MAKNA DAN TUJUAN TAKWA
Oleh Dimyati Sajari
(Ketua Harian LPTQ Tangerang Selatan dan Dosen FITK UIN Jakarta)
Makna takwa
sering dimaknakan dengan "imtitsâl al-awâmiri wa 'jtinâbu
al-nawâhî," seperti dikemukakan oleh Al-Imamaini al-Jalalaini dalam
kitabnya Tafsir al-Qur'an al-Karim (Al-Imamaini al-Jalalaini, Tafsir
al-Qur'an al-Karim, Kudus: Makatabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1896, h. 2).
Atas dasar makna ini, orang beriman di dalam meningkatkan ketakwaannya ditempuh
dengan cara "meningkatan pelaksanaan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya." Hasilnya, orang yang dipandang paling bertakwa
adalah orang yang paling banyak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Akan tetapi,
apakah memang seperti itu persepsi al-Qur'an tentang takwa dan orang yang
berkawa? Boleh jadi tidak hanya seperti itu. Oleh sebab itu, tulisan ini akan
membahas perspektif al-Qur'an tentang makna dan tujuan takwa.
Pengartian,
Arti dan Pengertian Takwa
Kata takwa, semisal
dikemukakan Fazlur Rahman, merupakan istilah tunggal yang terpenting di dalam
al-Qur'an (Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, Bandung: Pustaka, 1996,
h. 43). Di dalam al-Qur'an kata takwa ini digunakan dalam bentuk isim
(kata benda) dan fi'il (kata kerja) sebanyak 233 kali (Al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfazh al-Qur'an al-Karim),
yang penyebutannya kira-kira sama banyaknya dengan penyebutan kata iman,
amal, shalat dan zakat (Murtadha Muthahhari, Ceramah
Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: Lentera, 1999, h.
12).
Menurut Murtadha
Muthahhari, di dalam pengartian atau terjemahan-terjemahan bahasa Persia, jika
kata takwa itu digunakan dalam bentuk isim, sebagaimana kata taqwa
dan atau muttaqin, maka diartikan dengan arti "menjauhi." Contohnya,
ungkapan hudan li al-muttaqin diartikan dengan "petunjuk bagi
orang-orang yang menjauhi (larangan)." Namun, bila kata ini digunakan
dalam bentuk fi'il, terutama dalam bentuk fi'il amr yang muta'alliq-nya
disebutkan, maka diartikan dengan "takut." Misalnya, ungkapan ittaqi
Allah atau ittaqu al-nar diartikan menjadi "takutlah kepada
Allah" atau "takutlah kepada neraka" (Murtadha Muthahhari, Ceramah
Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, h. 13-14).
Di dalam bahasa
Indoensia, kata takwa dalam bentuk fi'il amr juga diartikan dengan
"takut." Namun, dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya terbitan
Departemen Agama, ketika kata takwa dalam bentuk fi'il amr itu dikaitkan
dengan zharaf zaman, maka ada yang diartikan dengan "takut"
dan ada yang diartikan dengan "penjagaan diri." Umpamanya yang
diartikan dengan "takut" adalah ayat: "wattaqu yawman la
tajzi nafsun 'an nafsin syay'a" (dan takutlah kamu kepada suatu hari
di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun) (QS 2:
123). Adapun contoh yang diartikan dengan "penjagaan diri" atau
"pemeliharaan diri" adalah ayat: "Wattaqu yawman la tajzi
nafsun 'an nafsin syay'a" (dan jagalah dirimu dari azab hari kiamat,
yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun)
(QS 2: 48) dan ayat: "wattaqu yawman turja'una fihi ila Allah"
(dan peliharalah dirimu dari—azab yang terjadi pada—hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah) (QS 2: 281).
Dari pengartian
di dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya itu, tampaknya pengartian pada Surat
al-Baqarah ayat 48 dan 281 itulah yang paling tepat. Hal ini sesuai yang
dikatakan Muthahhari bahwa kata takwa itu berasal dari akar kata waqyan,
yang berarti menjaga dan memelihara. Arti dari kata ittaqa adalah
penjagaan. Dengan demikian, ungkapan seperti ittaqu Allah dan ittaqu
al-nara berarti "peliharalah dirimu dari siksa balasan Ilahi" dan
"peliharalah dirimu dari siksa neraka." Atas dasar ini, Muthahhari
menyatakan bahwa terjemahan yang benar dari kata takwa ialah menjaga dan
memelihara diri, dan kata muttaqin berarti orang-orang yang menjaga dan
memelihara diri (Murtadha Muthahhari, Ceramah Seputar Persoalan Penting
Agama dan Kehidupan, h. 14).
Makna yang
diberikan Muthahhari itu sejalan dengan yang dikemukakan Fazlur Rahman. Menurut
Rahman, akar kata taqwa adalah wqy yang berarti
"berjaga-jaga atau melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri
yang buruk dan jahat." Rahman menyatakan bahwa tepat sekali makna takut
kepada Allah dalam pengertian takut kepada akibat-akibat perbuatan sendiri, baik
akibat-akibat di dunia maupun di akhirat (Fazlur Rahman, Tema Pokok
Al-Qur'an, h. 43).
Definisis atau
pengertian takwa menurut Muthahhari dan Rahman itu sejalan dengan pandangan
Muhammad Abduh. Menurut Abduh, akar kata taqwa adalah waqa yaqi
wiqayah yang berarti jauh atau menjauhi kesusahan (kemadharatan) atau
menolak kesusahan. Kemudian, Abduh memberikan makna kata takwa dalam bentuk amr-nya
(ittaqi) yang dinisbahkan kepada kata Allah (ittaqi Allahi)
dengan "takut kepada azab dan siksa-Nya." Bagi Abduh, penyandaran
kata takwa kepada Allah ini adalah untuk menunjukkan betapa besar azab dan
siksa-Nya, yang kalau tidak demikian maka manusia tidak akan takut kepada
Allah, tidak akan mengakui kekuasaan-Nya dan tidak akan tunduk kepada
kehendak-Nya. Dari sini Abduh mendefinisikan orang yang bertakwa sebagai
"orang yang menjaga dirinya dari siksa" (man yahma nafsahu min
al-'iqab) (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Juz I, h. 124-5).
Pendefinisian
Abduh tentang orang yang bertakwa dengan "orang yang menjaga dirinya dari
azab dan siksa-Nya" itu menunjukkan bahwa konsep takwa, sebagaimana
dikatakan Toshihiko Izutsu, berkaitan erat dengan visi eskatologis (Toshihiko
Izutsu, Ethico-Religious Concpts in the Qur'an, Montreal: McGill
University Press, 1966, h. 195). Dengan demikian, bila kata takwa ini diartikan
dengan takut, maka takut yang tidak biasa, tapi takut yang bersifat
eskatologis, yakni takut akan azab dan siksa Allah di akhirat nanti. (Menurut Izutsu,
takwa tidak bias diartikan dengan "takut yang biasa," sebab untuk
"takut yang biasa" ini di dalam al-Qur'an terdapat kata tersendiri
yang lebih tepat, yaitu kata khasyyah dan khawf. Toshihiko
Izutsu, Ethico-Religious Concpts in the Qur'an, h. 196). Namun, Abduh
tidak berkesimpulan semacam ini. Artinya, Abduh tidak memandang takwa itu
sebagai ketakutan yang bersifat eskatologis belaka, melainkan bersifat duniawi
pula sehingga bersifat duniawi ukhrawi atau dunia akhirat. Dengan demikian,
orang yang bertakwa, dalam pandangan Abduh, tidak hanya menjaga diri dari azab
dan siksa-Nya di akhirat nanti, tetapi juga di dunia ini (Syaikh Muhammad
Abduh, Tafsir Al-Manar, Juz I, h. 125).
Oleh karena
itulah orang yang bertakwa berarti orang yang memiliki rasa tanggung jawab
dunia akhirat, dan sebab rasa tanggung jawabnya inilah orang yang bertakwa,
sebagaimana dikatakan Rahman, disebut sebagai makhluk yang bermoral. Dalam
konteks inilah Rahman memandang takwa sebagai konsep sentral moralitas bagi
manusia ( Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual, Bandung: Pustaka, 1995, h. 187), meski bukan sebagai konsep
moralitas yang bersifat positif, melainkan yang bersifat negatif. Artinya,
karena takwa itu berarti menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik
yang akan mengakibatkan tidak baik pula kepadanya, maka takwa itu merupakan
moralitas yang bersifat negatif atau, dalam istilah Mustansir Mir, merupakan
kebajikan yang bersifat negatif (negative virtue). (Menurut Mustansir
Mir, karena takwa itu berarti menahan diri dari tindakan-tindakan yang tidak
baik dan mengekang diri dari ketamakan-ketamakan diri, maka takwa itu merupakan
sebuah kebajikan negatif, negative virtue. Namun, Mir pun mengatakan
bahwa di dalam al-Qur'an kebajikan negatif (takwa) ini sering disebut bersamaan
dengan kebajikan yang bersifat posistif, positive virtue, semisal,
"Orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik" (QS 7: 35; 4: 128, 129;
5: 93; 16: 128). Kalimat "berbuat baaik" di sini dipandang Mir sebagai
kebajikan positif. Mustansir Mir, Dictionary of Qur'anic Terms and Concepts,
USA: Garland Reference Library of the Humanities, 1987, h. 157).
Oleh sebab itu,
dapat disimpulkan bahwa takwa itu tidak diwujudkan dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi justeru dengan
cara sebaliknya, yaitu dengan cara menjauhi larangan-larangan-Nya dan
melaksanakan perintah-perintah-Nya. Atau, dalam istilah Abduh, "dengan
cara menjauhi apa yang dilarang-Nya dan mengikuti apa yang diperintah-Nya"
(bi 'jtinabi ma nuhiya wattiba'i ma umira) (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir
Al-Manar, Juz I, h. 125).
Hakikat dan
Penggunaan Kata Takwa
Berdasarkan
pengertian takwa di atas, maka dapat dikatakan bahwa takwa itu pada hakikatnya
bersifat negatif atau merupakan sebuah kebajikan yang negatif (a negative
virtue), yang perwujudannya lebih menekankan "peninggalan
larangan" dibanding "pelaksanaan perintah." Kemudian, supaya
orang yang beriman itu dapat menjauhi larangan-Nya (dan melaksanakan perintah-Nya),
maka dapat mengambil dua bentuk. Pertama, menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat atau perbuatan-perbuatan dosa dengan
cara menjauhkan diri dari lingkungan (masyarakat) dan hal-hal yang akan
mengakibatkan dosa. Dalam bentuk "ekstrimnya," penjauhan semisal ini
mengambil bentuk "pengucilan diri dari masyarakat dan orang banyak."
Sudah tentu, realisasi takwa semacam ini tidak dapat disalahkan dikarenakan
kualitas ketakwaan, sebagaimana dikatakan Quraish Shihab, merupakan "kualitas
keimanan" (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim: Tafsir atas
Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997, h. 128). Artinya, kalau tidak begitu dia bias terkena dosa,
seperti halnya orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan yang berpenyakit
menular dapat tertulari penyakit menular tersebut. Apalagi Allah berfirman,
"bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS
al-Taghabun: 61) dan kemampuan mereka adalah dengan cara mengucilkan diri dari
masyarakat orang banyak. Oleh karena itu, cara mereka ini tidak dapat
disalahkan, meski cara ini dapat dipandang sebagai perwujudan kualitas
keimanan/ketakwaan yang masih lemah.
Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat (buruk dan jahat)
dengan cara senantiasa melatih diri menjauhi perbuatan tersebut sehingga,
dengan latihan ini, terbentuk kualitas keimanan dan rohani yang kuat. Kualitas
keimanan dan rohani seseorang yang kuat ini akan menjaga orang tersebut dari
perbuatan dosa dan maksiat sehingga orang tersebut terjaga dari kemaksiatan,
meski hidup di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan peralatan dan
fasilitas kemaksiatan. Dengan demikian, orang tersebut tidak perlu menjauhi,
apalagi mengucilkan diri dari, masyarakat. Bahkan, mereka ini adalah
orang-orang yang beriman yang senantiasa berbuat kebaikan di tengah-tengah
masyarakat. Inilah "hakikat ketakwaan" yang sebenarnya, yang menurut
Muhammad al-Ghazali (Muhammad Al-Ghazali, Nahw Tafsir Mawdhu'i li Suwar
Al-Qur'an Al-Karim, Kairo: Dar al-Syuruq, 1995, h. 17), sepadan maknanya
dengan "hakikat kebajikan" (haqiqat al-birri). Pandangan
Muhammad al-Ghazali ini berdasarkan Firman Allah: "Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS 2: 177).
Jadi,
berdasarkan ayat itu hakikat takwa sama dengan hakikat birr. Dengan kata
lain, kata takwa sinonim dengan kata birr atau hakikat ketakwaan sama
dengan hakikat kebajikan. Dalam istilah lain, seperti dikatakan Toshihiko
Izutsu, orang-orang yang memiliki cirri-ciri birr dan orang-orang yang
memiliki cirri-ciri takwa pada dasarnya adalah sama. Izutsu juga mengatakan
bahwa, dengan mengutip pendapat Ibn Taymiyah, kata takwa bila digunakan secara
"mutlak," maka maknanya sama dengan birr (dan iman).
Namun, bila digunakan secara tidak mutlak, maka makna takwa berbeda dengan
makna birr. Misalnya, dalam ayat: "dan tolong menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) birr dan takwa" (QS 5: 2). Ayat yang
menyebutkan birr dan takwa secara bersama-sama semacam ini, menurut Ibn
Taymiyah yang dinukil Izutsu, merupakan dua konsep yang berbeda satu sama lain,
yang masing-masing secara khusus digunakan sebagai syarat yang penyebutannya
secara tidak mutlak, yang diartikan dalam arti sempit atau maknanya tidak sama
dengan syarat yang lainnya. Umpamanya, ayat "in tashbiru wa tattaqu"
(QS 3: 120, 125, 186), "in tu'minu wa tattaqu" (QS 3: 179, 47:
36), "in tuhsinu wa tattaqu" (QS 4: 128) dan "in
tushlihu wa tattaqu" (QS 4: 129), maka makna takwa di sini berbeda
maknanya dengan kata sabar, iman, ihsan dan ishlah.
Di samping
bermakna berbeda, penyebutan secara iqtiranan itu menunjukkan pula bahwa
konsep takwa berkaitan dengan konsep-konsep lain, terutama dengan konsep
keimanan. Penyebutan yang terutama berkaitan dengan konsep keimanan ini --Izutsu
bahkan mengatakan bahwa semuanya berkaitan dengan konsep kunci
"iman"-- dikarenakan konsep ketakwaan, seperti kata Quraish di atas,
merupakan kualitas keimanan. Oleh karena merupakan kualitas keimanan, maka di
beberapa ayat disebutkan bahwa orang yang beriman identik dengan orang yang
bertakwa, semisal ayat: "Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan
orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal
orang-orang yang bertakwa (= beriman) itu lebih mulia daripada mereka di hari
kiamat" (QS 2: 212) dan "Orang-orang yang beriman dan mereka adalah
orang-orang yang bertakwa" (QS 10: 63, 27: 53 dan 41: 18).
Namun, di
beberapa ayat orang-orang beriman belum mencapai taraf ketakwaan sehingga
mereka inilah yang diperintah untuk bertakwa. Umpamanya, "Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman" (QS 2: 278); "Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya" (QS 3: 102); dan "Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya" (QS 5: 35).
Dalam konteks
supaya orang yang beriman bertakwa itulah orang yang beriman diperintah untuk
beribadah supaya mereka benar-benar bertakwa. Misalnya, "Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar
kamu bertakwa" (QS 2: 21) dan "Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa" (QS 2: 183). Diperintahnya orang beriman untuk
beribadah ini dikarenakan ibadah, seperti kata Abduh, akan menyampaikan orang
beriman tersebut kepada ketakwaan (Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar,
Juz I, h. 186).
Tingkatan dan
Ciri-ciri Ketakwaan
Adanya
orang-orang beriman yang telah mencapai derajat ketakwaan dan ada yang belum
benar-benar bertakwa itu menunjukkan bahwa takwa mempunyai tingkatan-tingkatan,
yang menurut Quraish Shihab sesuai dengan tingkat pengabdian dan kedekatan
seseorang kepada Allah. Quraish menyebutkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa
"iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah ketakwaan." Quraishpun
mengatakan, "Kalau takwa diibaratkan sebagai pakaian, maka jelas pakaian
bermacam ragam dan kualitasnya, demikian pula halnya dengan takwa" (M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, h. 129).
Pendapat
Quraish tentang tingkatan-tingkatan ketakwaan itu berdasarkan ayat yang
menyebutkan ciri-ciri orang bertakwa. Bila cirri-ciri orang bertakwa di ayat
133-135 Surah Ali Imran, di Surah al-Baqarah ayat 2-4 dan di Surah al-Baqarah
ayat 177 dirangkum menjadi satu, maka terdapat 14 ciri atau tanda orang
bertakwa, yaitu:
1.
Beriman
kepada Allah.
2.
Beriman
kepada malaikat-malaikat Allah.
3.
Beriman
kepada kitab-kitab Allah.
4.
Beriman
kepada rasul-rasul Allah.
5.
Beriman
kepada hari akhir.
6.
Mendirikan
shalat.
7.
Menunaikan
zakat.
8.
Menginfakkan
sebagian rizki (harta) yang dicintainya, baik di waktu lapang atau sempit,
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibn sabil (musafir) dan
peminta-minta.
9.
Mampu
menahan amarahnya (lapang dada), bahkan memaafkan orang yang melakukan
kesalahan atau kalau dapat, berbuat baik terhadap mereka.
10.
Bila
melakukan dosa dia segera sadar dan memohon ampun kepada Allah.
11.
Tidak
berkelanjutan melakukan hal-hal yang diketahuinya sebagai dosa.
12.
Memerdekakan
hamba sahaya.
13.
Menepati
janji bila berjanji.
14.
Bersabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Keindahan
dan Tujuan Takwa
Melihat 14 ciri
atau tanda ketakwaan itu dapat dipahami bahwa orang-orang yang bertakwa adalah
orang-orang yang terhiasi dengan kebajikan-kebajikan, baik kebajikan yang
bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Kebajikan negatif, sebagaimana
telah dijelaskan, adalah kebajikan yang timbul dari penghindaran diri dari larangan-larangan-Nya,
sementara kebajikan positif adalah kebajikan yang timbul dari pelaksanaan
perintah-perintah-Nya atau dari perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan demikian,
orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang bajik, orang-orang yang telah
terhiasi dengan pakaian kebajikan, yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai
pakaian takwa. Pendeknya, orang yang bertakwa adalah orang yang telah
berpakaian ketakwaan, sebuah pakaian yang terbaik yang diturunkan oleh Tuhan,
yang tidak saja berfungsi sebagai penutup aurat (keaiban, ketercelaan,
kemaksiatan), tetapi juga berfungsi sebagai keindahan (perhiasan), sebagaimana
Firman-Nya: "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian
takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat" (QS 7:
26).
Jadi,
orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang terhiasi dengan
pakaian-pakaian kebajikan (ketakwaan), sehingga yang nampak dalam diri mereka
hanyalah keindahan-keindahan ketakwaan atau pakaian ketakwaan (libas
al-taqwa). Oleh karena mereka telah terbungkus dengan pakaian ketakwaan,
maka merekapun dianugerahi oleh Allah dengan kemampuan membedakan antara yang
benar dengan yang salah, antara yang baik dengan yang buruk, atau antara yang
"kanan" dengan yang "kiri." Merekapun akan dihapus segala
kesalahannya dan diampuni segala dosanya, semisal Firman-Nya: "Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar" (QS 8:
29).
Bila segala
kesalahan dan dosa diampuni, maka otomatis akan dimasukkan ke dalam sorga.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada sorga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa" (QS 3: 133). Itulah sebabnya Allah memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya, karena Allah hanya akan memberikan
keberuntungan kepada mereka. "Dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan" (QS 3: 130). Keberuntungan yang dimaksud di
sini adalah sorga Allah Swt, seperti Firman-Nya: "Untuk orang-orang yang
bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada sorga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai)
isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah" (QS 3: 15).
Di sorga itulah
wajah mereka berseri-seri, karena cita-cita mereka untuk memperoleh nikmat
terbesar, yakni memandang wajah-Nya, dikabulkan Allah. (Menurut Imam
Al-Ghazali, memandang wajah Allah (al-nazhru ila wajhi Allah) merupakan
kenikmatan yang terbesar (a'zhamu na'im) bagi orang yang masuk sorga,
terutama bagi pecinta yang telah begitu lama merindukan-Nya bertemu dengan-Nya.
Imam Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz IV, Semarang: Toha Putera,
t.t., h. 305-307). "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat" (QS 75: 22-23). Boleh
dikata, memandang wajah Allah inilah tujuan orang masuk sorga. Oleh karena yang
masuk sorga hanya orang yang bertakwa, maka tepat sekali bila dikatakan bahwa
bisa memandang Allah itu merupakan tujuan orang-orang bertakwa. (Dalam
pandangan Al-Ghazali, tujuan masuk sorga bagi 'arif dan pecinta adalah
berjumpa kembali dengan Allah dan mendapatkan kebahagiaan karena berjumpa
dengan-Nya. Di bagian lain Al-Ghazali mengatakan bahwa kebahagiaan yang
sebenarnya di negeri akhirat (al-sa'adah fi dari al-baqa') adalah
berjumpa dengan Allah dan kesengsaraan yang sebenarnya (al-syaqawah)
adalah terhalanginya untuk bertemu dengan-Nya. Imam Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum
al-Din, Juz IV, h. 137 dan 4). Dengan kata lain, dapat
"berkumpul" dan kembali lagi kepada Allah merupakan tujuan
orang-orang bertakwa. "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya-lah kami kembali" (QS 2: 156).
Akan tetapi, di
dunia pun mereka juga memiliki tujuan, yaitu secara pribadi supaya mereka
mendapatkan jalan keluar dari segala persoalan, memperoleh rizki dari segala
arah yang tidak disangka-sangka, mendapatkan kemudahan dalam segala urusan,
dihapus segala kesalahan dan pahalanya dilipatgandakan (QS 65: 2-5). Kemudian,
secara kolektif tujuan takwa adalah supaya diberkahi Allah dari segala arah.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi" (QS 7: 91).
Pembinaan Takwa
Melihat betapa
mulia dan indahnya tujuan orang bertakwa itu, maka perlu dilakukan pembinaan
ketakwaan secara terus menrus supaya lahir pribadi-pribadi dan masyarakat
bertakwa. Caranya adalah, sesuai makna dan pengertian takwa di atas, dengan
senantiasa meginternalisasikan akan azab dan siksa-Nya yang amat dahsyat, yang
hanya bisa dihindari melalui penjauhan larangan-larangan-Nya dan pelaksanaan
perintah-perintah-Nya. Melalui cara inilah manusia dapat selamat dari azab dan
siksa-Nya.
Untuk itu,
diperlukan adanya pengetahuan tentang sebab-sebab yang menimbulkan azab dan
siksa Allah tersebut. Menurut Abduh, takut kepada azab dan siksa Allah ini,
baik siksa dunia maupun akhirat, berarti "takut" kepada
sebab-sebabnya, yakni memelihara diri dari sebab-sebab yang menimbulkan
siksa-Nya (bittiqa'i asbabih), yang meliputi dua hal, yaitu sebab
melanggar agama dan syariat-Nya (mukhalafatu dini Allahi wa syar'ihi)
serta sebab melanggar hokum-hukum-Nya atau sunah-sunah-Nya yang diberlakukan
pada ciptaan-Nya (mukhalafatu ssunanihi fi nizhami khalqihi), yng sering
disebut Sunnatullah atau hukum alam. Dalam pandangan Abduh, menjaga diri dari
siksa akhirat adalah dengan cara menjaga diri melalui keimanan yang benar (al-iman
al-shalih), tauhid yang murni, amal shalih, menjauhi kemusyrikan,
kekufuran, kemaksiatan dan kekejian. Adapun siksa dunia dijaga melalui
pengetahuan terhadap sunah-sunah Allah di dunia (alam) ini, khususnya yang
berkaitan dengan kesehatan badan dan keseimbangan ciptaan (yang berpasang-pasangan)
serta hukum sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks
itulah Abduh memberikan contoh tentang takwa yag berkaitan dengan makanan yang
baik, semisal Firman-Nya yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas" (QS 5: 87), dan haramnya khamar, seperti
Firman-Nya yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS 5: 90).
Artinya,
makanan dan minuman itu berkaitan dengan kesehatan badan sehingga orang yang
beriman harus menjaga diri dari makanan dan minuman yang tidak baik dan tidak
halal. Kemudian, minuman-minuman keras, perjudian dan kemusyrikan berkaiatn
secara langsung dengan keteraturan kehidupan sosial sehingga orang-orang
beriman diwajibkan menjauhi perbuatan-perbuatan syaitan tersebut.
Penutup
Berdasarkan
uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti kata takwa yang benar
bukanlah "takut," tetapi "menjaga dan memelihara diri,"
yakni menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik,
yang akan berakibat tidak baik pula terhadapnya, baik di dunia ini maupun di
akhirat nanti. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga
dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan
mendatangkan azab dan siksa-Nya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi,
dunia maupun akhirat.
Beranjak dari
arti dan pengertian takwa itu berarti realisasi dan pembinaan ketakwaan tidak
diawali dengan pelaksanaan perintah-perintah-Nya baru kemudian meninggalkan
larangan-larangan-Nya, tetapi justeru sebaliknya, yakni dengan mendahulukan
peninggalan larangan-larangan-Nya dibanding pelaksanaan perintah-perintah-Nya.
Jadi, pengertian dan pembinaan takwa yang benar adalah meninggalkan larangan-larangan-Nya
dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Oleh karena
itu, ketakwaan dipandang sebagai kebajikan yang bersifat negatif. Atau, hakikat
takwa adalah kebajikan negatif. Dengan demikian, orang-orang yang bertakwa
adalah yang telah terhiasi dengan kebajikan-kebajikan negatif, dan hiasan ini
adalah pakaian takwa. Adapun tujuan orang yang bertakwa ini di dunia, secara
pribadi, supaya diberi jalan keluar atas segala kesulitan, dimudahkan segala
urusan, memperoleh rizki dari arah yang tidak terduga sebelumnya, diampuni
segala kesalahan dan dosanya. Sementara itu, secara kolektif, supaya diberkahi
Allah dari segala arah langit dan bumi. Sedangkan tujuan finalnya adalah masuk
sorga dan berjumpa Allah di dalam sorga. Berjumpa kembali dengan Allah di dalam
sorga ini merupakan nikmat yang terbesar dari Allah yang dianugerahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Wallahu a'lam.
Terimakasih, sangat bermanfaat
BalasHapusTerimakasih. Jazakumullah khairal jaza'
HapusSemoga tulisan materi takwa nya menjadi amal sholeh buat penulis dan semua yang membantu menyebarkan.
BalasHapusAamiin. Terimakasih. Jazakumullah khairal jaza'
Hapus