LAPORAN
PENELITIAN:
Disusun
oleh:
Dimyati,
Dr., M.Ag.
A. Judul
Laporan
Laporan ini
berjudul, "Dzikir dan Taqarrub Ilā Allāh: Sebuah Penelitian
terhadap Pandangan Dzikir Ibn ‘Athâ’illâh
dalam Kitabnya Miftāh Al-Falāh Wa Mishbāh
Al-Arwāh.
B. Latar
Belakang Masalah
Penelitian ini dilatari:
1.
Dzikir dipandang kaum sufi
sebagai sebuah amalan yang sangat penting dalam rangka mencapai inti tujuan
tasawuf, yaitu taqarrub ilâ Allâh (mendekatkan-diri kepada Allah) atau qurb
Allâh (berdekatan dengan Allah).
2.
Di antara yang dianggap
sebagai sufi itu adalah Ibn ‘Athâ’illâh (w. 16 Jumadi
al-Akhir 709 H/21 Nopember 1309 M., kira-kira pada usia 60 tahun), seorang
pemimpin Tarekat Syâdziliyah yang ketiga setelah Syekh Abû al-Hasan
asy-Syâdzilî (w. 656 H/1258 M) dan Syekh ‘Abbâs al-Mursî (w. 686 H/1288 M).
3.
Ibn ‘Athâ’illâh itu telah
menulis sebuah kitab yang membahas secara ringkas dan menyeluruh tentang metode
dzikir sufi, yaitu kitab Miftâh
al-Falâh wa Misbâh al-Arwâh (selanjutnya
Miftâh). Kitab ini dinyatakan oleh J. Spencer Trimingham sebagai
kitab tentang dzikir yang pertama kali disusun secara sistematis.
4.
Ibn ‘Athâ’illâh mengemukakan
pendapat tentang hakikat dzikir yang cukup menarik. Ia di dalam kitabnya Miftâh
tidak mengatakan bahwa hakikat dzikir itu sebagai upaya penyucian-diri dari
segala bentuk kelalaian dan kealpaan dengan cara menghadirkan Allah di dalam
hati (hudhûr Allâh fî al-qalb), melainkan dengan cara
menghadirkan hati bersama Allah (hudhûr al-qalb ma‘a al-Haqq).
Menghadirkan hati bersama Allah inilah yang dinilai cukup menarik.
C.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Dalam kerangka apakah pandangan Ibn ‘Athâ’illâh
tentang Dzikir di dalam Kitab Miftâh?
2. Apakah makna, hakikat, dan jenis-jenis dzikir yang
dikemukakan Ibn ‘Athâ’illâh di dalam Kitab Miftâh?
3. Apakah relevansi pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang
dzikir di dalam Kitab Miftâh ini pada zaman sekarang?
D. Teori tentang Dzikir
Teori tentang dzikir yang dijadikan
landasan penelitian ini adalah:
1.
Taqarrub
kepada-Nya tidak akan "sampai" kepada-Nya tanpa adanya dzikir
kepada-Nya.
2.
Dzikir
itu tidak musti atau tidak selamanya dalam bentuk ucapan,
melainkan dapat dalam bentuk perbuatan atau dalam bentuk keadaan spiritual.
3.
Hakikat
dzikir adalah menghilangkan kelalaian (al-ghaflah) dan memperteguh
kealpaan/kelupaan (al-nisyân): Lalai dari menyebut/mengingat-Nya
(berdzikir kepada-Nya) dan melupakan segala hal selain Yang Disebut/Diingat (al-madzkûr,
Allah) dengan lisan dan hati, atau dengan perbuatan atau, bahkan, merupakan
kondisi spiritual dalam penyaksian akan Tuhan, kebersatuan batin dengan Tuhan,
dan terpenuhinya hati oleh rasa keber-Tuhan-an.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di bab-bab di atas, maka
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan di Bab I dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Pandangan
Ibn ‘Athâ’illâh tentang Dzikir di dalam Kitab Miftâh adalah dalam
rangka taqarrub ilâ Allâh. Artinya, dzikir dipandang sebagai satu-satunya sarana
mendekatkan-diri kepada Allah Swt. (taqarrub ilâ Allâh). Tanpa dzikir,
maka tidak ada taqarrub ilâ Allâh. Tanpa dzikir, maka pendekatan-diri
kepada Allah atau perjalanan sang sâlik menuju Allah tidak akan sampai
pada tujuan. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir sebagai sarana mendekatkan-diri kepada
Allah ini sejalan dengan teori tentang dzikir yang dijadikan landasan
penelitian ini, yakni pandangan bahwa taqarrub kepada-Nya tidak akan
"sampai" kepada-Nya tanpa adanya dzikir kepada-Nya.
2.
Dzikir, menurut Ibn ‘Athâ’illâh, dapat berbentuk ucapan/perkataan,
perbuatan, dan dalam bentuk diam. Dzikir dipandang Ibn
‘Athâ’illâh tidak hanya menyebut nama Allah dengan
lisan dan atau dengan hati, tapi apapun yang dilihat dan diucapkan sepanjang
hal itu mengingatkan-diri akan Allah Swt. dapat disebut dzikir. Inilah yang
disebut dzikir dalam bentuk ucapan. Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya juga termasuk dzikir. Hal ini merupakan dzikir berbentuk
perbuatan. Diamnya hati dikarenakan tidak sanggup lagi menyebut-Nya disebabkan
hati telah dikuasai-Nya, dalam pandangan Ibn ‘Athâ’illâh, termasuk pula sebagai dzikir. Bahkan, dzikir dalam bentuk
diamnya hati ini dianggap dzikir yang tertinggi oleh Ibn
‘Athâ’illâh. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang makna dan jenis-jenis dzikir ini selaras dengan teori tentang dzikir yang dijadikan titik pijak penelitian ini, yaitu
dzikir tidak musti atau tidak selamanya dalam bentuk ucapan,
melainkan dapat dalam bentuk perbuatan atau dalam bentuk keadaan spiritual.
3.
Hakikat dzikir, dalam pandangan Ibn ‘Athâ’illâh, adalah membebaskan diri dari kelalaian dan kealpaan dengan senantiasa menghadirkan
hati bersama Allah (bi dawâmi hudhûr al-qalb ma‘a al-Haqq).
Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang hakikat dzikir ini
sealur dengan teori dzikir yang dijadikan dasar penelitian ini, yaitu menghilangkan
kelalaian (al-ghaflah) dan memperteguh kealpaan/kelupaan (al-nisyân):
Lalai dari menyebut/mengingat-Nya (berdzikir kepada-Nya) dan melupakan segala
hal selain Yang Disebut/Diingat (al-madzkûr, Allah).
4.
Relevansi
pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir di dalam Kitab Miftâh
ini pada zaman sekarang, di antaranya, adalah:
a. Pandangannya mengenai dzikir sebagai
satu-satunya sarana taqarrub ilâ Allâh.
Pandangan ini dianggap masih relevan dalam konteks kekinian dikarenakan dapat
dijadikan rujukan oleh umat bahwa berdzikir itu merupakan aktivitas
pendekatan-diri kepada Allah Swt. bagi umat yang hendak berdekatan dengan-Nya.
Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh ini memperteguh
keyakinan umat bahwa hanya dengan berdzikir kepada-Nya hati akan menjadi
tenteram (QS al-Ra'du: 28). Akan tetapi, ketenteraman hati orang yang berdzikir
itu sebenarnya bukan disebabkan adanya dzikir itu sendiri melainkan dikarenakan
kedekatannya dengan-Nya. Artinya, ketika seseorang sedang berdzikir, maka pada
dasarnya dia sedang mendekatkan-diri atau berdekatan dengan-Nya. Kedekatan hati
seseorang dengan yang disebut atau diingat di dalam hatinya inilah yang membuat
hati orang itu tenteram, tenang, nyaman dan bahagia. Apalagi kalau kedekatan
dengan yang disebut atau diingat ini merupakan kedekatan atas dasar cinta.
Semakin dia dekat dengan yang disebut atau diingat, maka hatinya akan semakin
tenteram, tenang, nyaman dan bahagia. Ibarat orang yang saling mencinta,
semakin dekat dengan orang yang dicintainya, maka akan semakin tenteram dan
bahagia. Dengan demikian, orang yang dicintai merupakan sumber kebahagiaan bagi
orang yang mencintainya. Demikian pula dengan Allah. Dia (Allah) merupakan
sumber kebahagiaan, ketenteraman, ketenangan dan kenyamanan bagi hamba-Nya yang
dekat dengan-Nya atau yang mencintai-Nya. Semakin dekat dengan-Nya, maka hati
akan semakin tenteram, tenang, nyaman dan bahagia. Dalam ungkapan yang lain,
semakin dekat seorang hamba dengan Tuhannya, maka dia akan semakin terlimpahi
kasih sayang-Nya. Jadi, ketenteraman hati tatkala berdzikir kepada-Nya bukan
dikarenakan dzikir itu sendiri, tetapi disebabkan kedekatan dengan-Nya. Orang yang sedang berdzikir kepada-Nya sebenarnya dia sedang melakukan
aktivitas taqarrub kepada-Nya. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir ini, tampaknya, masih
relevan di zaman sekarang ini.
b. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang makna dzikir. Ibn ‘Athâ’illâh mengatakan bahwa berdzikir itu tidak
selamanya mengulang-ulang menyebut nama yang disebut (al-madzkûr) dalam
bentuk al-ism al-mufrâd atau al-ism al-jalâlah (= Allah) dengan
hati dan lisan, tetapi apapun yang dilihat,
diucapkan atau diperbuat sepanjang hal itu mengingatkan-diri atau
menunjukkan-diri ingat akan Allah Swt. dapat disebut dzikir. Berfikir tentang keagungan Allah, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan
ayat-ayat-Nya yang terdapat di bumi dan langit-Nya dipandang pula oleh Ibn
‘Athâ’illâh termasuk berdzikir. Melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan
menjauhi apa yang dilarang-Nya juga dipandang Ibn ‘Athâ’illâh sebagai
berdzikir. Dengan demikian, berdzikir dapat dalam bentuk khusus, tapi dapat
pula dalam bentuk umum. Dzikir dalam bentuk khusus adalah mengulang-ulang
menyebut nama-Nya, baik secara sendirian maupun secara berjamaah (dalam
majelis-majelis dzikir/wirid), baik dengan suara keras, suara rendah atau pun
secara sirr. Adapun dzikir dalam bentuk umum adalah dzikir yang tidak
mengulang-ulang menyebut nama-Nya secara langsung, tapi segala aktivitas yang
menunjukkan-diri ingat akan Dia. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh ini dianggap relevan
disebabkan dapat menjadi motivasi bagi yang banyak beraktivitas yang secara
lahiriah mungkin saja dianggap oleh sementara orang tidak termasuk berdzikir,
padahal sebenarnya dia pun sedang berdzikir.
c. Ajaran Ibn ‘Athâ’illâh mengenai
makna dan hakikat dzikir relevan
bagi sâlik dikarenakan dapat menjadi motivasi bagi sang sâlik,
sang penempuh jalan menuju Tuhan. Sang sâlik di dalam menempuh
perjalanan menuju Tuhan itu bukan sekadar upaya taqarrub ilâ Allâh,
tetapi lebih-lebih untuk membebaskan-diri dari kelalaian dan kealpaan akan Dia
dengan cara senantiasa menghadirkan hati bersama-Nya, yang merupakan hakikat
dzikir menurut Ibn ‘Athâ’illâh. Dengan demikian, kalau orang awam berdzikir
kepada-Nya untuk mendapatkan ketenangan hati, tetapi kalau sang sâlik
untuk hidup bersama-Nya, untuk hanya Dia yang diingatnya, bahkan untuk hanya
Dia yang disaksikannya. Wallâhu a'lam bi murâdih.
F. Rekomendasi
Atas dasar kesimpulan di atas, maka tiga
rekomendasi yang dapat disampaikan kali ini, yakni:
1.
Harap diadakan majelis dzikir dalam rangka membina akhlak mahasiswa.
2.
Harap dibiasakan berdzikir untuk penjagaan-diri dan perbaikan-diri.
3.
Harap dilazimkan menyebut nama-Nya supaya disebut-sebut oleh-Nya di hadapan
para malaikat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar