Rabu, 01 April 2020

PAI II D Aliran Murjiah


ALIRAN MURJI’AH
Makalah ini dibuat untuk mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu :
Dr. Dimyati, M.Ag







Disusun Oleh:
Kelompok 3 PAI II D:
Wulan Kinasih            (11190110000071)
Sherin Novianti Putri              (11190110000085)
Syauqi Kamali                         (11190110000097)
Taqiyuddin Ar Robbani          (11190110000127)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020


KATA PENGANTAR


Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Tuhan semesta alam Yang Maha Luas Ilmu-Nya, karena dengan Rahmat-Nya penulisan makalah yang berjudul “Aliran Murji’ah” ini dapat berjalan lancar.
Makalah ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk melaksanakan tugas Ilmu Kalam. Banyak pihak yang telah memberi bantuan, dorongan dan motivasi selama proses penyusunan makalah ini berlangsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu sehingga makalah ini bisa selesai dengan baik.
Pemakalah menyadari sepenuhnya akan segala keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang pemakalah miliki, sehingga dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan hasilnya masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian pemakalah telah berusaha maksimal agar mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki.
Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan, diganti dengan kebaikan yang jauh lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata, semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan bagi Mahasiswa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.





Ciputat, 13  Maret 2020


Penulis            

DAFTAR ISI




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejarah serta perkembangan pemikiran dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang umat ini. Keduanya, saling mempengaruhi saling mengingat sehingga hubungan keduanya begitu erat. Bahkan bisa dikatakan corak pemikiran yang berkembang pada suatu masa mempengaruhi sejarah pada masa itu.
Pada masa Rasulullah, perkembangan pemikiran di antara umat tak terlihat begitu jelas sebagaimana dewasa ini. Umat pada waktu itu berada dalam satu komando serta tunduk dan patuh baik dalam urusan politik kenegaraan terlebih lagi dalam urusan agama.
Setelah Rasulullah wafat perpecahan semakin terlihat jelas diantara kaum muslimin. Hal ini terjadi karena kaum muslimin jauh dari ajaran Rasulullah dan para sahabatnya dalam memahami agama Islam. Mengenai perpecahan ini, Rasulullah sudah memberitahu dalam sabdanya:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“…Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti dia aka melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian…” (H.R At Tirmidzi No. 2676).
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian dari Murji’ah?
2.    Bagaimana Sejarah Munculnya Murji’ah?
3.    Apa Saja Aliran-Aliran Murji’ah?
4.    Bagaimana Identifikasi dari Aliran Murji’ah Ekstrem dan Moderat?
5.    Bagaimana Paham Aliran Murji’ah di Era Kontemporer?
C.      Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan Tentang Pengertian Murji’ah
2.    Menjelaskan Tentang Sejarah Munculnya Murji’ah
3.    Menjelaskan Aliran-Aliran Murji’ah
4.    Mengidentifikasi Paham dari Aliran Murji’ah Ekxtreme dan Moderat
5.    Menjelaskan Paham Murji’ah di Era Kontemporer

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Murjiah
Murjiah berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan, dan memberikan pengharapan. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 106:
وَءَاخَرُونَ مُرْجَوْنَ لِأَمْرِ ٱللَّهِ إِمَّا يُعَذِّبُهُمْ وَإِمَّا يَتُوبُ عَلَيْهِمْ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
 “Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah, mungkin Allah akan mengazab mereka dan mungkin Allah akan menerima tobat mereka. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”.
Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan di siksa sesuai dengan dosanya, dan setelah itu ia akan dimasukan ke dalam surga.[1] Ada beberapa pendapat tentang arti arja’a, antara lain:
1.      Menurut Ibn ‘Asakir,
Dalam uraiannya tentang asal-usul kaum Murji’ah mengatakan bahwa arja’a berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumnya sebagai orang kafir.
2.    Ahmad Amin
Mengatakan bahwa arja’a juga mengandung arti memberi pengharapan. Dinamakan demikian, karena di antara kaum Murji’ah ada yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah menjadi kafir, ia tetap sebagai mukmin, dan kalau ia dimasukkan ke dalam neraka, maka ia tidak kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.[2]
Jadi bisa disimpulkan bahwa Murji’ah adalah nama suatu kelompok orang yang bersikap netral atas peristiwa tahkim, dengan tidak mengkafirkan atau membenarkan sebagian kelompok yang lain dan menyerahkan hukum tersebut kepada Allah semata.

B.       Sejarah Kemunculan Kaum Murji’ah
Murjiáh merupakan satu aliran yang muncul di Damsyiq, ibukota Kerajaan Umayyad, pembawa paham Murji’ah adalah Gailan Ad Damsiqy. Kaum Murjiah pada mulanya ditimbulkan oleh persoalan politk, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin Affan terbunuh. Seperti yang telah diketahui, kaum khawarij pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syiah.[3]
Dalam perpecahan antara umat Islam inilah, kaum Khawarij mengatakan bahwa semua yang terlibat arbitrasi dan yang menerimanya adalah kafir. Syi’ah berbicara seputar Imamah yang harus berasal dari keturunan Ali. Dalam hal mengkafirkan Syi’ah juga ikut berbicara, antara lain sekte Kamiliah mengkafirkan semua sahabat yang tidak mendukung pengangkatan Ali. Ditengah kemelut politik dan saling mengkafirkan seperti ini, ada segolongan sahabat yang bersikap netral dan menahan diri untuk membicarakan persoalan tersebut. Sikap mereka itu didasarkan pada pandangan teologi bahwa penelitian hukum bagi pelaku dosa besar diserahkan kepada Tuhan. Itulah yang merupakan embrio terbentuknya sekte Murji’ah.[4]
Disisi lain ada pendapat yang mengatakkan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.[5]
Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.[6]
C.      Aliran-Aliran Murji’ah
Kemunculan aliran-aliran dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di kalangan para pendukung Murji’ah itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan aliran-aliran dalam kelompok Murji’ah. Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlussunnah. Oleh karena itu, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan aliran-aliran Murji’ah sebagai berikut:
1.    Murji’ah Khawarij
2.    Murji’ah Qadariyah
3.    Murji’ah Jabariyah
4.    Murji’ah Sunni
5.    Murji’ah Murni
Lebih lanjut Ash-Syahrastani menambahkan bahwa Murji’ah Murni dapat dibagi lagi menjadi tujuh golongan yaitu:
1.    Al-Yunusiah, yaitu golongan Yunus bin ‘Aun al-Namiri berpendapat bahwa iman adalah percaya kepada Allah, patuuh kepada-Nya, tidak sombong kepada-Nya dan cinta kepada-Nya.
2.    Al-Ghassaniyah, berpendapat bahwa iman adalah iqrar atau cinta kepada Allah, mengagungkan-Nya dan tidak sombong kepada-Nya.
3.    Al-Tumaniyah, berpendapat bahwa iman adalah keyakinan yang bersih dari pada kekufuran dan merupakan satu nama yang mempunyai sifat dan unsure.
4.    Al-Tsaubaniyah, berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan dan pengakuan terhadap Allah dan para Rasul-Nya, dan segala bentuk perbuatan atau amal yang boleh atau tidak bukanlah iman.
5.    Al-Marisiyah, berpendapat bahwa iman adalah suatu keyakinan yang dibenarkan oleh hati dan diucapkan oleh lisan.
6.    Al-Ubaidiyah, berpendapat bahwa apa saja selain syirik akan diampuni, maka jika seorang hamba meninggal dalam keadaan beriman biscaya perbuatan dosa dan kejahatan tidak akan membahayakan.
7.    Al-Shalihiyah berpendapat bahwa iman adalah pengakuan terhadap Allah secara nutlak dan Dia itu adalah pencipta tunggal bagi alam ini.[7]

           Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan ada 12 golongan Murji’ah, yaitu:
1.        Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
2.        Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
3.        Al-Yunusiyah, pengikut Yunus as-Samary
4.        As-Samriyah, pengikut Abu Samr bin Yunus
5.        Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
6.        Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
7.        An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
8.        Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah an-Nu’man
9.        Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
10.    Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
11.    Al-Murisiyah pengikut Basr al-Murisy
12.    Al-Kaaramiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijitany[8]

D.      Identifikasi Aliran/Paham Kaum Murji’ah
Sebagai aliran teologi, kaum Murji’ah ini mempunyai pemahaman tentang akidah yang secara umum dapat digolongkan ke dalam pendapat yang moderat dan ekstrim:
1.    Golongan Moderat
            Murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak akan masuk neraka sama sekali.
            Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad aibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadis. Menurut golongan ini bahwa orang Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi bahwa iman ialah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam hal iman.
            Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang Islam dianggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah.[9]
2.    Golongan Ekstrim
            Golongan ini adalah pengikutnya Jahm bin Safwan yang disebut al-Jahimah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut  mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Pandangan serupa ini muncul dari prinsip yang mereka anut yaitu bahwa iman tempatnya di hati, ia tidak bertambah dan tidak berkurang karena perbuatan apapun dan amal tidak punya pengaruh apa-apa terhadap iman.[10]

E.       Paham Aliran Murji’ah di Era Kontemporer
     Aliran dalam Islam ini sangat rumit karena didasari oleh paham atau keyakinan individu-individu yang salah dalam melakukan penafsiran, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap penafsiran salah yang dilakukan pada ayat-ayat di al-qur’an akan dipertanyakan. Hal ini merupakan salah satu faktor dari cikal bakal perpecahan dalam islam, akibat dari perpecahan ini maka lahirlah berbagai aliran-aliran dalam Islam yang diterbitkan adalah aliran Khawarij dan Murji’ah tetapi saat ini yang akan dikupas oleh aliran murji’ah.
     Aliran Murji’ah merupakan aliran yang sangat ekstrim, kita tidak bisa mudah terjerumus ke dalam aliran-aliran yang tidak sesuai dengan agama Islam yang telah didukung oleh Rasulullah dan yang tidak sesuai dengan Islam yang dikirim oleh Rasulullah tentang golongan.
     Al-Jahmi’ah mengikuti ibnu sahwan, pendapatnya orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kafir secara lisan, ia tidak menjadi kafir karena iman dan kafir menghubungkan di dalam hati.
     As-Sahihiha, ikuti Abu Hasan Al-Saliki, pendapatnya tentang Iman yang diketahui Tuhan dan kufur tidak tahu Tuhan, sebab yang tidak merupakan ibadah bagi Allah, sebab ibadah itu adalah iman kepada Allah dengan maksud mengenal Tuhan.[11]



















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Murji’ah adalah salah satu aliran teologi Islam yang mementingkan aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak. Dan Murji’ah ada karena sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.
B.     Saran
     Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mdahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah AWT, dan yang buruk datangnya dari kami sebagai hambanya. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi. Jadi kami harapkan saran dan juga kritiknya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

                
















DAFTAR PUSTAKA

            Nata, Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
            Admin, diakses dari http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-murjiah-pengantar.html, pada tanggal 11 maret 2020 pukul 21:31.
            Nasution, Harun, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 2010).
            Abbas, Nurlela, Ilmu Kalam; sebuah pengantar,  (Makassar: Alauddin University Press, 2014).
            Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
            Ris’an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, (Jakarta: Pramedia Group, 2014).
            Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001).
            Admin, diakses dari https://www.kompasiana.com, pada tanggal 14 maret 2020 pukul 20:45.


[1] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1994) hlm. 33.
[2] http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-murjiah-pengantar.html, diakses pada tanggal 11 maret 2020 pukul 21:31.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 2010) hlm. 24.
[4] Nurlela Abbas, Ilmu Kalam; sebuah pengantar,  (Makassar: Alauddin University Press, 2014), hlm. 107.
[5] Abdul, Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 56.
[6] Harun Nasution, loc.cit.
[7] Ris’an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, (Jakarta: Pramedia Group, 2014), hlm. 24-26.
[8] Abdul, Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 56.
[9] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 34-35.
[10] Ibid., hlm. 35-36.
[11] https://www.kompasiana.com, diakses pada tanggal 14 Maret 2020 pukul 20.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates