MAKNA
SPIRITUALITAS BAGI GURU
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen PAI FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta).
Salah satu
syarat bagi penuntut ilmu supaya berhasil, sebagaimana dikemukakan oleh
Al-Zarnûjî dalam kitabnya Ta‘lîm al-Muta‘allim, adalah adanya irsyâd ustâdz
(bimbingan guru). Tanpa adanya bimbingan guru, maka yang diperoleh sang
penuntut ilmu tidak akan mencapai idealita yang diharapkan. Dari pandangan ini
berarti posisi atau peran guru adalah pembimbing bagi peserta didiknya.
Guru adalah Mursyid
Kata irsyâd (bimbingan)
yang dimaksud Al-Zarnûjî itu menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan sekadar
bimbingan akademik-intelektual, melainkan lebih dari itu, yaitu bimbingan
spiritual. Dengan demikian, seorang guru adalah seorang pembimbing spiritual,
yang di dunia tarekat disebut mursyid (irsyâd merupakan kata
kerja yang dibendakan dari kata kerja arsyada, sedangakan kata
benda pelakunya adalah mursyid). Oleh karena seorang guru itu seorang
pembimbing spiritual (mursyid), maka seorang guru berarti seseorang yang
telah memiliki kapasitas yang bukan hanya bersifat akademik-intelektual, tetapi
juga berkapasitas spiritualitas.
Menempatkan
posisi guru sebagai pembimbing spiritual (mursyid) itu berarti profesi
guru itu sebenarnya sarat dengan makna spiritualitas. Akan tetapi, istilah
“guru” dewasa ini kelihatannya telah tercerabut dari makna-makna spiritualnya,
sehingga guru tiada lagi memiliki dimensi spiritualitas. Padahal, figur guru
itu selalu dipahami sebagai figur yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (dicontoh).
Apabila benar
bahwa istilah guru dewasa ini lebih dimaknai sebagai suatu profesi yang tidak
ada kaitannya dengan dimensi spiritualitas, maka profesi guru benar-benar
ditempatkan pada pengertiannya yang sekuler. Dalam arti, profesi guru dipahami
hanya sebagai suatu aktifitas duniawi untuk memenuhi kebutuhan “kini dan di
sini,” tanpa mampu melaumpakan-diri untuk kehidupan “nanti yang abadi.”
Pemahaman itu
juga yang melahirkan pandangan yang bersifat kausalitas: karena saya mengajar
di sini, maka saya harus mendapatkan upahnya dari sini. Artinya, upahnya
dipatok hanya dari sini (tempatnya mengajar). Dia tidak mampu menjadikan
aktifitas pendidikannya itu sebagai amal shalih untuk mendapatkan berbagai upah
yang tidak disangka dari mana datangnya, yang di dalam Alqur’an disebut rizqi min
haitsu lâ yahtasib. Dengan demikian, yang tertanam dalam jiwa
guru adalah penghasilan itu identik dengan upah (gaji) dan satu-satunya
penghasilannya adalah gajinya itu. Dalam perspektif teologis, guru yang semacam
ini telah melakukan suatu kekufuran: menutup berbagai saluran rizki Allah Yang
Mahakaya dan Mahaluas menjadi satu saluran, hanya dari gaji. Guru yang seperti ini hampir mustahil
mendapatkan rizqi min haitsu lâ yahtasib.
Menjadikan
aktifitas mengajar, mendidik dan atau membimbing sebagai amal shalih untuk
mendapatkan berbagai upah min haitsu lâ yahtasib itu bukan
berarti tidak ikhlas, karena sepanjang orientasi itu ditujukan hanya kepada
Allah dapat disebut ikhlas. Tentu saja, ikhlas pada taraf sufi berbeda dengan
ikhlasnya guru yang masih bertaraf kuli. Guru pada taraf ini saja masih perlu
melatih diri terus-menerus untuk mampu meyakini secara spontanitas di dalam
hati bahwa tempat dia mengajar dan berbagai tempat/orang yang memberinya rizki
adalah hanya sarana-sarana Allah memberi rizki kepadanya: Hakikat Sang Pemberi
hanyalah Allah Swt. Namun, bila masih ada perasaan bahwa orang itu yang
memberinya uang, misalnya, maka dia masih perlu berjuang dan melatih diri
sampai dia diberi kemampuan (wârid) bahwa yang memberinya itu adalah
Allah Swt.
Jalan Spiritualitas
Di atas telah
diungkapkan bahwa posisi guru itu merupakan pembimbing spiritual (mursyid)
bagi peserta didiknya. Melihat posisi guru ini, berarti profesi guru itu sarat
dengan makna spiritualitas dan hanya guru yang memiliki kompetensi
spiritualitas yang sanggup mendidik atau membimbing spiritualitas peserta
didiknya. Oleh sebab itu, hendaknya seorang guru menempuh jalan spiritualitas,
yang dalam Islam disebut tasawuf. Menurut Harun Nasution, falsafah yang mendasari
tasawuf adalah bahwa Allah itu Mahasuci dan hanya mampu didekati oleh yang
suci, dan dimensi manusia yang dapat mendekati Allah Yang Mahasuci itu adalah
dimensi yang berasal dari-Nya, yaitu ruhnya atau jiwanya.
Oleh sebab itu,
seorang guru hendaknya menyucikan dirinya (ruhnya, jiwanya), yang dalam bahasa
tasawuf disebut tazkiyah an-nafs. Caranya, di antaranya, tiga hal
berikut: Pertama, Memperhatikan Makanan dan Minumannya. Secara lahiriah,
darah daging itu berasal dari makanan yang dimakan dan minuman yang diminum.
Bila makanan yang dimakan dan minuman yang diminum merupakan makanan/minuman
yang haram, baik dzatnya atau pun prosesnya, maka darah daging itu menjadi
darah daging yang haram. Orang yang darah dagingnya haram, maka tidak mungkin
mampu mendekati Allah Swt. Yang Mahasuci. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam al-Turmudzî dikatakan bahwa setiap daging yang tumbuh dari yang
haram, maka neraka lebih utama baginya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim pun menyebutkan bahwa doa orang yang pakaian dan makanannya haram,
maka Allah Swt. tidak akan memperkenankan doanya. Perhatian terhadap makanan
dan minuman ini disebabkan penyucian rohani/jiwa harus berawal dari penyucian
jasmani/raga. Itulah sebabnya tidak aneh kalau al-Ghazâlî menyajikan tentang Riyâdhah
al-Nafs wa Tahdzîb al-Akhlâq di jilid ketiga kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn setelah di jilid kedua menyuguhkan tentang al-Halâl wa al-Harâm.
Kedua, penyucian negatif. Allah Yang Mahasuci itu tidak dapat disifati
kecuali secara negatif: Ia Maha Suci dari segala keserupaan dan dari segala
sifat yang ada di makhluk. Dengan demikian, cara menyucikan jiwa adalah dengan
cara menyucikan Allah Swt. secara negatif (takhallî), sebelum secara
positif (tahallî) dan aplikatif (tajallî). Ketiga, dzikir.
Kelalaian berdzikir kepada-Nya berarti memutus-diri dari Sang Sumber Kehidupan.
Akibatnya, orang yang melupakan-Nya akan menjadi lupa terhadap dirinya sendiri.
Bahkan, dia akan lupa bahwa dia “memiliki” Allah. Sedikit saja mengalami
kesulitan hidup, maka dia menjadi stress seolah-olah tidak ada Allah Yang
Mahakaya, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Oleh karenanya, seorang guru
hendaknya senantiasa berdzikir kepada-Nya (menyebut atau mengingat-Nya) supaya
dia disebut dan diingat-Nya. Abu Yazid al-Bisthami telah memberikan suatu
pelajaran: orang-orang bertobat dari dosa-dosa mereka dan aku bertobat dari
kelalaianku berdzikir kepada-Nya.
Berkaitan dengan dzikir ini adalah senantiasa dalam keadaan suci,
minimal, dari hadas dan najis. Wallâhu a‘lam.