ISLAM RAHMATAN LIL ‘ÂLAMÎN[*]
الإسلام
رحمة للعالمين))
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen “Ilmu Pemikiran Islam”
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan {FITK}
UIN Jakarta. Ketua Harian LPTQ Kota Tangerang
Selatan)
Email : dimyati@uinjkt.ac.id
Blog : http://dimyatisajari.blogspot.co.id
HP. :
081310649098 / 085885081802
Pendahuluan
Islam,
sebagaimana judul di atas, adalah rahmatan lil ‘âlamîn (rahmah
bagi seluruh alam semesta). Muhammad Saw adalah nabi yang diutus untuk
menyampaikan dan memperjuangkan Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn
ini. Beliau (Muhammad Saw) adalah representasi Islam yang rahmatan
lil ‘âlamîn ini. Posisi dan tugas Muhammad Saw sebagai rahmatan
lil ‘âlamîn inilah yang dipertegas oleh Allah Swt dengan Firman-Nya di
Surah al-Anbiyâ’ ayat 107: “dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam” (وما أرسلناك الاّ
رحمةً للعالمين).
Alam
adalah segala hal selain Allah atau segala hal yang diciptakan Allah yang
terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti alam manusia, alam hewan, alam
tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Islam merupakan rahmah untuk semua
alam-alam ini. Hanya saja, dalam konteks kali ini, cakupan makna alam yang
begitu luas ini dibatasi hanya pada alam manusia, sehingga kalimat yang
digunakan adalah: “Islam adalah rahmah bagi seluruh manusia.”
Golongan
Manusia
Secara
teologis (keagamaan), manusia itu dibagi dua, yaitu muslim (mu’min) dan
non-muslim (kafir). Secara garis besar, orang-orang Islam atau orang-orang
beriman dibagi menjadi dua golongan, yakni mu’min yang selamat dan mu’min yang
tersesat. Adapun orang-orang kafir secara umum dibagi pula menjadi dua
golongan, yakni kafir ahli kitab dan kafir musyrik.
Pengelompokan
orang-orang beriman menjadi dua golongan yang selamat dan tersesat itu
berdasarkan Sabda Rasulullah Saw berikut:
ستفترق هذه
الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة، قال الصحابة : من هي يا رسول
الله ؟ قال : من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي. رواه البخاري ومسلم .
وأخبر النبي
عليه الصلاة و السلام :ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة
والباقون هلكى.
ستفترق هذه
الأمة على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار إلا واحدة. قالوا: من هم يا رسول الله؟
قال: "ما أنا عليه وأصحابي"
والذي نفس محمد لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة
، فواحدة في الجنة وإثنتان وسبعون في النار. قيل : يا رسول الله من هم؟ قال :
الجماعة.
Satu kelompok umat yang selamat itu disebut sebagai kelompok jamaah
(الْجَمَاعَةُ) atau kelompok yang
selamat (الفرقة الناجية). Mereka ini adalah “orang
yang berada di atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan ajaran
para sahabatku” (من كان على مثل ما أنا عليه اليوم
وأصحابي) atau “orang yang ajarannya sama dengan ajaranku dan para
sahabatku” (ما أنا عليه وأصحابي). Adapun 73 golongan yang tidak selamat disebut
sebagai golongan yang binasa (الهالكة)
atau yang tersesat (الضلالة).
Sementara itu, pengelompokan orang-orang kafir menjadi kafir ahli
kitab dan kafir berdasarkan Firman Allah Swt.:
لم يكن الذين كفروا مِن أهل الكتاب والمشركين
منفكّين حتّى تأتيهم البينةُ
“Orang-orang kafir Yakni
ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Golongan-golongan
umat Islam itu tampaknya ada yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah
hanya untuk umat Islam dan ada yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah
bagi seluruh umat manusia, termasuk di dalamnya untuk orang-orang kafir. Akan
tetapi, di kalangan umat Islam yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah
hanya untuk orang Islam saja dalam aksinya tidaklah sama: ada yang berusaha
menjadikan Islam sebagai rahmah bagi seluruh umat Islam dan ada yang berusaha
untuk menjadikan Islam sebagai rahmah hanya untuk kelompok mereka saja.
Kelompok umat yang terakhir ini dalam konsepnya membuat garis batas yang tegas
antara “kita” dan “mereka.” “Kita” adalah kelompok mereka yang mereka anggap
sebagai mu’min yang sebenarnya (mu’min haqqâ, مؤمن حقا) dan “mereka” adalah kelompok umat yang dipandang oleh
orang-orang yang menganggap kelompoknya sebagai mu’min yang sebenarnya sebagai
orang-orang beriman yang tersesat (مؤمن ضالّ)
. Pada gilirannya, kelompok mu’min haqqâ ini menganggap mereka
sebagai satu-satunya orang beriman dan orang-orang beriman di luar kelompok
mereka (مؤمن ضالّ) dianggap sebagai
orang-orang tersesat yang bukan lagi mu’min, yang kadang kala mereka sebut
sebagai كافر atau طاغوت.
Dengan demikian, orang beriman yang mereka pandang sebagai مؤمن ضالّ ini bukan lagi
dipandang sebagai mu’min, tetapi dipandang sebagai كافر
atau طاغوت.
Dalam
konsep dan aksi mereka, مؤمن ضالّ yang telah mereka fonis sebagai كافر atau طاغوت
itu termasuk kelompok manusia yang dipandang halal darahnya untuk ditumpahkan.
Bahkan, ada kelompok yang memandang kelompok
مؤمن ضالّ sebagai كافر atau طاغوت
ini wajib ditumpahkan darahnya, sebagaimana kelompok كافر
طاغوت yang mereka pandang wajib ditumpahkan darahnya. Dengan
demikian, ada dua kelompok كافر atau طاغوت yang darahnya mereka pandang wajib
ditumpahkan, yaitu مؤمن ضالّ dan atau كافر طاغوت.
Akan
tetapi, ada juga kelompok yang bersikap keras dan tegas terhadap مؤمن ضالّ, tetapi bersikap lunak terhadap
orang-orang yang jelas-jelas non-muslim (kafir). Sikap keras dan tegas kelompok
ini terhadap mu’min yang mereka pandang مؤمن ضالّ
adalah fonis bahwa مؤمن ضالّ sebagai ahl al-bida‘ (اهل البدع) atau ahl al-bida‘ wa al-khurufat (اهل البدع والخرفات). Di antara kelompok inipun, dalam kasus
tertentu, memandang مؤمن ضالّ ini sebagai kafir musyrik yang wajib
dibunuh.
Bila
golongan umat Islam di atas dikelompokkan secara sosiologis, maka dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu 1) kelompok yang hendak menjadikan Islam sebagai rahmah
bagi seluruh umat manusia; 2) kelompok yang hendak menjadikan Islam sebagai rahmah
bagi seluruh umat Islam; dan 3) kelompok yang hendak menjadikan Islam sebagai rahmah
bagi kelompoknya sendiri.
Kasih
Sayang
Kini,
apa makna rahmah itu? Kata rahmah (رحمة)
disebut 39 kali di dalam al-Qur’an dengan berbagai makna. Akan tetapi, dalam
kaitannya dengan hubungan sesama, kata rahmah itu dapat dimaknakan sebagai
“sifat kasih sayang yang melahirkan sikap lemah lembut terhadap orang lain,”
sebagaimana dapat dipahami dari Firman-Nya:
فبما رحمةٍ من اللهِ لنتَ لهم ولو كُنتَ فظًّا غليظ
القلب لاَنفضّوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم فى الأمر فإذا عزمت فتوكّل
على الله إنّ الله يحبّ المتوكّلين
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS Ali ‘Imran: 179).
Sifat
kasih sayang adalah sifat Allah Swt yang telah diejawantahkan oleh Rasulullah
Saw dalam kehidupan sehari-hari beliau, baik terhadap para sahabatnya maupun
terhadap orang-orang kafir. Tentu saja, aplikasi kasih sayang terhadap para
sahabatnya berbeda dengan terhadap orang kafir. Kalau terhadap para sahabat
Rasulullah Saw bersikap lemah lembut, menolong mereka, melindungi mereka,
bekerjasama dan bermuamalah dengan mereka, maka dengan orang-orang kafir
Rasulullah Saw hanya melakukan kerjasama, bermuamalah dan perlindungan terhadap
mereka sepanjang mereka tidak melakukan pengkhianatan. Dalam hal hubungan
keagamaan, mereka diberi kebebasan menjalankan agamanya, sebagaimana yang
termatuk dalam Piagam Madinah.
Orang
kafir itulah yang kemudian dikenal dengan istilah kâfir dzimmî (كافر ذمّىّ), yakni orang kafir yang menjadi warga
negara umat Islam dan mereka membayar jizyah sebagai imbalan atas
keamanan hidup mereka. Akan tetapi, kalau orang kafir itu melakukan
pengkhianatan, maka Rasulullah Saw akan memerangi mereka sampai mereka berserah
diri atau mati kafir. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah kâfir harbî.
Peperangan terhadap kâfir harbî (كافر
حربىّ) inipun tidak pernah dilakukan secara brutal, melainkan
dilakukan sesuai kesepakatan dan hanya di siang hari. Inilah peperangan yang
diajarkan oleh Rasulullah Saw yang ditaati dan dipraktekkan umat Islam sampai
beberapa abad kemudian.
Fakta
Lahiriah
Salah satu bentuk kasih sayang dan kelembutan Rasulullah Saw adalah
beliau menghukumi keimanan seseorang berdasarkan fakta yang lahiriah, bukan
fakta yang batiniah (yang tidak dapat dilihat mata kepala). Hal ini terlihat
terhadap amarah beliau terhadap Usamah bin Zaid yang membunuh musuh yang mengucapkan
لا إله إلا الله dikarenakan Usamah
menganggap musuhnya itu mengucapkannya hanya di lisannya saja supaya tidak dibunuh.
Rasulullah Saw bertanya kepada Usamah: “Apakah engkau membelah hatinya sehingga
engkau mengetahui hatinya mengucapkan لا إله إلا الله
atau tidak?” (أشققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا).
Rasulullah Saw juga bersabda kepada sahabat Khâlid yang mengatakan bahwa banyak
orang yang shalat yang hanya lisannya yang mengucapkan, sementara hatinya tidak
(قال له خالد: وكم من مصل يقول بلسانه ما ليس في قلبه):
“Aku tidak diperintah untuk melubangi {menyelidiki} hati manusia dan tidak pula
diperintah untuk membelah perut mereka” (إني لم أومر
أن أنقب عن قلوب الناس ولا أشق بطونهم).
Muslim Minimalis
Dengan demikian, Rasulullah Saw bertindak penuh kasih sayang
terhadap orang yang walaupun orang itu baru mengucapkan dua kalimah syahadat,
sebuah standar minimal keislaman seseorang. Kasih sayang Rasulullah Saw terhadap
Muslim minimalis ini adalah dengan melakukan perlindungan atau penjaminan
terhadap mereka, sebagaimana sabda beliau:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله
وأني رسول الله، فإذا قالوها عصموا مني دمائهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على
الله. أخرجه البخاري ومسلم
“Aku diperintah untuk memerangi manusia
sehingga mereka bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa aku
adalah utusan Allah. Ketika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta
mereka berada di dalam penjagaanku kecuali dengan haqqnya (syahadat)
dan perhitungan terhadap mereka merupakan hak Allah Swt.”
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا
: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا فَقَدْ عَصَمُوا مِنِّي
دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia
sehingga mereka mengucapkan Tiada Tuhan selain Allah. Ketika mereka telah
mengucapkannya, maka sungguh darah dan harta mereka berada di dalam penjagaanku
kecuali dengan haqqnya (lâ ilâha illâ Allâh) dan
perhitungan terhadap mereka merupakan hak Allah Swt.”
Standar Maksimal
Di hadits yang lain, Rasulullah Saw melakukan perlindungan dan
penjaminan terhadap darah dan harta orang-orang yang bukan sekadar mengucapkan
atau memberikan kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, tetapi juga mengimani hal-hal yang disampaikan Rasulullah Saw.,
seperti hadits berikut:
عن
أبي هريرة – رضي اللَّه عنه- قال : قال رسول اللَّه صَلَّى اللَّه عليْهِ وسَلَّم
: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا اللَّه ويؤْمِنوا بي، وبما جِئت
به ، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على اللَّه عز
وجل. رواه مسلم
Dalam hadits itu Rasulullah Saw melakukan perlindungan dan
penjaminan terhadap muslim dengan standar maksimal, meski bukan yang paling
maksimal. Di hadits berikut, Rasulullah Saw juga menggunakan standar hampir
maksimal, yaitu perlindungan dan penjaminan terhadap darah dan harta
orang-orang yang memberikan kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, sekaligus yang juga mendirikan shalat dan
menunaikan zakat:
أن النبي صلى
الله عليه وسلم قال : أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن
محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم
وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله. صحيح البخاري وصحيح مسلم.
Muslim Maksimalis
Di hadits yang dikutip di atas adalah ungkapan illâ bihaqqihâ
(إلا بحقها). Berdasarkan konteks kalimat yang
digunakannya, dhomir hâ (الهاء)
di sini ada yang maknanya merujuk kepada kalimat لا إله
إلا اللَّه, ada yang merujuk kepada dua kalimah syahadat, dan ada yang
merujuk kepada dua kalimah syhadat dan segala hal yang berasal dari Rasulullah
Saw. Hadits yang dinukil belakangan tidak menggunakan dhamir , tapi langsung
disandarkan kepada kata al-Islâm, yakni بحق
الإسلام. Artinya, seseorang yang menyatakan diri sebagai muslim dengan
mengucap لا إله إلا اللَّه atau dua kalimah
syahadat, maka dia harus menerima konsekuwensi logis dari keislamannya itu.
Orang Islam yang menerima konsekuwensi keislamannnya dengan sepenuh hatinya dan
diejawantahkan dengan segenap jiwa-raganya dalam kehidupannya inilah yang
disebut muslim yang kaffah (muslim maksimalis).
Dalam fase tertentu atau dalam kondisi tertentu dari kehidupan
Rasulullah Saw muslim yang kaffah itu adalah semisal yang disebut di hadits
yang dikutip belakangan, yakni yang bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Mereka inilah yang darah dan hartanya berada dalam perlindungan dan jaminan
Rasulullah Saw. Akan tetapi, muslim yang model ini adalah muslim yang telah
berkesempatan atau telah diberi kesempatan untuk membuktikan konsekuwensi
keislamannya dan mereka telah membuktikannya. Sementara itu, dalam kasus Usamah
bin Zaid, orang yang baru mengucapkan لا إله إلا
اللَّه yang dibunuh Usamah itu belum ada waktu untuk membuktikan
keislamannya sehingga Rasulullah Saw memarahi Usamah.
Di dalam khutbah Haji Wada’ Rasulullah Saw berkhutbah: “Hai manusia, hari apakah ini? Bulan apakah ini? Negeri
apakah ini? Bukankah ini bulan haram, negeri haram dan hari haram? Ketahuilah,
sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian dan kehormatan kalian adalah
haram bagi kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini dan di negeri ini
hingga hari bertemunya kalian dengan Tuhan kalian. Ya Allah, apakah aku telah
menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!”
Mu’min
Kafir (= Murtad)
Lain lagi dengan orang Islam atau orang beriman yang berkesempatan
membuktikan konsekuwensi keislamannya, tetapi mereka justru mengingkarinya atau
melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam. Mereka ini dihukumi bukan lagi
sebagai muslim atau mu’min, tetapi dihukumi sebagai kafir yang boleh diperangi,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw terhadap orang yahudi yang telah
melakukan pengkhianatan meski mengucapkan لا إله إلا
الله dan para sahabat terhadap Bani
Hanifah yang telah mengingkari hari kebangkitan atau terhadap kelompok yang mengingkari
salah satu rukun Islam. Hal ini, misalnya, dapat dilihat di kitab كشف الشبهات، ج. 1 ص. 37 yang menjelaskan
kasus ini. Contoh yang lain adalah apa yang dilakukan Khalifah Abu Bakar r.a.
Beliau memerangi kelompok muslim yang telah dipandang sebagai murtad
dikarenakan mereka membedakan antara shalat dan zakat, yakni mereka tidak sudi
berzakat disebabkan mengingkari wajibnya menunaikan zakat. Akan tetapi, orang
yang enggan mengamalkan salah satu Rukun Islam hanya karena malas, maka mereka
tidak boleh diperangi.
Pewaris Rasulullah Saw
Di atas telah dikatakan bahwa Rasulullah Saw adalah representasi
Islam, representasi sifat Allah Swt Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang.
Representasi Rasulullah Saw adalah para pewarisnya, yakni para ulama (العلماء ورثة الأنبياء). Representasi sifat
pengasih-penyayang Rasulullah Saw ini bukan berarti menghindari ditegakkannya
kebenaran yang wajib ditegakkan, tetapi penegakan kebenaran ini harus didasarkan
pada kasih-sayang. Dasar penegakan
kebenaran, termasuk di dalamnya jihâd, adalah sifat kasih-sayang.
Guru-guru PAI adalah para guru yang berada di barisan para ulama
itu. Oleh karena itu, guru-guru PAI harus memiliki sifat
pengasih-penyayang yang diwujudkan dalam
bentuk kelembutan hati dan dalam bentuk perlindungan serta penjaminan terhadap
darah dan harta terhadap sesama muslim, meski mereka muslim minimalis.
Sepanjang dia mengucapkan syahadat, maka dia hidup dalam perlindungan dan
jaminan. Akan tetapi, walau mereka muslim yang maksimalis (kaffah)
apabila mereka berkhianat, maka mereka wajib diperangi. Demikian pula terhadap
muslim yang mengingkari salah satu hal yang berkaitan dengan aqidah atau
mengingkari wajibnya salah satu Rukun Islam, maka mereka wajib diperangi. Hanya
saja, kewajiban memerangi terhadap mereka ini dapat dilaksanakan jika telah
dilakukan proses dakwah, negoisasi atau proses penyadaran terhadap mereka.
Apabila mereka tetap membangkang setelah proses itu ditempuh, maka mereka wajib
diperangi. Kewajiban inipun bila dimungkinkan. Jika tidak dimungkinkan, maka
berlaku kaidah yang menyatakan bahwa menolak atau menghindari kerusakan harus
lebih didahulukan daripada upaya mendapatkan kemaslahatan (درأ المفاسد مقدّم على جلب المصالح).
Di samping itu, penegakan kebenaran atau peperangan (qitâl,
jihâd) itu tidak boleh dilakukan atas dasar semata-mata beda pendapat atau
beda paham. Belum tentu kelompok yang mengklaim diri sebagai kelompok yang
benar itu benar di sisi Allah Swt., belum tentu kelompok yang dipandang sesat
itu sesat di sisi Allah Swt., dan atau belum tentu kelompok yang mengklaim diri
sebagai ahl al-sunnah wal jamâ‘ah itu dinilai Allah Swt sebagai ahl
al-sunnah wal jamâ‘ah. Masalah ini adalah masalah zhann
(persangkaan, paham) sehingga seorang muslim tidak boleh mengkafirkan atau
memerangi yang lain atas dasar zhann. Salah besar bila pengkafiran atau
peperangan itu terjadi atas dasar zhann
ini.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka Islam adalah agama yang rahmah
untuk seluruh alam semesta, yakni dalam konteks kali ini adalah rahmah bagi
seluruh manusia. Akan tetapi, kerahmatan Islam tidak boleh menghalangi untuk
ditegakkannya kebenaran atau untuk dilaksanakannya peperangan (qitâl, jihâd)
terhadap كافر حربىّ, terhadap muslim
pengkhianat, terhadap kâfir riddah, terhadap muslim ingkar (mu’min
munkir, مؤمن منكر).
Terhadap kafir dzimmî tidak boleh dilakukan penyerangan
terhadap mereka, apalagi terhadap sesama muslim, meski muslim minimalis. Hidup
dan kehidupan mereka wajib dilindungi dan dijamin keamanan dan keselamatannya.
Tidak ada dasarnya mengkafirkan atau melakukan penyerangan terhadap mereka,
termasuk terhadap kelompok yang berbeda paham. Sepanjang tidak ada bukti yang membatalkan
keislaman atau keimanan mereka, maka wajib bersifat lemah lembut dan memberikan
perlindungan serta penjaminan terhadap hidup dan kehidupan mereka.
Hal itu sesuai pendapat Shâlih al-Fawzân dalam kitab Syarh
al-‘Aqîdah al-Thahâwiyah Juz I hal. 162 berikut: “Tidak boleh membunuh dan
menghalalkan darah orang Islam, karena Allah telah memeliharanya dengan Islam…
Siapa yang jelas keislamannya dan mengucapkan dua kalimah syahadat serta tidak
tampak hal-hal yang membatalkan keislamannya, maka darahnya haram, tidak boleh
memerangi dan menumpahkan darahnya…
Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
[*] Tulisan
ini diprsentasikan dalam acara Bintek Guru PAI se-Kota Tangerang Selatan yang
diselenggarakan MUI Kota Tangerang Selatan pada Hari Rabu, 24 September 2014 di
Aula Gedung GIS (Global Islamic School) 2, Jl. Puspiptek Raya, Buaran, Serpong,
Tangerang Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar