A.
Pendahuluan
Dewasa ini masih sering terjadi suatu
kelompok umat Islam yang memandang umat Islam lainnya sebagai kafir dikarenakan
beda paham, beda aliran atau beda amaliahnya. Biasanya, pengkafiran (takfîr)
ini terjadi dilatari adanya klaim diri bahwa dirinyalah yang benar dan
orang (kelompok) lain tidak benar (telah keluar atau sesat dari jalan yang
benar). Sepanjang klaim diri ini masih terjadi, apalagi kelompok pengklaim diri
ini merasa memiliki kewenangan untuk menentukan benar-salahnya kelompok lain, maka
pengkafiran terhadap kelompok lain tidak akan terhindarkan di sepanjang sejarah
umat Islam.
Pengkafiran itu terjadi bukan hanya dari
kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, tetapi dapat pula dari kelompok
minoritas kepada kelompok mayoritas. Dalam konteks keindonesiaan, khusus
berkenaan dengan pengkafiran dari kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas dapat dilihat dari fatwa yang bernada pengkafiran atau vonis
sesat-menyesatkan yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti
Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah dan Aliran
Al-Qiyadah Al-Islamiyah.[1]
Fatwa MUI yang bernada pengkafiran atau penyesatan inilah yang akan diteliti
dalam tulisan ini, dengan perumusan masalah: Kenapa MUI mengeluarkan fatwa
‘sesat’ atau takfîr? Apakah takfîr ini dapat dilacak akar
sejarahnya dalam sejarah pemikiran Islam? Kalau, dapat dilacak, apakah fatwa
MUI itu sepenuhnya representasi dengan apa yang pernah terjadi di dalam sejarah
pemikiran Islam?
B.
Pengertian
Fatwa, Sesat dan Takfir
Kata fatwa (fatwâ)
merupakan bentuk tunggal, yang dalam bentuk jamaknya (pluralnya) adalah fatâwâ. Istilah yang berasal dari Bahasa Arab ini
sudah resmi menjadi Bahasa Indoensia, sehingga orang Indonesia sudah akrab
dengan istilah fatwa ini. Dalam Kamus Bahasa Indonesia susunan Tim
Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional disebutkan bahwa fatwa
adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama
tentang suatu masalah. Fatwa diartikan pula sebagai nasihat orang alim,
pelajaran baik atau petuah.[2]
Pengertian yang
diungkap dalam Kamus Bahasa Indonesia itu sejalan dengan pengertian
fatwa yang disampaikan Mohammad Atho Mudzhar. Di dalam bukunya Fatwa-fatwa
Majelis Ulama Indonesia Mudzhar mengatakan bahwa fatwa adalah suatu
pendapat hukum Islam yang diberikan oleh seorang ahli hukum Islam sebagai
jawaban atas sebuah pertanyaan. Mudzhar menginformasikan pula bahwa orang yang
memberikan pendapat hukum tersebut disebut sebagai seorang mufti
(penasehat hukum). Lebih lanjut Mudzhar memperbandingkan sifat dari produk
kedua pewenang hukum ini: fatwa weorang mufti hanya bersifat sebagai
nasihat yang tidak mengikat, tetapi keputusan hukum seorang qâdhî
bersifat mengikat bagi yang bersangkutan dikarenakan berhadapan dengan lembaga
peradilan.[3]
Dari pengertian
itu dapat dipertegas bahwa yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah
keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang
suatu masalah agama, yang bersifat sebagai nasihat. Makna atau pengertian fatwa
ini sejalan dengan pengertian fatwa yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat. Di dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia dinyatakan bahwa fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama
mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.[4]
Dengan menyatakan sebagai “jawaban atau penjelasan dari ulama,” tampaknya MUI
menyadari bahwa sifat fatwa itu tidak mengikat, tidak seperti keputusan
peradilan, meski oleh umat Islam kadangkala Fatwa MUI itu dianggap sebagai
produk hukum yang mengikat.
Di samping itu,
ditegaskan bahwa fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah keagamaan yang
telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.[5]
Artinya, kalau jawaban atau penjelasan itu diambil bukan melalui mekanisme
rapat Komisi Fatwa, maka tidak dianggap sebagai fatwa MUI, meski yang
memberikan jawaban atau penjelasan itu salah satu atau beberapa orang dari
anggota Komisi Fatwa MUI. Kemudian, yang dimaksud MUI dalam penelitian ini adalah
MUI Pusat. Dengan demikian, yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah fatwa
MUI Pusat tentang suatu masalah keagamaan yang telah disepakati atau disetujui
dalam rapat oleh anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, yang kemudian ditetapkan
sebagai Fatwa oleh Pimpinan MUI Pusat.
Selanjutnya, arti sesat adalah tidak melalui jalan yg benar; salah
jalan. Sesat diartikan pula: salah (keliru) benar; berbuat yg tidak senonoh;
atau menyimpang dari kebenaran (tentang agama).[6]
Istilah sesat ini kelihatannya merupakan terjemahan dari kata dhalla-yadhillu-dhalâlâ/dhalâlat
dalam Bahasa Arab. Kata dhalla ini diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia: sesat, menyimpang dari kebenaran atau menyimpang dari tuntunan
agama.[7]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah sesat dalam penelitian ini adalah
menyimpang dari kebenaran agama atau dari tuntunan agama. Lebih tepatnya, menyimpang
dari kebenaran agama atau dari tuntunan agama yang sebenarnya, sebagaimana
istilah yang digunakan dalam Fatwa MUI di bawah nanti.
Adapun yang dimaksud dengan istilah takfîr—bentuk mashdar
(kata kerja yang dibendakan) dari kata kaffara-yukaffiru-takfîrâ—adalah
mengkufurkan, menuduh kufur atau mengkafirkan (menganggap/memandang kafir).[8]
Maksud pengertian ini, seperti dikatakan Toshihiko Izutsu, adalah “mengutuk
seseorang sebagai tidak percaya (kafir)” atau “mengecam seseorang sebagai
kafir.”[9]
Orang yang dikutuk atau dipandang sebagai kafir ini bukanlah orang non-muslim,
tetapi orang beriman (muslim) yang dianggap berfaham atau beraqidah sesat,
sehingga dia dipandang sebagai orang kafir.
Oleh karena itu, istilah takfir yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mengkafirkan (memandang orang lain sebagai kafir) atau
mengutuk seseorang sebagai kafir. Dengan demikian, dalam penelitian ini takfir
sama maknanya dengan memandang sesama muslim atau sesama orang beriman sebagai
kafir, orang sesat atau orang yang menyimpang dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya
ada pula yang ditetapkan ajarannya sebagai ajaran yang haram; haram bukan dalam
pengertian hukum, tapi dalam pengertian aqidah. Pada kasus tertentu, orang yang
dipandang sebagai sesat ini divonis pula sebagai kelompok yang “berada di luar
Islam.” Bahkan, ada yang difonis sebagai murtad. Dalam penelitian ini, yang
memandang sesat atau kafir adalah ulama-ulama yang bergabung di MUI atau yang
berada di Komisi Fatwa MUI dan yang dipandang kafir, sesat, berada di luar
Islam dan atau murtad adalah orang-orang/aliran yang merupakan kelompok
minoritas yang ajarannya telah dipandang menyimpang (sesat) dari ajaran Islam
yang sebenarnya.
C.
Indikator Paham atau Aliran Sesat
Dalam rangka
itu, MUI menetapkan sepuluh indikator kriteria ajaran atau aliran yang sesat,
yang dirumuskan di dalam Rakernas-nya di Hotel Sari Pan Pacific
Jakarta Tahun 2007, yaitu:
1.
Mengingkari salah satu rukun Iman
yang enam dan rukun Islam yang lima.
2.
Meyakini dan atau
mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
3.
Meyakini turunnya wahyu setelah
Al-Qur’an.
4.
Mengingkari otensitas
dan atau kebenaran isi Al-Qur’an.
5.
Melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6.
Mengingkari kedudukan hadis Nabi
SAW sebagai sumber ajaran Islam.
7.
Menghina, melecehkan dan atau
merendahkan para nabi dan rasul.
8.
Mengingkari Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi dan rasul terakhir.
9.
Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah
ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah dan shalat wajib
tidak lima waktu.
10. Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan
muslim hanya karena bukan kelompoknya.[10]
Atas dasar sepuluh kriteria itu MUI akan
memfatwakan sebagai kelompok aliran sesat atau kelompok di luar Islam apabila
ada kelompok umat yang memiliki salah satu di antara kriteria tersebut. Apalagi
terdapat beberapa kriteria di suatu kelompok tertentu. Kelompok ini, sesudah
diadakan penelitian atau pengkajian mendalam dan pembahasan sesuai prosedur
penetapan di MUI,[11]
tentulah akan divonis sesat atau akan dinyatakan telah keluar dari
Islam. Orang atau kelompok yang dinyatakan telah keluar dari Islam ini berarti
dia orang murtad dan murtad berarti kafir atau, lebih dikenal dengan istilah,
kafir murtad.
D.
Kedudukan dan
Peran MUI
Vonis
sesat MUI itu dapat dipandang sebagai perwujudan dari peran MUI itu sendiri, di
samping sebagai pelanjut dari tradisi takfîr yang telah terjadi di
Sejarah Pemikiran Islam yang cukup awal. Di dalam Muqaddimah Pedoman Dasar
Majelis Ulama Indonesia, di antaranya, dinyatakan bahwa ulama Indonesia
menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiya’),
pelayan umat (khadimul ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah
Muhammad Saw. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sebagai waratsatul anbiya',
Ulama Indonesia menyadari bahwa merupakan suatu kewajiban bersama (fardlun
jama'iy) untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan
terpuji. Kemudian, diungkapkan pula bahwa Ulama Indonesia menyadari peran dan
fungsinya sebagai pemimpin umat yang harus lebih ditingkatkan, sehingga mampu
mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan Aqidah Islamiyah,
membimbing umat dalam menjalankan ibadat, menuntun umat dalam mengembangkan
akhlakul karimah agar terwujud masyarakat yang berkualitas (khair ummah).
Bila dikaitkan dengan persoalan fatwa, maka memberikan fatwa tidak dapat
dilepaskan dari peran dan fungsi MUI ini.
Di samping berkaitan dengan peran
dan fungsi MUI itu, pemberian fatwa terhadap umat juga berhubungan dengan tekad
MUI untuk tidak membiarkan umat dalam kebingungan. Di dalam Muqaddimah Pedoman
dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia disebutkan bahwa
membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan
tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Tekad ini
dilanjutkan dengan klaim MUI sebagai pengayom umat dan sebagai lembaga yang
paling kompeten dan paling dipercaya. Dinyatakan di dalam Muqaddimah Pedoman
dan Prosedur Penetapan Fatwa bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang
merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim serta
menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga yang paling
berkompeten bagi pemecahan dan menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang
senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan
penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah.[12]
Sejalan dengan klaimnya itu, di Bab
IV yang mengatur tentang “Kewenangan dan Wilayah Fatwa” dinyatakan di Pasal 1
bahwa MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara
umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang menyangkut
kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.[13]
Dengan demikian, MUI berkepentingan dengan kebenaran beragama, kebenaran aqidah
dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia. Dari sinilah MUI merasa
berkewajiban mengawal atau menjaga umat agar tetap pada jalur kebenaran
beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan. Atas dasar inilah MUI akan
selalu memberikan fatwa (jawaban atau penjelasan) di setiap ada persoalan baru
yang muncul, baik yang berkenaan dengan persoalan i’tiqadi maupun syar’i,
persoalan akhlak maupun hukum. Apalagi kalau persoalan keagamaan yang muncul
itu berkaitan dengan masalah penyimpangan atau penyelewengan agama, maka MUI
akan segera meresponnya walaupun tidak diminta.[14]
Klaim MUI sebagai lembaga yang
berkompeten dan berwenang memang mengindikasikan suatu klaim-diri bahwa paham
MUI-lah yang benar atau MUI-lah yang berkompeten dan berwenang menetapkan
kebenaran beragama di Indonesia. Dengan sepuluh kriteria aliran sesat yang
telah diungkap di atas, maka segala bentuk paham dan praktek keagamaan yang
memenuhi salah satu unsur itu tidak lagi dipandang sebagai bentuk perbedaan,
tapi ditetapkan sebagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang sesat dan
menyesatkan.
E.
Fatwa ‘Sesat’ MUI
Fatwa MUI yang memfonis suatu paham atau
aliran kelompok tertentu sebagai sesat atau kafir itu tidak
meliputi semua aspek fatwa yang pernah ditetapkan MUI, tetapi hanya fatwa yang
berkaitan dengan Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan. Bila dilihat di Buku Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diterbitkan Tahun 2010, maka Fatwa MUI
dari Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2010 dibagi menjadi empat bidang, yaitu pertama,
Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan (14 Fatwa); kedua, Bidang Ibadah (30
Fatwa); ketiga, Bidang Sosial dan Budaya (47 Fatwa); dan keempat,
Bidang Pangan, Obat-obatan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (29 Fatwa). Di
samping empat bidang Fatwa ini terdapat Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
se-Indonesia yang terdiri dari Tiga Keputusan, yakni I. Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia I Tahun 2003 (terdiri dari Pedoman Penetapan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia; Tiga Masalah Keagamaan {Masail Waqi’iyyah
Mu’ashirah}; dan Sembilan Masalah Perundang-undangan {Masail Qanuniyyah}).
II. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Kedua Tahun 2006 yang
terdiri dari Empat Masail Diniyyah Asasiyyah Wathaniyyah; Tujuh Masail
Waqi’iyyah Mu’ashirah; dan Tujuh Masail Qanuniyyah. III. Keputusan Ijtima’
Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009 yang terdiri dari Empat
Masail Asasiyyah Wathaniyyah; Delapan Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah; dan Sembilan
Masail Qanuniyyah.
Fatwa-fatwa
selain Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan di atas dan masalah-masalah yang
menjadi Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tidak ada yang
menetapkan atau ditetapkan sebagai sesat, melainkan hanya memutuskan apa yang
menjadi domain hukum Islam, yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah atau
halal-haram. Umpamanya, Fatwa tentang Perkawinan Beda Agama, yang dikelompokkan
pada Bidang Sosial Budaya. Di dalam Fatwa yang berkenaan dengan perkara
Perkawinan Beda Agama ini hanya dikatakan bahwa 1. Perkawinan beda agama adalah
haram dan tidak sah; dan 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu
Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.[15]
Begitu pula dengan keputusan ijtima‘ ulama komisi fatwa se-Indonesia. Misalnya,
mengenai Hukum Merokok, yang digolongkan pada kelompok Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah.
Berkaitan dengan Hukum Merokok diputuskan bahwa Peserta Ijtima‘ Ulama Komisi
Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009 sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai
hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (khilâf mâ baina al-makrûh wa
al-harâm) dan Peserta Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III
sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika dilakukan: a. di tempat umum; b. oleh
anak-anak; dan c. oleh wanita hamil.[16]
Hal itu
berarti, takfir atau fatwa ‘sesat’ MUI hanya berkaitan dengan bidang
aqidah dan aliran keagamaan, tidak mencakup bidang-bidang yang lain, meski
tidak semua fatwa yang dikelompokkan dalam bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan itu
bernada penyesatan atau pengkafiran. Untuk lebih memperjelas isi Fatwa MUI
Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan itu, berikut ini isi ke-14 fatwa tersebut:
1.
Masalah
Jama‘ah, Khalifah dan Bai‘at. Berkenaan dengan masalah ini Fatwa MUI hanya
memberikan kesimpulan tentang pengertian jama’ah, khalifah dan bai’at serta
mengenai Jama’ah Muslimin Hizbullah tanpa memberikan ketetapan atau keputusan
hukum.[17]
2.
Islam Jama‘ah. Berkaitan
dengan masalah ini Dewan Pimpinan MUI pada amar Memperhatikan poin 1 menyatakan
bahwa faham Islam Jama’ah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 70-an. Karena
ajarannya sesat dan menyesatkan serta menimbulkan keresahan di masyarakat,
faham ini dilarang oleh pemerintah pada tahun 1971. Larangan pemerintah
tersebut tidak diacuhkan. Mereka terus beroperasi dengan berbagai nama yang
terus berubah hingga memuncak pada sekitar 1977-1978. Kemudian, Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia Memutuskan dan Menyatakan: 1. Bahwa ajaran Islam
Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang
sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu
memancing-memancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan Negara.
2. Menyerukan agar umat Islam berusaha mengindahkan saudara-saudara kita yang
tersesat itu untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar
niat dan keinginan menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam
sebagai agamanya dari kemurkaan Allah SWT.[18]
3.
Ahmadiyah
Qadiyan. Berkaitan dengan persoalan ini MUI dalam Musyawarah Nasional II pada
Tahun 1980 yang diselenggarakan di Jakarta memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah
jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.[19]
4.
Pendangkalan
Agama dan Penyalahgunaan Dalil. Dalam hal ini MUI memutuskan dan memfatwakan
bahwa setiap usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah
merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad
menanganinya secara serius dan terus menerus.[20]
5.
Perkawinan
Campuran. Terhadap persoalan ini MUI di dalam Musyawarah Nasional II pada Tahun
1980 di Jakarta memutuskan dan menfatwakan bahwa 1. Perkawinan wanita muslimah
dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya. 2. Seorang laki-laki muslim
diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita Ahlu Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI
menfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.[21]
6.
Faham Syiah.
Mengenai Faham Syiah ini MUI dalam Rapat Kerja Nasional Tahun 1984 hanya
merekomendasikan adanya perbedaan-perbedaan pokok antara faham Syi’ah dan
mazhab Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia,
terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan), sehingga MUI
menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Sunni agar meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran
Syi’ah.[22]
Dalam Fatwa ini tampak tidak adanya pernyataan penyesatan atau pengkafiran
terhadap Faham Syi’ah.
7.
Aliran yang
Menolak Sunah/Hadis Rasul. Terhadap persoalan ini MUI memutuskan dan
menfatwakan bahwa 1. Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw.
sebagai sumber hukum syari’at Islam adalah sesat menyesatkan dan berada di luar
agama Islam. 2. Kepada mereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti
aliran tersebut agar segera bertaubat. 3. Menyerukan kepada umat Islam untuk
tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu. 4. Mengharapkan kepada para
Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat.
5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa
larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai Hadits Nabi Muhammad Saw. sebagai
sumber Syari’at Islam.[23]
8.
Darul Arqam.
Fatwa MUI tentang Darul Arqam ini pada intinya menyatakan bahwa Ajaran Darul
Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari Aqidah Islamiyah. Selanjutnya, kepada
Umat Islam yang sudah terlanjur mengikuti ajaran tersebut agar segera kembali
kepada ajaran Islam yang benar, ajaran yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam amar keputusan dan ketetapan fatwa ini tidak
terdapat klausul sesat dan menyesatkan, tetapi di awal tulisan tentang fatwa
ini dinyatakan bahwa dalam Silaturrahmi Nasional pada tanggal 16 Juli 1994 di
Pekanbaru diperoleh kesepakatan, di antaranya, Darul Arqam yang inti ajarannya
Aurad Muhammadiyah adalah faham yang menyimpang dari Aqidah Islam serta faham
yang sesat menyesatkan.[24]
Dengan demikian, dapat difahami bahwa ajaran Darul Arqam dalam fatwa ini
dinyatakan sebagai faham yang bukan saja menyimpang dari Aqidah Islamiyah,
tetapi juga sesat menyesatkan.
9.
Fatwa Dewan
Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia. Fatwa ini memutuskan
dan memfatwakan bahwa Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk
malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada
keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Menurut MUI, tidak
ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih
diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik
ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang
telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang
bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril
bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat
dan meyesatkan. Selanjutnya, Fatwa ini diakhiri dengan empat poin himbauan,
satu dia antaranya, kepada: Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain
yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran
agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama
dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada
ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya
oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadis.[25]
10.
Terorisme.
Keputusan dan Penetapan Fatwa tentang Terorisme ini mencakup, pertama, Ketentuan
Umum, yang menjelaskan tentang pengertian Terorisme dan Jihad serta
perbedaan di antara keduanya; Kedua, Hukum Melakukan Teror dan Jihad,
dan Ketiga, Bom Bunuh Diri dan ‘Amaliyah al-Istisyhad. Dalam fatwa
ini dinyatakan bahwa 1. Hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh
perorangan, kelompok, maupun negara. 2. Hukum melakukan jihad adalah wajib.[26]
11.
Perdukunan (Kahanah)
dan Peramalan (‘Irafah). Fatwa MUI mengenai Perdukunan (Kahanah)
dan Peramalan (‘Irafah) ini sebagai berikut: 1. Segala bentuk praktek
perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya Haram. 2.
Mempublikasikan praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah)
dalam bentuk apapun hukumnya Haram. 3. Memanfaatkan, menggunakan dan/atau
mempercayai segala praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah)
hukumnya haram.[27]
12.
Pluralisme,
Liberalisme, Sekulerisme Agama. Berkenaan dengan masalah ini MUI memutuskan dan
menetapkan dua ketentuan sebagai berikut, Pertama: Ketentuan Umum. Dalam
fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup berdampingan di surga. 2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa
di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup
secara berdampingan. 3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama
(Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. 4. Sekularisme
agama adalah memisahkan urusan dunia
dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan,
sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan
sosial. Kedua: Ketentuan Hukum. 1. Pluralisme, sekularisme dan
liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti paham
pluralism, sekularisme dan liberalisme agama. 3. Dalam masalah aqidah dan
ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan
aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. 4.
Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas
agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah,
umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial
dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Setelah memutuskan
dan menetapkan dengan kedua ketentuan ini MUI juga memberikan penjelasan tentang
Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama tersebut.[28]
13.
Aliran
Ahmadiyah. Mengenai Aliran Ahmadiyah, Fatwa MUI yang merupakan hasil dari
Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 ini memutuskan dan menetapkan 1.
Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa
Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam
yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang
terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam
yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an
dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran
faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup
semua tempat kegiatannya. Tampaknya, untuk memperkuat atau mempertegas Fatwanya
ini MUI memberikan penjelasan tentang Aliran Ahmadiyah dengan penjelasan yang
cukup panjang, yaitu sebanyak 12 halaman, satu-satunya Fatwa yang diberikan
penjelasan paling panjang.[29]
14.
Aliran
Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Tentang Aliran ini MUI memutuskan dan menetapkan bahwa
Pertama: Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara
lain: 1. Adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah
wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasul Allah”, 2. Adanya nabi/rasul baru
sesudah Nabi Muhammad SAW, 3. Belum mewajibkan shalat, puasa dan haji, adalah
bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua: Ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah
tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang
mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam); Ketiga:
Bagi mereka yang telanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah supaya
bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-haqq).
Ajaran aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah terbukti menodai dan mencemari
agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan
Islam. Kelima: Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham
dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta
menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Fatwa ini ditanda tangani pada tanggal 03
Oktober 2007 oleh Dr. KH. M. Anwar Ibrahim sebagai Ketua dan Drs. H.
Hasanuddin, M.Ag sebagai Sekretaris.[30]
Dari keempat
belas Fatwa tentang Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan di atas dapat dipilah
menjadi Lima Kategori Fatwa. Pertama, Fatwa yang menggunakan kalimat
Memutuskan dan Menetapkan, yaitu Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis
Rasul (Fatwa ke-7), Darul Arqam (Fatwa ke-8), Terorisme (Fatwa ke-10),
Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah) (Fatwa ke-11), Pluralisme,
Liberalisme, dan Sekulerisme Agama (Fatwa ke-12), Aliran Ahmadiyah (Fatwa
ke-13), dan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah (Fatwa ke-14). Dari ketujuh Fatwa
ini yang dinyatakan sebagai haram adalah Fatwa ke-10 tentang Terorisme, Fatwa
ke-11 mengenai Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah), dan Fatwa ke-12
mengenai Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama. Fatwa yang ke-12 ini
dinyatakan pula sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam; yang
dinyatakan sesat menyesatkan dan berada di luar Islam ialah Fatwa ke-7 tentang
Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul, Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah,
dan Fatwa ke-14 mengenai Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Fatwa ke-13 dan ke-14
ini juga menyatakan bahwa pengikutnya sebagai murtad (keluar dari Islam); dan
satu fatwa yang dinyatakan menyimpang dari Aqidah Islamiyah dan sesat
menyesatkan adalah Fatwa ke-8 tentang Darul Arqam).
Kedua,
Fatwa yang menggunakan kalimat memutuskan dan menfatwakan, yakni Fatwa ke-4
mengenai Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil, Fatwa ke-5 tentang
Perkawinan Campuran, dan Fatwa ke-9 tentang Malaikat Jibril Mendampingi
Manusia. Dari ketiga Fatwa ini yang dinyatakan sebagai merusak kemurnian dan
kemantapan hidup beragama adalah Fatwa ke-4, sebagai haram adalah Fatwa ke-5,
dan yang dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis
serta dipandang sesat dan menyesatkan adalah Fatwa ke-9.
Ketiga,
Fatwa yang langsung menggunakan kalimat Menfatwakan dan Menyerukan, yaitu Fatwa
ke-3. Fatwa mengenai Ahmadiyah Qadiyan ini dinyatakan sebagai jamaah di luar
Islam, sesat dan menyesatkan. Keempat, Fatwa yang menggunakan kalimat
Memutuskan dan Menyatakan, yakni Fatwa ke-2. Fatwa tentang Islam Jama’ah ini
dinyatakan sebagai ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang
sebenarnya dan pengikutnya dianggap tersesat. Kelima, Fatwa yang
bersifat hanya menjelaskan, yaitu Fatwa ke-1 tentang Masalah Jama’ah, Khalifah
dan Bai’at dan Fatwa ke-6 mengenai Faham Syi’ah. Berkenaan dengan Faham Syi’ah
ini hanya dinyatakan adanya perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, khususnya tentang Imamah (pemerintahan), yang dilanjutkan
himbauan supaya umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah
meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan
atas ajaran Syi’ah.
Itulah lima
kategori yang dapat diklasifikasikan terhadap keempat belas Fatwa Bidang Aqidah
dan Aliran Keagamaan di atas. Hanya sayangnya, MUI tidak menjelaskan alasan
yang mendasari penggunaan kalimat yang berbeda-beda itu. MUI, misalnya, tidak
menjelaskan kenapa suatu Fatwa menggunakan kategori “Memutuskan dan
Menetapkan,” sementara yang lain menggunakan kalimat “Memutuskan dan
Menfatwakan.”
Dari keempat
belas Fatwa itu dapat digeneralisir bahwa Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan
yang dinyatakan sebagai sesat dan menyesatkan atau pengikutnya dianggap
tersesat sebanyak Tujuh Fatwa, yaitu Fatwa ke-2, Fatwa ke-3, Fatwa ke-7, Fatwa
ke-8, Fatwa ke-9, Fatwa ke-13, dan Fatwa ke-14 (Fatwa ke-13 dan ke-14 ini juga
menyatakan bahwa pengikutnya sebagai murtad). Untuk lebih jelasnya, sifat
Keempat Belas Fatwa tersebut sebagaimana tabel berikut:
No.
|
Fatwa ke-
|
Kalimat yang Digunakan
|
Pernyataan yang Dinyatakan
|
Fatwa ke-
|
1
|
10, 11, 12, 7, 8, 13, 14,
|
Memutuskan dan Menetapkan
|
Haram
|
10, 11, 12
|
Bertentangan dengan ajaran agama Islam
|
12
|
|||
Sesat dan Menyesatkan
|
7, 8, 13, 14
|
|||
Berada di luar Islam
|
7, 13, 14
|
|||
Pengikutnya murtad
|
13, 14
|
|||
Menyimpang dari Aqidah Islamiyah
|
8
|
|||
2
|
4, 5, 9
|
Memutuskan dan Menfatwakan
|
Haram
|
5
|
Sesat dan Menyesatkan
|
9
|
|||
Merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama
|
4
|
|||
3
|
3
|
Menfatwakan dan Menyerukan
|
Sesat dan Menyesatkan
|
3
|
Jama’ah di luar Islam
|
||||
4
|
2
|
Memutuskan dan Menyatakan
|
Menyimpang dan Tersesat
|
2
|
5
|
1, 6
|
Menjelaskan
|
Penjelasan
|
1, 6
|
Berdasarkan
tabel itu jelaslah bahwa dari Keempat Belas Fatwa itu yang dinyatakan “sesat
dan menyesatkan atau dinyatakan menyimpang dan pengikutnya tersesat” sebanyak
Tujuh Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 13, 14). Empat Fatwa di antara Tujuh Fatwa ini
menyatakan pula “berada di luar Islam” (3, 7, 13, 14), dan dari Tiga Fatwa ini
Dua Fatwa (13, 14) juga menyatakan “pengikutnya sebagai murtad.” Kemudian,
Empat Fatwa (5, 10, 11, 12) menyatakan “haram,” Satu Fatwa (4) menyatakan
“merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama,” dan Dua Fatwa (1, 6) berupa
penjelasan. Dari Keempat Belas Fatwa ini Delapan Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 12, 13,
14) yang diteliti dalam penelitian ini. Tujuh Fatwa (2, 3, 7, 8, 9, 13, 14)
diteliti disebabkan ketujuh fatwa inilah yang secara langsung menfatwakan
“sesat-menyesatkan.” Apalagi, Empat Fatwa (3, 7, 13, 14) menfatwakan pula
“berada di luar Islam” dan Dua Fatwa (13, 14) juga menyatakan “pengikutnya
sebagai murtad.” Bila diidentifikasi, sebagaimana pengelompokan bidang fatwa
yang dilakukan MUI, maka dari kedelapan fatwa semuanya merupakan bidang aqidah
(teologi), tidak ada bidang di luar aqidah (teologi).
Indikator
kesesatan ketujuh Fatwa itu dapat dilihat lebih lanjut dengan melacak akar
tradisi pemikiran ketujuh kelompok yang dipandang sesat oleh MUI tersebut.
15.
Islam
Jama‘ah
Berkenaan dengan masalah Islam Jamaah ini, di dalam Ensiklopedi
Islam dikatakan sebagai salah satu aliran keagamaan dalam Islam yang oleh
sebagian umat Islam di Indonesia dianggap sebagai kelompok sempalan yang
eksklusif, yang sejak tahun 1971 dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung RI.[31]
Sejalan dengan larangan ini, bahkan salah satunya atas dasar larangan ini,
Dewan Pimpinan MUI, sebagaimana telah disinggung di Bab II, memfatwakan Islam
Jamaah sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan, mengganggu kestabilan Negara
serta sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya (Islam yang
murni). Lebih jelasnya, Keputusan dan Pernyataan Fatwa tentang Islam Jamaah
ini, yang tampak pula adanya himbauan, sebagai berikut:
1.
Bahwa ajaran
Islam Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran
yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya
itu memancing-mancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan
Negara.
2.
Menyerukan agar
umat Islam berusaha mengindahkan saudara-saudara kita yang tersesat itu untuk
kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar niat dan keinginan
menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam sebagai agamanya dari
kemurkaan Allah SWT.
3.
Agar uma Islam
lebih meningkatkan kegiatan dakwah Islamiah melalui media pengajian atau media
lainnya, terutama terhadap para remaja, pemuda, pelajar, seniman, dan
lain-lain, yang sedang haus terhadap siraman agama Islam yang murni terutama
kepada calon-calon pengikut Islam Jama’ah dalam tahap pertama, dengan metode
atau cara-cara penyampaian yang lebih sesuai dengan umat yang dihadapi.
4.
Agar segera
melaporkan kepada Kejaksaan setempat dengan memberikan bukti-bukti yang cukup
lengkap manakala gerakan atau kegiatan Islam Jama’ah (atau apapun nama lain
yang dipakainya) sampai menimbulkan keresahan dan kegoncangan rumah tangga dan
masyarakat.
Adapun yang
menjadi alasan diputuskannya Fatwa mengenai Islam Jama’ah tersebut dapat
dilihat dari amar Memperhatikan yang terdiri dari tiga poin, yakni:
1.
Bahwa faham
Islam Jama’ah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 70-an. Karena ajarannya
sesat dan menyesatkan serta menimbulkan keresahan di masyarakat, faham ini
dilarang oleh pemerintah pada tahun 1971. Larangan pemerintah tersebut tidak
diacuhkan. Mereka terus beroperasi dengan berbagai nama yang terus berubah hingga
memuncak pada sekitar 1977-1978.
2.
Faham ini
menganggap bahwa umat Islam yang tidak termasuk Islam Jama’ah adalah termasuk
72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam harus mengangkat “Amirul
Mukminin” yang menjadi pusat pimpinan dan harus mentaatinya, umat Islam yang
masuk golongan ini harus dibai’at dan setia kepada “Amirul Mukminin” dan
dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti hanya ajaran
Islam yang bersumber dari “Amirul Mukminin”.
3.
Pengikut aliran
ini harus memutuskan hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri,
tidak sah shalat di belakang orang yang bukan Islam Jama’ah, pakaian shalat
pengikut Islam Jama’ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan pengikutnya
harus disucikan, suami harus mengusahakan agar isterinya turut masuk golongan
Islam Jama’ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus diputuskan,
perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh “Amirul Mukminin”, dan
khutbah yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab.[32]
Dari
paparan ketiga poin amar Memperhatikan itu dapat dilacak presedennya dalam
Sejarah Pemikiran Islam. Untuk melihat hal ini dapat dilihat dari kata-kata,
istilah-istilah atau kalimat yang diungkap dalam amar Memperhatikan tersebut.
Penelitian ini tidak berkepentingan untuk menguji validasi kalimat yang
digunakan dalam Fatwa ini benar-tidaknya atau sesuai-tidaknya dengan doktrin
yang sebenarnya mengenai ajaran Islam Jama’ah, tetapi hanya ingin melacak akar
Fatwa MUI itu dalam Sejarah Pemikiran Islam, yakni melacak kesamaan Fatwa MUI
itu dengan apa yang pernah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam.
Tampaknya,
kata, istilah atau kalimat dalam amar Memperhatikan itu yang menunjukkan adanya
kesamaan bukanlah yang tertera di poin kesatu, tapi yang tertera di poin kedua
dan ketiga. Pada poin kedua dikatakan bahwa umat Islam yang tidak termasuk
Islam Jama’ah adalah termasuk 72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam
harus mengangkat Amirul Mukminin yang menjadi pusat pimpinan dan harus
mentaatinya, umat Islam yang masuk golongan ini harus dibai’at dan setia kepada
Amirul Mukminin dan dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh
dituruti hanya ajaran Islam yang bersumber dari Amirul Mukminin. Bila dilihat
dari poin ini, maka Islam Jama’ah sama dengan kaum Khawârij, kaum minoritas
yang melakukan takfîr terhadap kelompok mayoritas. Sebagaimana telah
diungkap di Bab III, kaum Khawârij, khususnya golongan al-Azâriqah, adalah kaum
yang menganggap hanya kelompoknya sebagai kelompok yang benar, sementara
kelompok umat di luar kelompok mereka dianggap sebagai kelompok yang salah;
hanya kelompoknya yang dipandang merupakan muslim yang sebenarnya, sedangkan
kelompok umat di luar mereka dianggap kafir, murtad, bahkan musyrik; hanya
kelompok mereka yang dipandang akan masuk surga dan kekal di dalamnya,
sementara kelompok orang beriman di luar mereka akan kekal di dalam neraka.[33]
Adapun tentang pengangkatan, ketaatan, dan kesetiaan terhadap Amirul Mukminin
serta pembai’atan terhadap anggota tidak ada bedanya dengan kaum Khawârij,
meski dalam persoalan ketaatan dan pembai’atan ini bukan milik khas kaum
Khawârij belaka, di dunia tarekatpun diterapkan, tetapi hanya kepada Amirul
Mukiminin mereka dan jaminan masuk surga merupakan ciri khas kaum Khawârij.
Termasuk yang merupakan ciri khas Khawârij adalah pernyataannya bahwa ajaran
Islam yang sah dan boleh dituruti oleh mereka hanyalah ajaran Islam yang
bersumber dari Amirul Mukminin mereka. Bagi mayoritas umat, ajaran Islam yang
sah dan wajib diikuti adalah yang bersumber dari Allah (al-Qur’an) dan dari
Rasul-Nya (al-Sunnah), sedangkan yang bersumber dari Amirul Mukminin—termasuk
di dalamnya dari al-Khulafâ’ al-Râsyidûn—dianjurkan diikuti, tetapi tidak boleh
tertuju hanya pada satu figur, melainkan kesemua figur[34]
dan yang sudah merupakan kesepakatan (ijma’) sahabat wajib diikuti.[35]
Tidak berbeda
dengan poin kedua yang pahamnya dapat dilacak pada kaum Khawârij, demikian pula
dengan poin yang ketiga. Pernyataan bahwa “pengikut aliran ini harus memutuskan
hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri,” sama dengan kaum
Khawârij golongan al-Azâriqah yang mewajibkan anggotanya berhijrah dengan
mereka ke daerah kekuasaan mereka, dan kalau tidak mau berhijrah bersama
mereka, walau sepaham dengan mereka, tetap dianggap sebagai orang kafir di luar
kelompok mereka yang halal darahnya; pandangan bahwa “tidak sah shalat di belakang
orang yang bukan Islam Jama’ah” sama dengan pandangan kaum Khawârij bahwa orang
beriman di luar mereka adalah kafir, sehingga shalat di belakang orang kafir (=
orang beriman di luar kelompok mereka) tidaklah sah; anggapan bahwa “pakaian
shalat pengikut Islam Jama’ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan
pengikutnya harus disucikan” tidak berbeda dengan kaum Khawârij Golongan
al-Azâriqah yang memandang orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai
musyrik, dan orang musyrik itu najis, sehingga pakaian yang tersentuh orang
najis harus disucikan; pendirian bahwa “suami harus mengusahakan agar isterinya
turut masuk golongan Islam Jama’ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus
diputuskan” tidak berbeda dengan kewajiban berhijrahnya kaum Khawârij; dan
pendirian bahwa “perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh
Amirul Mukminin” merupakan ciri khas Khawârij, sedangkan ajaran bahwa “khutbah
yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab,” dalam arti seluruhnya dengan
bahasa Arab, sebenarnya merupakan khilafiyyah,[36]
tetapi menyalahkan pihak lain dan merasa hanya dirinya yang benar merupakan
tradisi Khawârij.
Bila dilihat
dari indikator kesesatannya, maka Islam Jama’ah ini sesat dalam hal keyakinan
dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kesesatan
dalam hal keyakinan dan atau aqidah ini biasanya disebabkan melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Akibatnya, merasa benar
sendiri dan menuduh kelompok lain sebagai pihak yang salah. Bahkan, bukan saja
memandang umat di luar kelompok mereka sebagai pihak yang salah, tetapi juga
dituduh kafir. Hal ini berarti, mereka mengkafirkan sesama bukan atas dasar dalil syar’i, tetapi semata-mata
dikarenakan tidak termasuk kelompok mereka. Dengan demikian,
terdapat tiga indikator kesesatan mereka, yakni meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti
mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
16.
Ahmadiyah
Qadiyan dan Aliran Ahmadiyah
Persolan
Ahmadiyah Qadiyan yang merupakan Fatwa ke-3 dalam penelitian ini dikaitkan
secara langsung Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah dikarenakan kedua Fatwa
ini berkaitan erat, bahkan boleh dikata, berisi mengenai masalah yang sama.
Berkaitan dengan persoalan Ahmadiyah Qadiyan, MUI dalam Musyawarah Nasional II
pada Tahun 1980 yang diselenggarakan di Jakarta memfatwakan bahwa Ahmadiyah
adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. MUI kemudian menyerukan:
a. Agar MUI, MUI Daerah Tingkat I dan II, para ulama dan da’i di seluruh
Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyah
Qadiyan yang berada di luar Islam; b. Bagi mereka yang telah terlanjur
mengikuti Jema’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam
yang benar; dan c. Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi
kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu.[37]
Adapun tentang
Aliran Ahmadiyah, Fatwa MUI yang merupakan hasil dari Musyawarah Nasional VII
MUI Tahun 2005 ini memutuskan dan menetapkan 1. Menegaskan kembali fatwa MUI
dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar
Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad
(keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah
supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq),
yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk
melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan
organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.[38]
Berbeda dengan
Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan yang tidak diberikan penjelasan, Fatwa mengenai
Aliran Ahmadiyah Dewan Pimpinan MUI memberikan penjelasan dengan penjelasan
yang cukup panjang, yaitu sebanyak 12 halaman, satu-satunya Fatwa yang
diberikan penjelasan paling panjang.[39]
Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan tidak menjelaskan hal-hal yang membuat
Ahmadiyah difatwakan sebagai jama’ah di luar Islam yang sesat dan menyesatkan.
Artinya, di mana letak kesesatannya tidak diungkap di dalam fatwa ini. Dewan
Pimpinan MUI hanya menginformasikan bahwa sesuai dengan data dan fakta yang
diketemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah, MUI menfatwakan
bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Akan
tetapi, karena Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah bersifat penegasan kembali
Fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah
berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang
mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam), maka alasan-alasan yang
melatari dikeluarkan, disesatkan dan dimurtadkannya (orang) Ahmadiyah pastilah
tidak berbeda di antara Dua Fatwa ini. Apalagi MUI memberikan penjelasan yang
cukup panjang, sehingga faktor-faktor itu dapat diketahui dengan jelas.
Dalam
penjelasannya, MUI menyatakan bahwa ada tiga point yang harus digaris-bawahi
dengan fatwa tersebut:
1.
Aliran Ahmadiyah
adalah kelompok yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang
yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2.
Dengan adanya
hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur
mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan
dengan al-Qur’an dan Hadis (alruju’ ila al-haqq).
3.
Pelaksanaan
butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah di wilayah
negara Republik Indonesia harus dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait, karena
yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi adalah Pemerintah selaku ulil
amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang merugikan pihak
lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihak-pihak, hal-hal atau
kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI ini.[40]
Setelah
itu, MUI menjelaskan bahwa seluruh fatwa MUNAS VII MUI, termasuk di dalamnya
fatwa tentang Aliran Ahmadiyah, dijaring dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh masyarakat dalam berbagai forum, seperti Rakorda, Rakernas,
Musda, dan berbagai surat serta e-mail yang diterima oleh MUI. Diinformasikan
bahwa fatwa tentang Aliran Ahmadiyah diputuskan setelah terlebih dahulu
dilakukan studi yang mendalam atas ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menggunakan
pendekatan historis dan studi kepustakaan (library research), yaitu
dengan cara menelusuri sejarah Ahmadiyah, mengkaji kitab-kitab dan tulisan
karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh Ahmadiyah serta mengkaji dua kelompok
Ahmadiyah dan ajarannya masing-masing dengan merujuk langsung berbagai
literatur asli terbitan mereka.
Selain itu,
dilakukan pula kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Aqwal
Ulama serta keputusan-keputusan fatwa ulama di dunia Islam. Mengenai fatwa
ulama-ulama di dunia Islam MUI menyebut para ulama Pakistan dan India yang
telah bersepakat menghukumi kafir kepada Mirza Ghulam Ahmad serta
kedua kelompok pengikutnya sejak 70 tahun yang lalu. Di Pakistan, sejak tahun
1984 Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas nonmuslim, seperti Kristen dan
Hindu. MUI juga mengatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah dilakukan pula oleh
berbagai negara/pemerintahan muslim seperti Malaysia, Brunei, Saudi Arabia dan
berbagai negara Islam lainnya. Kemudian, diinformasikan bahwa para ulama dari
berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144 organisasi Islam dan yang
tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di
Mekkah al-Mukarromah pada tahun 1973 secara bulat (ijma’) juga
menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam.
Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10
April 1974, di bawah anjuran Rabithah ‘Alam Islami, merekomendasikan antara
lain: (1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam
tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif;
(2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam; (3) Memutuskan
segala hubungan bisnis dengan mereka; (4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam
untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap
mereka sebagai minoritas non-Islam. Berikutnya, MUI menyatakan bahwa kekufuran
Ahmadiyah juga telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI,
melalui keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada
tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M. Dalam fatwa
tersebut dinyatakan :
“Sesungguhnya
apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah
yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah
pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya
secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad
Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang
akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang
diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat diasendiri dan pengikutnya
menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah
adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa
Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi
Muhammad SAW”.[41]
MUI
mengatakan bahwa fatwa serupa itu juga telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga
fatwa/ulama di berbagai negara Islam. Di Mesir, misalnya, Majma’ al-Buhuts juga
telah menetapkan fatwa kafir terhadap Ahmadiyah.
Di samping itu,
MUI menyatakan bahwa di Indonesia bukan saja MUI yang melakukan pengkufuran
terhadap Ahmadiyah, tetapi juga berbagai ormas di Indonesia, semisal NU,
Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerjasama
Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia, Syarikat Islam
(SI), al-Irsyad al-Islamiyah, ICMI, YPI al-Azhar, Front Pembela Islam (FPI),
Front Perjuangan Islam Solo, Majelis Mujahidin Indonesia, Hidayatullah,
al-Ittihadiyah, PERTI, FUUI, al-Washliyah, dan Ormas Islam lainnya di seluruh
Indonesia (terlampir). Selain itu, dukungan atas Fatwa MUNAS MUI ini juga
disampaikan oleh kyai-kyai Pengasuh Pondok Pesantren di Jawa, Madura dan
Sumatra. Akhirnya, MUI berkesimpulan bahwa fatwa tentang kekufuran Aliran
Ahmadiyah bukan saja dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja,
tetapi sudah menjadi Ijma’ al-Majami’ (kesepakatan bulat
forum-forum Ulama) di dunia Islam.[42]
Di dalam
penjelasannya tersebut MUI juga menyatakan bahwa bukan saja Aliran Ahmadiyah
Qadiyan yang merupakan jama'ah di luar Islam dan sesat-menyesatkan, tetapi
Ahmadiyah Lahore pun sama. MUI beralasan bahwa kedua kelompok ini meski berbeda
dalam beberapa hal, tetapi mereka sepakat pada hal-hal berikut:
1.
Bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud,
sebagaimana diberitakan Nabi Muhammad Saw.
2.
Bahwa pada
Mirza Ghulam Ahmad diturunkan wahyu, yang wajib dibenarkan dan diikuti
oleh seluruh manusia.
3.
Bahwa kedua
kelompok ini sesungguhnya memilki “konsep kenabian” Mirza Ghulam Ahmad, meski
penjelasannya berbeda.
4.
Bahwa apa yang
didakwahkan, diucapkan, dan ditulis dalam semua karya dan tulisan Mirza Ghulam
Ahmad adalah sebuah kebenaran.
5.
Bahwa mereka
yang mendustakan atau menginkari dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.[43]
Oleh
karena itulah MUI menetapkan fatwa bahwa Aliran Ahmadiyah, baik Qodiyani
ataupun Lahore, sebagai keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. MUI
menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak lebih dari orang-orang yang mengaku
sebagai nabi dengan cara mena’wil ma’na nubuwwah dan risalah, sebagaimana
Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-‘Unsa dan Thalaihah bin Khuwailid yang
diperangi para sahabat Nabi Saw.[44]
Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Aliran Ahmadiyah,
baik Qadiyan maupun Lahore, sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang
tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an; melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi
Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti
mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Dengan demikian, terdapat lima indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah yang,
menurut Ali Mustafa Yaqub, merupakan produk kolonialis Inggris dan gerakan
benalu dalam Islam ini.[45]
17.
Aliran
yang Menolak Sunah/Hadis Rasul
Berkaitan
dengan Fatwa ke-7 ini MUI memutuskan dan menfatwakan bahwa 1. Aliran yang tidak
mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber hukum syari’at Islam,
adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. 2. Kepada mereka yang
secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat.
3. Menyerukan kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang
sesat itu. 4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan
petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat. 5. Meminta dengan sangat kepada
pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang
tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syari’at Islam.[46]
Sebelum
memutuskan dan menetapkan Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul
tersebut MUI menyatakan bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. merupakan sumber
Syari’at Islam. MUI mendasarkan pandangannya ini pada ayat-ayat al-Qur’an (di
antaranya: Al-Hasyr: 7, an-Nisa’: 59, 65, 80, 105 dan 150-151, Ali Imran:
31-32, dan an-Nahl: 44), hadis-hadis Rasulullah, dan Ijma’ para sahabat
Rasulullah, baik selama hayatnya maupun setelah wafatnya. Di samping menyatakan
bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syari’at Islam, MUI juga
mengatakan bahwa adanya aliran tersebut di tengah-tengah masyarakat akan menodai
murninya agama Islam dan menimbulkan keresahan di kalangan Umat Islam, yang
pada gilirannya akan mengganggu stabilitas/ketahanan nasional. Dua hal inilah
yang mendasari atau melatari lahirnya Fatwa ke-7 tentang Aliran yang Menolak
Sunah/Hadis Rasul. MUI tidak menambahkan penjelasan mengenai fatwa ini.
Bila dilihat dari
perspektif Sejarah Pemikiran Islam, maka sebelumnya telah ada kelompok yang
menolak Sunnah/Hadis Rasulullah sebagai sumber Syari’at Islam. Fazlur Rahman,[47]
misalnya, menyebutkan telah adanya oposisi zaman klasik terhadap hadis (bukan
sunnah), meski bukan dalam pengertian penolakan hadis secara keseluruhan, yaitu
kaum Hanafiyah menolak hadis yang tidak mutawatir; kaum Mâlikiyah menolak hadis
ahad dan lebih berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah;[48]
dan kaum Mu‘tazilah menolak hadis-hadis yang bertentangan dengan akal,
khususnya hadis-hadis tentang antropomorfisme.[49]
Penolakan zaman klasik ini, barangkali, menjadi cikal-bakal adanya kelompok
inkâr al-hadîts dan inkâr al-sunnah. Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898
M), menurut Rahman, yang awalnya mendesak untuk membedakan antara hadis yang
asli dan yang tidak asli, pada akhirnya sama seperti rekannya, Charagh ‘Ali,
menolak hadis. Dalam pandangan Rahman, sikap ini telah meninggalkan warisan yang
permanen di anak benua India, di mana sekelompok umat telah muncul dengan
menamakan diri mereka sebagai ahl al-Qur’an dan mereka menolak hadis
secara keseluruhan.[50]
Dari informasi itu
menunjukkan bahwa umat yang menolak hadis itu, pada dasarnya, tidak seragam.
Umumnya, orang-orang yang menolak hadis/sunnah dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, sesuai dengan sikap mereka terhadap hadis/sunnah. Pertama,
kelompok yang menolak seluruh hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah atau sebagai
sumber kedua ajaran Islam. Bagi kelompok ini, satu-satunya sumber ajaran Islam
adalah al-Qur’an. Kelompok ini sudah eksis di zaman Imam Syâfi‘î. Kedua,
kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah Saw. yang kandungannya tidak
disebutkan di dalam al-Qur’an, baik secara implisit maupun eksplisit. Penolakan
kelompok ini menunjukkan bahwa hadis tidak memiliki otoritas untuk menentukan
hukum baru di luar yang ditentukan al-Qur’an. Kelompok kedua ini, sebagaimana
kelompok pertama, sudah eksis di zaman Imam Syâfi‘î. Ketiga, kelompok
yang tidak bersedia menerima hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah kecuali hadis
yang mutawatir. Mereka ini menolak hadis-hadis âhâd sebagai hujah, meski
di antara hadis-hadis âhâd ini ada yang memenuhi syarat-syarat sahih.
Kelompok ketiga inipun telah muncul di zaman Imam Syâfi‘î (Imam yang dikukuhkan
sebagai nashr al-sunnah, pembela al-Sunnah).[51]
Argumen-argumen ketiga kelompok inkarsunah ini disanggah Imam Syâfi‘î dan
sanggahan Imam Syâfi‘î terhadap kelompok inkarsunah ini telah berhasil
membendung gerakan mereka (gerakan inkarsunah) untuk kurun waktu yang cukup
panjang, sebab sejak saat itu tidak ada lagi catatan dalam sejarah pemikiran
Islam akan adanya gerakan inkarsunah, kecuali di akhir abad ke-19 dan di abad
ke-20 gerakan itu muncul kembali.[52]
Peran Imam Syâfi‘î
sebagai pembela Sunnah itu diakui oleh Ali Mustafa Yaqub. Namun, Yaqub
menunjukkan lebih jauh tengang cikal-bakal munculnya paham inkarsunnah ini.
Menurut Yaqub, cikal-bakal munculnya paham inkarsunnah ini berawal dari adanya
individu sahabat, di antaranya Umayyah bin ‘Abdullah bin Khalid (w. 87 H) yang
merupakan kemenakan ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 74 H), yang tidak peduli terhadap
hadis. Akan tetapi, individu sahabat ini akan segera sadar akan kekeliruannya
setelah disadarkan oleh sahabat lainnya. Kemudian, Yaqub menunjukkan bahwa
gejala inkarsunah ini pada akhir abad kedua hijri terjadi di Iraq, khususnya
Basrah. Sebagaimana telah disebutkan, berkat pembelaan Imam Syâfi‘î kelompok
inkarsunah ini menjadi hilang dalam waktu yang cukup panjang, hingga kemunculannya
kembali di abad keempatbelas hijri atau kesembilanbelas masehi dikarenakan
adanya pengaruh kolonialisme yang melanda umat Islam dan ingin menguasai Dunia
Islam. Oleh karena itu, bila di era klasik kelompok inkarsunah itu hanya
terjadi di Iraq, maka di era modern terjadi di berbagai belahan Dunia Islam,
yang bukan saja terjadi di Mesir dan India (Pakistan), tetapi juga terjadi di
Indonesia.[53]
Tokoh-tokoh inkarsunah zaman modern yang terkenal adalah Tawfiq Sidqi (w. 1920)
dan Rasyad Khalifa (keduanya dari Mesir, tetapi tokoh yang kedua menetap di
Amerika serikat), Ghulam Ahmad Parvez (India, lahir 1920), dan Kassim Ahmad
(Malaysia). Tokoh-tokoh inkarsunah di Indonesia, di antaranya, Abdul Rahman,
Moch. Irham, Sutarto dan Lukman Saad. Oleh karena kelompok ini sempat
meresahkan masyarakat dan banyak menimbulkan reaksi, maka atas kejadian ini
keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/J.A./1983 tertanggal 30
September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunah di seluruh
wilayah Republik Indonesia.[54]
Mungkin saja SK Jaksa Agung ini juga merupakan tindak lanjut dari Fatwa MUI
yang ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul yang ditetapkan MUI dua
bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 16 Ramadhan 1403 H. atau tanggal 27
Juni 1983 M.
Dari uraian itu
dapat diketahui bahwa paham inkarsunah dapat dilacak asal-usulnya atau
gejala-gejalanya sampai zaman Islam yang cukup dini, yakni pada zaman sahabat.
Kalau dilihat dari indikator kesesatannya, maka aliran yang menolak Sunah/Hadis
Rasul itu tampaknya hanya sesat dalam hal pengingkaran terhadap kedudukan hadis
Nabi Saw. sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an.
18.
Darul
Arqam
Fatwa MUI yang
ke-8 tentang Darul Arqam ini, di antaranya, berbunyi: Mendukung sepenuhnya
Keputusan Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh, Majelis Ulama Indonesia
Tingkat I Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Sumatera
Selatan, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Riau, dan Keputusan Rapat
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta memperkuat kesepakatan Silaturahmi
Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat 1,
Tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru, yang pada intinya menyatakan bahwa Ajaran
Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari Aqidah Islamiyah. Selanjutnya,
kepada Umat Islam yang sudah terlanjur mengikuti ajaran tersebut agar segera
kembali kepada ajaran Islam yang benar, ajaran yang sesuai dengan tuntunan
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam amar keputusan dan ketetapan fatwa
yang ditanda tangani pada tanggal 13 Agustus 1994 oleh Ketua Umum dan
Sekretaris Dewan Pimpinan MUI ini, yakni KH. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo,
tidak terdapat klausul sesat dan menyesatkan, tetapi di awal tulisan tentang
fatwa ini dinyatakan bahwa dalam Silaturrahmi Nasional pada tanggal 16 Juli
1994 di Pekanbaru diperoleh kesepakatan, di antaranya, Darul Arqam yang inti
ajarannya Aurad Muhammadiyah adalah faham yang menyimpang dari aqidah Islam
serta faham yang sesat menyesatkan.[55]
Dengan demikian, dapat difahami bahwa ajaran Darul Arqam dalam fatwa ini
dinyatakan sebagai faham yang bukan saja menyimpang dari Aqidah Islamiyah,
tetapi juga sesat menyesatkan.
Ajaran Aurad
Muhammadiyah (wirid-wirid Muhammad) yang dinilai menyimpang dan
sesat-menyesatkan itu adalah ajaran tentang wirid (bacaan rutin) yang dibaca
setelah shalat, yang diterima secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. oleh sang
pendiri Darul Arqam, Muhammad Suhaimi, dalam keadaan jaga di sisi Ka’bah.
Menurut Yaqub, ada yang mengatakan kalau dari segi substansi wirid itu sendiri
masih dapat dipertimbangkan, tetapi klaim bahwa wirid itu merupakan ajaran
langsung dari Nabi Saw. merupakan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Bagi
Yaqub—dan tentu saja merupakan pandangan mayoritas umat—apabila klaim bertemu
Nabi Saw. dalam keadaan jaga ini dibenarkan, maka suatu saat nanti akan ada
lagi orang-orang yang mengklaim diri bertemu secara langsung dengan Nabi dalam
keadaan jaga, di mana Nabi mengajarkan wirid-wirid tertentu untuk diamalkan dan
disebarkan kepada orang lain. “Kalau ini terjadi,” tulis Yaqub, “maka akan
kacaulah agama Islam.”[56]
Akan tetapi, kalau klaim bertemu Nabi itu dalam keadaan tidur (mimpi), maka
klaim itu dapat saja dipertimbangkan dikarenakan Nabi sendiri membenarkan
kemungkinan umatnya bermimpi bertemu dengan Nabi.
Meski klaim
bertemu dengan Nabi dalam keadaan mimpi itu dapat dipertimbangkan, sebagaimana
klaim pendiri kalam Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, Abû al-Hasan al-Asy‘arî,[57]
tetapi klaim menerima ajaran baru dari Nabi setelah Nabi wafat bertentangan
dengan Firman Allah yang menyatakan:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agamamu” (QS al-Maidah: 3). Ayat ini menunjukkan
kesempurnaan ajaran Islam dan selesainya atau tidak adanya lagi ajaran Islam
yang baru sepeninggal Nabi Saw. Oleh karena itu, klaim Suhaimi menerima ajaran
baru setelah Nabi wafat, apalagi dalam keadaan jaga, merupakan klaim yang
menyimpang dan sesat-menyesatkan.[58]
Dilihat dari
indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, seperti telah diungkap di Bab II, maka
kesesatan Darul Arqam adalah meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya
keyakinan Darul Arqam tentang penerimaan ajaran dari Nabi setelah Nabi tiada
dapat pula dikategorikan pada pengingkaran terhadap otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an,
dikarenakan al-Qur’an telah menyatakan akan kesempurnaan ajaran Islam. Oleh
karena itu, terdapat dua indikator kesesatan Darul Arqam ini.
19.
Fatwa tentang
Malaikat Jibril Mendampingi Manusia
Fatwa ke-9 ini
berawal dari surat permohonan Ir. Andan Nadriasta tanggal 4 Oktober 1997 mengenai
ajaran kelompok pengajian yang dipimpin oleh Ibu Lia Aminuddin, yang menyatakan
bahwa dirinya (Ibu Lia Aminuddin) didampingi dan mendapatkan ajaran dari
Malaikat Jibril. Setelah memberikan uraian yang cukup banyak tentang masalah
ini MUI memutuskan dan memfatwakan bahwa Doa Keyakinan atau akidah tentang
malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus
didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (al-Qur’an dan Hadis).
Menurut MUI, tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat
Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat
manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran
agama yang telah ada, dikarenakan ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan
seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt
Jibril bertentangan dengan al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang
sesat dan meyesatkan. Fatwa ini diakhiri dengan empat poin himbauan, satu di
antaranya, kepada: Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang
memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama
dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam
bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada
ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya
oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari al-Qur’an dan hadis.[59]
Fatwa ke-9
tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia yang diklaim oleh Ibu Lia Aminudin
itu tidak diberi penjelasan tambahan, tetapi sebelum fatwa diputuskan MUI
memberikan penjelasan atau argumen-argumen yang menjadi dasar fatwa ini
diputuskan. Argumen yang disampaikan MUI ini cukup panjang sehingga Fatwa ke-9
ini terdiri dari empatbelas halaman. Salah satu argumen MUI adalah keyakinan
umat Islam bahwa Islam merupakan agama yang sempurna, yang kesempurnaannya
meliputi seluruh aspek ajaran, sehingga tidak diperlukan lagi adanya ajaran
tambahan, dan dengan demikian Malaikat Jibril telah selesai tugasnya sebagai
pembawa wahyu dengan wafatnya rasul terakhir, Muhammad Saw.: Malaikat Jibril
tidak akan pernah turun lagi ke bumi setelah wafatnya Rasulullah Saw. karena
tugas Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu telah berakhir dengan berakhirnya
(wafatnya) Rasulullah Saw.;[60]
sesudah Nabi Muhammad wafat Jibril tidak akan lagi menurunkan wahyu maupun
ajaran kepada siapapun, karena Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan ajaran
Allah untuk umat manusia telah dinyatakan sempurna. Argumen MUI lainnya adalah
ketidakmungkinan Malaikat berbhong, sementara malaikat yang diklaim mendampingi
Ibu Lia Aminudin melakukan kebohongan, seperti mengakui dirinya bernama Jibril,
tetapi esok harinya atau hari sebelumnya mengaku bernama selain Jibril.[61]
Atas dasar itu,
klaim Ibu Lia Aminudin itu dinyatakan sesat-menyesatkan dan indikator
kesesatannya adalah Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya Ibu
Lia Aminudin dapat pula dinilai mengingkari kebenaran isi Al-Qur’an, sehingga pengingkaran
terhadap isi al-Qur’an ini dapat pula dijadikan indikator kesesatannya. Dengan
demikian, terdapat dua indikator kesesatan Ibu Lia Aminudin.
20.
Pluralisme, Liberalisme,
Sekulerisme Agama
Fatwa ke-12 ini
merupakan salah satu produk Musyawarah Nasional MUI VII yang diselenggarakan
pada tanggal 26-29 Juli 2005. Berkenaan dengan masalah ini MUI memutuskan dan
menetapkan dua ketentuan sebagai berikut, Pertama: Ketentuan Umum. Dalam fatwa
ini, yang dimaksud dengan: 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup berdampingan di surga. 2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa
di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup
secara berdampingan. 3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama
(Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. 4.
Sekularisme agama adalah memisahkan
urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi
dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan
kesepakatan sosial. Kedua: Ketentuan Hukum. 1. Pluralisme, sekularisme
dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti
paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. 3. Dalam masalah aqidah
dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram
mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk
agama lain. 4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain
(pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan
ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan
sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Setelah
memutuskan dan menetapkan dengan kedua ketentuan ini MUI juga memberikan
penjelasan tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama
tersebut.[62]
Dalam
penjelesannya, MUI menyatakan bahwa aliran atau paham sekularisme dan
liberalisme agama ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di
Indonesia. Dua aliran pemikiran ini dipandang MUI telah menyimpang dari
sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat
terhadap ajaran agama Islam. MUI juga memandang bahwa pendukung dua aliran ini
telah melakukan penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun,
sehingga melahirkan faham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang
berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Kemudian, MUI melihat
bahwa dalam pandangan pluralisme agama, semua agama dianggap sama. Anggapan ini
dinilai MUI memunculkan relativisme agama yang dapat mendangkalkan keyakinan
akidah. Bahkan, dalam penglihatan MUI, para penganjur prularisme, liberalisme
dan sekularisme agama itu telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap bahwa
banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang dijamin keotentikannya
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah tidak relevan lagi, seperti larangan
kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki
non-Islam sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18/11/2002).
Tentang melakukan penafsiran agama
secara bebas yang dilakukan pendukung paham prularisme, liberalisme dan
sekularisme agama itu, barangkali, dapat dilacak pada tradisi kaum mujtahid
ahli ra’yi dan kaum mu‘tazilah, sebagaimana telah diungkap ketika membahas
inkarussunah di atas, tetapi akan menjadi perdebatan tersendiri apabila kaum
mujtahid ahli ra’yi dan kaum mu‘tazilah ini dinilai melakukan penafsiran tanpa
kaidah penuntun, seperti yang dituduhkan MUI terhadap pendukung paham
prularisme, liberalisme dan sekularisme agama tersebut. Artinya,
ada kesamaan sekaligus ada perbedaan antara pendukung paham prularisme,
liberalisme dan sekularisme agama dengan mujtahid ahli ra’yi dan kaum
mu‘tazilah.
Mengenai kesamaan agama-agama, kelihatannya, dapat dilacak pada
tasawuf falsafi. Di Bab I telah dikatakan bahwa pengharaman MUI terhadap paham
pluralisme, tampaknya, bisa ditelusuri dari ketegangan fuqahâ’ Ahl
al-Sunnah dengan kaum Sufi itu, karena kaum Sufi, khususnya yang beraliran wahdatul
wujûd, memandang kesamaan agama-agama. Jalaluddin Rumi, seperti dikutip
Sayyid Husein Nasr, mengatakan: “Bila seseorang bisa menembus ke dalam
maknanya yang terdalam, maka ia akan tenteram. O tulang-belulang keberadaan!
Karena sudut pandang yang dipersoalkan, maka timbul perbedaan antara orang
Islam, Zoroaster dan Yahudi.”[63]
Barangkali, pengharaman MUI terhadap sekulerismepun dapat ditelusuri jejaknya
dari ketegangan fuqahâ’ Ahl al-Sunnah dan kaum Sufi dikarenakan kaum
Sufi mengajarkan tentang zuhd (menjauhi atau meninggalkan urusan-urusan
keduniaan, termasuk di dalamnya urusan kenegaraan), sementara kelompok fuqahâ’
Ahl al-Sunnah justeru dekat dengan penguasa.
Apabila dilihat dari indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, maka
para pendukung prularisme, liberalisme dan sekularisme agama itu sesat dalam
hal: Meyakini dan atau mengikuti
aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an
dan Al-Sunnah, Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an, dan Melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Dengan demikian, terdapat tiga indikator kesesatan para
pendukung prularisme, liberalisme dan sekularisme agama.
21.
Aliran
Al-Qiyadah Al-Islamiyah
Fatwa ke-14 tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ini MUI
memutuskan dan menetapkan bahwa Pertama : Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah
yang mengajarkan ajaran, antara lain: 1. Adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu
alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasul Allah”, 2.
Adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, 3. Belum mewajibkan shalat,
puasa dan haji, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua : Ajaran
al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di
luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari
Islam); Ketiga : Bagi mereka yang telanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah
al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’
ila alhaq). Ajaran aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah terbukti menodai
dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan
mengatasnamakan Islam. Kelima : Pemerintah berkewajiban untuk melarang
penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat
kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[64]
Ajaran dan
pendirian Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah itu, tampaknya, tidak jauh berbeda
dengan Aliran Ahmadiyah. Kedua aliran ini sama-sama mengajarkan syahadat yang
baru dan meyakini adanya nabi/rasul setelah Muhammad Saw. Aliran Ahmadiyah
meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih
al-Mau’uud, yang kemudian diyakini pula sebagai nabi/rasul. Keyakinan
Aliran Ahmadiyah ini bersumber dari klaim Mirza Ghulam Ahmad sendiri: Mirza
Ghulam Ahmad mengklaim diri sebagai al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih
al-Mau’uud serta sebagai nabi/rasul. Demikian pula dengan Aliran al-Qiyadah
al-Islamiyah, meski ada perbedaan sedikit. Ahmad Moshaddeq, pendiri aliran
al-Qiyadah al-Islamiyah, mengklaim diri sebagai masih al-Mau’ud dan sebagai Rasul Allah sehingga ajaran
syahadatnya berbunyi: Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih
al-Mau’ud Rasul Allah. Hal ini berarti, Ahmad Moshaddeq bukan saja
mengajarkan syahadat yang baru, tetapi juga mengajarkan adanya rasul yang baru,
yang tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Ahmad Moshaddeq pun
mengajarkan bahwa shalat, puasa dan haji belum wajib dilaksanakan.
Kelihatannya,
munculnya nabi-nabi palsu itu, seperti klaim Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmad
Moshaddeq, terinspirasi dari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang diyakini
mayoritas umat akan munculnya Imam Mahdi (al-Mahdi al-Ma’huud) dan
turunnya Isa bin Maryam (al-Masih al-Mau’uud) di akhir zaman. Mengenai
datangnya Imam Mahdi (mahdî merupakan bentuk objek/maf‘ûl dari
kata hadâ yahdî yang berarti membimbing atau memberi petunjuk bimbingan
Allah Swt. untuk menyelamatkan umat manusia) berakar kuat dalam keyakinan kaum
Ahlussunnah maupun kaum Syi‘ah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis-hadis
akan munculnya Imam Mahdi ini bersifat mutawâtir, yang berarti
benar-benar berasal dari Rasulullah Saw. Hanya saja, siapa figur Imam Mahdi itu
nanti merupakan ikhtilaf di antara umat. Paling tidak, terdapat empat pendapat
mengenai figur Imam Mahdi ini. Pertama, Imam Mahdi berasal dari
keturunan Fatimah az-Zahra, yang lazim disebut ahlul bait, dan hal ini
merupakan keyakinan di kalangan mayoritas umat. Kedua, figur Imam Mahdi
itu hanya merupakan figur seorang penyelamat kehidupan umat manusia, sehingga
tidak musti berasal dari keturunan ahlul bait. Pandangan inilah yang melahirkan
adanya klaim atau pengakuan klaim seseorang sebagai Imam Mahdi yang terjadi
sejak abad pertama Hijriah yang tidak sedikit jumlahnya. Ketiga, Imam
Mahdi adalah figur perorangan, tapi lambang atau simbol kemenangan yang haqq terhadap
kebatilan atau simbol kemenangan keadilan terhadap ketidakadilan. Pendapat ini
milik pemikir-pemikir modern. Keempat, Imam Mahdi adalah figur seseorang yang
berasal dari keturunan Fatimah atau ahlul bait, yang merupakan salah seorang di
antara imam-imam ahlul bait.[65]
Dari keempat pendapat ini, pendapat kedua dapat menginspirasi munculnya klaim
seseorang sebagai Imam Mahdi dan hal ini telah terbukti dalam sejarah. Tentu
saja, klaim itu mungkin saja bukan sekadar adanya pendapat yang kedua ini,
tetapi bisa jadi terkait pula dengan motif-motif ekonomi-politik.
Mengenai
turunnya Nabi Isa di akhir zaman, Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa salah satu
keyakinan Ahmadiyah yang menonjol adalah keyakinan tentang Isa al-Masih. Bagi
Ahmadiyah, kata Yaqub, Nabi Isa bin Maryam yang diutus untuk kaum Bani Israil
itu sudah mati dan hadis-hadis shahih yang menerangkan bahwa Nabi Isa bin
Maryam yang akan turun lagi ke dunia di akhir zaman nanti bukanlah Nabi Isa bin
Maryam yang diutus untuk kaum Bani Israil, tetapi orang lain yang serupa dengan
dengan Nabi Isa dan orang ini tidak lain tidak bukan adalah Mirza Ghulam Ahmad
sendiri.[66]
Jika dilihat dari indikator
kesesatannya, maka kesesatan Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah boleh dikata sama
dengan kesesatan Aliran Ahmadiyah, yaitu sesat dalam hal keyakinan dan atau
aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah; meyakini turunnya
wahyu setelah Al-Qur’an; melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi
Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti
mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Dengan demikian, terdapat lima indikator kesesatan Aliran Al-Qiyadah
Al-Islamiyah, sama dengan indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah.
Dari uraian-uraian
di atas, maka Fatwa ‘Sesat’ MUI berkenaan dengan kedelapan kelompok atau aliran
tersebut dapat diringkas dalam tabel berikut:
No
|
Fatwa ke-
|
Tentang
|
Alasan dan Pernyataan yang Dinyatakan
|
Indikator ke-
|
Jumlah Indikator
|
1
|
2
|
Islam Jama’ah
|
Sesat dan menyesatkan, sangat bertentangan dengan ajaran Islam
yang sebenarnya (Islam yang murni)
|
1
(Meyakini dan atau
mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah)
|
1
|
2
|
3 dan 13
|
-
Ahmadiyah
Qadiyan
-
Aliran
Ahmadiyah
|
-
Jama’ah di luar
Islam, Sesat-menyesatkan
-
Sesat-menyesatka
-
Berada di
luar Islam, Pengikutnya murtad.
|
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah), 3 (Meyakini turunnya wahyu setelah
Al-Qur’an), 5 (Melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir), 8 (Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai
nabi dan rasul terakhir), dan 10 (Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i).
|
5
|
3
|
7
|
Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul
|
Sesat dan Menyesatkan serta Berada di luar Islam
|
1
(Mengingkari
kedudukan hadis Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam)
|
1
|
4
|
8
|
Darul Arqam
|
Menyimpang dari Aqidah Islamiyah dan sesat menyesatkan
|
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan 4 (Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an)
|
2
|
5
|
9
|
Malaikat Jibril Mendampingi Manusia
|
Sesat dan Menyesatkan
|
2
(Meyakini dan atau
mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan 4 (Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an)
|
2
|
6
|
12
|
Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama
|
Haram dan Bertentangan dengan ajaran agama Islam
|
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah), 4 (Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an), dan 5 (Melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir)
|
3
|
7
|
14
|
Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah
|
Sesat dan Menyesatkan, Berada di luar Islam, Pengikutnya murtad
|
2 (Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah), 3 (Meyakini turunnya wahyu setelah
Al-Qur’an), 5 (Melakukan penafsiran
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir), 8 (Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai
nabi dan rasul terakhir), dan 10 (Mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i).
|
5
|
Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan dengan tabel yang
diungkap di Bab II, karena setelah diadakan penyelidikan ternyata indikator
kesesatan kelompok atau aliran-aliran itu ada yang bertambah. Dengan demikian,
kalau tabel di Bab II itu dikatakan masih bersifat sementara, maka tabel ini
bersifat permanen dalam penelitian ini. Tidak menutup kemungkinan, dalam
penelitian berikutnya atau dalam penelitian lainnya hasilnya akan berbeda.
Wallahu a‘lam.
[1] Fatwa
tentang Ahmadiyah merupakan Fatwa yang ke-13 dan mengenai Aliran Al-Qiyadah
Al-Islamiyah merupakan Fatwa yang ke-14 yang dihimpun dalam Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Jakarta 2010.
[2] Kamus
Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta, 2008, h. 406
[3]
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonsia 1975 – 1988, h. 2
[4]
“Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” dalam Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sekretariat Majelis Ulama Indonesia,
Jakarta, 2010, h. 5
[5]
“Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” h. 5
[6] Kamus
Bahasa Indonesia, h. 1337
[7] Ahmad
warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Surabaya, Pustaka
Progressif, 1997, h. 826
[8] Ahmad
warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, h. 1218, Mahmud
Yunus, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Pentafsir Al Qur’an, 1973, h. 378 dan Kamus Bahasa Indonesia, h.
615
[9] Toshihiko
Izutsu ‘memperkenalkan’ istilah pengkafiran yang pertama kali dilakukan kaum Khawârij
dengan istilah takfir, yang didefinisikan sebagai “mengutuk seseorang
sebagai tidak percaya (kafir)” atau “mengecam seseorang sebagai kafir.” Toshihiko
Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya, Cet. I, 1994, h. 6, 19. Penggunaan istilah takfir dalam
tulisan ini mengikuti istilah yang digunakan Izutsu tersebut.
[10] Jawapos,
Jakarta, Rabu, 07 Nov 2007 dan NU Online,
Jakarta, www.nu.or.id, Selasa, 6 November 2007
[11] Tentang
pedoman penetapan fatwa ini merupakan ketetapan berdasarkan SK Dewan Pimpinan
MUI nomor: U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997. Pedoman ini merupakan
penyempurnaan terhadap keputusan Sidang Pengurus Paripurna MUI tanggal 7
Jumadil Awwal 1406 H/18 Januari 1986 M yang dipandang sudah tidak memadai lagi.
“Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” h. 4
[12]
“Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama
Indonesia, 2010, h. 3-4
[13]
“Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” h. 7
[14] Di Pedoman
Dasar Majelis Ulama Indonesia Bab III tentang “Sifat dan Fungsi” Pasal 4
mengenai “Fungsi” dinyatakan bahwa MUI merupakan pemberi fatwa kepada umat
Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.
[15] “Fatwa
ke-38: Perkawinan Beda Agama,” h. 472-7
[16] “Hukum
Merokok,” h. 812-4
[17] “Fatwa
ke-1: Masalah Jama‘ah, Khalifah dan Bai‘at,” h. 35-7
[18] “Fatwa
ke-2: Islam Jama‘ah,” h. 38-40
[19] “Fatwa
ke-3: Ahmadiyah Qadiyan,” h. 41-2
[20] “Fatwa
ke-4: Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil,” h. 43
[21] “Fatwa
ke-5: Perkawinan Campuran,” h. 44-7. Fatwa ini sama dengan “Fatwa ke-38:
Perkawinan Beda Agama” (h. 472-7) yang termasuk Bidang Sosial dan Budaya.
[22] “Fatwa
ke-6: Faham Syiah,” h. 48-9
[23] “Fatwa
ke-7: Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul,” h. 50-6
[24] “Fatwa
ke-8: Darul Arqam,” h. 57-61
[25] “Fatwa
ke-9: Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril MendampingiManusia,”
h. 62-75
[26] “Fatwa
ke-10: Terorisme,” h. 76-82. Penjelasan Fatwa MUI tentang Terorisme ditambahkan
dalam Fatwa ini pada hal. 83-4.
[27] “Fatwa
ke-11: Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah),” h. 85-91
[28] “Fatwa
ke-12: Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama,” h. 92-100
[29] “Fatwa
ke-13: Aliran Ahmadiyah,” h. 101-118
[30] “Fatwa
ke-24: Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah,” h. 119-123
[31] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Cet. 1, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, h. 266
[32] “Fatwa
ke-2: Islam Jama‘ah,” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2010, h. 38-40
[33] Abû
al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karîm b. Abî Bakr Ahmad
al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (selanjutnya, Al-Syahrastânî, al-Milal
wa al-Nihal), Beirut: Dâr al-Fikr, 2005, h. 97-8, Ahmad Muhammad
Ahmad Jalî, Dirâsah ‘ani al-Firaq fî Târîkh al-Muslimîn: al-Khawârij
wa al-Syî‘ah (berikutnya, Ahmad Jalî, Dirâsah ‘ani al-Firaq),
Al-Riyâdh: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah, h. 68-9, ‘Alî Musthafâ
al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al-Kalâm ‘inda
al-Muslimîn (selanjutnya, Al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah),
Kairo: Maktabah wa Mathba‘ah Muhammad ‘Alî Shubaih wa Awlâdih, 1958, h. 276-7,
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan
(selanjutnya ditulis Teologi Islam), UI-Press, 2010, h. 16-7 dan Abdul
Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam Bagian I: Pemikiran
Teologis, (selanjutnya disebut Perkembangan Pemikiran dalam Islam),
Jakarta: Beunebi, Cet. I, 1987, h. 44
[34] Abû
Nashr al-Sarrâj mengatakan bahwa sahabat-sahabat, bukan hanya satu sahabat,
merupakan bintang-gemintang yang dengan siapa saja seseorang (kaum sufi) dapat
mengikuti dan meneladani mereka. Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma‘,
Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat, t.t. h. 166
[35] Fazlur
Rahman, Islam, edisi kedua, Chicago: The University of Chicago, 1979, h.
70-1. Tampaknya telah disepakati bahwa dasar ijtihad atau sumber ajaran Islam
adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’, tetapi prinsip qiyâs, istihsân
atau al-mashlahah al-mursalah tidak disepakati penerapannya.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 183
[36]
Al-Jazairî mengatakan bahwa Madzhab Hanafiyah membolehkan khutbah jum’ah dengan
bahasa selain Bahasa Arab, meski sang khotib mampu berbahasa Arab. Adapun
Hanâbilah menganggap tidak sah dengan bahasa selain Arab jika mampu berbahasa
Arab, tetapi yang tidak mampu diperbolehkan berbahasa selain Arab kecuali ayat
al-Qur’an yang tidak boleh dengan bahasa selain Arab. Sementara Syâfi‘iyah
memandang merupakan syarat dengan bahasa Arab hal-hal yang berkaitan dengan
rukun khutbah, sehingga dipandang tidak memadai berkhutbah dengan bahasa selain
Arab bagi orang Arab. Hanya saja, Syâfi‘iyah menganggap bagi orang non-Arab
tidak disyaratkan dengan Bahasa Arab, meski yang berkaitan dengan rukun
khutbah. Adapun Mâlikiyah memandang khutbah dengan Bahasa Arab sebagai syarat
sahnya khutbah, walau orang non-Arab. Menurut Mâlikiyah, bila tidak ada yang
mampu berkhutbah dengan Bahasa Arab secara baik, maka gugurlah kewajiban Shalat
Jum’ah bagi mereka. ‘Abd al-Rahmân Al-Jazairî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba‘ah, Jilid 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2008, h. 355
[37] “Fatwa
ke-3: Ahmadiyah Qadiyan,” h. 41-2
[38] “Fatwa
ke-13: Aliran Ahmadiyah,” h. 101-105.
[39] “Fatwa
ke-13: Aliran Ahmadiyah,” h. 106-118
[40]
“Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 106
[41]
“Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 117
[42]
“Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 117-8
[43]
“Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 114-5
[44]
“Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah,” h. 115
[45] Ali
Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, Cetakan 1, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001, h. 93-100
[46] “Fatwa
ke-7: Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul,” h. 50-6
[47] Fazlur
Rahman, Islam, h. 60-63
[48] Maksud
Imam Mâlik atau kaum Mâlikiyah menolak hadis ahad dan lebih berpegang kepada
sunnah (tradisi) Madinah ini harus dipahami secara baik supaya tidak salah
paham dikarenakan Imam Mâlik, dalam pengelompokan Al-Syahrastânî, termasuk
kelompok mujtahid ahli hadis, yang dibedakan dengan ahli ‘Iraq atau Imam Abû
Hanîfah dan pengikutnya yang dikelompokkan sebagai mujtahid ahli ra’yi. Abû
al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karîm b. Abî Bakr Ahmad
al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (selanjutnya, Al-Syahrastânî, al-Milal
wa al-Nihal), Beirut: Dâr al-Fikr, 2005, h. 166-7
[49] Di
kalangan mutakallim di samping kaum Mu‘tazilah, kaum Khawarij juga menolak
hadis ahad sebagai hujjah. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits,
Cetakan kelima, Bandung: PT Alma’arif, 1987, h. 46. Sejalan dengan hal ini, Ali
Mustafa Yaqub menyatakan bahwa tidak tepat mengatakan bahwa semua golongan
Khawarij menolak hadis disebabkan ada di antara kaum Khawarij, yakni kelompok
Ibadhiyah, yang menerima hadis secara keseluruhan, baik yang diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib, Aisyah isteri Nabi Saw., ‘Usman bin ‘Affan, Abu Hurairah,
Anas bin Malik radhiya Allah ‘anhum maupun yang dari sahabat-sahabat
lainnya. Demikian pula dengan kaum Mu‘tazilah. Menurut Yaqub, Madzhab
Mu‘tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar Sunnah, tetapi sebaliknya,
mereka menerima Sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam. Hanya saja, Yaqub mengakui
kemungkinan adanya beberapa hadis yang mereka kritik apabila hadis itu
berlawanan dengan pemikiran madzhab mereka. Walau Yaqub mengakui adanya
kemungkinan ini, tetapi Yaqub tetap menyatakan bahwa hal itu bukan berarti
Mu‘tazilah menolak hadis secara keseluruhan. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,
Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka Firdaaus, 2004, h. 40-43
[50] Fazlur
Rahman, Islam, h. 219. Di samping Sayyid Ahmad Khan dan Charagh ‘Ali,
Ali Mustafa Yaqub juga menyebut tokoh-tokoh inkarsunah dari India yang lainnya,
yaitu Mirza Ghulam Ahmad, Abdullah al-Jakr, Ahmad al-Din dan Ghulam Ahmad
Parwez. Tokoh yang terakhir inilah yang mendirikan organisasi ahl al-Qur’an.
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka Firdaaus,
2004, h. 50
[51] M.
Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Cet. 1, Bandung: Mizan, 1992, h. 123-4
[52] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 225-7
[53] Ali
Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 39-51
[54] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, h. 226
[55] “Fatwa
ke-8: Darul Arqam,” h. 57-61
[56] Ali
Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, 103-5
[57] M.
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Cet. 1, Jakarta:
Perkasa Jakarta, 1990, h. 48
[58] Hartono
Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Cet. Ke-19, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009, h. 41-2
[59] “Fatwa
ke-9: Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril MendampingiManusia,”
h. 62-75
[60] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 136
[61] “Fatwa
ke-9: Fatwa Dewan Pimpinan MUI tentang Malaikat Jibril MendampingiManusia,” h.
67, 70
[62] “Fatwa
ke-12: Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama,” h. 92-100
[63] Sayyid
Hussein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul hadi WM dari Living
Sufism, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, h. 143
[64] “Fatwa
ke-24: Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah,” h. 119-123
[65] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 110-1
[66] Ali
Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, h. 98
Artikel ini, meski tidak persis sama, dimuat di Jurnal Miqot. Baca http://jurnalmiqot.org/ojs/index.php/miqot/article/view/182
BalasHapus