Kamis, 24 November 2016

IMAN, AKHLAK DAN DOA: SEBUAH SOLUSI BUAT TANGERANG SELATAN

IMAN, AKHLAK DAN DOA: SEBUAH SOLUSI MEMBANGUN MASYARAKAT TANGERANG SELATAN YANG BERSIH DARI PENYAKIT KEMASYARAKATAN*
Oleh Dimyati Sajari*

Mukaddimah
Persoalan umat manusia sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang, termasuk di Kota Tangerang Selatan, adalah persoalan akhlak atau moralitas. Oleh karena persoalannya adalah persoalan moralitas/akhlak, maka tepat sekali kalau nabi kita, Nabi Muhammad SAW, diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak ini, sebagaimana sabda beliau: innamâ bu‘its-tu li-‘utammima makârima al-akhlâqi. Sekarang, pertanyaannya, tugas kita apa?
Kalau tugas para nabi, khususnya Nabi kita Muhammad SAW, adalah untuk menyempurnakan moralitas umatnya, maka tugas para ulama yang merupakan pewarisnya (al-‘ulamâ’ warat al-anbiyâ’)—termasuk di dalamnya kita—tidak lain tidak bukan adalah untuk menyempurnakan akhlak ini. Kalau Nabi Muhammad SAW sanggup dan sukses melaksanakan tugas ini, sanggupkan kita? Sukseskah kita?
Pribadi Penyempurna Akhlak
Syarat sukses menjalankan tugas itu adalah kita harus menyadari bahwa orang yang diutus untuk menyempurnakan akhlak haruslah orang yang akhlaknya telah sempurna. Orang yang bertugas menyempurnakan akhlak orang lain tidak boleh sedikitpun memiliki cacat-diri yang berkaitan dengan akhlaknya. Orang yang mewarisi tugas Nabi harus mengikuti dan meneladani Nabi SAW. Beliau sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul telah memiliki kesempurnaan akhlak, dan kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW ini telah diakui oleh orang sezamannya dengan bukti gelar al-amîn (orang yang benar-benar terpercaya) yang disematkan kepada beliau ketika beliau berusia tiga puluh lima tahun. Kemudian, setelah beliau menjadi Rasulullah SAW., Allah pun mengakui keluhuran akhlak beliau dengan Firman-Nya:  wa innaka la ‘alâ khuluqin ‘azhîm (dan sesungguhnya engkau [Muhammad] benar-benar berbudi pekerti yang luhur, QS al-Qalam: 4).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kesukssesan Nabi di dalam meyempurnakan akhlak umatnya adalah disebabkan Nabi kita telah sempurna akhlaknya sehingga merupakan teladan yang sangat ideal. Bahkan, bukan saja Nabi kita yang menjadi teladan ideal, tetapi seluruh anggota keluarga beliau merupakan teladan: isteri-isteri beliau teladan, anak-anak beliau teladan, menantu-menantu beliau teladan, dan cucu-cucu beliaupun teladan. Keteladanan yang ideal inilah yang menjadi faktor keberhasilan Nabi di dalam menunaikan tugasnya.
Faktor yang kedua, yang sebenarnya merupakan faktor yang paling utama, adalah iman. Kita tahu bahwa kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW dan keluarganya, termasuk para sahabatnya, adalah atas dasar keimanan yang kuat. Iman yang kuat di dalam hati terwujud menjadi sebuah tingkah laku terpuji di setiap hari. Dalam kata lain, akhlak yang mulia berakar pada iman yang kokoh. Dalam beberapa hadis yang sudah kita hapal Rasulullah SAW menginformasikan akan adanya keterkaitan antara iman dan akhlak. Misalnya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa akmal al-mu’minîn îmânân ahasanuhum khuluqâ (orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna imannya); lâ yu’minu ahadukum hattâ yuhibba liakhîhi kamâ yuhibbu linafsihi (tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, HR Bukhari-Muslim); man kâna yu’minu bi Allâhi wa al-yawmi al-âkhiri fal yuhsin ilâ jârihi, wa man kâna yu’minu bi Allâhi wa al-yawmi al-âkhiri fal yukrim dhayfahu, wa man kâna yu’minu bi Allâhi wa al-yawmi al-âkhiri fal yaqul khayrân aw liyashmut (barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang benar atau hendaknya diam. HR Bukhari-Muslim).
Iman, Hanya Meminta kepada-Nya
Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara iman dan akhlak. Adanya hubungan yang sangat erat antara iman dan akhlak ini menunjukkan bahwa iman yang kuat para ulama menjadi syarat untuk kesuksesan di dalam menyempurnakan akhlak umat. Para ulama harus memiliki iman yang kuat supaya tugasnya sukses. Di pihak lain, umat harus diperkuat imannya supaya akhlaknya semakin sempurna. Pendidikan iman ini yang tampaknya kurang ditekankan. Padahal, sejak dini seharusnya pendidikan iman ini yang harus didahulukan dan diutamakan. Namun, kenyataannya tidak. Contohnya, ketika kita mengajarkan anak kita belajar shalat, yang kita ajarkan lebih bagaimana shalat yang benar sesuai syarat rukunnya, bukan diajarkan terlebih dulu kenapa kita harus shalat. Kita tidak mengajarkan kepada anak didik kita bahwa hakikat shalat adalah meminta kepada-Nya dan Allah suka terhadap hamba-hamba-Nya yang senantiasa meminta kepada-Nya. Shalat itu artinya doa, doa itu meminta sehingga orang yang shalat pada dasarnya sedang meminta kepada-Nya. Allah menghendaki supaya kita hanya meminta kepada-Nya dan Allah berjanji akan mengabulkan segala permintaan hamba-Nya. Syaratnya, hamba-Nya bersedia meminta kepada-Nya dan hanya meminta kepada-Nya.
Pernahkah kita mendidik anak didik kita bahwa tugas kita hanyalah meminta kepada-Nya. Sekali lagi, hanya meminta kepada-Nya. Kita dan umat kita hanya disuruh meminta kepada-Nya. Hanya ini saja. Meminta kepada-Nya. Sudahkah kita meminta kepada-Nya? Sudahkah kita hanya meminta kepada-Nya? Hanya ini tugas kita, dan hanya ini yang perlu kita sampaikan dan kita tanamkan kepada diri kita dan anak didik kita, umat kita: meminta, meminta, dan meminta kepada-Nya. Hanya ini saja.
Mungkin akan ada yang bertanya, kenapa kita harus meminta kepada-Nya? Bukankah Allah Mahatahu kebutuhan kita? Pertanyaan ini ‘betul’ jawabannya, tetapi pertanyaan sebaliknya adalah: apakah kita sendiri tahu kebutuhan kita? Belum tentu. Banyak di antara kita yang tidak tahu kebutuhannya sehingga tidak tahu apa yang harus diminta dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Misalnya, ketika seseorang ingin menjadi pegawai negeri, apakah dia tahu apa yang harus diminta kepada Allah? Apakah dia yakin bahwa Allah akan mengangkatnya sebagai pegawai negeri walau tidak mempunyai koneksi dan koneksinya hanya Allah? Belum tentu orang itu tahu apa yang harus dimintakan kepada Allah tatkala dia ingin menjadi pegawai negeri dan belum tentu dia yakin kalau Allah itu Maha pengabul doa sehingga tanpa mencari koneksi ke sana ke mari dan tanpa memberikan risywah pun dia dapat menjadi pegawai negeri.
Dalam kasus yang lain, umpamanya, ketika kita memohon ampun kepada Allah. Tahukah kita akan dosa-dosa kita tatkala kita memohon ampun kepada Allah? Belum tentu. Banyak orang yang memohon ampun kepada Allah hanya dengan menyatakan min jamî’il ma’âshî wa al-dzunûb tanpa mengetahui secara persis apa kemaksiatan dan dosa-dosanya. Padahal, seharusnya dia tahu apa maksiat dan dosanya sehingga ketika berdoa memohon ampun itu akan benar-benar terasa keluar dari hati yang paling dalam. Permohonan ampun yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam akan mengahsilkan suatu tetesan air mata yang tidak disadarinya.
Mungkin pula ada yang bertanya, kenapa meminta itu harus dengan shalat? Jawaban terhadap pertanyaan ini banyak sekali. Paling tidak dapat kita sampaikan ke anak-anak kita bahwa cara meminta yang paling baik adalah dengan cara yang diinginkan oleh yang dimintai, bukan dengan cara yang inginkan oleh yang meminta. Meminta dengan cara yang diinginkan oleh yang dimintai akan membuat yang dimintai itu senang dan kalau dia itu senang, maka permintaan orang yang memintanya pastinya akan dia kabulkan. Dalam bahasa tasawuf, ungkapkanlah cinta itu sesuai dengan yang diinginkan oleh yang kita cintai, bukan sesuai yang kita inginkan, walau ungkapan cinta yang diinginkan itu tidak sesuai dengan selera kita. Seorang isteri harus mengungkapkan cintanya kepada suaminya sesuai yang diinginkan suaminya, walau sebenarnya dia tidak suka. Kalau suaminya senengnya kopi pahit, maka dia harus membuatkan kopi pahit buat suaminya, meski dia sendiri senangnya kopi manis. Begitu pula kaitannya dengan cara meminta atau cara mengungkapkan cinta kepada Allah SWT. Mintalah kepada Allah sesuai yang Allah inginkan, jangan meminta kepada Allah sesuai yang kita inginkan. Ungkapkanlah cinta kita kepada Allah itu sesuai yang Allah inginkan, bukan sesuai yang kita inginkan. Cara yang diinginkan Allah itu adalah dengan cara shalat, sebagaimana yang diajarkan kepada kekasih-Nya, Muhammad SAW., yang kemudian diajarkan kepada umatnya, termasuk kepada kita.
Di samping cara meminta, perlu diperhatikan pula waktu meminta. Rasulullah SAW telah menyampaikan akan adanya waktu-waktu mustajabah dan salah satu waktu mustajabah itu adalah sepertiga akhir malam. Waktu itu Allah SWT turun ke langit dunia mencari hamba-hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya. Sudahkah kita melaksanakan ini? Sudahkah kita menyampaikan hal ini kepada umat kita?
Selain cara dan waktu itu adalah tempat memintanya. Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada umatnya akan tempat-tempat mustajabah. Salah satu tempat mustajabah itu adalah baitullah, rumah-Nya, rumah Allah SWT. Selain rumah-Nya adalah kamar anak yatim. Kamar anak yatim adalah kamar yang penuh berkah, yang bila berdoa di dalamnya dapat merubah hal-hal yang mustahil menjadi tidak mustahil, sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabiyullah Zakaria AS.
Jadi, kita hanya disuruh meminta kepada-Nya dengan cara yang diinginkan-Nya, di waktu yang diinginkan-Nya, dan di tempat yang diinginkan-Nya. Kalau kita menyadari hal ini dan semua umat Islam di Tangerang Selatan menyadari dan mempraktekkan hal ini, maka segala persoalan penyakit pribadi dan masyarakat/umat di Tangerang Selatan akan teratasi. Dengan kata lain, melalui hal ini, Kota Tangerang Selatan dapat dijadikan sebagai Kota yang bebas dari pelbagai penyakit kemasyarakatan. Masalahnya, percayakah kita? Kalau percaya, mengamalkankah kita? Meminta kepada-Nya merupakan bukti percaya (iman) kepada-Nya. Hanya meminta kepada-Nya merupakan bukti akhlak yang sangat mulia. Dengan demikian, Iman, akhlak dan doa; doa dalam arti yang sebenarnya, adalah solusi menanggulangi pelbagai penyakit di Kota Tangerang Selatan. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
·         Tulisan ini disampaikan dalam acara “Kajian Masalah Aktual Seputar Keislaman dan Sosial Kemasyarakatan” dengan Tema: Mewujudkan Tangerang Selatan yang Bersih dari Penyakit Kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan pada Hari Selasa, tanggal 14 Mei 2013 di Alam Sutera Sports Center, Serpong Utara, Tangerang Selatan.
·         Dr. Dimyati Sajari, M.Ag: Sekretaris II MUI Kota Tangerang Selatan, Ketua Harian LPTQ Kota Tangerang Selatan, dan Dosen FITK UIN Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates