Kamis, 24 November 2016

FATWA ‘SESAT’ MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI): MELACAK TRADISI TAKFÎR DALAM SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM

A.    Pendahuluan
Dewasa ini masih sering terjadi suatu kelompok umat Islam yang memandang umat Islam lainnya sebagai kafir dikarenakan beda paham, beda aliran atau beda amaliahnya. Biasanya, pengkafiran (takfîr) ini terjadi dilatari adanya klaim diri bahwa dirinyalah yang benar dan orang (kelompok) lain tidak benar (telah keluar atau sesat dari jalan yang benar). Sepanjang klaim diri ini masih terjadi, apalagi kelompok pengklaim diri ini merasa memiliki kewenangan untuk menentukan benar-salahnya kelompok lain, maka pengkafiran terhadap kelompok lain tidak akan terhindarkan di sepanjang sejarah umat Islam.
Pengkafiran itu terjadi bukan hanya dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, tetapi dapat pula dari kelompok minoritas kepada kelompok mayoritas. Dalam konteks keindonesiaan, khusus berkenaan dengan pengkafiran dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dapat dilihat dari fatwa yang bernada pengkafiran atau vonis sesat-menyesatkan yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah dan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah.[1] Fatwa MUI yang bernada pengkafiran atau penyesatan inilah yang akan diteliti dalam tulisan ini, dengan perumusan masalah: Kenapa MUI mengeluarkan fatwa ‘sesat’ atau takfîr? Apakah takfîr ini dapat dilacak akar sejarahnya dalam sejarah pemikiran Islam? Kalau, dapat dilacak, apakah fatwa MUI itu sepenuhnya representasi dengan apa yang pernah terjadi di dalam sejarah pemikiran Islam?  
B.     Pengertian Fatwa, Sesat dan Takfir
Kata fatwa (fatwâ) merupakan bentuk tunggal, yang dalam bentuk jamaknya (pluralnya) adalah fatâwâ.  Istilah yang berasal dari Bahasa Arab ini sudah resmi menjadi Bahasa Indoensia, sehingga orang Indonesia sudah akrab dengan istilah fatwa ini. Dalam Kamus Bahasa Indonesia susunan Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional disebutkan bahwa fatwa adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah. Fatwa diartikan pula sebagai nasihat orang alim, pelajaran baik atau petuah.[2]
Pengertian yang diungkap dalam Kamus Bahasa Indonesia itu sejalan dengan pengertian fatwa yang disampaikan Mohammad Atho Mudzhar. Di dalam bukunya Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia Mudzhar mengatakan bahwa fatwa adalah suatu pendapat hukum Islam yang diberikan oleh seorang ahli hukum Islam sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan. Mudzhar menginformasikan pula bahwa orang yang memberikan pendapat hukum tersebut disebut sebagai seorang mufti (penasehat hukum). Lebih lanjut Mudzhar memperbandingkan sifat dari produk kedua pewenang hukum ini: fatwa weorang mufti hanya bersifat sebagai nasihat yang tidak mengikat, tetapi keputusan hukum seorang qâdhî bersifat mengikat bagi yang bersangkutan dikarenakan berhadapan dengan lembaga peradilan.[3]
Dari pengertian itu dapat dipertegas bahwa yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah agama, yang bersifat sebagai nasihat. Makna atau pengertian fatwa ini sejalan dengan pengertian fatwa yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Di dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dinyatakan bahwa fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.[4] Dengan menyatakan sebagai “jawaban atau penjelasan dari ulama,” tampaknya MUI menyadari bahwa sifat fatwa itu tidak mengikat, tidak seperti keputusan peradilan, meski oleh umat Islam kadangkala Fatwa MUI itu dianggap sebagai produk hukum yang mengikat.
Di samping itu, ditegaskan bahwa fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.[5] Artinya, kalau jawaban atau penjelasan itu diambil bukan melalui mekanisme rapat Komisi Fatwa, maka tidak dianggap sebagai fatwa MUI, meski yang memberikan jawaban atau penjelasan itu salah satu atau beberapa orang dari anggota Komisi Fatwa MUI. Kemudian, yang dimaksud MUI dalam penelitian ini adalah MUI Pusat. Dengan demikian, yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah fatwa MUI Pusat tentang suatu masalah keagamaan yang telah disepakati atau disetujui dalam rapat oleh anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, yang kemudian ditetapkan sebagai Fatwa oleh Pimpinan MUI Pusat.
Selanjutnya, arti sesat adalah tidak melalui jalan yg benar; salah jalan. Sesat diartikan pula: salah (keliru) benar; berbuat yg tidak senonoh; atau menyimpang dari kebenaran (tentang agama).[6] Istilah sesat ini kelihatannya merupakan terjemahan dari kata dhalla-yadhillu-dhalâlâ/dhalâlat dalam Bahasa Arab. Kata dhalla ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: sesat, menyimpang dari kebenaran atau menyimpang dari tuntunan agama.[7] Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah sesat dalam penelitian ini adalah menyimpang dari kebenaran agama atau dari tuntunan agama. Lebih tepatnya, menyimpang dari kebenaran agama atau dari tuntunan agama yang sebenarnya, sebagaimana istilah yang digunakan dalam Fatwa MUI di bawah nanti.
Adapun yang dimaksud dengan istilah takfîr—bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan) dari kata kaffara-yukaffiru-takfîrâ—adalah mengkufurkan, menuduh kufur atau mengkafirkan (menganggap/memandang kafir).[8] Maksud pengertian ini, seperti dikatakan Toshihiko Izutsu, adalah “mengutuk seseorang sebagai tidak percaya (kafir)” atau “mengecam seseorang sebagai kafir.”[9] Orang yang dikutuk atau dipandang sebagai kafir ini bukanlah orang non-muslim, tetapi orang beriman (muslim) yang dianggap berfaham atau beraqidah sesat, sehingga dia dipandang sebagai orang kafir.
Oleh karena itu, istilah takfir yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengkafirkan (memandang orang lain sebagai kafir) atau mengutuk seseorang sebagai kafir. Dengan demikian, dalam penelitian ini takfir sama maknanya dengan memandang sesama muslim atau sesama orang beriman sebagai kafir, orang sesat atau orang yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya ada pula yang ditetapkan ajarannya sebagai ajaran yang haram; haram bukan dalam pengertian hukum, tapi dalam pengertian aqidah. Pada kasus tertentu, orang yang dipandang sebagai sesat ini divonis pula sebagai kelompok yang “berada di luar Islam.” Bahkan, ada yang difonis sebagai murtad. Dalam penelitian ini, yang memandang sesat atau kafir adalah ulama-ulama yang bergabung di MUI atau yang berada di Komisi Fatwa MUI dan yang dipandang kafir, sesat, berada di luar Islam dan atau murtad adalah orang-orang/aliran yang merupakan kelompok minoritas yang ajarannya telah dipandang menyimpang (sesat) dari ajaran Islam yang sebenarnya.
C.     Indikator Paham atau Aliran Sesat
Dalam rangka itu, MUI menetapkan sepuluh indikator kriteria ajaran atau aliran yang sesat, yang dirumuskan di dalam Rakernas-nya di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Tahun 2007, yaitu:
1.      Mengingkari salah satu rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima.
2.      Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
3.      Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an.
4.      Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an.
5.      Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6.      Mengingkari kedudukan hadis Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam.
7.      Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8.      Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
9.      Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah dan shalat wajib tidak lima waktu.
10.  Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.[10]
Atas dasar sepuluh kriteria itu MUI akan memfatwakan sebagai kelompok aliran sesat atau kelompok di luar Islam apabila ada kelompok umat yang memiliki salah satu di antara kriteria tersebut. Apalagi terdapat beberapa kriteria di suatu kelompok tertentu. Kelompok ini, sesudah diadakan penelitian atau pengkajian mendalam dan pembahasan sesuai prosedur penetapan di MUI,[11] tentulah akan divonis sesat atau akan dinyatakan telah keluar dari Islam. Orang atau kelompok yang dinyatakan telah keluar dari Islam ini berarti dia orang murtad dan murtad berarti kafir atau, lebih dikenal dengan istilah, kafir murtad.
D.    Kedudukan dan Peran MUI
Vonis sesat MUI itu dapat dipandang sebagai perwujudan dari peran MUI itu sendiri, di samping sebagai pelanjut dari tradisi takfîr yang telah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam yang cukup awal. Di dalam Muqaddimah Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, di antaranya, dinyatakan bahwa ulama Indonesia menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiya’), pelayan umat (khadimul ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah Muhammad Saw. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sebagai waratsatul anbiya', Ulama Indonesia menyadari bahwa merupakan suatu kewajiban bersama (fardlun jama'iy) untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan terpuji. Kemudian, diungkapkan pula bahwa Ulama Indonesia menyadari peran dan fungsinya sebagai pemimpin umat yang harus lebih ditingkatkan, sehingga mampu mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan Aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan ibadat, menuntun umat dalam mengembangkan akhlakul karimah agar terwujud masyarakat yang berkualitas (khair ummah). Bila dikaitkan dengan persoalan fatwa, maka memberikan fatwa tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi MUI ini.
            Di samping berkaitan dengan peran dan fungsi MUI itu, pemberian fatwa terhadap umat juga berhubungan dengan tekad MUI untuk tidak membiarkan umat dalam kebingungan. Di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia disebutkan bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Tekad ini dilanjutkan dengan klaim MUI sebagai pengayom umat dan sebagai lembaga yang paling kompeten dan paling dipercaya. Dinyatakan di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga yang paling berkompeten bagi pemecahan dan menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.[12]
            Sejalan dengan klaimnya itu, di Bab IV yang mengatur tentang “Kewenangan dan Wilayah Fatwa” dinyatakan di Pasal 1 bahwa MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.[13] Dengan demikian, MUI berkepentingan dengan kebenaran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia. Dari sinilah MUI merasa berkewajiban mengawal atau menjaga umat agar tetap pada jalur kebenaran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan. Atas dasar inilah MUI akan selalu memberikan fatwa (jawaban atau penjelasan) di setiap ada persoalan baru yang muncul, baik yang berkenaan dengan persoalan i’tiqadi maupun syar’i, persoalan akhlak maupun hukum. Apalagi kalau persoalan keagamaan yang muncul itu berkaitan dengan masalah penyimpangan atau penyelewengan agama, maka MUI akan segera meresponnya walaupun tidak diminta.[14]
            Klaim MUI sebagai lembaga yang berkompeten dan berwenang memang mengindikasikan suatu klaim-diri bahwa paham MUI-lah yang benar atau MUI-lah yang berkompeten dan berwenang menetapkan kebenaran beragama di Indonesia. Dengan sepuluh kriteria aliran sesat yang telah diungkap di atas, maka segala bentuk paham dan praktek keagamaan yang memenuhi salah satu unsur itu tidak lagi dipandang sebagai bentuk perbedaan, tapi ditetapkan sebagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang sesat dan menyesatkan.
E.     Fatwa ‘Sesat’ MUI
Fatwa MUI yang memfonis suatu paham atau aliran kelompok tertentu sebagai sesat atau kafir itu tidak meliputi semua aspek fatwa yang pernah ditetapkan MUI, tetapi hanya fatwa yang berkaitan dengan Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan. Bila dilihat di Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diterbitkan Tahun 2010, maka Fatwa MUI dari Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2010 dibagi menjadi empat bidang, yaitu pertama, Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan (14 Fatwa); kedua, Bidang Ibadah (30 Fatwa); ketiga, Bidang Sosial dan Budaya (47 Fatwa); dan keempat, Bidang Pangan, Obat-obatan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (29 Fatwa). Di samping empat bidang Fatwa ini terdapat Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang terdiri dari Tiga Keputusan, yakni I. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia I Tahun 2003 (terdiri dari Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Tiga Masalah Keagamaan {Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah}; dan Sembilan Masalah Perundang-undangan {Masail Qanuniyyah}). II. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Kedua Tahun 2006 yang terdiri dari Empat Masail Diniyyah Asasiyyah Wathaniyyah; Tujuh Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah; dan Tujuh Masail Qanuniyyah. III. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009 yang terdiri dari Empat Masail Asasiyyah Wathaniyyah; Delapan Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah; dan Sembilan Masail Qanuniyyah. 
Fatwa-fatwa selain Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan di atas dan masalah-masalah yang menjadi Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tidak ada yang menetapkan atau ditetapkan sebagai sesat, melainkan hanya memutuskan apa yang menjadi domain hukum Islam, yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah atau halal-haram. Umpamanya, Fatwa tentang Perkawinan Beda Agama, yang dikelompokkan pada Bidang Sosial Budaya. Di dalam Fatwa yang berkenaan dengan perkara Perkawinan Beda Agama ini hanya dikatakan bahwa 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.[15] Begitu pula dengan keputusan ijtima‘ ulama komisi fatwa se-Indonesia. Misalnya, mengenai Hukum Merokok, yang digolongkan pada kelompok Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah. Berkaitan dengan Hukum Merokok diputuskan bahwa Peserta Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009 sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (khilâf mâ baina al-makrûh wa al-harâm) dan Peserta Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika dilakukan: a. di tempat umum; b. oleh anak-anak; dan c. oleh wanita hamil.[16]
Hal itu berarti, takfir atau fatwa ‘sesat’ MUI hanya berkaitan dengan bidang aqidah dan aliran keagamaan, tidak mencakup bidang-bidang yang lain, meski tidak semua fatwa yang dikelompokkan dalam bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan itu bernada penyesatan atau pengkafiran. Untuk lebih memperjelas isi Fatwa MUI Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan itu, berikut ini isi ke-14 fatwa tersebut:
1.        Masalah Jama‘ah, Khalifah dan Bai‘at. Berkenaan dengan masalah ini Fatwa MUI hanya memberikan kesimpulan tentang pengertian jama’ah, khalifah dan bai’at serta mengenai Jama’ah Muslimin Hizbullah tanpa memberikan ketetapan atau keputusan hukum.[17]
2.        Islam Jama‘ah. Berkaitan dengan masalah ini Dewan Pimpinan MUI pada amar Memperhatikan poin 1 menyatakan bahwa faham Islam Jama’ah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 70-an. Karena ajarannya sesat dan menyesatkan serta menimbulkan keresahan di masyarakat, faham ini dilarang oleh pemerintah pada tahun 1971. Larangan pemerintah tersebut tidak diacuhkan. Mereka terus beroperasi dengan berbagai nama yang terus berubah hingga memuncak pada sekitar 1977-1978. Kemudian, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Memutuskan dan Menyatakan: 1. Bahwa ajaran Islam Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu memancing-memancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan Negara. 2. Menyerukan agar umat Islam berusaha mengindahkan saudara-saudara kita yang tersesat itu untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar niat dan keinginan menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam sebagai agamanya dari kemurkaan Allah SWT.[18]
3.        Ahmadiyah Qadiyan. Berkaitan dengan persoalan ini MUI dalam Musyawarah Nasional II pada Tahun 1980 yang diselenggarakan di Jakarta memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.[19]
4.        Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil. Dalam hal ini MUI memutuskan dan memfatwakan bahwa setiap usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus menerus.[20]
5.        Perkawinan Campuran. Terhadap persoalan ini MUI di dalam Musyawarah Nasional II pada Tahun 1980 di Jakarta memutuskan dan menfatwakan bahwa 1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya. 2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI menfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.[21]
6.        Faham Syiah. Mengenai Faham Syiah ini MUI dalam Rapat Kerja Nasional Tahun 1984 hanya merekomendasikan adanya perbedaan-perbedaan pokok antara faham Syi’ah dan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan), sehingga MUI menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Sunni agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.[22] Dalam Fatwa ini tampak tidak adanya pernyataan penyesatan atau pengkafiran terhadap Faham Syi’ah.
7.        Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul. Terhadap persoalan ini MUI memutuskan dan menfatwakan bahwa 1. Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber hukum syari’at Islam adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. 2. Kepada mereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat. 3. Menyerukan kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu. 4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat. 5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai Hadits Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syari’at Islam.[23]
8.        Darul Arqam. Fatwa MUI tentang Darul Arqam ini pada intinya menyatakan bahwa Ajaran Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari Aqidah Islamiyah. Selanjutnya, kepada Umat Islam yang sudah terlanjur mengikuti ajaran tersebut agar segera kembali kepada ajaran Islam yang benar, ajaran yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam amar keputusan dan ketetapan fatwa ini tidak terdapat klausul sesat dan menyesatkan, tetapi di awal tulisan tentang fatwa ini dinyatakan bahwa dalam Silaturrahmi Nasional pada tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru diperoleh kesepakatan, di antaranya, Darul Arqam yang inti ajarannya Aurad Muhammadiyah adalah faham yang menyimpang dari Aqidah Islam serta faham yang sesat menyesatkan.[24] Dengan demikian, dapat difahami bahwa ajaran Darul Arqam dalam fatwa ini dinyatakan sebagai faham yang bukan saja menyimpang dari Aqidah Islamiyah, tetapi juga sesat menyesatkan.
9.        Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia. Fatwa ini memutuskan dan memfatwakan bahwa Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Menurut MUI, tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan meyesatkan. Selanjutnya, Fatwa ini diakhiri dengan empat poin himbauan, satu dia antaranya, kepada: Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadis.[25]
10.    Terorisme. Keputusan dan Penetapan Fatwa tentang Terorisme ini mencakup, pertama, Ketentuan Umum, yang menjelaskan tentang pengertian Terorisme dan Jihad serta perbedaan di antara keduanya; Kedua, Hukum Melakukan Teror dan Jihad, dan Ketiga, Bom Bunuh Diri dan ‘Amaliyah al-Istisyhad. Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa 1. Hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara. 2. Hukum melakukan jihad adalah wajib.[26]
11.    Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah). Fatwa MUI mengenai Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah) ini sebagai berikut: 1. Segala bentuk praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya Haram. 2. Mempublikasikan praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) dalam bentuk apapun hukumnya Haram. 3. Memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya haram.[27]
12.    Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama. Berkenaan dengan masalah ini MUI memutuskan dan menetapkan dua ketentuan sebagai berikut, Pertama: Ketentuan Umum. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. 3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. 4. Sekularisme agama adalah  memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Kedua: Ketentuan Hukum. 1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama. 3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. 4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Setelah memutuskan dan menetapkan dengan kedua ketentuan ini MUI juga memberikan penjelasan tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama tersebut.[28]
13.    Aliran Ahmadiyah. Mengenai Aliran Ahmadiyah, Fatwa MUI yang merupakan hasil dari Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 ini memutuskan dan menetapkan 1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Tampaknya, untuk memperkuat atau mempertegas Fatwanya ini MUI memberikan penjelasan tentang Aliran Ahmadiyah dengan penjelasan yang cukup panjang, yaitu sebanyak 12 halaman, satu-satunya Fatwa yang diberikan penjelasan paling panjang.[29]
14.    Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Tentang Aliran ini MUI memutuskan dan menetapkan bahwa Pertama: Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara lain: 1. Adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasul Allah”, 2. Adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, 3. Belum mewajibkan shalat, puasa dan haji, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua: Ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam); Ketiga: Bagi mereka yang telanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-haqq). Ajaran aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. Kelima: Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fatwa ini ditanda tangani pada tanggal 03 Oktober 2007 oleh Dr. KH. M. Anwar Ibrahim sebagai Ketua dan Drs. H. Hasanuddin, M.Ag sebagai Sekretaris.[30]
Dari keempat belas Fatwa tentang Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan di atas dapat dipilah menjadi Lima Kategori Fatwa. Pertama, Fatwa yang menggunakan kalimat Memutuskan dan Menetapkan, yaitu Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul (Fatwa ke-7), Darul Arqam (Fatwa ke-8), Terorisme (Fatwa ke-10), Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah) (Fatwa ke-11), Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama (Fatwa ke-12), Aliran Ahmadiyah (Fatwa ke-13), dan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah (Fatwa ke-14). Dari ketujuh Fatwa ini yang dinyatakan sebagai haram adalah Fatwa ke-10 tentang Terorisme, Fatwa ke-11 mengenai Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah), dan Fatwa ke-12 mengenai Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama. Fatwa yang ke-12 ini dinyatakan pula sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam; yang dinyatakan sesat menyesatkan dan berada di luar Islam ialah Fatwa ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul, Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah, dan Fatwa ke-14 mengenai Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Fatwa ke-13 dan ke-14 ini juga menyatakan bahwa pengikutnya sebagai murtad (keluar dari Islam); dan satu fatwa yang dinyatakan menyimpang dari Aqidah Islamiyah dan sesat menyesatkan adalah Fatwa ke-8 tentang Darul Arqam).
Kedua, Fatwa yang menggunakan kalimat memutuskan dan menfatwakan, yakni Fatwa ke-4 mengenai Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil, Fatwa ke-5 tentang Perkawinan Campuran, dan Fatwa ke-9 tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia. Dari ketiga Fatwa ini yang dinyatakan sebagai merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama adalah Fatwa ke-4, sebagai haram adalah Fatwa ke-5, dan yang dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis serta dipandang sesat dan menyesatkan adalah Fatwa ke-9.
Ketiga, Fatwa yang langsung menggunakan kalimat Menfatwakan dan Menyerukan, yaitu Fatwa ke-3. Fatwa mengenai Ahmadiyah Qadiyan ini dinyatakan sebagai jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Keempat, Fatwa yang menggunakan kalimat Memutuskan dan Menyatakan, yakni Fatwa ke-2. Fatwa tentang Islam Jama’ah ini dinyatakan sebagai ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan pengikutnya dianggap tersesat. Kelima, Fatwa yang bersifat hanya menjelaskan, yaitu Fatwa ke-1 tentang Masalah Jama’ah, Khalifah dan Bai’at dan Fatwa ke-6 mengenai Faham Syi’ah. Berkenaan dengan Faham Syi’ah ini hanya dinyatakan adanya perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya tentang Imamah (pemerintahan), yang dilanjutkan himbauan supaya umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.
Itulah lima kategori yang dapat diklasifikasikan terhadap keempat belas Fatwa Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan di atas. Hanya sayangnya, MUI tidak menjelaskan alasan yang mendasari penggunaan kalimat yang berbeda-beda itu. MUI, misalnya, tidak menjelaskan kenapa suatu Fatwa menggunakan kategori “Memutuskan dan Menetapkan,” sementara yang lain menggunakan kalimat “Memutuskan dan Menfatwakan.”
Dari keempat belas Fatwa itu dapat digeneralisir bahwa Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan yang dinyatakan sebagai sesat dan menyesatkan atau pengikutnya dianggap tersesat sebanyak Tujuh Fatwa, yaitu Fatwa ke-2, Fatwa ke-3, Fatwa ke-7, Fatwa ke-8, Fatwa ke-9, Fatwa ke-13, dan Fatwa ke-14 (Fatwa ke-13 dan ke-14 ini juga menyatakan bahwa pengikutnya sebagai murtad). Untuk lebih jelasnya, sifat Keempat Belas Fatwa tersebut sebagaimana tabel berikut:
No.
Fatwa ke-
Kalimat yang Digunakan
Pernyataan yang Dinyatakan
Fatwa ke-
1
10, 11, 12, 7, 8, 13, 14,
Memutuskan dan Menetapkan
Haram
10, 11, 12
Bertentangan dengan ajaran agama Islam
12
Sesat dan Menyesatkan
7, 8, 13, 14
Berada di luar Islam
7, 13, 14
Pengikutnya murtad
13, 14
Menyimpang dari Aqidah Islamiyah
8
2
4, 5, 9
Memutuskan dan Menfatwakan
Haram
5
Sesat dan Menyesatkan
9
Merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama
4
3
3
Menfatwakan dan Menyerukan
Sesat dan Menyesatkan
3
Jama’ah di luar Islam
4
2
Memutuskan dan Menyatakan
Menyimpang dan Tersesat
2
5
1, 6
Menjelaskan
Penjelasan
1, 6
Berdasarkan tabel itu jelaslah bahwa dari Keempat Belas Fatwa itu yang dinyatakan “sesat dan menyesatkan atau dinyatakan menyimpang dan pengikutnya tersesat” sebanyak Tujuh Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 13, 14). Empat Fatwa di antara Tujuh Fatwa ini menyatakan pula “berada di luar Islam” (3, 7, 13, 14), dan dari Tiga Fatwa ini Dua Fatwa (13, 14) juga menyatakan “pengikutnya sebagai murtad.” Kemudian, Empat Fatwa (5, 10, 11, 12) menyatakan “haram,” Satu Fatwa (4) menyatakan “merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama,” dan Dua Fatwa (1, 6) berupa penjelasan. Dari Keempat Belas Fatwa ini Delapan Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 12, 13, 14) yang diteliti dalam penelitian ini. Tujuh Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 13, 14) diteliti disebabkan ketujuh fatwa inilah yang secara langsung menfatwakan “sesat-menyesatkan.” Apalagi, Empat Fatwa (3, 7, 13, 14) menfatwakan pula “berada di luar Islam” dan Dua Fatwa (13, 14) juga menyatakan “pengikutnya sebagai murtad.” Bila diidentifikasi, sebagaimana pengelompokan bidang fatwa yang dilakukan MUI, maka dari kedelapan fatwa semuanya merupakan bidang aqidah (teologi), tidak ada bidang di luar aqidah (teologi).
Indikator kesesatan ketujuh Fatwa itu dapat dilihat lebih lanjut dengan melacak akar tradisi pemikiran ketujuh kelompok yang dipandang sesat oleh MUI tersebut.
15.    Islam Jama‘ah
Berkenaan dengan masalah Islam Jamaah ini, di dalam Ensiklopedi Islam dikatakan sebagai salah satu aliran keagamaan dalam Islam yang oleh sebagian umat Islam di Indonesia dianggap sebagai kelompok sempalan yang eksklusif, yang sejak tahun 1971 dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung RI.[31] Sejalan dengan larangan ini, bahkan salah satunya atas dasar larangan ini, Dewan Pimpinan MUI, sebagaimana telah disinggung di Bab II, memfatwakan Islam Jamaah sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan, mengganggu kestabilan Negara serta sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya (Islam yang murni). Lebih jelasnya, Keputusan dan Pernyataan Fatwa tentang Islam Jamaah ini, yang tampak pula adanya himbauan, sebagai berikut:
1.    Bahwa ajaran Islam Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu memancing-mancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan Negara.
2.    Menyerukan agar umat Islam berusaha mengindahkan saudara-saudara kita yang tersesat itu untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar niat dan keinginan menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam sebagai agamanya dari kemurkaan Allah SWT.
3.    Agar uma Islam lebih meningkatkan kegiatan dakwah Islamiah melalui media pengajian atau media lainnya, terutama terhadap para remaja, pemuda, pelajar, seniman, dan lain-lain, yang sedang haus terhadap siraman agama Islam yang murni terutama kepada calon-calon pengikut Islam Jama’ah dalam tahap pertama, dengan metode atau cara-cara penyampaian yang lebih sesuai dengan umat yang dihadapi.
4.    Agar segera melaporkan kepada Kejaksaan setempat dengan memberikan bukti-bukti yang cukup lengkap manakala gerakan atau kegiatan Islam Jama’ah (atau apapun nama lain yang dipakainya) sampai menimbulkan keresahan dan kegoncangan rumah tangga dan masyarakat.
            Adapun yang menjadi alasan diputuskannya Fatwa mengenai Islam Jama’ah tersebut dapat dilihat dari amar Memperhatikan yang terdiri dari tiga poin, yakni:
1.    Bahwa faham Islam Jama’ah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 70-an. Karena ajarannya sesat dan menyesatkan serta menimbulkan keresahan di masyarakat, faham ini dilarang oleh pemerintah pada tahun 1971. Larangan pemerintah tersebut tidak diacuhkan. Mereka terus beroperasi dengan berbagai nama yang terus berubah hingga memuncak pada sekitar 1977-1978.
2.    Faham ini menganggap bahwa umat Islam yang tidak termasuk Islam Jama’ah adalah termasuk 72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam harus mengangkat “Amirul Mukminin” yang menjadi pusat pimpinan dan harus mentaatinya, umat Islam yang masuk golongan ini harus dibai’at dan setia kepada “Amirul Mukminin” dan dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti hanya ajaran Islam yang bersumber dari “Amirul Mukminin”.
3.    Pengikut aliran ini harus memutuskan hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri, tidak sah shalat di belakang orang yang bukan Islam Jama’ah, pakaian shalat pengikut Islam Jama’ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan pengikutnya harus disucikan, suami harus mengusahakan agar isterinya turut masuk golongan Islam Jama’ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus diputuskan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh “Amirul Mukminin”, dan khutbah yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab.[32]
Dari paparan ketiga poin amar Memperhatikan itu dapat dilacak presedennya dalam Sejarah Pemikiran Islam. Untuk melihat hal ini dapat dilihat dari kata-kata, istilah-istilah atau kalimat yang diungkap dalam amar Memperhatikan tersebut. Penelitian ini tidak berkepentingan untuk menguji validasi kalimat yang digunakan dalam Fatwa ini benar-tidaknya atau sesuai-tidaknya dengan doktrin yang sebenarnya mengenai ajaran Islam Jama’ah, tetapi hanya ingin melacak akar Fatwa MUI itu dalam Sejarah Pemikiran Islam, yakni melacak kesamaan Fatwa MUI itu dengan apa yang pernah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam.
Tampaknya, kata, istilah atau kalimat dalam amar Memperhatikan itu yang menunjukkan adanya kesamaan bukanlah yang tertera di poin kesatu, tapi yang tertera di poin kedua dan ketiga. Pada poin kedua dikatakan bahwa umat Islam yang tidak termasuk Islam Jama’ah adalah termasuk 72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam harus mengangkat Amirul Mukminin yang menjadi pusat pimpinan dan harus mentaatinya, umat Islam yang masuk golongan ini harus dibai’at dan setia kepada Amirul Mukminin dan dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti hanya ajaran Islam yang bersumber dari Amirul Mukminin. Bila dilihat dari poin ini, maka Islam Jama’ah sama dengan kaum Khawârij, kaum minoritas yang melakukan takfîr terhadap kelompok mayoritas. Sebagaimana telah diungkap di Bab III, kaum Khawârij, khususnya golongan al-Azâriqah, adalah kaum yang menganggap hanya kelompoknya sebagai kelompok yang benar, sementara kelompok umat di luar kelompok mereka dianggap sebagai kelompok yang salah; hanya kelompoknya yang dipandang merupakan muslim yang sebenarnya, sedangkan kelompok umat di luar mereka dianggap kafir, murtad, bahkan musyrik; hanya kelompok mereka yang dipandang akan masuk surga dan kekal di dalamnya, sementara kelompok orang beriman di luar mereka akan kekal di dalam neraka.[33] Adapun tentang pengangkatan, ketaatan, dan kesetiaan terhadap Amirul Mukminin serta pembai’atan terhadap anggota tidak ada bedanya dengan kaum Khawârij, meski dalam persoalan ketaatan dan pembai’atan ini bukan milik khas kaum Khawârij belaka, di dunia tarekatpun diterapkan, tetapi hanya kepada Amirul Mukiminin mereka dan jaminan masuk surga merupakan ciri khas kaum Khawârij. Termasuk yang merupakan ciri khas Khawârij adalah pernyataannya bahwa ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti oleh mereka hanyalah ajaran Islam yang bersumber dari Amirul Mukminin mereka. Bagi mayoritas umat, ajaran Islam yang sah dan wajib diikuti adalah yang bersumber dari Allah (al-Qur’an) dan dari Rasul-Nya (al-Sunnah), sedangkan yang bersumber dari Amirul Mukminin—termasuk di dalamnya dari al-Khulafâ’ al-Râsyidûn—dianjurkan diikuti, tetapi tidak boleh tertuju hanya pada satu figur, melainkan kesemua figur[34] dan yang sudah merupakan kesepakatan (ijma’) sahabat wajib diikuti.[35]
Tidak berbeda dengan poin kedua yang pahamnya dapat dilacak pada kaum Khawârij, demikian pula dengan poin yang ketiga. Pernyataan bahwa “pengikut aliran ini harus memutuskan hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri,” sama dengan kaum Khawârij golongan al-Azâriqah yang mewajibkan anggotanya berhijrah dengan mereka ke daerah kekuasaan mereka, dan kalau tidak mau berhijrah bersama mereka, walau sepaham dengan mereka, tetap dianggap sebagai orang kafir di luar kelompok mereka yang halal darahnya; pandangan bahwa “tidak sah shalat di belakang orang yang bukan Islam Jama’ah” sama dengan pandangan kaum Khawârij bahwa orang beriman di luar mereka adalah kafir, sehingga shalat di belakang orang kafir (= orang beriman di luar kelompok mereka) tidaklah sah; anggapan bahwa “pakaian shalat pengikut Islam Jama’ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan pengikutnya harus disucikan” tidak berbeda dengan kaum Khawârij Golongan al-Azâriqah yang memandang orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai musyrik, dan orang musyrik itu najis, sehingga pakaian yang tersentuh orang najis harus disucikan; pendirian bahwa “suami harus mengusahakan agar isterinya turut masuk golongan Islam Jama’ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus diputuskan” tidak berbeda dengan kewajiban berhijrahnya kaum Khawârij; dan pendirian bahwa “perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh Amirul Mukminin” merupakan ciri khas Khawârij, sedangkan ajaran bahwa “khutbah yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab,” dalam arti seluruhnya dengan bahasa Arab, sebenarnya merupakan khilafiyyah,[36] tetapi menyalahkan pihak lain dan merasa hanya dirinya yang benar merupakan tradisi Khawârij.
Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Islam Jama’ah ini sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kesesatan dalam hal keyakinan dan atau aqidah ini biasanya disebabkan melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Akibatnya, merasa benar sendiri dan menuduh kelompok lain sebagai pihak yang salah. Bahkan, bukan saja memandang umat di luar kelompok mereka sebagai pihak yang salah, tetapi juga dituduh kafir. Hal ini berarti, mereka mengkafirkan sesama bukan atas dasar dalil syar’i, tetapi semata-mata dikarenakan tidak termasuk kelompok mereka. Dengan demikian, terdapat tiga indikator kesesatan mereka, yakni meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
16.              Ahmadiyah Qadiyan dan Aliran Ahmadiyah
Persolan Ahmadiyah Qadiyan yang merupakan Fatwa ke-3 dalam penelitian ini dikaitkan secara langsung Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah dikarenakan kedua Fatwa ini berkaitan erat, bahkan boleh dikata, berisi mengenai masalah yang sama. Berkaitan dengan persoalan Ahmadiyah Qadiyan, MUI dalam Musyawarah Nasional II pada Tahun 1980 yang diselenggarakan di Jakarta memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. MUI kemudian menyerukan: a. Agar MUI, MUI Daerah Tingkat I dan II, para ulama dan da’i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam; b. Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar; dan c. Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu.[37]
Adapun tentang Aliran Ahmadiyah, Fatwa MUI yang merupakan hasil dari Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 ini memutuskan dan menetapkan 1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.[38]
Berbeda dengan Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan yang tidak diberikan penjelasan, Fatwa mengenai Aliran Ahmadiyah Dewan Pimpinan MUI memberikan penjelasan dengan penjelasan yang cukup panjang, yaitu sebanyak 12 halaman, satu-satunya Fatwa yang diberikan penjelasan paling panjang.[39] Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan tidak menjelaskan hal-hal yang membuat Ahmadiyah difatwakan sebagai jama’ah di luar Islam yang sesat dan menyesatkan. Artinya, di mana letak kesesatannya tidak diungkap di dalam fatwa ini. Dewan Pimpinan MUI hanya menginformasikan bahwa sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah, MUI menfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Akan tetapi, karena Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah bersifat penegasan kembali Fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam), maka alasan-alasan yang melatari dikeluarkan, disesatkan dan dimurtadkannya (orang) Ahmadiyah pastilah tidak berbeda di antara Dua Fatwa ini. Apalagi MUI memberikan penjelasan yang cukup panjang, sehingga faktor-faktor itu dapat diketahui dengan jelas.
Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa ada tiga point yang harus digaris-bawahi dengan fatwa tersebut:
1.      Aliran Ahmadiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2.      Dengan adanya hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadis (alruju’ ila al-haqq).
3.      Pelaksanaan butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah di wilayah negara Republik Indonesia harus dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait, karena yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi adalah Pemerintah selaku ulil amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang merugikan pihak lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihak-pihak, hal-hal atau kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI ini.[40]
Setelah itu, MUI menjelaskan bahwa seluruh fatwa MUNAS VII MUI, termasuk di dalamnya fatwa tentang Aliran Ahmadiyah, dijaring dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat dalam berbagai forum, seperti Rakorda, Rakernas, Musda, dan berbagai surat serta e-mail yang diterima oleh MUI. Diinformasikan bahwa fatwa tentang Aliran Ahmadiyah diputuskan setelah terlebih dahulu dilakukan studi yang mendalam atas ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menggunakan pendekatan historis dan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan cara menelusuri sejarah Ahmadiyah, mengkaji kitab-kitab dan tulisan karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh Ahmadiyah serta mengkaji dua kelompok Ahmadiyah dan ajarannya masing-masing dengan merujuk langsung berbagai literatur asli terbitan mereka.
Selain itu, dilakukan pula kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Aqwal Ulama serta keputusan-keputusan fatwa ulama di dunia Islam. Mengenai fatwa ulama-ulama di dunia Islam MUI menyebut para ulama Pakistan dan India yang telah bersepakat menghukumi kafir kepada Mirza Ghulam Ahmad serta kedua kelompok pengikutnya sejak 70 tahun yang lalu. Di Pakistan, sejak tahun 1984 Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas nonmuslim, seperti Kristen dan Hindu. MUI juga mengatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah dilakukan pula oleh berbagai negara/pemerintahan muslim seperti Malaysia, Brunei, Saudi Arabia dan berbagai negara Islam lainnya. Kemudian, diinformasikan bahwa para ulama dari berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144 organisasi Islam dan yang tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di Mekkah al-Mukarromah pada tahun 1973 secara bulat (ijma’) juga menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10 April 1974, di bawah anjuran Rabithah ‘Alam Islami, merekomendasikan antara lain: (1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif; (2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam; (3) Memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka; (4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam. Berikutnya, MUI menyatakan bahwa kekufuran Ahmadiyah juga telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, melalui keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M. Dalam fatwa tersebut dinyatakan :
“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat diasendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW”.[41]
MUI mengatakan bahwa fatwa serupa itu juga telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga fatwa/ulama di berbagai negara Islam. Di Mesir, misalnya, Majma’ al-Buhuts juga telah menetapkan fatwa kafir terhadap Ahmadiyah.
Di samping itu, MUI menyatakan bahwa di Indonesia bukan saja MUI yang melakukan pengkufuran terhadap Ahmadiyah, tetapi juga berbagai ormas di Indonesia, semisal NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia, Syarikat Islam (SI), al-Irsyad al-Islamiyah, ICMI, YPI al-Azhar, Front Pembela Islam (FPI), Front Perjuangan Islam Solo, Majelis Mujahidin Indonesia, Hidayatullah, al-Ittihadiyah, PERTI, FUUI, al-Washliyah, dan Ormas Islam lainnya di seluruh Indonesia (terlampir). Selain itu, dukungan atas Fatwa MUNAS MUI ini juga disampaikan oleh kyai-kyai Pengasuh Pondok Pesantren di Jawa, Madura dan Sumatra. Akhirnya, MUI berkesimpulan bahwa fatwa tentang kekufuran Aliran Ahmadiyah bukan saja dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja, tetapi sudah menjadi Ijma’ al-Majami’ (kesepakatan bulat forum-forum Ulama) di dunia Islam.[42]
Di dalam penjelasannya tersebut MUI juga menyatakan bahwa bukan saja Aliran Ahmadiyah Qadiyan yang merupakan jama'ah di luar Islam dan sesat-menyesatkan, tetapi Ahmadiyah Lahore pun sama. MUI beralasan bahwa kedua kelompok ini meski berbeda dalam beberapa hal, tetapi mereka sepakat pada hal-hal berikut:
1.    Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud, sebagaimana diberitakan Nabi Muhammad Saw.
2.    Bahwa pada Mirza Ghulam Ahmad diturunkan wahyu, yang wajib dibenarkan dan diikuti oleh seluruh manusia.
3.    Bahwa kedua kelompok ini sesungguhnya memilki “konsep kenabian” Mirza Ghulam Ahmad, meski penjelasannya berbeda.
4.    Bahwa apa yang didakwahkan, diucapkan, dan ditulis dalam semua karya dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebuah kebenaran.
5.    Bahwa mereka yang mendustakan atau menginkari dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.[43]
Oleh karena itulah MUI menetapkan fatwa bahwa Aliran Ahmadiyah, baik Qodiyani ataupun Lahore, sebagai keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. MUI menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak lebih dari orang-orang yang mengaku sebagai nabi dengan cara mena’wil ma’na nubuwwah dan risalah, sebagaimana Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-‘Unsa dan Thalaihah bin Khuwailid yang diperangi para sahabat Nabi Saw.[44]
Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Aliran Ahmadiyah, baik Qadiyan maupun Lahore, sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an; melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Dengan demikian, terdapat lima indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah yang, menurut Ali Mustafa Yaqub, merupakan produk kolonialis Inggris dan gerakan benalu dalam Islam ini.[45]
17.    Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul
Berkaitan dengan Fatwa ke-7 ini MUI memutuskan dan menfatwakan bahwa 1. Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber hukum syari’at Islam, adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. 2. Kepada mereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat. 3. Menyerukan kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu. 4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat. 5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syari’at Islam.[46]
Sebelum memutuskan dan menetapkan Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul tersebut MUI menyatakan bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. merupakan sumber Syari’at Islam. MUI mendasarkan pandangannya ini pada ayat-ayat al-Qur’an (di antaranya: Al-Hasyr: 7, an-Nisa’: 59, 65, 80, 105 dan 150-151, Ali Imran: 31-32, dan an-Nahl: 44), hadis-hadis Rasulullah, dan Ijma’ para sahabat Rasulullah, baik selama hayatnya maupun setelah wafatnya. Di samping menyatakan bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syari’at Islam, MUI juga mengatakan bahwa adanya aliran tersebut di tengah-tengah masyarakat akan menodai murninya agama Islam dan menimbulkan keresahan di kalangan Umat Islam, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas/ketahanan nasional. Dua hal inilah yang mendasari atau melatari lahirnya Fatwa ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul. MUI tidak menambahkan penjelasan mengenai fatwa ini.
            Bila dilihat dari perspektif Sejarah Pemikiran Islam, maka sebelumnya telah ada kelompok yang menolak Sunnah/Hadis Rasulullah sebagai sumber Syari’at Islam. Fazlur Rahman,[47] misalnya, menyebutkan telah adanya oposisi zaman klasik terhadap hadis (bukan sunnah), meski bukan dalam pengertian penolakan hadis secara keseluruhan, yaitu kaum Hanafiyah menolak hadis yang tidak mutawatir; kaum Mâlikiyah menolak hadis ahad dan lebih berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah;[48] dan kaum Mu‘tazilah menolak hadis-hadis yang bertentangan dengan akal, khususnya hadis-hadis tentang antropomorfisme.[49] Penolakan zaman klasik ini, barangkali, menjadi cikal-bakal adanya kelompok inkâr al-hadîts dan inkâr al-sunnah. Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M), menurut Rahman, yang awalnya mendesak untuk membedakan antara hadis yang asli dan yang tidak asli, pada akhirnya sama seperti rekannya, Charagh ‘Ali, menolak hadis. Dalam pandangan Rahman, sikap ini telah meninggalkan warisan yang permanen di anak benua India, di mana sekelompok umat telah muncul dengan menamakan diri mereka sebagai ahl al-Qur’an dan mereka menolak hadis secara keseluruhan.[50]
            Dari informasi itu menunjukkan bahwa umat yang menolak hadis itu, pada dasarnya, tidak seragam. Umumnya, orang-orang yang menolak hadis/sunnah dikelompokkan menjadi tiga kelompok, sesuai dengan sikap mereka terhadap hadis/sunnah. Pertama, kelompok yang menolak seluruh hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah atau sebagai sumber kedua ajaran Islam. Bagi kelompok ini, satu-satunya sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an. Kelompok ini sudah eksis di zaman Imam Syâfi‘î. Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah Saw. yang kandungannya tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, baik secara implisit maupun eksplisit. Penolakan kelompok ini menunjukkan bahwa hadis tidak memiliki otoritas untuk menentukan hukum baru di luar yang ditentukan al-Qur’an. Kelompok kedua ini, sebagaimana kelompok pertama, sudah eksis di zaman Imam Syâfi‘î. Ketiga, kelompok yang tidak bersedia menerima hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah kecuali hadis yang mutawatir. Mereka ini menolak hadis-hadis âhâd sebagai hujah, meski di antara hadis-hadis âhâd ini ada yang memenuhi syarat-syarat sahih. Kelompok ketiga inipun telah muncul di zaman Imam Syâfi‘î (Imam yang dikukuhkan sebagai nashr al-sunnah, pembela al-Sunnah).[51] Argumen-argumen ketiga kelompok inkarsunah ini disanggah Imam Syâfi‘î dan sanggahan Imam Syâfi‘î terhadap kelompok inkarsunah ini telah berhasil membendung gerakan mereka (gerakan inkarsunah) untuk kurun waktu yang cukup panjang, sebab sejak saat itu tidak ada lagi catatan dalam sejarah pemikiran Islam akan adanya gerakan inkarsunah, kecuali di akhir abad ke-19 dan di abad ke-20 gerakan itu muncul kembali.[52]
            Peran Imam Syâfi‘î sebagai pembela Sunnah itu diakui oleh Ali Mustafa Yaqub. Namun, Yaqub menunjukkan lebih jauh tengang cikal-bakal munculnya paham inkarsunnah ini. Menurut Yaqub, cikal-bakal munculnya paham inkarsunnah ini berawal dari adanya individu sahabat, di antaranya Umayyah bin ‘Abdullah bin Khalid (w. 87 H) yang merupakan kemenakan ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 74 H), yang tidak peduli terhadap hadis. Akan tetapi, individu sahabat ini akan segera sadar akan kekeliruannya setelah disadarkan oleh sahabat lainnya. Kemudian, Yaqub menunjukkan bahwa gejala inkarsunah ini pada akhir abad kedua hijri terjadi di Iraq, khususnya Basrah. Sebagaimana telah disebutkan, berkat pembelaan Imam Syâfi‘î kelompok inkarsunah ini menjadi hilang dalam waktu yang cukup panjang, hingga kemunculannya kembali di abad keempatbelas hijri atau kesembilanbelas masehi dikarenakan adanya pengaruh kolonialisme yang melanda umat Islam dan ingin menguasai Dunia Islam. Oleh karena itu, bila di era klasik kelompok inkarsunah itu hanya terjadi di Iraq, maka di era modern terjadi di berbagai belahan Dunia Islam, yang bukan saja terjadi di Mesir dan India (Pakistan), tetapi juga terjadi di Indonesia.[53] Tokoh-tokoh inkarsunah zaman modern yang terkenal adalah Tawfiq Sidqi (w. 1920) dan Rasyad Khalifa (keduanya dari Mesir, tetapi tokoh yang kedua menetap di Amerika serikat), Ghulam Ahmad Parvez (India, lahir 1920), dan Kassim Ahmad (Malaysia). Tokoh-tokoh inkarsunah di Indonesia, di antaranya, Abdul Rahman, Moch. Irham, Sutarto dan Lukman Saad. Oleh karena kelompok ini sempat meresahkan masyarakat dan banyak menimbulkan reaksi, maka atas kejadian ini keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunah di seluruh wilayah Republik Indonesia.[54] Mungkin saja SK Jaksa Agung ini juga merupakan tindak lanjut dari Fatwa MUI yang ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul yang ditetapkan MUI dua bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 16 Ramadhan 1403 H. atau tanggal 27 Juni 1983 M.
            Dari uraian itu dapat diketahui bahwa paham inkarsunah dapat dilacak asal-usulnya atau gejala-gejalanya sampai zaman Islam yang cukup dini, yakni pada zaman sahabat. Kalau dilihat dari indikator kesesatannya, maka aliran yang menolak Sunah/Hadis Rasul itu tampaknya hanya sesat dalam hal pengingkaran terhadap kedudukan hadis Nabi Saw. sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an.
18.    Darul Arqam
Fatwa MUI yang ke-8 tentang Darul Arqam ini, di antaranya, berbunyi: Mendukung sepenuhnya Keputusan Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh, Majelis Ulama Indonesia Tingkat I Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Riau, dan Keputusan Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta memperkuat kesepakatan Silaturahmi Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat 1, Tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru, yang pada intinya menyatakan bahwa Ajaran Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari Aqidah Islamiyah. Selanjutnya, kepada Umat Islam yang sudah terlanjur mengikuti ajaran tersebut agar segera kembali kepada ajaran Islam yang benar, ajaran yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam amar keputusan dan ketetapan fatwa yang ditanda tangani pada tanggal 13 Agustus 1994 oleh Ketua Umum dan Sekretaris Dewan Pimpinan MUI ini, yakni KH. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, tidak terdapat klausul sesat dan menyesatkan, tetapi di awal tulisan tentang fatwa ini dinyatakan bahwa dalam Silaturrahmi Nasional pada tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru diperoleh kesepakatan, di antaranya, Darul Arqam yang inti ajarannya Aurad Muhammadiyah adalah faham yang menyimpang dari aqidah Islam serta faham yang sesat menyesatkan.[55] Dengan demikian, dapat difahami bahwa ajaran Darul Arqam dalam fatwa ini dinyatakan sebagai faham yang bukan saja menyimpang dari Aqidah Islamiyah, tetapi juga sesat menyesatkan.
Ajaran Aurad Muhammadiyah (wirid-wirid Muhammad) yang dinilai menyimpang dan sesat-menyesatkan itu adalah ajaran tentang wirid (bacaan rutin) yang dibaca setelah shalat, yang diterima secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. oleh sang pendiri Darul Arqam, Muhammad Suhaimi, dalam keadaan jaga di sisi Ka’bah. Menurut Yaqub, ada yang mengatakan kalau dari segi substansi wirid itu sendiri masih dapat dipertimbangkan, tetapi klaim bahwa wirid itu merupakan ajaran langsung dari Nabi Saw. merupakan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Bagi Yaqub—dan tentu saja merupakan pandangan mayoritas umat—apabila klaim bertemu Nabi Saw. dalam keadaan jaga ini dibenarkan, maka suatu saat nanti akan ada lagi orang-orang yang mengklaim diri bertemu secara langsung dengan Nabi dalam keadaan jaga, di mana Nabi mengajarkan wirid-wirid tertentu untuk diamalkan dan disebarkan kepada orang lain. “Kalau ini terjadi,” tulis Yaqub, “maka akan kacaulah agama Islam.”[56] Akan tetapi, kalau klaim bertemu Nabi itu dalam keadaan tidur (mimpi), maka klaim itu dapat saja dipertimbangkan dikarenakan Nabi sendiri membenarkan kemungkinan umatnya bermimpi bertemu dengan Nabi.
Meski klaim bertemu dengan Nabi dalam keadaan mimpi itu dapat dipertimbangkan, sebagaimana klaim pendiri kalam Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, Abû al-Hasan al-Asy‘arî,[57] tetapi klaim menerima ajaran baru dari Nabi setelah Nabi wafat bertentangan dengan Firman Allah yang menyatakan:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (QS al-Maidah: 3). Ayat ini menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam dan selesainya atau tidak adanya lagi ajaran Islam yang baru sepeninggal Nabi Saw. Oleh karena itu, klaim Suhaimi menerima ajaran baru setelah Nabi wafat, apalagi dalam keadaan jaga, merupakan klaim yang menyimpang dan sesat-menyesatkan.[58]
Dilihat dari indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, seperti telah diungkap di Bab II, maka kesesatan Darul Arqam adalah meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya keyakinan Darul Arqam tentang penerimaan ajaran dari Nabi setelah Nabi tiada dapat pula dikategorikan pada pengingkaran terhadap otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an, dikarenakan al-Qur’an telah menyatakan akan kesempurnaan ajaran Islam. Oleh karena itu, terdapat dua indikator kesesatan Darul Arqam ini.
19.              Fatwa tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia
Fatwa ke-9 ini berawal dari surat permohonan Ir. Andan Nadriasta tanggal 4 Oktober 1997 mengenai ajaran kelompok pengajian yang dipimpin oleh Ibu Lia Aminuddin, yang menyatakan bahwa dirinya (Ibu Lia Aminuddin) didampingi dan mendapatkan ajaran dari Malaikat Jibril. Setelah memberikan uraian yang cukup banyak tentang masalah ini MUI memutuskan dan memfatwakan bahwa Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (al-Qur’an dan Hadis). Menurut MUI, tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada, dikarenakan ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan meyesatkan. Fatwa ini diakhiri dengan empat poin himbauan, satu di antaranya, kepada: Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari al-Qur’an dan hadis.[59]
Fatwa ke-9 tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia yang diklaim oleh Ibu Lia Aminudin itu tidak diberi penjelasan tambahan, tetapi sebelum fatwa diputuskan MUI memberikan penjelasan atau argumen-argumen yang menjadi dasar fatwa ini diputuskan. Argumen yang disampaikan MUI ini cukup panjang sehingga Fatwa ke-9 ini terdiri dari empatbelas halaman. Salah satu argumen MUI adalah keyakinan umat Islam bahwa Islam merupakan agama yang sempurna, yang kesempurnaannya meliputi seluruh aspek ajaran, sehingga tidak diperlukan lagi adanya ajaran tambahan, dan dengan demikian Malaikat Jibril telah selesai tugasnya sebagai pembawa wahyu dengan wafatnya rasul terakhir, Muhammad Saw.: Malaikat Jibril tidak akan pernah turun lagi ke bumi setelah wafatnya Rasulullah Saw. karena tugas Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu telah berakhir dengan berakhirnya (wafatnya) Rasulullah Saw.;[60] sesudah Nabi Muhammad wafat Jibril tidak akan lagi menurunkan wahyu maupun ajaran kepada siapapun, karena Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan ajaran Allah untuk umat manusia telah dinyatakan sempurna. Argumen MUI lainnya adalah ketidakmungkinan Malaikat berbhong, sementara malaikat yang diklaim mendampingi Ibu Lia Aminudin melakukan kebohongan, seperti mengakui dirinya bernama Jibril, tetapi esok harinya atau hari sebelumnya mengaku bernama selain Jibril.[61]
            Atas dasar itu, klaim Ibu Lia Aminudin itu dinyatakan sesat-menyesatkan dan indikator kesesatannya adalah Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya Ibu Lia Aminudin dapat pula dinilai mengingkari kebenaran isi Al-Qur’an, sehingga pengingkaran terhadap isi al-Qur’an ini dapat pula dijadikan indikator kesesatannya. Dengan demikian, terdapat dua indikator kesesatan Ibu Lia Aminudin.
20.              Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama
Fatwa ke-12 ini merupakan salah satu produk Musyawarah Nasional MUI VII yang diselenggarakan pada tanggal 26-29 Juli 2005. Berkenaan dengan masalah ini MUI memutuskan dan menetapkan dua ketentuan sebagai berikut, Pertama: Ketentuan Umum. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. 3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. 4. Sekularisme agama adalah  memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Kedua: Ketentuan Hukum. 1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. 3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. 4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Setelah memutuskan dan menetapkan dengan kedua ketentuan ini MUI juga memberikan penjelasan tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama tersebut.[62]
Dalam penjelesannya, MUI menyatakan bahwa aliran atau paham sekularisme dan liberalisme agama ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran ini dipandang MUI telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam. MUI juga memandang bahwa pendukung dua aliran ini telah melakukan penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun, sehingga melahirkan faham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Kemudian, MUI melihat bahwa dalam pandangan pluralisme agama, semua agama dianggap sama. Anggapan ini dinilai MUI memunculkan relativisme agama yang dapat mendangkalkan keyakinan akidah. Bahkan, dalam penglihatan MUI, para penganjur prularisme, liberalisme dan sekularisme agama itu telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah tidak relevan lagi, seperti larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18/11/2002).
            Tentang melakukan penafsiran agama secara bebas yang dilakukan pendukung paham prularisme, liberalisme dan sekularisme agama itu, barangkali, dapat dilacak pada tradisi kaum mujtahid ahli ra’yi dan kaum mu‘tazilah, sebagaimana telah diungkap ketika membahas inkarussunah di atas, tetapi akan menjadi perdebatan tersendiri apabila kaum mujtahid ahli ra’yi dan kaum mu‘tazilah ini dinilai melakukan penafsiran tanpa kaidah penuntun, seperti yang dituduhkan MUI terhadap pendukung paham prularisme, liberalisme dan sekularisme agama tersebut. Artinya, ada kesamaan sekaligus ada perbedaan antara pendukung paham prularisme, liberalisme dan sekularisme agama dengan mujtahid ahli ra’yi dan kaum mu‘tazilah.
Mengenai kesamaan agama-agama, kelihatannya, dapat dilacak pada tasawuf falsafi. Di Bab I telah dikatakan bahwa pengharaman MUI terhadap paham pluralisme, tampaknya, bisa ditelusuri dari ketegangan fuqahâ’ Ahl al-Sunnah dengan kaum Sufi itu, karena kaum Sufi, khususnya yang beraliran wahdatul wujûd, memandang kesamaan agama-agama. Jalaluddin Rumi, seperti dikutip Sayyid Husein Nasr, mengatakan: “Bila seseorang bisa menembus ke dalam maknanya yang terdalam, maka ia akan tenteram. O tulang-belulang keberadaan! Karena sudut pandang yang dipersoalkan, maka timbul perbedaan antara orang Islam, Zoroaster dan Yahudi.”[63] Barangkali, pengharaman MUI terhadap sekulerismepun dapat ditelusuri jejaknya dari ketegangan fuqahâ’ Ahl al-Sunnah dan kaum Sufi dikarenakan kaum Sufi mengajarkan tentang zuhd (menjauhi atau meninggalkan urusan-urusan keduniaan, termasuk di dalamnya urusan kenegaraan), sementara kelompok fuqahâ’ Ahl al-Sunnah justeru dekat dengan penguasa.
Apabila dilihat dari indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, maka para pendukung prularisme, liberalisme dan sekularisme agama itu sesat dalam hal: Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an, dan Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Dengan demikian, terdapat tiga indikator kesesatan para pendukung prularisme, liberalisme dan sekularisme agama.
21.    Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah
Fatwa ke-14 tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ini MUI memutuskan dan menetapkan bahwa Pertama : Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara lain: 1. Adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasul Allah”, 2. Adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, 3. Belum mewajibkan shalat, puasa dan haji, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua : Ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam); Ketiga : Bagi mereka yang telanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila alhaq). Ajaran aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. Kelima : Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[64]
Ajaran dan pendirian Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah itu, tampaknya, tidak jauh berbeda dengan Aliran Ahmadiyah. Kedua aliran ini sama-sama mengajarkan syahadat yang baru dan meyakini adanya nabi/rasul setelah Muhammad Saw. Aliran Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud, yang kemudian diyakini pula sebagai nabi/rasul. Keyakinan Aliran Ahmadiyah ini bersumber dari klaim Mirza Ghulam Ahmad sendiri: Mirza Ghulam Ahmad mengklaim diri sebagai al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud serta sebagai nabi/rasul. Demikian pula dengan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, meski ada perbedaan sedikit. Ahmad Moshaddeq, pendiri aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, mengklaim diri sebagai masih al-Mau’ud  dan sebagai Rasul Allah sehingga ajaran syahadatnya berbunyi: Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasul Allah. Hal ini berarti, Ahmad Moshaddeq bukan saja mengajarkan syahadat yang baru, tetapi juga mengajarkan adanya rasul yang baru, yang tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Ahmad Moshaddeq pun mengajarkan bahwa shalat, puasa dan haji belum wajib dilaksanakan.
Kelihatannya, munculnya nabi-nabi palsu itu, seperti klaim Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmad Moshaddeq, terinspirasi dari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang diyakini mayoritas umat akan munculnya Imam Mahdi (al-Mahdi al-Ma’huud) dan turunnya Isa bin Maryam (al-Masih al-Mau’uud) di akhir zaman. Mengenai datangnya Imam Mahdi (mahdî merupakan bentuk objek/maf‘ûl dari kata hadâ yahdî yang berarti membimbing atau memberi petunjuk bimbingan Allah Swt. untuk menyelamatkan umat manusia) berakar kuat dalam keyakinan kaum Ahlussunnah maupun kaum Syi‘ah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis-hadis akan munculnya Imam Mahdi ini bersifat mutawâtir, yang berarti benar-benar berasal dari Rasulullah Saw. Hanya saja, siapa figur Imam Mahdi itu nanti merupakan ikhtilaf di antara umat. Paling tidak, terdapat empat pendapat mengenai figur Imam Mahdi ini. Pertama, Imam Mahdi berasal dari keturunan Fatimah az-Zahra, yang lazim disebut ahlul bait, dan hal ini merupakan keyakinan di kalangan mayoritas umat. Kedua, figur Imam Mahdi itu hanya merupakan figur seorang penyelamat kehidupan umat manusia, sehingga tidak musti berasal dari keturunan ahlul bait. Pandangan inilah yang melahirkan adanya klaim atau pengakuan klaim seseorang sebagai Imam Mahdi yang terjadi sejak abad pertama Hijriah yang tidak sedikit jumlahnya. Ketiga, Imam Mahdi adalah figur perorangan, tapi lambang atau simbol kemenangan yang haqq terhadap kebatilan atau simbol kemenangan keadilan terhadap ketidakadilan. Pendapat ini milik pemikir-pemikir modern. Keempat, Imam Mahdi adalah figur seseorang yang berasal dari keturunan Fatimah atau ahlul bait, yang merupakan salah seorang di antara imam-imam ahlul bait.[65] Dari keempat pendapat ini, pendapat kedua dapat menginspirasi munculnya klaim seseorang sebagai Imam Mahdi dan hal ini telah terbukti dalam sejarah. Tentu saja, klaim itu mungkin saja bukan sekadar adanya pendapat yang kedua ini, tetapi bisa jadi terkait pula dengan motif-motif ekonomi-politik.
Mengenai turunnya Nabi Isa di akhir zaman, Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa salah satu keyakinan Ahmadiyah yang menonjol adalah keyakinan tentang Isa al-Masih. Bagi Ahmadiyah, kata Yaqub, Nabi Isa bin Maryam yang diutus untuk kaum Bani Israil itu sudah mati dan hadis-hadis shahih yang menerangkan bahwa Nabi Isa bin Maryam yang akan turun lagi ke dunia di akhir zaman nanti bukanlah Nabi Isa bin Maryam yang diutus untuk kaum Bani Israil, tetapi orang lain yang serupa dengan dengan Nabi Isa dan orang ini tidak lain tidak bukan adalah Mirza Ghulam Ahmad sendiri.[66]
            Jika dilihat dari indikator kesesatannya, maka kesesatan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah boleh dikata sama dengan kesesatan Aliran Ahmadiyah, yaitu sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an; melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Dengan demikian, terdapat lima indikator kesesatan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sama dengan indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah.
            Dari uraian-uraian di atas, maka Fatwa ‘Sesat’ MUI berkenaan dengan kedelapan kelompok atau aliran tersebut dapat diringkas dalam tabel berikut:
No
Fatwa ke-
Tentang
Alasan dan Pernyataan yang Dinyatakan
Indikator ke-
Jumlah Indikator
1
2
Islam Jama’ah
Sesat dan menyesatkan, sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya (Islam yang murni)
1                    (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah)
1
2
3 dan 13
-    Ahmadiyah Qadiyan
-    Aliran Ahmadiyah
-    Jama’ah di luar Islam, Sesat-menyesatkan
-    Sesat-menyesatka
-    Berada di luar Islam, Pengikutnya murtad.
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah), 3 (Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an), 5 (Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir),  8 (Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir), dan 10 (Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i).
5
3
7
Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul
Sesat dan Menyesatkan serta Berada di luar Islam
1                    (Mengingkari kedudukan hadis Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam)
1
4
8
Darul Arqam
Menyimpang dari Aqidah Islamiyah dan sesat menyesatkan
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan 4 (Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an)
2
5
9
Malaikat Jibril Mendampingi Manusia
Sesat dan Menyesatkan
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan 4 (Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an)
2
6
12
Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama
Haram dan Bertentangan dengan ajaran agama Islam
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah), 4 (Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an), dan 5 (Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir)
3
7
14
Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah
Sesat dan Menyesatkan, Berada di luar Islam, Pengikutnya murtad
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah), 3 (Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an), 5 (Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir),  8 (Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir), dan 10 (Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i).
5
Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan dengan tabel yang diungkap di Bab II, karena setelah diadakan penyelidikan ternyata indikator kesesatan kelompok atau aliran-aliran itu ada yang bertambah. Dengan demikian, kalau tabel di Bab II itu dikatakan masih bersifat sementara, maka tabel ini bersifat permanen dalam penelitian ini. Tidak menutup kemungkinan, dalam penelitian berikutnya atau dalam penelitian lainnya hasilnya akan berbeda. Wallahu a‘lam.


[1] Fatwa tentang Ahmadiyah merupakan Fatwa yang ke-13 dan mengenai Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan Fatwa yang ke-14 yang dihimpun dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Jakarta 2010.
[2] Kamus Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, h. 406
[3] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonsia 1975 – 1988, h. 2
[4] “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2010, h. 5
[5] “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,”  h. 5
[6] Kamus Bahasa Indonesia, h. 1337
[7] Ahmad warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, h. 826
[8] Ahmad warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, h. 1218, Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al Qur’an, 1973, h. 378 dan Kamus Bahasa Indonesia, h. 615
[9] Toshihiko Izutsu ‘memperkenalkan’ istilah pengkafiran yang pertama kali dilakukan kaum Khawârij dengan istilah takfir, yang didefinisikan sebagai “mengutuk seseorang sebagai tidak percaya (kafir)” atau “mengecam seseorang sebagai kafir.” Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, Cet. I, 1994, h. 6, 19. Penggunaan istilah takfir dalam tulisan ini mengikuti istilah yang digunakan Izutsu tersebut.
[10] Jawapos, Jakarta, Rabu, 07 Nov 2007 dan NU Online, Jakarta, www.nu.or.id, Selasa, 6 November 2007 
[11] Tentang pedoman penetapan fatwa ini merupakan ketetapan berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI nomor: U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997. Pedoman ini merupakan penyempurnaan terhadap keputusan Sidang Pengurus Paripurna MUI tanggal 7 Jumadil Awwal 1406 H/18 Januari 1986 M yang dipandang sudah tidak memadai lagi. “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” h. 4
[12] “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010, h. 3-4
[13] “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” h. 7
[14] Di Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia Bab III tentang “Sifat dan Fungsi” Pasal 4 mengenai “Fungsi” dinyatakan bahwa MUI merupakan pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.
[15] “Fatwa ke-38: Perkawinan Beda Agama,” h. 472-7
[16] “Hukum Merokok,” h. 812-4
[17] “Fatwa ke-1: Masalah Jama‘ah, Khalifah dan Bai‘at,” h. 35-7
[18] “Fatwa ke-2: Islam Jama‘ah,” h. 38-40
[19] “Fatwa ke-3: Ahmadiyah Qadiyan,” h. 41-2
[20] “Fatwa ke-4: Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil,” h. 43
[21] “Fatwa ke-5: Perkawinan Campuran,” h. 44-7. Fatwa ini sama dengan “Fatwa ke-38: Perkawinan Beda Agama” (h. 472-7) yang termasuk Bidang Sosial dan Budaya.
[22] “Fatwa ke-6: Faham Syiah,” h. 48-9
[23] “Fatwa ke-7: Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul,” h. 50-6
[24] “Fatwa ke-8: Darul Arqam,” h. 57-61
[25] “Fatwa ke-9: Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril MendampingiManusia,” h.  62-75
[26] “Fatwa ke-10: Terorisme,” h. 76-82. Penjelasan Fatwa MUI tentang Terorisme ditambahkan dalam Fatwa ini pada hal. 83-4.
[27] “Fatwa ke-11: Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah),” h. 85-91
[28] “Fatwa ke-12: Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama,” h. 92-100
[29] “Fatwa ke-13: Aliran Ahmadiyah,” h. 101-118
[30] “Fatwa ke-24: Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah,” h. 119-123
[31] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, h. 266
[32] “Fatwa ke-2: Islam Jama‘ah,” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2010, h. 38-40
[33] Abû al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karîm b. Abî Bakr Ahmad al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (selanjutnya, Al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal), Beirut: Dâr al-Fikr, 2005, h. 97-8, Ahmad Muhammad Ahmad Jalî, Dirâsah ‘ani al-Firaq fî Târîkh al-Muslimîn: al-Khawârij wa al-Syî‘ah (berikutnya, Ahmad Jalî, Dirâsah ‘ani al-Firaq), Al-Riyâdh: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah, h. 68-9, ‘Alî Musthafâ al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al-Kalâm ‘inda al-Muslimîn (selanjutnya, Al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah), Kairo: Maktabah wa Mathba‘ah Muhammad ‘Alî Shubaih wa Awlâdih, 1958, h. 276-7, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan (selanjutnya ditulis Teologi Islam), UI-Press, 2010, h. 16-7 dan Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam Bagian I: Pemikiran Teologis, (selanjutnya disebut Perkembangan Pemikiran dalam Islam), Jakarta: Beunebi, Cet. I, 1987, h. 44
[34] Abû Nashr al-Sarrâj mengatakan bahwa sahabat-sahabat, bukan hanya satu sahabat, merupakan bintang-gemintang yang dengan siapa saja seseorang (kaum sufi) dapat mengikuti dan meneladani mereka. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘, Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t. h. 166
[35] Fazlur Rahman, Islam, edisi kedua, Chicago: The University of Chicago, 1979, h. 70-1. Tampaknya telah disepakati bahwa dasar ijtihad atau sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’, tetapi prinsip qiyâs, istihsân atau al-mashlahah al-mursalah tidak disepakati penerapannya. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 183
[36] Al-Jazairî mengatakan bahwa Madzhab Hanafiyah membolehkan khutbah jum’ah dengan bahasa selain Bahasa Arab, meski sang khotib mampu berbahasa Arab. Adapun Hanâbilah menganggap tidak sah dengan bahasa selain Arab jika mampu berbahasa Arab, tetapi yang tidak mampu diperbolehkan berbahasa selain Arab kecuali ayat al-Qur’an yang tidak boleh dengan bahasa selain Arab. Sementara Syâfi‘iyah memandang merupakan syarat dengan bahasa Arab hal-hal yang berkaitan dengan rukun khutbah, sehingga dipandang tidak memadai berkhutbah dengan bahasa selain Arab bagi orang Arab. Hanya saja, Syâfi‘iyah menganggap bagi orang non-Arab tidak disyaratkan dengan Bahasa Arab, meski yang berkaitan dengan rukun khutbah. Adapun Mâlikiyah memandang khutbah dengan Bahasa Arab sebagai syarat sahnya khutbah, walau orang non-Arab. Menurut Mâlikiyah, bila tidak ada yang mampu berkhutbah dengan Bahasa Arab secara baik, maka gugurlah kewajiban Shalat Jum’ah bagi mereka. ‘Abd al-Rahmân Al-Jazairî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Jilid 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008,  h. 355
[37] “Fatwa ke-3: Ahmadiyah Qadiyan,” h. 41-2
[38] “Fatwa ke-13: Aliran Ahmadiyah,” h. 101-105.
[39] “Fatwa ke-13: Aliran Ahmadiyah,” h. 106-118
[40] “Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 106
[41] “Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 117
[42] “Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 117-8
[43] “Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 114-5
[44] “Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 115
[45] Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, Cetakan 1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h. 93-100
[46] “Fatwa ke-7: Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul,” h. 50-6
[47] Fazlur Rahman, Islam, h. 60-63
[48] Maksud Imam Mâlik atau kaum Mâlikiyah menolak hadis ahad dan lebih berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah ini harus dipahami secara baik supaya tidak salah paham dikarenakan Imam Mâlik, dalam pengelompokan Al-Syahrastânî, termasuk kelompok mujtahid ahli hadis, yang dibedakan dengan ahli ‘Iraq atau Imam Abû Hanîfah dan pengikutnya yang dikelompokkan sebagai mujtahid ahli ra’yi. Abû al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karîm b. Abî Bakr Ahmad al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (selanjutnya, Al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal), Beirut: Dâr al-Fikr, 2005, h. 166-7
[49] Di kalangan mutakallim di samping kaum Mu‘tazilah, kaum Khawarij juga menolak hadis ahad sebagai hujjah. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Cetakan kelima, Bandung: PT Alma’arif, 1987, h. 46. Sejalan dengan hal ini, Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa tidak tepat mengatakan bahwa semua golongan Khawarij menolak hadis disebabkan ada di antara kaum Khawarij, yakni kelompok Ibadhiyah, yang menerima hadis secara keseluruhan, baik yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Aisyah isteri Nabi Saw., ‘Usman bin ‘Affan, Abu Hurairah, Anas bin Malik radhiya Allah ‘anhum maupun yang dari sahabat-sahabat lainnya. Demikian pula dengan kaum Mu‘tazilah. Menurut Yaqub, Madzhab Mu‘tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar Sunnah, tetapi sebaliknya, mereka menerima Sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam. Hanya saja, Yaqub mengakui kemungkinan adanya beberapa hadis yang mereka kritik apabila hadis itu berlawanan dengan pemikiran madzhab mereka. Walau Yaqub mengakui adanya kemungkinan ini, tetapi Yaqub tetap menyatakan bahwa hal itu bukan berarti Mu‘tazilah menolak hadis secara keseluruhan. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka Firdaaus, 2004, h. 40-43
[50] Fazlur Rahman, Islam, h. 219. Di samping Sayyid Ahmad Khan dan Charagh ‘Ali, Ali Mustafa Yaqub juga menyebut tokoh-tokoh inkarsunah dari India yang lainnya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, Abdullah al-Jakr, Ahmad al-Din dan Ghulam Ahmad Parwez. Tokoh yang terakhir inilah yang mendirikan organisasi ahl al-Qur’an. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka Firdaaus, 2004, h. 50
[51] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. 1, Bandung: Mizan, 1992, h. 123-4
[52] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 225-7
[53] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 39-51
[54] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 226
[55] “Fatwa ke-8: Darul Arqam,” h. 57-61
[56] Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, 103-5
[57] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Cet. 1, Jakarta: Perkasa Jakarta, 1990, h. 48
[58] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Cet. Ke-19, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, h. 41-2
[59] “Fatwa ke-9: Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril MendampingiManusia,” h.  62-75
[60] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 136
[61] “Fatwa ke-9: Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril MendampingiManusia,” h. 67, 70
[62] “Fatwa ke-12: Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama,” h. 92-100
[63] Sayyid Hussein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul hadi WM dari Living Sufism, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, h. 143
[64] “Fatwa ke-24: Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah,” h. 119-123
[65] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 110-1
[66] Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, h. 98

1 komentar:

  1. Artikel ini, meski tidak persis sama, dimuat di Jurnal Miqot. Baca http://jurnalmiqot.org/ojs/index.php/miqot/article/view/182

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates