ALIRAN MURJI’AH
Makalah ini dibuat untuk mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu :
Dr. Dimyati, M.Ag
Disusun Oleh:
Kelompok 3 PAI II D:
Kelompok 3 PAI II D:
Wulan Kinasih (11190110000071)
Sherin Novianti Putri (11190110000085)
Syauqi Kamali (11190110000097)
Taqiyuddin Ar Robbani (11190110000127)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah
milik Allah SWT, Tuhan semesta alam Yang Maha Luas Ilmu-Nya, karena dengan
Rahmat-Nya penulisan makalah yang berjudul “Aliran Murji’ah” ini dapat berjalan
lancar.
Makalah ini disusun
sebagai salah satu persyaratan untuk melaksanakan tugas Ilmu Kalam. Banyak
pihak yang telah memberi bantuan, dorongan dan motivasi selama proses
penyusunan makalah ini berlangsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini
pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan
membantu sehingga makalah ini bisa selesai dengan baik.
Pemakalah menyadari
sepenuhnya akan segala keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang pemakalah
miliki, sehingga dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan
hasilnya masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian pemakalah telah berusaha
maksimal agar mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kemampuan yang
penulis miliki.
Semoga bantuan dan
dukungan yang telah diberikan, diganti dengan kebaikan yang jauh lebih besar
dari Allah SWT. Akhir kata, semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun khususnya, dan bagi Mahasiswa Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 13 Maret 2020
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah serta
perkembangan pemikiran dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang
umat ini. Keduanya, saling mempengaruhi saling mengingat sehingga hubungan
keduanya begitu erat. Bahkan bisa dikatakan corak pemikiran yang berkembang
pada suatu masa mempengaruhi sejarah pada masa itu.
Pada masa Rasulullah, perkembangan pemikiran di
antara umat tak terlihat begitu jelas sebagaimana dewasa ini. Umat pada waktu
itu berada dalam satu komando serta tunduk dan patuh baik dalam urusan politik
kenegaraan terlebih lagi dalam urusan agama.
Setelah Rasulullah wafat perpecahan semakin
terlihat jelas diantara kaum muslimin. Hal ini terjadi karena kaum muslimin
jauh dari ajaran Rasulullah dan para sahabatnya dalam memahami agama Islam.
Mengenai perpecahan ini, Rasulullah sudah memberitahu dalam sabdanya:
…مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ…
“…Barang
siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti dia aka melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnahku
dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang
teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian…” (H.R At
Tirmidzi No. 2676).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian dari Murji’ah?
2.
Bagaimana
Sejarah Munculnya Murji’ah?
3.
Apa
Saja Aliran-Aliran Murji’ah?
4.
Bagaimana
Identifikasi dari Aliran Murji’ah Ekstrem dan Moderat?
5.
Bagaimana
Paham Aliran Murji’ah di Era Kontemporer?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
Tentang Pengertian Murji’ah
2.
Menjelaskan
Tentang Sejarah Munculnya Murji’ah
3.
Menjelaskan
Aliran-Aliran Murji’ah
4.
Mengidentifikasi
Paham dari Aliran Murji’ah Ekxtreme dan Moderat
5.
Menjelaskan
Paham Murji’ah di Era Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murjiah
Murjiah berasal
dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan, dan
memberikan pengharapan. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 106:
وَءَاخَرُونَ مُرْجَوْنَ لِأَمْرِ
ٱللَّهِ إِمَّا يُعَذِّبُهُمْ وَإِمَّا يَتُوبُ عَلَيْهِمْ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan ada (pula) orang-orang lain yang
ditangguhkan sampai ada keputusan Allah, mungkin Allah akan mengazab mereka dan
mungkin Allah akan menerima tobat mereka. Allah Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana”.
Menangguhkan
berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika
Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia
akan di siksa sesuai dengan dosanya, dan setelah itu ia akan dimasukan ke dalam
surga.[1]
Ada beberapa pendapat tentang arti arja’a, antara lain:
1.
Menurut Ibn ‘Asakir,
Dalam uraiannya tentang asal-usul kaum Murji’ah
mengatakan bahwa arja’a berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu
berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari
perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumnya sebagai orang kafir.
2.
Ahmad Amin
Mengatakan bahwa arja’a juga mengandung arti
memberi pengharapan. Dinamakan demikian, karena di antara kaum Murji’ah ada
yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah
menjadi kafir, ia tetap sebagai mukmin, dan kalau ia dimasukkan ke dalam
neraka, maka ia tidak kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa
besar masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.[2]
Jadi bisa disimpulkan bahwa Murji’ah adalah nama suatu kelompok orang yang
bersikap netral atas peristiwa tahkim, dengan tidak mengkafirkan atau
membenarkan sebagian kelompok yang lain dan menyerahkan hukum tersebut kepada
Allah semata.
B.
Sejarah Kemunculan Kaum Murji’ah
Murjiáh
merupakan satu aliran yang muncul di Damsyiq, ibukota Kerajaan Umayyad, pembawa paham Murji’ah adalah Gailan Ad Damsiqy.
Kaum Murjiah pada mulanya ditimbulkan oleh persoalan politk, tegasnya persoalan
khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin
Affan terbunuh. Seperti yang telah diketahui, kaum khawarij pada mulanya adalah
penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya
perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras
dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam
Islam yang dikenal dengan nama Syiah.[3]
Dalam
perpecahan antara umat Islam inilah, kaum Khawarij mengatakan bahwa semua yang
terlibat arbitrasi dan yang menerimanya adalah kafir. Syi’ah berbicara
seputar Imamah yang harus berasal dari keturunan Ali. Dalam hal
mengkafirkan Syi’ah juga ikut berbicara, antara lain sekte Kamiliah mengkafirkan
semua sahabat yang tidak mendukung pengangkatan Ali. Ditengah kemelut politik
dan saling mengkafirkan seperti ini, ada segolongan sahabat yang bersikap
netral dan menahan diri untuk membicarakan persoalan tersebut. Sikap mereka itu
didasarkan pada pandangan teologi bahwa penelitian hukum bagi pelaku dosa besar
diserahkan kepada Tuhan. Itulah yang merupakan embrio terbentuknya sekte
Murji’ah.[4]
Disisi lain ada
pendapat yang mengatakkan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang
kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang
kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu
Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an,
dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya
dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina,
riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta
memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang
kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar
tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah
dia akan mengampuninya atau tidak.[5]
Dengan
demikian, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kaum Murji’ah pada
mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam
pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang
bertentangan itu kepada Tuhan.[6]
C.
Aliran-Aliran Murji’ah
Kemunculan aliran-aliran dalam kelompok
Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal
intensitas) di kalangan para pendukung Murji’ah itu sendiri. Dalam hal ini,
terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan
aliran-aliran dalam kelompok Murji’ah. Kesulitannya antara lain adalah ada
beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat
sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud
adalah Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlussunnah. Oleh
karena itu, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan
aliran-aliran Murji’ah sebagai berikut:
1.
Murji’ah Khawarij
2.
Murji’ah Qadariyah
3.
Murji’ah Jabariyah
4.
Murji’ah Sunni
5.
Murji’ah Murni
Lebih lanjut Ash-Syahrastani menambahkan bahwa
Murji’ah Murni dapat dibagi lagi menjadi tujuh golongan yaitu:
1.
Al-Yunusiah, yaitu golongan Yunus bin ‘Aun
al-Namiri berpendapat bahwa iman adalah percaya kepada Allah, patuuh
kepada-Nya, tidak sombong kepada-Nya dan cinta kepada-Nya.
2.
Al-Ghassaniyah, berpendapat bahwa iman adalah
iqrar atau cinta kepada Allah, mengagungkan-Nya dan tidak sombong kepada-Nya.
3.
Al-Tumaniyah, berpendapat bahwa iman adalah
keyakinan yang bersih dari pada kekufuran dan merupakan satu nama yang
mempunyai sifat dan unsure.
4.
Al-Tsaubaniyah, berpendapat bahwa iman adalah
pengetahuan dan pengakuan terhadap Allah dan para Rasul-Nya, dan segala bentuk
perbuatan atau amal yang boleh atau tidak bukanlah iman.
5.
Al-Marisiyah, berpendapat bahwa iman adalah
suatu keyakinan yang dibenarkan oleh hati dan diucapkan oleh lisan.
6.
Al-Ubaidiyah, berpendapat bahwa apa saja selain
syirik akan diampuni, maka jika seorang hamba meninggal dalam keadaan beriman
biscaya perbuatan dosa dan kejahatan tidak akan membahayakan.
7.
Al-Shalihiyah berpendapat bahwa iman adalah
pengakuan terhadap Allah secara nutlak dan Dia itu adalah pencipta tunggal bagi
alam ini.[7]
Sementara itu, Muhammad Imarah
menyebutkan ada 12 golongan Murji’ah, yaitu:
1.
Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
2.
Ash-Shalihiyah, pengikut Abu
Musa Ash-Shalahi
3.
Al-Yunusiyah, pengikut Yunus as-Samary
4.
As-Samriyah, pengikut Abu Samr bin Yunus
5.
Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu
Syauban
6.
Al-Ghailaniyah, pengikut Abu
Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
7.
An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
8.
Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah an-Nu’man
9.
Asy-Syabibiyah, pengikut
Muhammad bin Syabib
10.
Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
11.
Al-Murisiyah pengikut Basr al-Murisy
D.
Identifikasi Aliran/Paham Kaum Murji’ah
Sebagai aliran teologi, kaum Murji’ah ini mempunyai pemahaman
tentang akidah yang secara umum dapat digolongkan ke dalam pendapat yang
moderat dan ekstrim:
1.
Golongan
Moderat
Murjiah moderat berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar bukanlah bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia
lakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak
akan masuk neraka sama sekali.
Pada golongan Murji’ah yang moderat
ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad aibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan beberapa ahli hadis. Menurut golongan ini bahwa orang Islam yang
berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi
definisi bahwa iman ialah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan,
Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan
tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan
tidak ada perbedaan di antara manusia dalam hal iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka
iman semua orang Islam dianggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang
Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan
perintah-perintah Allah.[9]
2.
Golongan
Ekstrim
Golongan ini adalah pengikutnya Jahm
bin Safwan yang disebut al-Jahimah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam
yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia
tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut
mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun
menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan
menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah
menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Pandangan serupa
ini muncul dari prinsip yang mereka anut yaitu bahwa iman tempatnya di hati, ia
tidak bertambah dan tidak berkurang karena perbuatan apapun dan amal tidak
punya pengaruh apa-apa terhadap iman.[10]
E.
Paham Aliran Murji’ah di Era Kontemporer
Aliran dalam Islam ini sangat rumit karena didasari
oleh paham atau keyakinan individu-individu yang salah dalam melakukan penafsiran,
tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap penafsiran salah yang dilakukan pada
ayat-ayat di al-qur’an akan dipertanyakan. Hal ini merupakan salah satu faktor
dari cikal bakal perpecahan dalam islam, akibat dari perpecahan ini maka
lahirlah berbagai aliran-aliran dalam Islam yang diterbitkan adalah aliran
Khawarij dan Murji’ah tetapi saat ini yang akan dikupas oleh aliran murji’ah.
Aliran
Murji’ah merupakan aliran yang sangat ekstrim, kita tidak bisa mudah terjerumus
ke dalam aliran-aliran yang tidak sesuai dengan agama Islam yang telah didukung
oleh Rasulullah dan yang tidak sesuai dengan Islam yang dikirim oleh Rasulullah
tentang golongan.
Al-Jahmi’ah
mengikuti ibnu sahwan, pendapatnya orang Islam yang percaya kepada Tuhan
kemudian menyatakan kafir secara lisan, ia tidak menjadi kafir karena iman dan
kafir menghubungkan di dalam hati.
As-Sahihiha,
ikuti Abu Hasan Al-Saliki, pendapatnya tentang Iman yang diketahui Tuhan dan
kufur tidak tahu Tuhan, sebab yang tidak merupakan ibadah bagi Allah, sebab
ibadah itu adalah iman kepada Allah dengan maksud mengenal Tuhan.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Murji’ah adalah salah satu aliran teologi Islam yang mementingkan aspek
iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap mukmin,
bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar
itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak. Dan Murji’ah ada karena sekelompok
orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang
terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.
B.
Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mdahan dapat bermanfaat
bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah AWT, dan
yang buruk datangnya dari kami sebagai hambanya. Dan kami sadar bahwa makalah
kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi.
Jadi kami harapkan saran dan juga kritiknya yang bersifat membangun, untuk perbaikan
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Ilmu kalam,
Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
Admin, diakses dari http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-murjiah-pengantar.html,
pada tanggal 11 maret 2020 pukul 21:31.
Nasution, Harun, Teologi Islam, (Jakarta:
UI-Press, 2010).
Abbas, Nurlela, Ilmu Kalam;
sebuah pengantar, (Makassar: Alauddin
University Press, 2014).
Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009).
Ris’an Rusli, Teologi Islam:
Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, (Jakarta: Pramedia Group,
2014).
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam,
Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001).
[1] Abuddin
Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada,
1994) hlm. 33.
[2]
http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-murjiah-pengantar.html, diakses pada tanggal
11 maret 2020 pukul 21:31.
[3] Harun
Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 2010) hlm. 24.
[4] Nurlela
Abbas, Ilmu Kalam; sebuah pengantar, (Makassar:
Alauddin University Press, 2014), hlm. 107.
[5] Abdul,
Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 56.
[6] Harun
Nasution, loc.cit.
[7]
Ris’an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya,
(Jakarta: Pramedia Group, 2014), hlm. 24-26.
[8]
Abdul, Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 56.
[9]
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 34-35.
[10] Ibid.,
hlm. 35-36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar