IMAN, AKHLAK DAN DOA: SEBUAH SOLUSI MEMBANGUN MASYARAKAT
TANGERANG SELATAN YANG BERSIH DARI PENYAKIT KEMASYARAKATAN*
Oleh Dimyati Sajari*
Mukaddimah
Persoalan umat manusia sejak zaman Nabi Adam AS hingga
sekarang, termasuk di Kota Tangerang Selatan, adalah persoalan akhlak atau
moralitas. Oleh karena persoalannya adalah persoalan moralitas/akhlak, maka
tepat sekali kalau nabi kita, Nabi Muhammad SAW, diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak ini, sebagaimana sabda beliau: innamâ
bu‘its-tu li-‘utammima makârima al-akhlâqi.
Sekarang, pertanyaannya, tugas kita apa?
Kalau tugas para nabi, khususnya Nabi kita Muhammad SAW,
adalah untuk menyempurnakan moralitas umatnya, maka tugas para ulama yang
merupakan pewarisnya (al-‘ulamâ’ warat al-anbiyâ’)—termasuk
di dalamnya kita—tidak lain tidak bukan adalah untuk menyempurnakan akhlak ini.
Kalau Nabi Muhammad SAW sanggup dan sukses melaksanakan tugas ini, sanggupkan
kita? Sukseskah kita?
Pribadi Penyempurna Akhlak
Syarat sukses menjalankan tugas itu adalah kita harus
menyadari bahwa orang yang diutus untuk menyempurnakan akhlak haruslah orang
yang akhlaknya telah sempurna. Orang yang bertugas menyempurnakan akhlak orang
lain tidak boleh sedikitpun memiliki cacat-diri yang berkaitan dengan
akhlaknya. Orang yang mewarisi tugas Nabi harus mengikuti dan meneladani Nabi
SAW. Beliau sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul telah memiliki kesempurnaan
akhlak, dan kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW ini telah diakui oleh orang
sezamannya dengan bukti gelar al-amîn (orang yang benar-benar
terpercaya) yang disematkan kepada beliau ketika beliau berusia tiga puluh lima
tahun. Kemudian, setelah beliau menjadi Rasulullah SAW., Allah pun mengakui
keluhuran akhlak beliau dengan Firman-Nya:
wa innaka la ‘alâ khuluqin ‘azhîm
(dan sesungguhnya engkau [Muhammad] benar-benar berbudi pekerti yang luhur, QS
al-Qalam: 4).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kesukssesan Nabi di
dalam meyempurnakan akhlak umatnya adalah disebabkan Nabi kita telah sempurna
akhlaknya sehingga merupakan teladan yang sangat ideal. Bahkan, bukan saja Nabi
kita yang menjadi teladan ideal, tetapi seluruh anggota keluarga beliau
merupakan teladan: isteri-isteri beliau teladan, anak-anak beliau teladan,
menantu-menantu beliau teladan, dan cucu-cucu beliaupun teladan. Keteladanan
yang ideal inilah yang menjadi faktor keberhasilan Nabi di dalam menunaikan
tugasnya.
Faktor yang kedua, yang sebenarnya merupakan faktor yang
paling utama, adalah iman. Kita tahu bahwa kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW dan
keluarganya, termasuk para sahabatnya, adalah atas dasar keimanan yang kuat.
Iman yang kuat di dalam hati terwujud menjadi sebuah tingkah laku terpuji di
setiap hari. Dalam kata lain, akhlak yang mulia berakar pada iman yang kokoh. Dalam
beberapa hadis yang sudah kita hapal Rasulullah SAW menginformasikan akan
adanya keterkaitan antara iman dan akhlak. Misalnya, Rasulullah SAW
menyatakan bahwa akmal al-mu’minîn îmânân
ahasanuhum khuluqâ (orang beriman yang paling sempurna
imannya adalah yang paling sempurna imannya); lâ yu’minu ahadukum hattâ
yuhibba liakhîhi kamâ yuhibbu linafsihi (tidak sempurna iman
salah seorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri, HR Bukhari-Muslim); man kâna yu’minu bi Allâhi wa
al-yawmi al-âkhiri fal yuhsin ilâ jârihi, wa man kâna yu’minu bi Allâhi
wa al-yawmi al-âkhiri fal yukrim dhayfahu, wa man kâna yu’minu bi Allâhi wa
al-yawmi al-âkhiri fal yaqul khayrân aw liyashmut (barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya, barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya, dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang benar atau
hendaknya diam. HR Bukhari-Muslim).
Iman, Hanya Meminta kepada-Nya
Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara iman
dan akhlak. Adanya hubungan yang sangat erat antara iman dan akhlak ini
menunjukkan bahwa iman yang kuat para ulama menjadi syarat untuk kesuksesan di
dalam menyempurnakan akhlak umat. Para ulama harus memiliki iman yang kuat
supaya tugasnya sukses. Di pihak lain, umat harus diperkuat imannya supaya
akhlaknya semakin sempurna. Pendidikan iman ini yang tampaknya kurang ditekankan.
Padahal, sejak dini seharusnya pendidikan iman ini yang harus didahulukan dan
diutamakan. Namun, kenyataannya tidak. Contohnya, ketika kita mengajarkan anak
kita belajar shalat, yang kita ajarkan lebih bagaimana shalat yang benar sesuai
syarat rukunnya, bukan diajarkan terlebih dulu kenapa kita harus shalat. Kita
tidak mengajarkan kepada anak didik kita bahwa hakikat shalat adalah meminta kepada-Nya
dan Allah suka terhadap hamba-hamba-Nya yang senantiasa meminta kepada-Nya.
Shalat itu artinya doa, doa itu meminta sehingga orang yang shalat pada
dasarnya sedang meminta kepada-Nya. Allah menghendaki supaya kita hanya meminta
kepada-Nya dan Allah berjanji akan mengabulkan segala permintaan hamba-Nya.
Syaratnya, hamba-Nya bersedia meminta kepada-Nya dan hanya meminta kepada-Nya.
Pernahkah kita mendidik anak didik kita bahwa tugas kita hanyalah
meminta kepada-Nya. Sekali lagi, hanya meminta kepada-Nya. Kita dan umat
kita hanya disuruh meminta kepada-Nya. Hanya ini saja. Meminta kepada-Nya.
Sudahkah kita meminta kepada-Nya? Sudahkah kita hanya meminta kepada-Nya? Hanya
ini tugas kita, dan hanya ini yang perlu kita sampaikan dan kita tanamkan
kepada diri kita dan anak didik kita, umat kita: meminta, meminta, dan meminta
kepada-Nya. Hanya ini saja.
Mungkin akan ada yang bertanya, kenapa kita harus meminta
kepada-Nya? Bukankah Allah Mahatahu kebutuhan kita? Pertanyaan ini ‘betul’
jawabannya, tetapi pertanyaan sebaliknya adalah: apakah kita sendiri tahu
kebutuhan kita? Belum tentu. Banyak di antara kita yang tidak tahu
kebutuhannya sehingga tidak tahu apa yang harus diminta dan tidak tahu apa yang
harus dilakukannya. Misalnya, ketika seseorang ingin menjadi pegawai negeri,
apakah dia tahu apa yang harus diminta kepada Allah? Apakah dia yakin bahwa
Allah akan mengangkatnya sebagai pegawai negeri walau tidak mempunyai koneksi
dan koneksinya hanya Allah? Belum tentu orang itu tahu apa yang harus
dimintakan kepada Allah tatkala dia ingin menjadi pegawai negeri dan belum
tentu dia yakin kalau Allah itu Maha pengabul doa sehingga tanpa mencari
koneksi ke sana ke mari dan tanpa memberikan risywah pun dia dapat
menjadi pegawai negeri.
Dalam kasus yang lain, umpamanya, ketika kita memohon ampun
kepada Allah. Tahukah kita akan dosa-dosa kita tatkala kita memohon ampun kepada
Allah? Belum tentu. Banyak orang yang memohon ampun kepada Allah hanya dengan
menyatakan min jamî’il ma’âshî
wa al-dzunûb tanpa mengetahui secara persis apa kemaksiatan dan
dosa-dosanya. Padahal, seharusnya dia tahu apa maksiat dan dosanya sehingga ketika
berdoa memohon ampun itu akan benar-benar terasa keluar dari hati yang paling
dalam. Permohonan ampun yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling
dalam akan mengahsilkan suatu tetesan air mata yang tidak disadarinya.
Mungkin pula ada yang bertanya, kenapa meminta itu harus
dengan shalat? Jawaban terhadap pertanyaan ini banyak sekali. Paling tidak
dapat kita sampaikan ke anak-anak kita bahwa cara meminta yang paling baik
adalah dengan cara yang diinginkan oleh yang dimintai, bukan dengan cara yang
inginkan oleh yang meminta. Meminta dengan cara yang diinginkan oleh yang
dimintai akan membuat yang dimintai itu senang dan kalau dia itu senang, maka
permintaan orang yang memintanya pastinya akan dia kabulkan. Dalam bahasa
tasawuf, ungkapkanlah cinta itu sesuai dengan yang diinginkan oleh yang kita
cintai, bukan sesuai yang kita inginkan, walau ungkapan cinta yang diinginkan
itu tidak sesuai dengan selera kita. Seorang isteri harus mengungkapkan
cintanya kepada suaminya sesuai yang diinginkan suaminya, walau sebenarnya dia
tidak suka. Kalau suaminya senengnya kopi pahit, maka dia harus membuatkan kopi
pahit buat suaminya, meski dia sendiri senangnya kopi manis. Begitu pula
kaitannya dengan cara meminta atau cara mengungkapkan cinta kepada Allah SWT.
Mintalah kepada Allah sesuai yang Allah inginkan, jangan meminta kepada Allah
sesuai yang kita inginkan. Ungkapkanlah cinta kita kepada Allah itu sesuai yang
Allah inginkan, bukan sesuai yang kita inginkan. Cara yang diinginkan Allah itu
adalah dengan cara shalat, sebagaimana yang diajarkan kepada kekasih-Nya,
Muhammad SAW., yang kemudian diajarkan kepada umatnya, termasuk kepada kita.
Di samping cara meminta, perlu diperhatikan pula waktu
meminta. Rasulullah SAW telah menyampaikan akan adanya waktu-waktu mustajabah
dan salah satu waktu mustajabah itu adalah sepertiga akhir malam. Waktu itu
Allah SWT turun ke langit dunia mencari hamba-hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya.
Sudahkah kita melaksanakan ini? Sudahkah kita menyampaikan hal ini kepada umat
kita?
Selain cara dan waktu itu adalah tempat memintanya.
Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada umatnya akan tempat-tempat mustajabah.
Salah satu tempat mustajabah itu adalah baitullah, rumah-Nya, rumah Allah SWT.
Selain rumah-Nya adalah kamar anak yatim. Kamar anak yatim adalah kamar yang
penuh berkah, yang bila berdoa di dalamnya dapat merubah hal-hal yang mustahil
menjadi tidak mustahil, sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabiyullah
Zakaria AS.
Jadi, kita hanya disuruh meminta kepada-Nya dengan cara yang
diinginkan-Nya, di waktu yang diinginkan-Nya, dan di tempat yang
diinginkan-Nya. Kalau kita menyadari hal ini dan semua umat Islam di Tangerang
Selatan menyadari dan mempraktekkan hal ini, maka segala persoalan penyakit
pribadi dan masyarakat/umat di Tangerang Selatan akan teratasi. Dengan kata
lain, melalui hal ini, Kota Tangerang Selatan dapat dijadikan sebagai Kota yang
bebas dari pelbagai penyakit kemasyarakatan. Masalahnya, percayakah kita? Kalau
percaya, mengamalkankah kita? Meminta kepada-Nya merupakan bukti percaya (iman)
kepada-Nya. Hanya meminta kepada-Nya merupakan bukti akhlak yang sangat mulia.
Dengan demikian, Iman, akhlak dan doa; doa dalam arti yang sebenarnya, adalah
solusi menanggulangi pelbagai penyakit di Kota Tangerang Selatan. Wallâhu
a’lam bi al-shawâb.
·
Tulisan ini disampaikan
dalam acara “Kajian Masalah Aktual Seputar Keislaman dan Sosial Kemasyarakatan”
dengan Tema: Mewujudkan Tangerang Selatan yang Bersih dari Penyakit
Kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan
pada Hari Selasa, tanggal 14 Mei 2013 di Alam Sutera Sports Center, Serpong
Utara, Tangerang Selatan.
·
Dr. Dimyati Sajari, M.Ag:
Sekretaris II MUI Kota Tangerang Selatan, Ketua Harian LPTQ Kota Tangerang
Selatan, dan Dosen FITK UIN Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar