Ibn
‘Athâ’illâh di dalam kitabnya Al-Hikam melarang meninggalkan
dzikir dikarenakan kelalaian kepada Allah dengan tiadanya berdzikir jauh lebih
berbahaya dibanding kelalaian kepada Allah dengan adanya berdzikir. Dengan
mendawamkan berdzikir, menurut Ibn ‘Athâ’illâh, lama kelamaan akan mencapai
taraf dzikir yang disertai dengan kelalaian terhadap segala sesuatu yang selain
Allah. Ibn ‘Athâ’illâh mengatakan:
“Jangan engkau tinggalkan dzikir dikarenakan
engkau tidak merasakan Kehadiran Ilahi di dalam dzikir tersebut, sebab
kelalaian engkau terhadap-Nya dengan tidak adanya dzikir kepada-Nya itu lebih
berbahaya daripada kelalaianmu terhadap-Nya dengan adanya dzikir kepada-Nya.
Oleh karena itu, mudah-mudahan Allah menaikkan engkau dari dzikir yang disertai
dengan kelalaian kepada dzikir yang disertai dengan kesadaran, dari dzikir yang
disertai dengan kesadaran kepada dzikir yang disertai dengan Kehadiran-Nya,
dari dzikir yang disertai dengan Kehadiran-Nya kepada dzikir yang disertai dengan
kelalaian terhadap segala sesuatu yang selain-Nya. ‘Dan yang demikian itu tidak
sukar bagi Allah’” (Bab V Hikmah ke-47).
Menurut Syekh Fadhlalla Haeri,
seperti dikemukakan dalam bukunya Belajar Mudah Tasawuf, senantiasa
berdzikir kepada Allah SWT--begitu pula berbagai doa dan ibadah kepada-Nya--merupakan
cara mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal yang bukan Ilahi disebabkan
ingatan yang terkonsentrasi hanya kepada-Nya itu bisa mengurangi proses
pemikiran terhadap segala hal yang bukan Dia. Dalam pandangan Fadhlalla Haeri,
jika pengingatan yang terkonsentrasi hanya kepada-Nya ini dilakukan terus
menerus, maka lama kelamaan pemikiran dan kesadaran terhadap segala sesuatu
yang selain-Nya akan sirna dengan sendirinya. Oleh karena itulah, orang yang
melakukan perjalanan menuju-Nya dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu
yang dapat dilihat-Nya, segala sesuatu selain-Nya, dan dituntut untuk hanya
berkonsentrasi kepada ingatan yang sejati, yakni Allah SW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar