik ulang).

FATWA MUI BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN


FATWA MUI BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN: MELACAK TRADISI TAKFĪR DALAM SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM
(Makalah ini ditulis untuk Call For Papers International Conference on MUI Studies, 26-28 Juli 2017)
Oleh Dimyati Sajari
Ketua Komisi Pendidikan dan Pengkaderan Ulama MUI Tangerang Selatan dan Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: dimyati@uinjkt.ac.id
Hp.: 081310649098
A. Pendahuluan.
Dewasa ini masih sering terjadi suatu kelompok umat Islam yang memandang umat Islam lainnya sebagai sesat hanya gara-gara beda paham atau beda amaliahnya. Bahkan, ada kelompok umat yang menganggap kafir terhadap kelompok umat lainnya, baik yang dilakukan kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas atau pun, sebaliknya, dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Terjadinya pelabelan sesat dan pengkafiran ini biasanya dilatari adanya anggapan atau keyakinan bahwa dirinyalah yang benar dan orang (kelompok) lain tidak benar (telah keluar atau telah sesat dari jalan yang benar).
Tampaknya, menganggap kelompok umat lain sebagai ahli sesat atau pengkafiran terhadap sesama kelompok umat Islam itu akan tetap terjadi di sepanjang sejarah umat Islam, baik dari kelompok mayoritas maupun dari kelompok minoritas. Di Indonesa, pelabelan sesat atau pengkafiran dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dapat dilihat, misalnya, dari adanya "nada pengkafiran" yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di dalam Fatwa-fatwanya di Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan. Akan tetapi, di Fatwa-fatwa Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan inipun dapat diketahui akan adanya kelompok-kelompok minoritas yang melakukan takfîr pula terhadap kelompok
2
mayoritas umat Islam lainnya, seperti Aliran Ahmadiyah dan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah.1
Tentu saja takfîr yang dilakukan MUI itu berbeda dengan takfîr yang dilakukan oleh kelompok minoritas. MUI melakukan takfîr sesuai fungsi dan kedudukannya dan MUI tidak pernah melakukan takfîr kecuali atas dasar kajian ilmiah yang mendalam terhadap kelompok yang mengobral takfîr dan meresahkan umat. Sementara, di pihak kelompok minoritas, tampaknya mereka melakukan takfîr semata-mata dikarenakan takfîr itu merupakan basis idiologis pergerakan mereka. Dengan asumsi ini, penelitian ini bertujuan mengungkap hal-hal yang melatari lahirnya takfîr yang dilakukan MUI di dalam Fatwa MUI Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan, sekaligus melacak tradisi takfîr itu dalam Sejarah Pemikiran Islam.2
Atas dasar asumsi itu, maka penelitian ini akan menjawab: kenapa ada fatwa takfîr dari MUI? Apakah takfîr itu dapat dilacak akar historisnya dalam Sejarah Pemikiran Islam? Kalau dapat dilacak, apakah tradisi takfîr itu akan berakhir? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini penelitian akan difokuskan pada buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (1976–2010)3 dan penyajian dimulai dari Makna Fatwa dan Takfîr, Indikator Paham atau Aliran Sesat, Kedudukan dan Peran MUI, dan Fatwa MUI di Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan.
B. Makna Fatwa dan Takfîr.
Umat Islam Indonesia sudah akrab dengan istilah fatwa ini. Kata fatwa (fatwâ) yang merupakan bentuk tunggal—bentuk jamaknya adalah fatâwâ—telah resmi menjadi Bahasa Indoensia. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia didefinisikan dua makna tentang istilah fatwa ini. Pertama, fatwa adalah keputusan perkara
1 Fatwa tentang Ahmadiyah merupakan Fatwa yang ke-13 dan mengenai Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan Fatwa yang ke-14 yang dihimpun dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010).
2 Pendekatan ini pernah peneliti lakukan ketika meneliti tentang Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010). Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010)‖ dalam Jurnal Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Volume : XXXIX, No. 1, Januari-Juni 2015, IAIN Press Medan.
3 Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010)/
3
agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah. Kedua, fatwa adalah nasihat orang alim, pelajaran baik atau petuah.4
Bila dua makna itu dagabungkan, maka definisi tentang fatwa itu sejalan dengan yang dikatakan Mohammad Atho Mudzhar yang mengatakan bahwa fatwa adalah suatu pendapat hukum Islam yang diberikan oleh seorang ahli hukum Islam sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan. Mudzhar menginformasikan bahwa ahli hukum Islam yang memberikan pendapat hukum itu disebut sebagai seorang mufti (penasehat hukum). Oleh sebab merupakan produk seorang mufti (penasehat hukum), maka—menurut Mudzhar—jawaban keagamaan yang diberikan hanya bersifat sebagai nasihat dan karenanya tidak mengikat. Mudzhar pun membandingkan sifat dari produk kedua pewenang hukum ini: fatwa seorang mufti dinyatakannya hanya bersifat sebagai nasihat yang tidak mengikat, tetapi keputusan hukum seorang qâdhî bersifat mengikat bagi yang bersangkutan dikarenakan berhadapan dengan lembaga peradilan.5
Berpijak pada makna atau pengertian itu, maka dapat diperjelas bahwa yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah agama, yang bersifat sebagai nasihat. Alim ulama yang dimaksud adalah alim ulama yang bergabung di MUI Pusat. MUI sendiri, kelihatannya, menyadari sifat fatwa yang tidak mengikat ini, tidak seperti keputusan peradilan, meski oleh umat Islam mungkin saja ada yang memandang fatwa MUI itu sebagai produk hukum yang mengikat. Di dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dinyatakan bahwa fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.6 Di sini MUI menyatakan bahwa fatwa itu merupakan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan, bukan sebagai keputusan tentang masalah keagamaan. Dengan demikian, fatwa pada hakikatnya tidak mengikat, walaupun ada pernyataan ―berlaku untuk umum.‖
4 Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 406
5 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonsia 1975 – 1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 1-2
6 ―Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,‖ dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010), h. 5
4
Di samping itu, ditegaskan bahwa fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.7 Dengan penjelasan ini berarti, bila jawaban atau penjelasan itu diambil bukan melalui mekanisme rapat Komisi Fatwa, maka tidak dianggap sebagai fatwa MUI, meski yang memberikan jawaban atau penjelasan itu salah satu atau beberapa orang dari anggota Komisi Fatwa MUI. Kemudian, yang dimaksud MUI dalam penelitian ini adalah MUI Pusat. Dengan demikian, dapat dipertegas bahwa yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah Fatwa MUI Pusat tentang suatu masalah keagamaan yang telah disepakati atau disetujui dalam rapat oleh anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, yang kemudian ditetapkan sebagai Fatwa oleh Pimpinan MUI Pusat.
Selanjutnya, pengertian istilah takfîr—bentuk mashdar dari kata kaffara-yukaffiru-takfîrâ—adalah mengkufurkan, menuduh kafir atau mengkafirkan (menganggap/memandang kafir).8 Merujuk pada pendapat Toshihiko Izutsu, yang dimaksud pengertian ini adalah ―mengutuk seseorang sebagai tidak percaya (kafir)‖ atau ―mengecam seseorang sebagai kafir.‖9 Orang yang dikutuk atau dipandang sebagai kafir ini bukanlah orang yang tidak beriman, tetapi orang beriman (mu„min) yang dianggap berfaham atau beraqidah sesat, sehingga dia dipandang sebagai orang kafir.
Oleh karena itu, istilah takfir yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengkafirkan (memandang orang beriman lainnya sebagai kafir) atau mengutuk orang beriman lainnya sebagai kafir. Dengan demikian, dalam penelitian ini takfir sama maknanya dengan memandang sesama orang beriman sebagai kafir, orang sesat atau orang yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Pada kasus tertentu, orang yang dipandang sebagai sesat ini divonis pula sebagai kelompok yang ―berada di luar Islam.‖ Bahkan, ada yang difonis sebagai murtad. Dalam
7 ―Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,‖ Ibid.
8 ―Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,‖ Ibid., h. 12, Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al Qur‘an, 1973), h. 378 dan Kamus Bahasa Indonesia, h. 615.
9 Toshihiko Izutsu ‗memperkenalkan‘ istilah pengkafiran yang pertama kali dilakukan kaum Khawârij dengan istilah takfir, yang didefinisikan sebagai ―mengutuk seseorang sebagai tidak percaya (kafir)‖ atau ―mengecam seseorang sebagai kafir.‖ Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 6, 19. Penggunaan istilah takfir dalam penelitian ini mengikuti istilah yang digunakan Izutsu tersebut.
5
penelitian ini, yang memandang sesat atau kafir adalah ulama-ulama yang bergabung di MUI atau yang berada di Komisi Fatwa MUI dan yang dipandang kafir, sesat, berada di luar Islam dan atau murtad adalah orang-orang/aliran yang merupakan kelompok minoritas yang ajarannya telah dipandang menyimpang (sesat) dari ajaran Islam yang sebenarnya.10
Istilah lain yang terkait dengan fatwa ini adalah istilah sesat, yang digunakan pula dalam penelitian ini. Kata sesat ini merupakan terjemahan dari kata dalam Bahasa Arab, dhalla-yadhillu-dhalâlâ/dhalâlah. Di kamus Al Munawwir, kata dhalla ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi: sesat, menyimpang dari kebenaran atau menyimpang dari tuntunan agama.11 Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah sesat dalam penelitian ini adalah menyimpang dari kebenaran agama atau dari tuntunan agama yang sebenarnya.
C. Indikator Paham atau Aliran Sesat.
Selain menetapkan mekanisme penetapan suatu fatwa, maka MUI juga menetapkan suatu indikator kesesatan suatu paham atau aliran keagamaan. Di dalam Rakernas-nya di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Tahun 2007 MUI merumuskan sepuluh indikator/kriteria sebagai ciri-ciri ajaran atau aliran yang sesat, yaitu:
1. Mengingkari salah satu rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima.
2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah.
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur‘an.
4. Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur‘an.
5. Melakukan penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
10 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 47
11 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 826.
6
9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari‘ah, seperti haji tidak ke Baitullah dan shalat wajib tidak lima waktu.
10. Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.12
Atas dasar sepuluh kriteria itu, maka MUI—sesudah mengadakan penelitian atau pengkajian mendalam dan pembahasan sesuai prosedur yang telah ditetapkan di MUI—akan memfatwakan sebagai aliran atau kelompok sesat atau kelompok di luar Islam apabila ada kelompok umat yang ditemukan memiliki salah satu di antara indikator/kriteria tersebut. Apalagi kalau terdapat beberapa kriteria di suatu kelompok tertentu, maka—sesuai kedudukan dan peran MUI—kelompok itu akan ditetapkan sebagai aliran atau kelompok sesat, bahkan kelompok di luar Islam. Jika kelompok itu dinyatakan telah keluar dari Islam, maka mereka merupakan kelompok orang murtad dan murtad berarti kafir atau kafir murtad.
D. Kedudukan dan Peran MUI.
Fatwa MUI itu dapat dipandang sebagai perwujudan dari peran MUI itu sendiri, di samping sebagai pelanjut dari tradisi takfîr yang telah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam yang cukup awal. Di dalam Muqaddimah Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, di antaranya, dinyatakan bahwa ulama Indonesia menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi (waratsah al-anbiyâ‟), pelayan umat (khâdimul ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah Muhammad Saw. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sebagai waratsatul anbiyâ‟, Ulama Indonesia menyadari bahwa merupakan suatu kewajiban bersama (fardhun jama'iy) untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan terpuji. Kemudian, diungkapkan pula bahwa Ulama Indonesia menyadari peran dan fungsinya sebagai pemimpin umat yang harus lebih ditingkatkan, sehingga mampu mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan Aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan ibadat, menuntun umat dalam mengembangkan akhlakul karimah agar terwujud masyarakat yang berkualitas (khair ummah). Bila dikaitkan
12 Jawapos, Jakarta, Rabu, 07 Nov 2007 dan NU Online, Jakarta, www.nu.or.id, Selasa, 6 November 2007
7
dengan persoalan fatwa, maka memberikan fatwa merupakan refleksi atau tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi MUI ini.
Di samping berkaitan dengan peran dan fungsi MUI itu, pemberian fatwa terhadap umat juga berhubungan dengan tekad MUI untuk tidak membiarkan umat dalam kebingungan. Di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia disebutkan bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i‘tiqadi maupun secara syar‘i. Tekad ini dilanjutkan dengan klaim MUI sebagai pengayom umat dan sebagai lembaga yang paling kompeten dan paling dipercaya. Dinyatakan di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu‘ama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga yang paling berkompeten bagi pemecahan dan menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.13
Sejalan dengan klaimnya itu, di Bab IV yang mengatur tentang ―Kewenangan dan Wilayah Fatwa‖ dinyatakan di Pasal 1 bahwa MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.14 Dengan demikian, MUI berkepentingan dengan kebenaran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia. Dari sinilah MUI merasa berkewajiban mengawal atau menjaga umat agar tetap pada jalur kebenaran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan. Atas dasar inilah MUI akan selalu memberikan fatwa (jawaban atau penjelasan) di setiap ada persoalan baru yang muncul, baik yang berkenaan dengan persoalan i‘tiqadi maupun syar‘i, persoalan akhlak maupun hukum. Apalagi kalau persoalan keagamaan yang muncul itu berkaitan dengan
13 ―Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,‖ h. 3-4.
14 ―Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,‖ h. 7.
8
masalah penyimpangan atau penyelewengan agama, maka MUI akan segera meresponnya walaupun tidak diminta.15
Klaim MUI sebagai lembaga yang berkompeten dan berwenang memang mengindikasikan suatu klaim-diri bahwa paham MUI-lah yang benar atau MUI-lah yang berkompeten dan berwenang menetapkan kebenaran beragama di Indonesia. Dengan sepuluh kriteria aliran sesat yang telah diungkap di atas, maka segala bentuk paham dan praktek keagamaan yang memenuhi salah satu unsur itu tidak lagi dipandang sebagai bentuk perbedaan, tapi ditetapkan sebagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang sesat dan menyesatkan.
Sebenarnya, sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap ada persoalan baru pastilah al-Qur‘an akan meresponnya dikarenakan al-Qur‘an itu pada dasarnya merupakan respon Ilahi atas segala persoalan yang dihadapi Nabi dan para sahabat Nabi. Sifat responsi al-Qur‘an ini tetap dan akan tetap berperanan di sepanjang sejarah Islam, baik yang sudah lewat maupun yang belum lewat hingga akhir zaman. Akan tetapi, al-Qur‘an tidak mungkin mampu memberikan respons kalau tidak difungsikan oleh umatnya (para pewarisnya). Oleh karena itu, responsi MUI terhadap masalah-masalah keummatan atau keagamaan adalah bagian dari upaya untuk menjadikan al-Qur‘an responsif terhadap segala persoalan umat Islam.
Selain itu, telah menjadi sunnatullah pula bahwa setiap ada penyimpangan atau penyelewengan di antara umat pasti akan ada umat lain yang meluruskannya. Hal ini disebabkan, al-Qur‘an dan al-Sunnah adalah ―tipe ideal‖ bagi umat Islam dan setiap umat berusaha untuk hidup sesuai dengan ideal Islam ini. Kehidupan beragama yang ideal (yang sesuai al-Qur‘an dan al-Sunnah) ini akan tetap dihidupkan oleh kelompok atau perorangan dalam waktu dan tempat yang berbeda. Semakin jauh dari ideal, maka akan semakin besar ketegangan dalam masyarakat dan keinginan serta upaya untuk meluruskan atau mengembalikan kembali kepada yang idealpun semakin besar. Oleh sebab itu, semakin ada penyimpangan atau penyelewengan dari ideal al-Qur‘an dan al-Sunnah, maka MUI sebagai lembaga yang berkompeten dan memiliki kewenangan akan semakin besar kepeduliannya
15 Di Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia Bab III tentang ―Sifat dan Fungsi‖ Pasal 4 mengenai ―Fungsi‖ dinyatakan bahwa MUI merupakan pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.
9
untuk mengembalikannya ke tipe yang ideal, tipe yang benar menurut al-Qur‘an dan al-Sunnah. Di sinilah MUI senantiasa mendasarkan penetapan fatwa pada al-Qur‘an dan al-Sunnah, selain kepada ijma‘, qiyas dan dalil lain yang mu‟tabar.16
E. Fatwa MUI.
Fatwa MUI yang memfonis suatu paham atau aliran kelompok tertentu sebagai sesat, kafir atau keluar dari Islam itu hanya fatwa yang berkenaan dengan Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan, tidak berkaitan dengan bidang-bidang di luar bidang ini. Bila dilihat di Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diterbitkan Tahun 2010, maka Fatwa MUI dari Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2010 terdapat 14 Fatwa Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan.17
Dari 14 Fatwa itu, maka dapat diidentifikasi menjadi dua klasifikasi, yaitu fatwa yang bernada penyesatan (7 fatwa) dan tujuh fatwa lainnya yang tidak bernada penyesatan. Tujuh Fatwa yang tidak bernada penyesatan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: pertama, Empat Fatwa menyatakan sebagai ―haram‖ terhadap Perkawinan Campuran (Fatwa ke-5), Terorisme (Fatwa ke-10), Perdukunan (Kahânah) dan Peramalan („Irâfah) (Fatwa ke-11), dan terhadap Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama (Fatwa ke-12); kedua, Satu Fatwa (Fatwa ke-4) tentang Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil ditetapkan telah ―merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama;‖ dan ketiga, Dua Fatwa yang hanya berisi penjelasan, yaitu Fatwa ke-1 tentang Masalah Jama‗ah, Khalifah dan Bai‗at dan Fatwa ke-6 tentang Paham Syiah.
16 ―Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,‖ h. 5
17 Fatwa MUI dari Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2010 dibagi menjadi empat bidang, yaitu pertama, Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan (14 Fatwa); kedua, Bidang Ibadah (30 Fatwa); ketiga, Bidang Sosial dan Budaya (47 Fatwa); dan keempat, Bidang Pangan, Obat-obatan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (29 Fatwa). Di samping empat bidang Fatwa ini terdapat Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang terdiri dari Tiga Keputusan, yakni 1. Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia I Tahun 2003 (terdiri dari Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Tiga Masalah Keagamaan {Masâ‟il Waqi„iyyah Mu„âshirah}; dan Sembilan Masalah Perundang-undangan {Masâ‟il Qanûniyyah}). 2. Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Kedua Tahun 2006 yang terdiri dari Empat Masâ‟il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah; Tujuh Masâ‟il Waqî„iyyah Mu„âshirah; dan Tujuh Masâ‟il Qanûniyyah. 3. Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009 yang terdiri dari Empat Masâ‟il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah; Delapan Masâ‟il Waqî„iyyah Mu„âshirah; dan Sembilan Masâ‟il Qanûniyyah.
10
Sementara itu, Tujuh Fatwa yang bernada penyesatan adalah tentang Islam Jamaah (Fatwa ke-2); tentang Ahmadiyah Qadian (Fatwa ke-3); mengenai Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul (Fatwa ke-7); mengenai Darul Arqam (Fatwa ke-8); mengenai Malaikat Jibril Mendampingi Manusia (Fatwa ke-9); tentang Aliran Ahmadiyah (Fatwa ke-13); dan Fatwa ke-14 mengenai Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ketujuh Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 13 dan 14) inilah yang akan diteliti indikator kesesatannya di bawah ini disebabkan ketujuh fatwa MUI inilah yang secara langsung menfatwakan ―sesat-menyesatkan.‖ Apalagi, Empat Fatwa (3, 7, 13, 14) menfatwakan pula ―berada di luar Islam‖ dan Dua Fatwa (13, 14) menyatakan ―pengikutnya sebagai murtad.‖
Untuk memperjelas Tujuh Fatwa MUI itu, dapat dilihat dengan melacak akar tradisi, asal usul atau kesamaan pemikiran ketujuh kelompok yang dipandang sesat oleh MUI tersebut dengan apa yang pernah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam. Akar tradisi dan indikator kesesatan ketujuh aliran dimaksud sebagai berikut:
1. Fatwa tentang Islam Jama‘ah.
Fatwa tentang Islam Jama‗ah merupakan Fatwa ke-2 di Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan. Aliran Islam Jama‗ah ini dinilai sebagai salah satu aliran keagamaan dalam Islam yang oleh sebagian umat Islam di Indonesia dianggap sebagai kelompok sempalan yang eksklusif, yang sejak tahun 1971 telah dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung RI.18 Atas dasar, satu di antaranya larangan Kejaksaan Agung RI ini, maka Dewan Pimpinan MUI memfatwakan Islam Jamaah sebagai ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya (ajaran agama Islam yang murni), mengganggu kestabilan Negara, sesat menyesatkan serta menimbulkan keresahan dan kegoncangan rumah tangga dan masyarakat. Jelasnya, Fatwa tentang Islam Jamaah ini memutuskan dan menyatakan:
1. Bahwa ajaran Islam Jama‘ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya
18 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 266.
11
dan penyiarannya itu memancing-mancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan Negara.
2. Menyerukan agar umat Islam berusaha mengindahkan saudara-saudara kita yang tersesat itu untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar niat dan keinginan menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam sebagai agamanya dari kemurkaan Allah Swt.
3. Agar uma Islam lebih meningkatkan kegiatan dakwah Islamiah melalui media pengajian atau media lainnya, terutama terhadap para remaja, pemuda, pelajar, seniman, dan lain-lain, yang sedang haus terhadap siraman agama Islam yang murni terutama kepada calon-calon pengikut Islam Jama‘ah dalam tahap pertama, dengan metode atau cara-cara penyampaian yang lebih sesuai dengan umat yang dihadapi.
4. Agar segera melaporkan kepada Kejaksaan setempat dengan memberikan bukti-bukti yang cukup lengkap manakala gerakan atau kegiatan Islam Jama‘ah (atau apapun nama lain yang dipakainya) sampai menimbulkan keresahan dan kegoncangan rumah tangga dan masyarakat.
Mengenai latar belakang diputuskannya Fatwa mengenai Islam Jama‘ah tersebut dapat dilihat dari amar Memperhatikan yang terdiri dari tiga poin, yakni:
1. Bahwa faham Islam Jama‘ah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 70-an. Karena ajarannya sesat dan menyesatkan serta menimbulkan keresahan di masyarakat, faham ini dilarang oleh pemerintah pada tahun 1971. Larangan pemerintah tersebut tidak diacuhkan. Mereka terus beroperasi dengan berbagai nama yang terus berubah hingga memuncak pada sekitar 1977-1978.
2. Faham ini menganggap bahwa umat Islam yang tidak termasuk Islam Jama‘ah adalah termasuk 72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam harus mengangkat ―Amirul Mukminin‖ yang menjadi pusat pimpinan dan harus mentaatinya, umat Islam yang masuk golongan ini harus dibai‘at dan setia kepada ―Amirul Mukminin‖ dan dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti hanya ajaran Islam yang bersumber dari ―Amirul Mukminin‖.
3. Pengikut aliran ini harus memutuskan hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri, tidak sah shalat di belakang orang yang bukan Islam
12
Jama‘ah, pakaian shalat pengikut Islam Jama‘ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan pengikutnya harus disucikan, suami harus mengusahakan agar isterinya turut masuk golongan Islam Jama‘ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus diputuskan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh ―Amirul Mukminin‖, dan khutbah yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab.19
Dari paparan ketiga poin amar Memperhatikan itu dapat dilacak presedennya dalam Sejarah Pemikiran Islam. Untuk melihat hal ini dapat dilihat dari kata-kata, istilah-istilah atau kalimat yang diungkap dalam amar Memperhatikan tersebut. Penelitian ini tidak berkepentingan untuk menguji validitas kalimat yang digunakan dalam Fatwa ini benar-tidaknya atau sesuai-tidaknya dengan doktrin yang sebenarnya mengenai ajaran Islam Jama‘ah, tetapi hanya ingin melacak akar pemikiran jama‘ah ini (menurut versi Fatwa MUI) dalam Sejarah Pemikiran Islam, yakni melacak kesamaan ajaran mereka dengan apa yang pernah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam.
Tampaknya, kata, istilah atau kalimat dalam amar Memperhatikan itu yang menunjukkan adanya kesamaan bukanlah yang tertera di poin kesatu, tetapi yang tertera di poin kedua dan ketiga. Pada poin kedua dikatakan bahwa umat Islam yang tidak termasuk Islam Jama‘ah adalah termasuk 72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam harus mengangkat Amirul Mukminin yang menjadi pusat pimpinan dan harus mentaatinya, umat Islam yang masuk golongan ini harus dibai‘at dan setia kepada Amirul Mukminin dan dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti hanya ajaran Islam yang bersumber dari Amirul Mukminin. Bila dilihat dari poin ini, maka Islam Jama‘ah sama dengan kaum Khawârij, kaum minoritas yang melakukan takfîr (sebagai basis idiologis mereka)20 terhadap kelompok mayoritas.
Kaum Khawârij itu, khususnya golongan al-Azâriqah, adalah kaum yang menganggap hanya kelompoknya yang benar, sementara kelompok umat di luar kelompok mereka dianggap sebagai kelompok yang salah; hanya kelompoknya
19 Himpunan Fatwa, h. 38-40.
20 Takfîr adalah dasar idiologis mereka memisahkan diri dari barisan Khalifah ‗Ali Karrama Allahu Wajhah.
13
yang dipandang merupakan muslim yang sebenarnya, sedangkan kelompok umat di luar mereka dianggap kafir, murtad, bahkan musyrik; hanya kelompok mereka yang dipandang akan masuk surga dan kekal di dalamnya, sementara kelompok orang beriman di luar mereka akan kekal di dalam neraka.21 Adapun tentang pengangkatan, ketaatan, dan kesetiaan terhadap Amirul Mukminin serta pembai‘atan terhadap anggota tidak ada bedanya dengan kaum Khawârij, meski dalam persoalan ketaatan dan pembai‘atan ini bukan milik khas kaum Khawârij belaka—di dunia tarekatpun diterapkan—tetapi hanya kepada Amirul Mukiminin mereka dan jaminan masuk surga merupakan ciri khas kaum Khawârij. Termasuk yang merupakan ciri khas Khawârij adalah pernyataannya bahwa ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti oleh mereka hanyalah ajaran Islam yang bersumber dari Amirul Mukminin mereka. Bagi mayoritas umat, ajaran Islam yang sah dan wajib diikuti adalah yang bersumber dari Allah (al-Qur‘an) dan dari Rasul-Nya (al-Sunnah), sedangkan yang bersumber dari Amirul Mukminin—termasuk di dalamnya dari al-Khulafâ‘ al-Râsyidûn—dianjurkan diikuti, tetapi tidak boleh tertuju hanya pada satu figur, melainkan kesemua figur22 dan yang sudah merupakan kesepakatan (ijma‘) sahabat wajib diikuti.23
Tidak berbeda dengan poin kedua yang pahamnya dapat dilacak pada kaum Khawârij, demikian pula dengan poin yang ketiga. Pernyataan bahwa ―pengikut aliran ini harus memutuskan hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri,‖ sama dengan kaum Khawârij golongan al-Azâriqah yang mewajibkan
21 Abû al-Fath Muhammad ‗Abd al-Karîm b. Abî Bakr Ahmad al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), h. 97-8, Ahmad Muhammad Ahmad Jalî, Dirâsah „ani al-Firaq fî Târîkh al-Muslimîn: al-Khawârij wa al-Syî„ah, (Al-Riyâdh: al-Mamlakah al-‗Arabiyyah al-Su‗ûdiyyah, 1988), h. 68-9, ‗Alî Musthafâ al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah wa Nasy‟ah „Ilm al-Kalâm „inda al-Muslimîn, (Kairo: Maktabah wa Mathba‗ah Muhammad ‗Alî Shubaih wa Awlâdih, 1958), h. 276-7, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 16-7 dan Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam Bagian I: Pemikiran Teologis, (Jakarta: Beunebi, Cet. I, 1987), h. 44
22 Abû Nashr al-Sarrâj mengatakan bahwa sahabat-sahabat, bukan hanya satu sahabat, merupakan bintang-gemintang yang dengan siapa saja seseorang (kaum sufi) dapat mengikuti dan meneladani mereka. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma„, (Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t.), h. 166
23 Fazlur Rahman, Islam, edisi kedua, (Chicago: The University of Chicago, 1979), h. 70-1. Tampaknya telah disepakati bahwa dasar ijtihad atau sumber ajaran Islam adalah al-Qur‘an, al-Sunnah dan Ijma‘, tetapi prinsip qiyâs, istihsân atau al-mashlahah al-mursalah tidak disepakati penerapannya. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 183
14
anggotanya berhijrah dengan mereka ke daerah kekuasaan mereka, dan kalau tidak mau berhijrah bersama mereka, walau sepaham dengan mereka, tetap dianggap sebagai orang kafir di luar kelompok mereka yang halal darahnya; pandangan bahwa ―tidak sah shalat di belakang orang yang bukan Islam Jama‘ah‖ sama dengan pandangan kaum Khawârij bahwa orang beriman di luar mereka adalah kafir, sehingga shalat di belakang orang kafir (= orang beriman di luar kelompok mereka) tidaklah sah; anggapan bahwa ―pakaian shalat pengikut Islam Jama‘ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan pengikutnya harus disucikan‖ tidak berbeda dengan kaum Khawârij Golongan al-Azâriqah yang memandang orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai musyrik, dan orang musyrik itu najis, sehingga pakaian yang tersentuh orang najis harus disucikan; pendirian bahwa ―suami harus mengusahakan agar isterinya turut masuk golongan Islam Jama‘ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus diputuskan‖ tidak berbeda dengan kewajiban berhijrahnya kaum Khawârij; dan pendirian bahwa ―perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh Amirul Mukminin‖ merupakan ciri khas Khawârij, sedangkan ajaran bahwa ―khutbah yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab,‖ dalam arti seluruhnya dengan bahasa Arab, sebenarnya merupakan khilâfiyyah,24 tetapi menyalahkan pihak lain dan merasa hanya dirinya yang benar merupakan tradisi Khawârij. Kelihatannya, klaim semacam ini akan tetap ada disebabkan klaim ini merupakan idiologi bagi kelompok minoritas untuk menjustifikasi gerakan mereka.
Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Islam Jama‘ah ini sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan al-Sunnah. Kesesatan dalam hal keyakinan dan atau aqidah ini biasanya disebabkan melakukan
24 Al-Jazairî mengatakan bahwa Madzhab Hanafiyah membolehkan khutbah jum‘ah dengan bahasa selain Bahasa Arab, meski sang khotib mampu berbahasa Arab. Adapun Hanâbilah menganggap tidak sah dengan bahasa selain Arab jika mampu berbahasa Arab, tetapi yang tidak mampu diperbolehkan berbahasa selain Arab kecuali ayat al-Qur‘an yang tidak boleh dengan bahasa selain Arab. Sementara Syâfi‗iyah memandang merupakan syarat dengan bahasa Arab hal-hal yang berkaitan dengan rukun khutbah, sehingga dipandang tidak memadai berkhutbah dengan bahasa selain Arab bagi orang Arab. Hanya saja, Syâfi‗iyah menganggap bagi orang non-Arab tidak disyaratkan dengan Bahasa Arab, meski yang berkaitan dengan rukun khutbah. Adapun Mâlikiyah memandang khutbah dengan Bahasa Arab sebagai syarat sahnya khutbah, walau orang non-Arab. Menurut Mâlikiyah, bila tidak ada yang mampu berkhutbah dengan Bahasa Arab secara baik, maka gugurlah kewajiban Shalat Jum‘ah bagi mereka. ‗Abd al-Rahmân Al-Jazairî, Kitâb al-Fiqh „alâ al-Madzâhib al-Arba„ah, Jilid 1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, 2008), h. 355.
15
penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Akibatnya, merasa benar sendiri dan menuduh kelompok lain sebagai pihak yang salah. Bahkan, bukan saja memandang umat di luar kelompok mereka sebagai pihak yang salah, tetapi juga dituduh kafir. Hal ini berarti, mereka mengkafirkan sesama bukan atas dasar dalil syar‘i, tetapi semata-mata dikarenakan tidak termasuk kelompok mereka. Dengan demikian, terdapat tiga indikator kesesatan mereka, yakni meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah, melakukan penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.25
2. Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan dan Aliran Ahmadiyah.
Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan (Fatwa ke-3) dan tentang Aliran Ahmadiyah (Fatwa ke-13) disajikan bersamaan di dalam penelitian ini disebabkan berisi mengenai masalah yang sama, meski merupakan produk yang berbeda: Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan merupakan hasil dari Musyawarah Nasional II pada Tahun 1980 di Jakarta, sementara fatwa mengenai Aliran Ahmadiyah merupakan produk Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005. Di dalam Musyawarah Nasional II pada Tahun 1980 itu MUI memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama‘ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.26 Kemudian, pada Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 MUI menfatwakan mengenai Aliran Ahmadiyah yang memutuskan dan menetapkan: Pertama, Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Kedua, Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju‟ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur‘an dan al-Hadis. Ketiga, Pemerintah
25 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 51.
26 MUI kemudian menyerukan: a. Agar MUI, MUI Daerah Tingkat I dan II, para ulama dan da‘i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema‘at Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam; b. Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema‘at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar; dan c. Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu. Himpunan Fatwa, h. 41-2.
16
berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.27
Mengenai Aliran Ahmadiyah, Dewan Pimpinan MUI memberikan penjelasan yang cukup panjang, yaitu sebanyak 12 halaman, satu-satunya Fatwa yang diberikan penjelasan paling panjang.28 Akan tetapi, Dewan Pimpinan MUI tidak memberikan penjelasan terhadap Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan. MUI di dalam Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan juga tidak menjelaskan hal-hal yang membuat Ahmadiyah difatwakan sebagai jama‘ah di luar Islam yang sesat dan menyesatkan. Dengan demikian, di mana letak kesesatan Ahmadiyah Qadiyan tidak diungkap di dalam fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan ini. Dewan Pimpinan MUI hanya menginformasikan bahwa sesuai dengan data dan fakta yang ditemukan di dalam sembilan buah buku tentang Ahmadiyah, MUI menfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama‘ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Hanya saja, karena Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah bersifat penegasan kembali Fatwa MUI tentang Ahmadiyah Qadiyan yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam), maka alasan-alasan yang melatari dikeluarkan, disesatkan dan dimurtadkannya (orang) Ahmadiyah dapat dianggap tidak berbeda di antara Dua Fatwa ini.
Kesamaan alasan (latar belakang) di antara Dua Fatwa itu dapat dilihat di penjelasan yang diberikan MUI. Di dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa:
1. Aliran Ahmadiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Dengan adanya hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Qur‘an dan Hadis (al-ruju‟ ila al-haqq).
3. Pelaksanaan butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah di wilayah negara Republik Indonesia harus dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait, karena yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi
27 Himpunan Fatwa, h. 101-105.
28 Ibid., h. 106-118.
17
adalah Pemerintah selaku ulil amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang merugikan pihak lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihak-pihak, hal-hal atau kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI ini.29
Selanjutnya, MUI menginformasikan bahwa fatwa tentang Aliran Ahmadiyah itu diputuskan setelah terlebih dahulu dilakukan studi yang mendalam atas ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menggunakan pendekatan historis dan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan cara menelusuri sejarah Ahmadiyah, mengkaji kitab-kitab dan tulisan karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh Ahmadiyah serta mengkaji dua kelompok Ahmadiyah dan ajarannya masing-masing dengan merujuk langsung berbagai literatur asli terbitan mereka.
Untuk mendapatkan validasi dan legitimasi, MUI melakukan kajian yang mendalam terhadap al-Qur‘an, Hadis, Ijma‘, Aqwal Ulama serta keputusan-keputusan fatwa ulama di dunia Islam. Berkenaan dengan fatwa ulama-ulama di dunia Islam, MUI menyebut para ulama Pakistan, India, Malaysia, Brunei, Saudi Arabia, Mesir dan beberapa Negara Islam lainnya yang telah melakukan pelarangan terhadap Ahmadiyah dan telah bersepakat menghukumi kafir kepada Mirza Ghulam Ahmad serta kedua kelompok pengikutnya. Di Pakistan, sejak tahun 1984 Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas nonmuslim, seperti Kristen dan Hindu. MUI juga menginformasikan bahwa para ulama dari berbagai negeri Islam yang terdiri dari 144 organisasi Islam yang tergabung di dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di Mekkah al-Mukarromah pada tahun 1973 secara bulat (ijma‟) telah menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10 April 1974, di bawah anjuran Rabithah ‗Alam Islami, merekomendasikan antara lain: (1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif; (2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam; (3) Memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka; (4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam. Berikutnya, MUI menyatakan pula bahwa
29 Himpunan Fatwa, h. 106.
18
kekufuran Ahmadiyah telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma‟ al-Fiqh al-Islami OKI, melalui keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar Kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabi‘ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:
―Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath‘i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad Saw.‖30
Selain itu, MUI menyatakan bahwa di Indonesia bukan saja MUI yang melakukan pengkufuran terhadap Ahmadiyah, tetapi juga berbagai ormas di Indonesia, semisal NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia, Syarikat Islam (SI), al-Irsyad al-Islamiyah, ICMI, YPI al-Azhar, Front Pembela Islam (FPI), Front Perjuangan Islam Solo, Majelis Mujahidin Indonesia, Hidayatullah, al-Ittihadiyah, PERTI, FUUI, al-Washliyah, dan Ormas Islam lainnya di seluruh Indonesia (terlampir). Selain itu, dukungan atas Fatwa MUNAS MUI ini juga disampaikan oleh kyai-kyai Pengasuh Pondok Pesantren di Jawa, Madura dan Sumatra. Akhirnya, MUI berkesimpulan bahwa fatwa tentang kekufuran Aliran Ahmadiyah bukan saja dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja, tetapi sudah menjadi Ijma‟ al-Majami‟ (kesepakatan bulat forum-forum Ulama) di dunia Islam.31
MUI, di dalam penjelasannya tersebut, juga menegaskan bahwa bukan saja Aliran Ahmadiyah Qadiyan yang merupakan jama'ah di luar Islam dan sesat-
30 Himpunan Fatwa, h. 117.
31 Himpunan Fatwa, h. 117-8.
19
menyesatkan, tetapi Ahmadiyah Lahore pun tidak ada bedanya. Bagi MUI, walaupun kedua aliran ini berbeda dalam beberapa hal, tetapi mereka sepakat:
1. Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma‟huud dan al-Masih al-Mau‟uud, sebagaimana diberitakan Nabi Muhammad Saw.
2. Bahwa pada Mirza Ghulam Ahmad diturunkan wahyu, yang wajib dibenarkan dan diikuti oleh seluruh manusia.
3. Bahwa kedua kelompok ini sesungguhnya memiliki ―konsep kenabian‖ Mirza Ghulam Ahmad, meski penjelasannya berbeda.
4. Bahwa apa yang didakwahkan, diucapkan, dan ditulis dalam semua karya dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebuah kebenaran.
5. Bahwa mereka yang mendustakan atau mengingkari dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.32
Oleh karena itulah MUI menetapkan fatwa bahwa Aliran Ahmadiyah, baik Qodiyani ataupun Lahore, sebagai keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. MUI menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak lebih dari orang-orang yang mengaku sebagai nabi dengan cara mena‘wil ma‘na nubuwwah dan risalah, sebagaimana Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-‗Unsa dan Thalaihah bin Khuwailid yang diperangi para sahabat Nabi Saw.33
Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Aliran Ahmadiyah, baik Qadiyan maupun Lahore, sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan al-Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur‘an; melakukan penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.34 Dengan demikian, Aliran Ahmadiyah yang, menurut Ali Mustafa Yaqub, merupakan produk kolonialis Inggris dan sebagai gerakan benalu dalam Islam35 ini memiliki lima indikator/kriteria kesesatan.
3. Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul.
32 Himpunan Fatwa, h. 114-5.
33 Himpunan Fatwa, h. 115.
34 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 53
35 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 93-100.
20
Berkenaan dengan fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul (Fatwa ke-7), MUI memutuskan dan menfatwakan bahwa 1. Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber hukum syari‘at Islam adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. 2. Kepada mereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat. 3. Menyerukan kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu.36
Terdapat dua alasan yang melatari dikeluarkannya Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul tersebut. Alasan yang pertama bersifat teologis dan alasan yang kedua bersifat sosiologis. Alasan yang bersifat teologis adalah sikap MUI yang menyatakan bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. merupakan sumber Syari‘at Islam. Dasar teologis MUI adalah ayat-ayat al-Qur‘an (di antaranya: Al-Hasyr: 7, an-Nisa‘: 59, 65, 80, 105 dan 150-151, Ali Imran: 31-32, dan an-Nahl: 44), hadis-hadis Rasulullah Saw., dan Ijma‘ para sahabat Rasulullah, baik selama hayatnya maupun setelah wafatnya. Kemudian, alasan sosiologisnya adalah pernyataan MUI bahwa adanya aliran tersebut di tengah-tengah masyarakat akan menodai murninya agama Islam dan menimbulkan keresahan di kalangan Umat Islam, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas/ketahanan nasional. Dua alasan inilah yang mendasari atau melatari lahirnya Fatwa ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul.
Dilihat dari perspektif Sejarah Pemikiran Islam, maka adamya kelompok yang menolak Sunnah/Hadis Rasulullah sebagai sumber Syari‘at Islam telah ada sejak era klasik. Misalnya, telah adanya oposisi terhadap hadis (bukan sunnah) di zaman klasik, sebagaimana informasi dari Fazlur Rahman,37 meski oposisi ini bukan dalam pengertian penolakan hadis secara keseluruhan. Oposisi yang dimaksud Rahman ini adalah pendirian kaum Hanafiyah yang menolak hadis yang tidak mutawatir; sikap kaum Mâlikiyah yang menolak hadis ahad dan lebih
36 Dua poin berikutnya berupa harapan dan permintaan, yaitu: 4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat. 5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syari‘at Islam. Himpunan Fatwa, h. 50-6.
37 Fazlur Rahman, Islam, h. 60-63.
21
berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah;38 dan pendirian kaum Mu‗tazilah yang menolak hadis-hadis yang bertentangan dengan akal, khususnya hadis-hadis tentang antropomorfisme.39
Penolakan zaman klasik itu, barangkali, menjadi cikal-bakal adanya kelompok inkâr al-hadîts dan inkâr al-sunnah. Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M), menurut Rahman, yang awalnya mendesak untuk membedakan antara hadis yang asli dan yang tidak asli, pada akhirnya sama seperti rekannya, Charagh ‗Ali, menolak hadis. Dalam pandangan Rahman, sikap ini telah meninggalkan warisan yang permanen di anak benua India, di mana sekelompok umat telah muncul dengan menamakan diri mereka sebagai ahl al-Qur‟an dan mereka menolak hadis secara keseluruhan.40
Penolakan terhadap hadis itu, berdasarkan informasi di atas, pada dasarnya tidak seragam. Biasanya, mereka yang menolak hadis/sunnah itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok, sesuai dengan sikap mereka terhadap hadis/sunnah. Pertama, kelompok yang menolak seluruh hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah atau sebagai sumber kedua ajaran Islam. Bagi kelompok ini, satu-satunya sumber ajaran Islam adalah al-Qur‘an. Kelompok ini sudah eksis di zaman Imam Syâfi‗î. Kedua,
38 Maksud Imam Mâlik atau kaum Mâlikiyah menolak hadis ahad dan lebih berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah ini harus dipahami secara baik supaya tidak salah paham dikarenakan Imam Mâlik, dalam pengelompokan Al-Syahrastânî, termasuk kelompok mujtahid ahli hadis, yang dibedakan dengan ahli ‗Iraq atau Imam Abû Hanîfah dan pengikutnya yang dikelompokkan sebagai mujtahid ahli ra‘yi. Al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, h. 166-7.
39 Di kalangan mutakallim di samping kaum Mu‗tazilah, kaum Khawarij juga menolak hadis ahad sebagai hujjah. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Cetakan kelima, (Bandung: PT Alma‘arif, 1987), h. 46. Sejalan dengan hal ini, Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa tidak tepat mengatakan bahwa semua golongan Khawarij menolak hadis disebabkan ada di antara kaum Khawarij, yakni kelompok Ibadhiyah, yang menerima hadis secara keseluruhan, baik yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Aisyah isteri Nabi Saw..., ‗Usman bin ‗Affan, Abu Hurairah, Anas bin Malik radhiya Allah „anhum maupun yang dari sahabat-sahabat lainnya. Demikian pula dengan kaum Mu‗tazilah. Menurut Yaqub, Madzhab Mu‗tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar Sunnah, tetapi sebaliknya, mereka menerima Sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam. Hanya saja, Yaqub mengakui kemungkinan adanya beberapa hadis yang mereka kritik apabila hadis itu berlawanan dengan pemikiran madzhab mereka. Walau Yaqub mengakui adanya kemungkinan ini, tetapi Yaqub tetap menyatakan bahwa hal itu bukan berarti Mu‗tazilah menolak hadis secara keseluruhan. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. Ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 40-43.
40 Fazlur Rahman, Islam, h. 219. Di samping Sayyid Ahmad Khan dan Charagh ‗Ali, Yaqub juga menyebut tokoh-tokoh inkarsunah dari India yang lainnya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, Abdullah al-Jakr, Ahmad al-Din dan Ghulam Ahmad Parwez. Tokoh yang terakhir inilah yang mendirikan organisasi ahl al-Qur‟an. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 50.
22
kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah Saw. yang kandungannya tidak disebutkan di dalam al-Qur‘an, baik secara implisit maupun eksplisit. Penolakan kelompok ini menunjukkan bahwa hadis tidak memiliki otoritas untuk menentukan hukum baru di luar yang ditentukan al-Qur‘an. Kelompok kedua ini, sebagaimana kelompok pertama, sudah eksis di zaman Imam Syâfi‗î. Ketiga, kelompok yang tidak bersedia menerima hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah kecuali hadis yang mutawatir. Mereka ini menolak hadis-hadis âhâd sebagai hujah, meski di antara hadis-hadis âhâd ini ada yang memenuhi syarat-syarat sahih. Kelompok ketiga inipun telah muncul di zaman Imam Syâfi‗î (Imam yang dikukuhkan sebagai nashr al-sunnah, pembela al-Sunnah).41 Argumen-argumen ketiga kelompok inkarsunah ini disanggah Imam Syâfi‗î dan sanggahan Imam Syâfi‗î terhadap kelompok inkarsunah ini telah berhasil membendung gerakan mereka (gerakan inkarsunah) untuk kurun waktu yang cukup panjang, sebab sejak saat itu tidak ada lagi catatan dalam sejarah pemikiran Islam akan adanya gerakan inkarsunah, kecuali di akhir abad ke-19 dan di abad ke-20 gerakan itu muncul kembali.42
Berbeda dengan Rahman, Ali Mustafa Yaqub justru menunjukkan lebih jauh tentang cikal-bakal munculnya paham inkarsunah ini. Menurut Yaqub, cikal-bakal munculnya paham inkarsunah ini berawal dari adanya individu sahabat, di antaranya Umayyah bin ‗Abdullah bin Khalid (w. 87 H) yang merupakan kemenakan ‗Abdullah bin ‗Umar (w. 74 H), yang tidak peduli terhadap hadis. Akan tetapi, individu sahabat ini akan segera sadar akan kekeliruannya setelah disadarkan oleh sahabat lainnya. Kemudian, Yaqub menunjukkan bahwa gejala inkarsunah ini pada akhir abad kedua hijri terjadi di Iraq, khususnya Basrah. Sebagaimana telah disebutkan, berkat pembelaan Imam Syâfi‗î kelompok inkarsunah ini menjadi hilang dalam waktu yang cukup panjang, hingga kemunculannya kembali di abad keempatbelas hijri atau kesembilanbelas masehi dikarenakan adanya pengaruh kolonialisme yang melanda umat Islam dan ingin menguasai Dunia Islam. Oleh karena itu, bila di era klasik kelompok inkarsunah itu hanya terjadi di Iraq, maka di era modern terjadi di berbagai belahan Dunia Islam, yang bukan saja terjadi di
41 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 123-4.
42 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 225-7.
23
Mesir dan India (Pakistan), tetapi juga terjadi di Indonesia.43 Tokoh-tokoh inkarsunah zaman modern yang terkenal adalah Tawfiq Sidqi (w. 1920) dan Rasyad Khalifa (keduanya dari Mesir, tetapi tokoh yang kedua menetap di Amerika serikat), Ghulam Ahmad Parvez (India, lahir 1920), dan Kassim Ahmad (Malaysia). Tokoh-tokoh inkarsunah di Indonesia, di antaranya, Abdul Rahman, Moch. Irham, Sutarto dan Lukman Saad. Oleh karena kelompok ini sempat meresahkan masyarakat dan banyak menimbulkan reaksi, maka atas kejadian ini keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunah di seluruh wilayah Republik Indonesia.44
Dari uraian itu dapat diketahui bahwa paham inkarsunah dapat dilacak asal-usulnya atau gejala-gejalanya sampai zaman Islam yang cukup dini, yakni pada zaman sahabat. Kalau dilihat dari indikator kesesatannya, maka aliran yang menolak Sunah/Hadis Rasul itu tampaknya hanya sesat dalam hal pengingkaran terhadap kedudukan hadis Nabi Saw. sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur‘an.45
4. Fatwa tentang Darul Arqam.
Fatwa MUI tentang Darul Arqam (Fatwa ke-8) ini, di antaranya, berbunyi: Mendukung sepenuhnya Keputusan Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh, Majelis Ulama Indonesia Tingkat I Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Riau, dan Keputusan Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia serta memperkuat kesepakatan Silaturahmi Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat 1, Tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru, yang pada intinya menyatakan bahwa Ajaran Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari Aqidah Islamiyah. Selanjutnya, kepada Umat Islam yang sudah terlanjur mengikuti ajaran tersebut agar segera kembali kepada ajaran Islam yang benar, ajaran yang sesuai dengan tuntunan al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Saw.
43 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 39-51.
44 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 226. Mungkin saja SK Jaksa Agung ini juga merupakan tindak lanjut dari Fatwa MUI yang ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul yang ditetapkan MUI dua bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 16 Ramadhan 1403 H. atau tanggal 27 Juni 1983 M.
45 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 56.
24
Dalam amar keputusan dan ketetapan fatwa yang ditanda tangani pada tanggal 13 Agustus 1994 oleh Ketua Umum dan Sekretaris Dewan Pimpinan MUI ini, yakni KH. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, tidak terdapat klausul sesat dan menyesatkan, tetapi di awal tulisan tentang fatwa ini dinyatakan bahwa dalam Silaturrahmi Nasional pada tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru diperoleh kesepakatan, di antaranya, Darul Arqam yang inti ajarannya Aurad Muhammadiyah adalah faham yang menyimpang dari aqidah Islam serta faham yang sesat menyesatkan.46 Dengan demikian, dapat difahami bahwa ajaran Darul Arqam dalam fatwa ini dinyatakan sebagai faham yang bukan saja menyimpang dari Aqidah Islamiyah, tetapi juga sesat menyesatkan.
Inti ajaran Darul Arqam yang dinilai menyimpang dan sesat-menyesatkan, yakni ajaran Aurad Muhammadiyah (wirid-wirid Muhammad), adalah ajaran tentang wirid (bacaan rutin) yang dibaca setelah shalat, yang diterima secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. oleh sang pendiri Darul Arqam, Muhammad Suhaimi, dalam keadaan jaga di sisi Ka‘bah. Kalau dari segi substansi wirid itu sendiri, seperti dikatakan Yaqub, masih ada yang dapat menpertimbangkannya, tetapi klaim bahwa wirid itu merupakan ajaran langsung dari Nabi Saw. merupakan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Bagi Yaqub—dan tentu saja merupakan pandangan mayoritas umat—apabila klaim bertemu Nabi Saw. dalam keadaan jaga ini dibenarkan, maka suatu saat nanti akan ada lagi orang-orang yang mengklaim diri bertemu secara langsung dengan Nabi dalam keadaan jaga, di mana Nabi mengajarkan wirid-wirid tertentu untuk diamalkan dan disebarkan kepada orang lain. ―Kalau ini terjadi,‖ tulis Yaqub, ―maka akan kacaulah agama Islam.‖47 Akan tetapi, kalau klaim bertemu Nabi itu dalam keadaan tidur (mimpi), maka klaim itu dapat saja dipertimbangkan dikarenakan Nabi sendiri membenarkan kemungkinan umatnya bermimpi bertemu dengan Nabi.
Meski klaim bertemu dengan Nabi dalam keadaan mimpi itu dapat dipertimbangkan, sebagaimana klaim pendiri kalam Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‗ah,
46 Himpunan Fatwa, h. 57-61.
47 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, 103-5.
25
Abû al-Hasan al-Asy‗arî,48 tetapi klaim menerima ajaran baru dari Nabi setelah Nabi wafat bertentangan dengan Firman Allah yang menyatakan:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (QS al-Maidah: 3). Ayat ini menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam dan selesainya atau tidak adanya lagi ajaran Islam yang baru sepeninggal Nabi Saw. Oleh karena itu, klaim Suhaimi menerima ajaran baru setelah Nabi wafat, apalagi dalam keadaan jaga, merupakan klaim yang menyimpang dan sesat-menyesatkan.49
Dilihat dari indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, maka kesesatan Darul Arqam adalah meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya keyakinan Darul Arqam tentang penerimaan ajaran dari Nabi setelah Nabi tiada dapat pula dikategorikan pada pengingkaran terhadap otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur‘an, dikarenakan al-Qur‘an telah menyatakan akan kesempurnaan ajaran Islam. Oleh karena itu, terdapat dua indikator kesesatan Darul Arqam ini.50
5. Fatwa tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia.
Fatwa tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia (Fatwa ke-9) ini berkenaan dengan ajaran kelompok pengajian yang dipimpin oleh Ibu Lia Aminuddin, yang menyatakan bahwa dirinya (Ibu Lia Aminuddin) didampingi dan mendapatkan ajaran dari Malaikat Jibril. MUI, setelah memberikan uraian yang cukup panjang tentang masalah ini, memutuskan dan memfatwakan bahwa Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (al-Qur‘an dan Hadis). Menurut MUI, tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada, dikarenakan ajaran Allah telah sempurna.
48 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa Jakarta, Cet. 1, 1990), h. 48.
49 Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Cet. Ke-19, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 41-2.
50 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 57.
26
Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaikat Jibril bertentangan dengan al-Qur‘an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan meyesatkan.51
Fatwa ke-9 tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia yang diklaim oleh Ibu Lia Aminudin itu tidak diberi penjelasan tambahan, tetapi sebelum fatwa diputuskan MUI memberikan penjelasan atau argumen-argumen yang menjadi dasar fatwa ini diputuskan. Argumen yang disampaikan MUI ini cukup panjang sehingga Fatwa ke-9 ini terdiri dari empatbelas halaman. Salah satu
Argumen yang dikemukakan MUI adalah keyakinan umat Islam bahwa Islam merupakan agama yang sempurna, yang kesempurnaannya meliputi seluruh aspek ajaran. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi adanya ajaran tambahan dan—karenanya—Malaikat Jibril tidak akan turun lagi ke bumi disebabkan tugasnya sebagai pembawa wahyu telah selesai dengan wafatnya rasul terakhir, Muhammad Saw.52 Argumen MUI lainnya adalah ketidakmungkinan Malaikat berbohong, sementara malaikat yang diklaim mendampingi Ibu Lia Aminudin melakukan kebohongan, seperti mengakui dirinya bernama Jibril, tetapi esok harinya atau hari sebelumnya mengaku bernama selain Jibril.53
Atas dasar itu, klaim Ibu Lia Aminudin itu dinyatakan sesat-menyesatkan dan indikator kesesatannya adalah Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya Ibu Lia Aminudin dapat pula dinilai mengingkari kebenaran isi Al-Qur‘an, sehingga pengingkaran terhadap isi al-Qur‘an ini dapat pula dijadikan indikator kesesatannya. Dengan demikian, terdapat dua indikator kesesatan Ibu Lia Aminudin.54
6. Fatwa tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
51 Fatwa ini diakhiri dengan empat poin himbauan, satu di antaranya, kepada: Ibu Lia Aminudin (dan jama‘ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur‘an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari al-Qur‘an dan hadis. Himpunan Fatwa, h. 62-75.
52 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 136.
53 Himpunan Fatwa, h. 67, 70.
54 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 59.
27
Di dalam Fatwa tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah (Fatwa ke-14) ini MUI memutuskan dan menetapkan bahwa Pertama: Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara lain: 1. Adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al-Mau‟ud Rasul Allah”, 2. Adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad Saw., 3. Belum mewajibkan shalat, puasa dan haji, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua: Ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam); Ketiga: Bagi mereka yang terlanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju‟ ila alhaq). Ajaran aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dinyatakan telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam.55
Tampaknya, terdapat kesamaan antara Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah itu dengan Aliran Ahmadiyah. Kedua aliran ini sama-sama mengajarkan syahadat yang baru dan meyakini adanya nabi/rasul setelah Muhammad Saw. Aliran Ahmadiyah meyakini kebenaran klaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi al-Ma‟huud dan al-Masih al-Mau‟uud, yang kemudian diyakini sebagai nabi/rasul. Begitu pula dengan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, meski ada perbedaan sedikit. Ahmad Moshaddeq, pendiri aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, mengklaim diri sebagai masih al-Mau‟ud dan sebagai Rasul Allah sehingga ajaran syahadatnya berbunyi: Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al-Mau‟ud Rasul Allah. Hal ini berarti, Ahmad Moshaddeq bukan saja mengajarkan syahadat yang baru, tetapi juga mengajarkan adanya rasul yang baru, yang tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Ahmad Moshaddeq pun mengajarkan bahwa shalat, puasa dan haji belum wajib dilaksanakan.
Kelihatannya, munculnya nabi-nabi palsu itu, seperti klaim Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmad Moshaddeq, terinspirasi dari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang
55 Poin yang kelima berbunyi: Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Himpunan Fatwa, h. 119-123.
28
diyakini mayoritas umat akan munculnya Imam Mahdi (al-Mahdi al-Ma‟huud) dan turunnya Isa bin Maryam (al-Masih al-Mau‟uud) di akhir zaman. Mengenai datangnya Imam Mahdi ini berakar kuat dalam keyakinan kaum Ahlussunnah maupun kaum Syi‗ah. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa hadis-hadis akan munculnya Imam Mahdi ini bersifat mutawâtir, yang berarti benar-benar berasal dari Rasulullah Saw. Hanya saja, siapa figur Imam Mahdi itu nanti merupakan ikhtilaf di antara umat. Paling tidak, terdapat empat pendapat mengenai figur Imam Mahdi ini. Pertama, Imam Mahdi berasal dari keturunan Fatimah az-Zahra, yang lazim disebut ahlul bait, dan hal ini merupakan keyakinan di kalangan mayoritas umat. Kedua, figur Imam Mahdi itu hanya merupakan figur seorang penyelamat kehidupan umat manusia, sehingga tidak musti berasal dari keturunan ahlul bait. Pandangan inilah yang melahirkan adanya klaim atau pengakuan klaim seseorang sebagai Imam Mahdi yang terjadi sejak abad pertama Hijriah yang tidak sedikit jumlahnya. Ketiga, Imam Mahdi adalah figur perorangan, tapi lambang atau simbol kemenangan yang haqq terhadap kebatilan atau simbol kemenangan keadilan terhadap ketidakadilan. Pendapat ini milik pemikir-pemikir modern. Keempat, Imam Mahdi adalah figur seseorang yang berasal dari keturunan Fatimah atau ahlul bait, yang merupakan salah seorang di antara imam-imam ahlul bait.56 Dari keempat pendapat ini, pendapat kedua dapat menginspirasi munculnya klaim seseorang sebagai Imam Mahdi dan hal ini telah terbukti dalam sejarah. Tentu saja, klaim itu mungkin saja bukan sekadar adanya pendapat yang kedua ini, tetapi bisa jadi terkait pula dengan motif-motif ekonomi-politik. Dengan demikian, kemungkinan munculnya nabi-nabi palsu sangat mungkin akan terus terjadi.
Jika dilihat dari indikator kesesatannya, maka kesesatan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah boleh dikata sama dengan kesesatan Aliran Ahmadiyah, yaitu sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan al-Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur‘an; melakukan penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Dengan demikian,
56 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 110-1.
29
terdapat lima indikator kesesatan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sama dengan indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah.57
Dari uraian-uraian di atas, maka Fatwa MUI Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan berkenaan dengan ketujuh kelompok atau aliran tersebut dapat diringkas dalam tabel berikut:
No
Fatwa Tentang
Alasan dan Pernyataan yang Dinyatakan
Indikator Kesesatan
Jumlah Indikator
1
Islam Jama‘ah
Sesat dan menyesatkan, sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya (Islam yang murni)
Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah
1
2
- Ahmadiyah Qadiyan
- Aliran Ahmadiyah
- Jama‘ah di luar Islam, Sesat-menyesatkan.
- Berada di luar Islam, Pengikutnya murtad.
Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah; Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur‘an; Melakukan penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; Mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i.
5
3
Aliran yang
Sesat dan
Mengingkari kedudukan hadis
1
57 Dimyati Sajari, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),‖ h. 61.
30
Menolak Sunah/Hadis Rasul
Menyesatkan serta Berada di luar Islam.
Nabi Saw. sebagai sumber ajaran Islam.
4
Darul Arqam
Menyimpang dari Aqidah Islamiyah dan sesat menyesatkan.
Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah serta Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur‘an.
2
5
Malaikat Jibril Mendampingi Manusia
Sesat dan Menyesatkan.
Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah serta Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur‘an.
2
6
Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah
Sesat dan Menyesatkan, Berada di luar Islam, Pengikutnya murtad.
Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah; Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur‘an; Melakukan penafsiran Al-Qur‘an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; Mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar‘i.
5
F. Penutup.
Atas dasar penelitian yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Fatwa MUI Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan (1976-2010) dikeluarkan
31
dikarenakan, di satu segi, MUI berfungsi dan berperan sebagai penjaga aqidah umat Islam di Indonesia, tetapi—di pihak lain—ada kelompok yang melakukan perusakan aqidah umat dan menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Sebagai penjaga aqidah umat dan kemurnian ajaran Islam, maka MUI wajib menjaga aqidah umat dan kemurnian keimanan/ajaran umat Islam di Indonesia dari berbagai aliran atau kelompok yang sesat-menyesatkan dan meresahkan masyarakat. Dengan demikian, adanya Fatwa MUI Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan (1976-2010) semata-mata merefleksikan kedudukan, fungsi dan peran MUI sebagai penjaga aqidah umat Islam di Indonesia.
Berdasarkan pelacakan terhadap tradisi di Sejarah Pemikiran Islam, maka dapat diketahui bahwa takfîr dan paham atau aliran sesat itu telah muncul di zaman klasik, bahkan di zaman sahabat. Oleh karena takfîr itu merupakan basis idiologis pergerakan mereka dan hadis-hadis tentang Imam Mahdi memungkinkan seseorang terinspirasi untuk mengklaim-diri sebagai Imam Mahdi dan nabi baru, maka kelihatannya takfîr aliran sesat itu tetap akan terjadi di bumi Indonesi ini. Kemudian, dari kajian dan indikator/kriteria aliran sesat di atas dapat dilihat bahwa dari ketujuh aliran sesat di Indonesia itu ada yang hanya memiliki satu indikator kesesatan, tapi ada juga yang memiliki lima indikator kesesatan. Bahkan, Aliran Ahmadiyah dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah memiliki lima indikator kesesatan, sehingga dua aliran ini bukan saja ditetapkan sebagai aliran yang sesat-menyesatkan, tetapi juga dinyatakan telah kafir (berada di luar Islam) dan pengikutnya sebagai murtad. Wallâhu a„lam.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 2 dan 3, Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
Ghurâbî, ‗Alî Mushthafâ al-, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah wa Nasy‟atu „Ilm al-Kalâm „inda al-Muslimîn, Makkah: Maktabah wa Mathba‗ah Muhammad ‗Ali Shabih wa Awladuh, t.t.
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010
32
Izutsu, Toshihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1994
Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009
Jalî, Ahmad Muhammad Ahmad, Dirâsah „an al-Firaq wa Târîkh al-Muslimîn: al-Khawârij wa al-Syî„ah, Al-Riyadh: al-Mamlakah al-‗Arabiyyah al-Su‗ûdiyyah, 1988
Jazairî, ‗Abd al-Rahmân Al-, Kitâb al-Fiqh „alâ al-Madzâhib al-Arba„ah, Jilid 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, 2008
Mudzhar, Mohammad Atho, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonsia 1975 – 1988, Jakarta: INIS, 1993
Munawwir, Ahmad warson, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Nasr, Sayyid Hussein, Tasauf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul hadi WM, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010)
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Cet. V, Bandung: PT Alma‘arif, 1987
Rahman, Fazlur, Islam, edisi kedua, Chicago: The University of Chicago, 1979
Sajari, Dimyati, ―Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010)‖ dalam Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Volume : XXXIX, No. 1, Januari-Juni 2015, IAIN Press Medan.
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992
Syahrastani, Al-Fath Muhammad ‗Abd al-Karim b. Abi Bakr Ahmad al-, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, 2005
Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Thûsî, Abû Nashr al-Sarrâj al-, al-Luma„, Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t.
Yaqub, Ali Mustafa, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
-------, Kritik Hadis, Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka Firdaaus, 2004
Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al Qur‘an, 1973
Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990
33
Koran dan Website
Jawapos, Jakarta: Rabu, 07 Nov 2007
NU Online, Jakarta: www.nu.or.id, Selasa, 6 November 2007
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates