Kamis, 24 November 2016

Laporan Penelitian, Dzikir dan Taqarrub Ilā Allāh

LAPORAN PENELITIAN:
Disusun oleh:
Dimyati, Dr., M.Ag.
A. Judul Laporan
Laporan ini berjudul, "Dzikir dan Taqarrub Ilā Allāh: Sebuah Penelitian terhadap Pandangan Dzikir Ibn ‘Athâ’illâh  dalam Kitabnya Miftāh Al-Falāh Wa Mishbāh Al-Arwāh.
B. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatari:
1.    Dzikir dipandang kaum sufi sebagai sebuah amalan yang sangat penting dalam rangka mencapai inti tujuan tasawuf, yaitu taqarrub ilâ Allâh (mendekatkan-diri kepada Allah) atau qurb Allâh (berdekatan dengan Allah).
2.    Di antara yang dianggap sebagai sufi itu adalah Ibn ‘Athâ’illâh (w. 16 Jumadi al-Akhir 709 H/21 Nopember 1309 M., kira-kira pada usia 60 tahun), seorang pemimpin Tarekat Syâdziliyah yang ketiga setelah Syekh Abû al-Hasan asy-Syâdzilî (w. 656 H/1258 M) dan Syekh ‘Abbâs al-Mursî (w. 686 H/1288 M).
3.    Ibn ‘Athâ’illâh itu telah menulis sebuah kitab yang membahas secara ringkas dan menyeluruh tentang metode dzikir sufi, yaitu kitab Miftâh al-Falâh wa Misbâh al-Arwâh (selanjutnya Miftâh). Kitab ini dinyatakan oleh J. Spencer Trimingham sebagai kitab tentang dzikir yang pertama kali disusun secara sistematis.
4.    Ibn ‘Athâ’illâh mengemukakan pendapat tentang hakikat dzikir yang cukup menarik. Ia di dalam kitabnya Miftâh tidak mengatakan bahwa hakikat dzikir itu sebagai upaya penyucian-diri dari segala bentuk kelalaian dan kealpaan dengan cara menghadirkan Allah di dalam hati (hudhûr Allâh fî al-qalb), melainkan dengan cara menghadirkan hati bersama Allah (hudhûr al-qalb ma‘a al-Haqq). Menghadirkan hati bersama Allah inilah yang dinilai cukup menarik.
C. Rumusan Masalah
            Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1.    Dalam kerangka apakah pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang Dzikir di dalam Kitab Miftâh?
2.    Apakah makna, hakikat, dan jenis-jenis dzikir yang dikemukakan Ibn ‘Athâ’illâh di dalam Kitab Miftâh?
3.    Apakah relevansi pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir di dalam Kitab Miftâh ini pada zaman sekarang?
D. Teori tentang Dzikir
            Teori tentang dzikir yang dijadikan landasan penelitian ini adalah:
1.    Taqarrub kepada-Nya tidak akan "sampai" kepada-Nya tanpa adanya dzikir kepada-Nya.
2.    Dzikir itu tidak musti atau tidak selamanya dalam bentuk ucapan, melainkan dapat dalam bentuk perbuatan atau dalam bentuk keadaan spiritual.
3.    Hakikat dzikir adalah menghilangkan kelalaian (al-ghaflah) dan memperteguh kealpaan/kelupaan (al-nisyân): Lalai dari menyebut/mengingat-Nya (berdzikir kepada-Nya) dan melupakan segala hal selain Yang Disebut/Diingat (al-madzkûr, Allah) dengan lisan dan hati, atau dengan perbuatan atau, bahkan, merupakan kondisi spiritual dalam penyaksian akan Tuhan, kebersatuan batin dengan Tuhan, dan terpenuhinya hati oleh rasa keber-Tuhan-an.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di bab-bab di atas, maka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan di Bab I dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang Dzikir di dalam Kitab Miftâh adalah dalam rangka taqarrub ilâ Allâh. Artinya, dzikir dipandang sebagai satu-satunya sarana mendekatkan-diri kepada Allah Swt. (taqarrub ilâ Allâh). Tanpa dzikir, maka tidak ada taqarrub ilâ Allâh. Tanpa dzikir, maka pendekatan-diri kepada Allah atau perjalanan sang sâlik menuju Allah tidak akan sampai pada tujuan. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir sebagai sarana mendekatkan-diri kepada Allah ini sejalan dengan teori tentang dzikir yang dijadikan landasan penelitian ini, yakni pandangan bahwa taqarrub kepada-Nya tidak akan "sampai" kepada-Nya tanpa adanya dzikir kepada-Nya.
2.    Dzikir, menurut Ibn ‘Athâ’illâh, dapat berbentuk ucapan/perkataan, perbuatan, dan dalam bentuk diam. Dzikir dipandang Ibn ‘Athâ’illâh tidak hanya menyebut nama Allah dengan lisan dan atau dengan hati, tapi apapun yang dilihat dan diucapkan sepanjang hal itu mengingatkan-diri akan Allah Swt. dapat disebut dzikir. Inilah yang disebut dzikir dalam bentuk ucapan. Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya juga termasuk dzikir. Hal ini merupakan dzikir berbentuk perbuatan. Diamnya hati dikarenakan tidak sanggup lagi menyebut-Nya disebabkan hati telah dikuasai-Nya, dalam pandangan Ibn ‘Athâ’illâh, termasuk pula sebagai dzikir. Bahkan, dzikir dalam bentuk diamnya hati ini dianggap dzikir yang tertinggi oleh Ibn ‘Athâ’illâh. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang makna dan jenis-jenis dzikir ini selaras dengan teori tentang dzikir yang dijadikan titik pijak penelitian ini, yaitu dzikir tidak musti atau tidak selamanya dalam bentuk ucapan, melainkan dapat dalam bentuk perbuatan atau dalam bentuk keadaan spiritual.
3.    Hakikat dzikir, dalam pandangan Ibn ‘Athâ’illâh, adalah membebaskan diri dari kelalaian dan kealpaan dengan senantiasa menghadirkan hati bersama Allah (bi dawâmi hudhûr al-qalb ma‘a al-Haqq). Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang hakikat dzikir ini sealur dengan teori dzikir yang dijadikan dasar penelitian ini, yaitu menghilangkan kelalaian (al-ghaflah) dan memperteguh kealpaan/kelupaan (al-nisyân): Lalai dari menyebut/mengingat-Nya (berdzikir kepada-Nya) dan melupakan segala hal selain Yang Disebut/Diingat (al-madzkûr, Allah).
4.    Relevansi pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir di dalam Kitab Miftâh ini pada zaman sekarang, di antaranya, adalah:
a. Pandangannya mengenai dzikir sebagai satu-satunya sarana  taqarrub ilâ Allâh. Pandangan ini dianggap masih relevan dalam konteks kekinian dikarenakan dapat dijadikan rujukan oleh umat bahwa berdzikir itu merupakan aktivitas pendekatan-diri kepada Allah Swt. bagi umat yang hendak berdekatan dengan-Nya. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh ini memperteguh keyakinan umat bahwa hanya dengan berdzikir kepada-Nya hati akan menjadi tenteram (QS al-Ra'du: 28). Akan tetapi, ketenteraman hati orang yang berdzikir itu sebenarnya bukan disebabkan adanya dzikir itu sendiri melainkan dikarenakan kedekatannya dengan-Nya. Artinya, ketika seseorang sedang berdzikir, maka pada dasarnya dia sedang mendekatkan-diri atau berdekatan dengan-Nya. Kedekatan hati seseorang dengan yang disebut atau diingat di dalam hatinya inilah yang membuat hati orang itu tenteram, tenang, nyaman dan bahagia. Apalagi kalau kedekatan dengan yang disebut atau diingat ini merupakan kedekatan atas dasar cinta. Semakin dia dekat dengan yang disebut atau diingat, maka hatinya akan semakin tenteram, tenang, nyaman dan bahagia. Ibarat orang yang saling mencinta, semakin dekat dengan orang yang dicintainya, maka akan semakin tenteram dan bahagia. Dengan demikian, orang yang dicintai merupakan sumber kebahagiaan bagi orang yang mencintainya. Demikian pula dengan Allah. Dia (Allah) merupakan sumber kebahagiaan, ketenteraman, ketenangan dan kenyamanan bagi hamba-Nya yang dekat dengan-Nya atau yang mencintai-Nya. Semakin dekat dengan-Nya, maka hati akan semakin tenteram, tenang, nyaman dan bahagia. Dalam ungkapan yang lain, semakin dekat seorang hamba dengan Tuhannya, maka dia akan semakin terlimpahi kasih sayang-Nya. Jadi, ketenteraman hati tatkala berdzikir kepada-Nya bukan dikarenakan dzikir itu sendiri, tetapi disebabkan kedekatan dengan-Nya. Orang yang sedang berdzikir kepada-Nya sebenarnya dia sedang melakukan aktivitas taqarrub kepada-Nya. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang dzikir ini, tampaknya, masih relevan di zaman sekarang ini.
b. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh tentang makna dzikir. Ibn ‘Athâ’illâh mengatakan bahwa berdzikir itu tidak selamanya mengulang-ulang menyebut nama yang disebut (al-madzkûr) dalam bentuk al-ism al-mufrâd atau al-ism al-jalâlah (= Allah) dengan hati dan lisan, tetapi apapun yang dilihat, diucapkan atau diperbuat sepanjang hal itu mengingatkan-diri atau menunjukkan-diri ingat akan Allah Swt. dapat disebut dzikir. Berfikir tentang keagungan Allah, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ayat-ayat-Nya yang terdapat di bumi dan langit-Nya dipandang pula oleh Ibn ‘Athâ’illâh termasuk berdzikir. Melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya juga dipandang Ibn ‘Athâ’illâh sebagai berdzikir. Dengan demikian, berdzikir dapat dalam bentuk khusus, tapi dapat pula dalam bentuk umum. Dzikir dalam bentuk khusus adalah mengulang-ulang menyebut nama-Nya, baik secara sendirian maupun secara berjamaah (dalam majelis-majelis dzikir/wirid), baik dengan suara keras, suara rendah atau pun secara sirr. Adapun dzikir dalam bentuk umum adalah dzikir yang tidak mengulang-ulang menyebut nama-Nya secara langsung, tapi segala aktivitas yang menunjukkan-diri ingat akan Dia. Pandangan Ibn ‘Athâ’illâh ini dianggap relevan disebabkan dapat menjadi motivasi bagi yang banyak beraktivitas yang secara lahiriah mungkin saja dianggap oleh sementara orang tidak termasuk berdzikir, padahal sebenarnya dia pun sedang berdzikir.
c. Ajaran Ibn ‘Athâ’illâh mengenai makna dan hakikat dzikir relevan bagi sâlik dikarenakan dapat menjadi motivasi bagi sang sâlik, sang penempuh jalan menuju Tuhan. Sang sâlik di dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan itu bukan sekadar upaya taqarrub ilâ Allâh, tetapi lebih-lebih untuk membebaskan-diri dari kelalaian dan kealpaan akan Dia dengan cara senantiasa menghadirkan hati bersama-Nya, yang merupakan hakikat dzikir menurut Ibn ‘Athâ’illâh. Dengan demikian, kalau orang awam berdzikir kepada-Nya untuk mendapatkan ketenangan hati, tetapi kalau sang sâlik untuk hidup bersama-Nya, untuk hanya Dia yang diingatnya, bahkan untuk hanya Dia yang disaksikannya. Wallâhu a'lam bi murâdih.
F. Rekomendasi
Atas dasar kesimpulan di atas, maka tiga rekomendasi yang dapat disampaikan kali ini, yakni:
1.    Harap diadakan majelis dzikir dalam rangka membina akhlak mahasiswa.
2.    Harap dibiasakan berdzikir untuk penjagaan-diri dan perbaikan-diri.
3.    Harap dilazimkan menyebut nama-Nya supaya disebut-sebut oleh-Nya di hadapan para malaikat-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates