Jumat, 17 November 2017

MAKNA PENTING SPIRITUALITAS BAGI GURU



MAKNA SPIRITUALITAS BAGI GURU
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen PAI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Salah satu syarat bagi penuntut ilmu supaya berhasil, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Zarnûjî dalam kitabnya Ta‘lîm al-Muta‘allim, adalah adanya irsyâd ustâdz (bimbingan guru). Tanpa adanya bimbingan guru, maka yang diperoleh sang penuntut ilmu tidak akan mencapai idealita yang diharapkan. Dari pandangan ini berarti posisi atau peran guru adalah pembimbing bagi peserta didiknya.

Guru adalah Mursyid
Kata irsyâd (bimbingan) yang dimaksud Al-Zarnûjî itu menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan sekadar bimbingan akademik-intelektual, melainkan lebih dari itu, yaitu bimbingan spiritual. Dengan demikian, seorang guru adalah seorang pembimbing spiritual, yang di dunia tarekat disebut mursyid (irsyâd merupakan kata kerja yang dibendakan dari kata kerja arsyada, sedangakan kata benda pelakunya adalah mursyid). Oleh karena seorang guru itu seorang pembimbing spiritual (mursyid), maka seorang guru berarti seseorang yang telah memiliki kapasitas yang bukan hanya bersifat akademik-intelektual, tetapi juga berkapasitas spiritualitas.
Menempatkan posisi guru sebagai pembimbing spiritual (mursyid) itu berarti profesi guru itu sebenarnya sarat dengan makna spiritualitas. Akan tetapi, istilah “guru” dewasa ini kelihatannya telah tercerabut dari makna-makna spiritualnya, sehingga guru tiada lagi memiliki dimensi spiritualitas. Padahal, figur guru itu selalu dipahami sebagai figur yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (dicontoh).
Apabila benar bahwa istilah guru dewasa ini lebih dimaknai sebagai suatu profesi yang tidak ada kaitannya dengan dimensi spiritualitas, maka profesi guru benar-benar ditempatkan pada pengertiannya yang sekuler. Dalam arti, profesi guru dipahami hanya sebagai suatu aktifitas duniawi untuk memenuhi kebutuhan “kini dan di sini,” tanpa mampu melaumpakan-diri untuk kehidupan “nanti yang abadi.”
Pemahaman itu juga yang melahirkan pandangan yang bersifat kausalitas: karena saya mengajar di sini, maka saya harus mendapatkan upahnya dari sini. Artinya, upahnya dipatok hanya dari sini (tempatnya mengajar). Dia tidak mampu menjadikan aktifitas pendidikannya itu sebagai amal shalih untuk mendapatkan berbagai upah yang tidak disangka dari mana datangnya, yang di dalam Alqur’an disebut rizqi min haitsu lâ yahtasib. Dengan demikian, yang tertanam dalam jiwa guru adalah penghasilan itu identik dengan upah (gaji) dan satu-satunya penghasilannya adalah gajinya itu. Dalam perspektif teologis, guru yang semacam ini telah melakukan suatu kekufuran: menutup berbagai saluran rizki Allah Yang Mahakaya dan Mahaluas menjadi satu saluran, hanya dari gaji.  Guru yang seperti ini hampir mustahil mendapatkan rizqi min haitsu lâ yahtasib.
Menjadikan aktifitas mengajar, mendidik dan atau membimbing sebagai amal shalih untuk mendapatkan berbagai upah min haitsu lâ yahtasib itu bukan berarti tidak ikhlas, karena sepanjang orientasi itu ditujukan hanya kepada Allah dapat disebut ikhlas. Tentu saja, ikhlas pada taraf sufi berbeda dengan ikhlasnya guru yang masih bertaraf kuli. Guru pada taraf ini saja masih perlu melatih diri terus-menerus untuk mampu meyakini secara spontanitas di dalam hati bahwa tempat dia mengajar dan berbagai tempat/orang yang memberinya rizki adalah hanya sarana-sarana Allah memberi rizki kepadanya: Hakikat Sang Pemberi hanyalah Allah Swt. Namun, bila masih ada perasaan bahwa orang itu yang memberinya uang, misalnya, maka dia masih perlu berjuang dan melatih diri sampai dia diberi kemampuan (wârid) bahwa yang memberinya itu adalah Allah Swt.

Jalan Spiritualitas
Di atas telah diungkapkan bahwa posisi guru itu merupakan pembimbing spiritual (mursyid) bagi peserta didiknya. Melihat posisi guru ini, berarti profesi guru itu sarat dengan makna spiritualitas dan hanya guru yang memiliki kompetensi spiritualitas yang sanggup mendidik atau membimbing spiritualitas peserta didiknya. Oleh sebab itu, hendaknya seorang guru menempuh jalan spiritualitas, yang dalam Islam disebut tasawuf. Menurut Harun Nasution, falsafah yang mendasari tasawuf adalah bahwa Allah itu Mahasuci dan hanya mampu didekati oleh yang suci, dan dimensi manusia yang dapat mendekati Allah Yang Mahasuci itu adalah dimensi yang berasal dari-Nya, yaitu ruhnya atau jiwanya.
Oleh sebab itu, seorang guru hendaknya menyucikan dirinya (ruhnya, jiwanya), yang dalam bahasa tasawuf disebut tazkiyah an-nafs. Caranya, di antaranya, tiga hal berikut: Pertama, Memperhatikan Makanan dan Minumannya. Secara lahiriah, darah daging itu berasal dari makanan yang dimakan dan minuman yang diminum. Bila makanan yang dimakan dan minuman yang diminum merupakan makanan/minuman yang haram, baik dzatnya atau pun prosesnya, maka darah daging itu menjadi darah daging yang haram. Orang yang darah dagingnya haram, maka tidak mungkin mampu mendekati Allah Swt. Yang Mahasuci. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzî dikatakan bahwa setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim pun menyebutkan bahwa doa orang yang pakaian dan makanannya haram, maka Allah Swt. tidak akan memperkenankan doanya. Perhatian terhadap makanan dan minuman ini disebabkan penyucian rohani/jiwa harus berawal dari penyucian jasmani/raga. Itulah sebabnya tidak aneh kalau al-Ghazâlî menyajikan tentang Riyâdhah al-Nafs wa Tahdzîb al-Akhlâq di jilid ketiga kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn setelah di jilid kedua menyuguhkan tentang al-Halâl wa al-Harâm.
Kedua, penyucian negatif. Allah Yang Mahasuci itu tidak dapat disifati kecuali secara negatif: Ia Maha Suci dari segala keserupaan dan dari segala sifat yang ada di makhluk. Dengan demikian, cara menyucikan jiwa adalah dengan cara menyucikan Allah Swt. secara negatif (takhallî), sebelum secara positif (tahallî) dan aplikatif (tajallî). Ketiga, dzikir. Kelalaian berdzikir kepada-Nya berarti memutus-diri dari Sang Sumber Kehidupan. Akibatnya, orang yang melupakan-Nya akan menjadi lupa terhadap dirinya sendiri. Bahkan, dia akan lupa bahwa dia “memiliki” Allah. Sedikit saja mengalami kesulitan hidup, maka dia menjadi stress seolah-olah tidak ada Allah Yang Mahakaya, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Oleh karenanya, seorang guru hendaknya senantiasa berdzikir kepada-Nya (menyebut atau mengingat-Nya) supaya dia disebut dan diingat-Nya. Abu Yazid al-Bisthami telah memberikan suatu pelajaran: orang-orang bertobat dari dosa-dosa mereka dan aku bertobat dari kelalaianku berdzikir kepada-Nya.  Berkaitan dengan dzikir ini adalah senantiasa dalam keadaan suci, minimal, dari hadas dan najis. Wallâhu a‘lam.

Minggu, 03 September 2017

SILABUS PPMDI



Mata Kuliah
:
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM

Kode
:
-

Bobot SKS
:
2 SKS

Jurusan
:
Pendidikan Agama Islam (PAI)

Program Studi
:
Pendidikan Agama Islam (PAI)

Semester
:
V

Mata Kuliah Prasyarat
:
-

Pengajar
:
Dr. Dimyati, M.Ag

Capaian Pembelajaran
:
Memiliki kemampuan menjelaskan dinamika atau perkembangan pemikiran (pembaharuan) Islam dalam kontekstualisasi ajaran Islam menghadapi pelbagai tantangan zaman dan mampu memahami keberagaman pemikiran pembaharuan dalam konteks dunia Islam secara umum dan Indonesia secara khusus (Ketrampilan kerja).
Mendeskripsikan berbagai pemikiran pembaharuan dalam Islam dari periode pra-modern, modern dan kontemporer (Pengetahuan).
Merencanakan, melaksanakan, mengorganisasi, dan mengontrol pengintegrasian keislaman dan keindonesiaan dengan penuh tanggung jawab ( manajerial).

Deskripsi Mata Kuliah
:
Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam membahas pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam dalam rangka kontekstualisasi ajaran Islam menghadapi pelbagai tantangan zaman dari periode pra-modern, modern dan kontemporer di sebagian belahan Dunia Islam: Saudi Arabia, Mesir, Turki, Indo-Pakistan dan Indonesia.

Indikator
:
Setelah menyelesaikan seluruh materi perkuliahan diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan:
1.1     Menjelaskan Pengertian Pembaharuan dalam Islam
1.2     Menjelaskan Persamaan dan Perbedaan antara Pemikiran dan Pembaharuan dalam Islam
1.3     Menjelaskan Tipologi Pembaharuan dalam Islam
1.4     Mengidentifikasi Tipologi Pembaharuan Pra-Modern
1.5     Mengidentifikasi Tipologi Pembaharuan Era Modern
1.6     Mengidentifikasi Tipologi Pembaharuan Era Kontemporer
2.1     Menjelaskan Pembaharuan Islam Era Pra-Modern
2.2      Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Ibnu Taimiyah
2.3      Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Shah Waliy Allah
2.4      Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab
2.5      Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Ibn Taimiyah, Shah Waliy Allah, dan Muhammad bin Abdul Wahab
2.6      Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Ibn Taimiyah, Shah Waliy Allah, dan Muhammad bin Abdul Wahab dalam Konteks Kekinian Indonesia
3.1      Menjelaskan Pembaharuan/Modernisme di Mesir
3.2      Menjelaskan Pembaharuan Jamal al-Din al-Afghani
3.3      Menjelaskan Pembaharuan Muhammad Abduh
3.4      Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh
3.5      Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh dalam Konteks Kekinian Indonesia
4.1      Menjelaskan Pembaharuan Muhammad Ali Pasha
4.2      Menjelaskan Pembaharuan Hasan al-Banna
4.3      Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Muhammad Ali Pasha dan Hasan al-Banna
4.4      Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Muhammad Ali Pasha dan Hasan al-Banna dalam Konteks Kekinian Indonesia
5.1      Menjelaskan Pembaharuan di Turki
5.2      Menjelaskan Pembaharuan Sultan Mahmud II
5.3      Menjelaskan Pembaharuan Tanzimat
5.4      Menjelaskan Pembaharuan Turki Utsmani
5.5      Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Sultan Mahmud II, Tanzimat dan Turki Utsmani
5.6      Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Sultan Mahmud II, Tanzimat dan Turki Utsmani dalam Konteks Kekinian Indonesia
6.1     Menjelaskan Pembaharuan Utsmani Muda
6.2     Menjelaskan Pembaharuan Kemal Attarturk
6.3     Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Utsmani Muda dan Kemal Attarturk
6.4     Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Utsmani Muda dan Kemal Attarturk dalam Konteks Kekinian Indonesia
7.1     Menjelaskan Pembaharuan di India-Pakistan
7.2     Menjelaskan Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan
7.3     Menjelaskan Tipologi Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan
7.4     Menjelaskan Pembaharuan Abul A’la al Maududi
7.5     Menjelaskan Tipologi Pembaharuan Abul A’la al Maududi
7.6     Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan dan Abul A’la al Maududi
7.7     Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan dan Abul A’la al Maududi dalam Konteks Kekinian Indonesia
8.1     Menjelaskan Pembaharuan Islam di Pakistan
8.2     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Muhammad Iqbal
8.3     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan Muhammad Iqbal
8.4      Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Muhammad Ali Jinnah
8.5      Menyebutkan Tipologi Pembaharuan Muhammad Ali Jinnah
8.6      Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah
8.7      Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah dalam Konteks Kekinian Indonesia
9.1      Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Islam di Iran
9.2     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Ayatullah Khomeini
9.3     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan Ayatullah Khomeini
9.4     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Ali Syariati
9.5     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan Ali Syariati
9.6     Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Ayatullah Khomeini dan Ali Syariati
9.7     Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Ayatullah Khomeini dan Ali Syariati dalam Konteks Kekinian Indonesia
10.1     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Islam di Indonesia
10.2     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Ahmad Surkati
10.3     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan Ahmad Surkati
10.4     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan A. Hasan
10.5     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan A. Hasan
10.6     Mengidentifikasi Persamaan dan Perbedaan Pembaharuan Ahmad Surkati dan A. Hasan
10.7     Menyebutkan Relevansi Pembaharuan Ahmad Surkati dan A. Hasan dalam Konteks Kekinian Indonesia
11.1     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan di Organisasi Muhammadiyah
11.2     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan KH Ahmad Dahlan
11.3     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan KH Ahmad Dahlan
11.4     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Buya HAMKA
11.5     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan Buya HAMKA
11.6     Mengidentifikasi Kontinuitas Pembaharuan KH Ahmad Dahlan dan Buya HAMKA
11.7     Menyebutkan Relevansi Pembaharuan KH Ahmad Dahlan dan Buya HAMKA dalam Konteks Kekinian Indonesia
12.1     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan di Organisasi NU
12.2     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan KH Hasyim Asy’ari
12.3     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan KH Hasyim Asy’ari
12.4     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan KH Ahmad Siddiq
12.5     Menyebutkan Tipologi Pembaharuan KH Ahmad Siddiq
12.6     Mengidentifikasi Kontinyuitas Pembaharuan KH Hasyim Asy’ari dan Ahmad Siddiq
12.7     Menyebutkan Relevansi Pembaharuan KH Hasyim Asy’ari dan Ahmad Siddiq dalam Konteks Kekinian Indonesia
13.1     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Harun Nasution
13.2     Menyebutkan Tipologi Pemikiran/Pembaharuan Harun Nasution
13.3     Menjelaskan Pemikiran/Pembaharuan Mukti Ali
13.4     Menyebutkan Tipologi Pemikiran/Pembaharuan Mukti Ali
13.5     Mengkritisi Pemikiran/Pembaharuan Harun Nasution dan Mukti Ali


Bahan Kajian
:
1.          Pengertian Pembaharuan dan Tipologi Pembaharuan dalam Islam
2.          Pembaharuan Pra Modern: Ibnu Taimiyah, Shah Waliy Allah, dan Muhammad bin Abdul Wahab
3.          Pembaharuan Islam di Mesir: Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
4.          Pembaharuan Islam di Mesir: Muhammad Ali Pasha dan Hasan al-Banna
5.          Pembaharuan Islam di Turki: Sultan Mahmud II, Tanzimat, dan Turki Utsmani.
6.          Pembaharuan Islam di Turki: Usmani Muda dan Kemal Attarturk
7.          Pembaharuan Islam di India-Pakistan: Ahmad Khan dan Abul A’la al-Maududi
8.          Pemikiran/Pembaharuan Islam di Pakistan: Iqbal dan Ali Jinnah
9.          Pemikiran/Pemabaharuan Islam Iran: Ayatullah Khomeini dan Ali Syariati
10.      Pemikiran/Pembaharuan Islam di Indonesia: Ahmad Surkati dan A. Hasan
11.      Pemikiran/Pembaharuan Islam di Organisasi Muhammadiyah: KH Ahmad Dakhlan dan Buya HAMKA
12.      Pemikiran/Pembaharuan Islam di Organisasi NU: KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Siddiq
13.      Pemikiran/Pembaharuan Harun Nasution dan Mukti Ali


Pendekatan Pembelajaran
:
Perkuliahan ini menggunakan pendekatan:
1.   Active learning;
2.   Cooperative Learning
3.   Problem Based Learning (PBL)
4.   Inquiry-discovery-problem solving.

Terkait dengan pelaksanaan perkuliahan menggunakan pola:
1. Klasikal;
2. Kelompok;
3. Individual.

Terkait dengan penggunaan metode perkuliahan menggunakan metode: ceramah, diskusi, the power of two, critical incident, snowballing dan penugasan.

Penilaian
:
Penilaian diperoleh dari aspek-aspek:
1.  Ujian Tengah Semester
2.  Ujian Akhir Semester   
3.  Formatif/Kehadiran/Penugasan/Performance  Assessment/ portofolio   

Penilaian Produk   : Test                               
Penilaian Proses    :   Nontest/ Performance assesment pada pengalaman belajar, Self Assesment, Peer Assesment
Buku Sumber
:
1.      A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
2.      Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-14, 2014
3.      Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: LSAF, 1989
4.      Amien Rais, Tauhid Sosial, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998
5.      Abu al-A'la al-Maududi, A Short History of Revivalist Movement in Islam, Lahore: 1972
6.       HAMKA, Tasawuf Modern, Jakarta:Pustaka Panjimas, 1987
7.       Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Bandung: Mizan, 1998
8.       Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan,1998
9.       Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta:
10.   A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan
11.   Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaludin al-Afgani sampai KH. Ahmad Dahlan
12.   Deliar Noer, Gerakan Medern Islam di Indonesia (1900-1942), Jakarat: LP3ES, 1982
13.   Saiful Muzani, Islam Rasional; Gagasan dan pemikiran Prof. Harun Nasution, Jakarat: Mizan, 1980
14.   Murni Djamal, HAMKA; Pengaruhnya dalam Islam di Minangkabau Pada Awal Abad 20, Jakarta: Indonesia Netherland Corporation.
15.   Karel Stenbrink, Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarat; Bulan Bintang, 1984
16.   M. Yusron Asrofi, KH Ahmad Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinan, Yogyakarta: 1983
17.   MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987
18.   Syaifullah Ma’sum, Karisma Ulama;Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1988
19.   Howard M Federspeil, Labirin Ideologi Muslim; Pencarian dan Pergaulan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Jakarta: Serambi, 2004
20.   Fuad Moenawar Noeh, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH.Ahmad Shiddiq, Jakarta: Gramedia, 2002
21.   Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013
22.   M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998
23.   Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKiS, 2000
24.   Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian kesatu-ketiga, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000



Mengetahui,                                                               Jakarta, 04 September 2017
Ketua Jurusan PAI                                                       Dosen Pengampu Mata Kuliah




Dr. Âbdul Majid Khon, M.Ag                                                Dr. Dimyati, M.Ag



 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates