Kamis, 24 November 2016

ISLAM RAHMATAN LIL ‘ÂLAMÎN

ISLAM RAHMATAN LIL ‘ÂLAMÎN[*]
الإسلام رحمة للعالمين))
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen “Ilmu Pemikiran Islam” Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan {FITK}
UIN Jakarta. Ketua Harian LPTQ Kota Tangerang Selatan)
Email              : dimyati@uinjkt.ac.id
Blog                : http://dimyatisajari.blogspot.co.id
HP.                  : 081310649098 / 085885081802
Pendahuluan
Islam, sebagaimana judul di atas, adalah rahmatan lil ‘âlamîn (rahmah bagi seluruh alam semesta). Muhammad Saw adalah nabi yang diutus untuk menyampaikan dan memperjuangkan Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn ini. Beliau (Muhammad Saw) adalah representasi Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn ini. Posisi dan tugas Muhammad Saw sebagai rahmatan lil ‘âlamîn inilah yang dipertegas oleh Allah Swt dengan Firman-Nya di Surah al-Anbiyâ’ ayat 107: “dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (وما أرسلناك الاّ رحمةً للعالمين).
Alam adalah segala hal selain Allah atau segala hal yang diciptakan Allah yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Islam merupakan rahmah untuk semua alam-alam ini. Hanya saja, dalam konteks kali ini, cakupan makna alam yang begitu luas ini dibatasi hanya pada alam manusia, sehingga kalimat yang digunakan adalah: “Islam adalah rahmah bagi seluruh manusia.”
Golongan Manusia
Secara teologis (keagamaan), manusia itu dibagi dua, yaitu muslim (mu’min) dan non-muslim (kafir). Secara garis besar, orang-orang Islam atau orang-orang beriman dibagi menjadi dua golongan, yakni mu’min yang selamat dan mu’min yang tersesat. Adapun orang-orang kafir secara umum dibagi pula menjadi dua golongan, yakni kafir ahli kitab dan kafir musyrik.
Pengelompokan orang-orang beriman menjadi dua golongan yang selamat dan tersesat itu berdasarkan Sabda Rasulullah Saw berikut:
ستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة، قال الصحابة : من هي يا رسول الله ؟ قال : من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي. رواه البخاري ومسلم .
وأخبر النبي عليه الصلاة و السلام :ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى.
ستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار إلا واحدة. قالوا: من هم يا رسول الله؟ قال: "ما أنا عليه وأصحابي"
والذي نفس محمد لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، فواحدة في الجنة وإثنتان وسبعون في النار. قيل : يا رسول الله من هم؟ قال : الجماعة.
Satu kelompok umat yang selamat itu disebut sebagai kelompok jamaah (الْجَمَاعَةُ) atau kelompok yang selamat (الفرقة الناجية). Mereka ini adalah “orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan ajaran para sahabatku” (من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي) atau “orang yang ajarannya sama dengan ajaranku dan para sahabatku” (ما أنا عليه وأصحابي).  Adapun 73 golongan yang tidak selamat disebut sebagai golongan yang binasa (الهالكة) atau yang tersesat (الضلالة).
Sementara itu, pengelompokan orang-orang kafir menjadi kafir ahli kitab dan kafir berdasarkan Firman Allah Swt.:
لم يكن الذين كفروا مِن أهل الكتاب والمشركين منفكّين حتّى تأتيهم البينةُ
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Golongan-golongan umat Islam itu tampaknya ada yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah hanya untuk umat Islam dan ada yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah bagi seluruh umat manusia, termasuk di dalamnya untuk orang-orang kafir. Akan tetapi, di kalangan umat Islam yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah hanya untuk orang Islam saja dalam aksinya tidaklah sama: ada yang berusaha menjadikan Islam sebagai rahmah bagi seluruh umat Islam dan ada yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmah hanya untuk kelompok mereka saja. Kelompok umat yang terakhir ini dalam konsepnya membuat garis batas yang tegas antara “kita” dan “mereka.” “Kita” adalah kelompok mereka yang mereka anggap sebagai mu’min yang sebenarnya (mu’min haqqâ, مؤمن حقا) dan “mereka” adalah kelompok umat yang dipandang oleh orang-orang yang menganggap kelompoknya sebagai mu’min yang sebenarnya sebagai orang-orang beriman yang tersesat (مؤمن ضالّ) . Pada gilirannya, kelompok mu’min haqqâ ini menganggap mereka sebagai satu-satunya orang beriman dan orang-orang beriman di luar kelompok mereka (مؤمن ضالّ) dianggap sebagai orang-orang tersesat yang bukan lagi mu’min, yang kadang kala mereka sebut sebagai كافر atau طاغوت. Dengan demikian, orang beriman yang mereka pandang sebagai مؤمن ضالّ ini bukan lagi dipandang sebagai mu’min, tetapi dipandang sebagai كافر atau طاغوت.
Dalam konsep dan aksi mereka, مؤمن ضالّ  yang telah mereka fonis sebagai كافر atau طاغوت itu termasuk kelompok manusia yang dipandang halal darahnya untuk ditumpahkan. Bahkan, ada kelompok yang memandang kelompok  مؤمن ضالّ sebagai كافر atau طاغوت ini wajib ditumpahkan darahnya, sebagaimana kelompok كافر طاغوت yang mereka pandang wajib ditumpahkan darahnya. Dengan demikian, ada dua kelompok كافر atau طاغوت yang darahnya mereka pandang wajib ditumpahkan, yaitu مؤمن ضالّ dan atau كافر طاغوت.
Akan tetapi, ada juga kelompok yang bersikap keras dan tegas terhadap مؤمن ضالّ, tetapi bersikap lunak terhadap orang-orang yang jelas-jelas non-muslim (kafir). Sikap keras dan tegas kelompok ini terhadap mu’min yang mereka pandang مؤمن ضالّ adalah fonis bahwa  مؤمن ضالّ sebagai ahl al-bida‘ (اهل البدع) atau ahl al-bida‘ wa al-khurufat (اهل البدع والخرفات). Di antara kelompok inipun, dalam kasus tertentu, memandang  مؤمن ضالّ ini sebagai kafir musyrik yang wajib dibunuh.
Bila golongan umat Islam di atas dikelompokkan secara sosiologis, maka dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) kelompok yang hendak menjadikan Islam sebagai rahmah bagi seluruh umat manusia; 2) kelompok yang hendak menjadikan Islam sebagai rahmah bagi seluruh umat Islam; dan 3) kelompok yang hendak menjadikan Islam sebagai rahmah bagi kelompoknya sendiri.
Kasih Sayang
Kini, apa makna rahmah itu? Kata rahmah (رحمة) disebut 39 kali di dalam al-Qur’an dengan berbagai makna. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan hubungan sesama, kata rahmah itu dapat dimaknakan sebagai “sifat kasih sayang yang melahirkan sikap lemah lembut terhadap orang lain,” sebagaimana dapat dipahami dari Firman-Nya:
فبما رحمةٍ من اللهِ لنتَ لهم ولو كُنتَ فظًّا غليظ القلب لاَنفضّوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم فى الأمر فإذا عزمت فتوكّل على الله إنّ الله يحبّ المتوكّلين
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS Ali ‘Imran: 179).
Sifat kasih sayang adalah sifat Allah Swt yang telah diejawantahkan oleh Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari beliau, baik terhadap para sahabatnya maupun terhadap orang-orang kafir. Tentu saja, aplikasi kasih sayang terhadap para sahabatnya berbeda dengan terhadap orang kafir. Kalau terhadap para sahabat Rasulullah Saw bersikap lemah lembut, menolong mereka, melindungi mereka, bekerjasama dan bermuamalah dengan mereka, maka dengan orang-orang kafir Rasulullah Saw hanya melakukan kerjasama, bermuamalah dan perlindungan terhadap mereka sepanjang mereka tidak melakukan pengkhianatan. Dalam hal hubungan keagamaan, mereka diberi kebebasan menjalankan agamanya, sebagaimana yang termatuk dalam Piagam Madinah.
Orang kafir itulah yang kemudian dikenal dengan istilah kâfir dzimmî (كافر ذمّىّ), yakni orang kafir yang menjadi warga negara umat Islam dan mereka membayar jizyah sebagai imbalan atas keamanan hidup mereka. Akan tetapi, kalau orang kafir itu melakukan pengkhianatan, maka Rasulullah Saw akan memerangi mereka sampai mereka berserah diri atau mati kafir. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah kâfir harbî. Peperangan terhadap kâfir harbî (كافر حربىّ) inipun tidak pernah dilakukan secara brutal, melainkan dilakukan sesuai kesepakatan dan hanya di siang hari. Inilah peperangan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw yang ditaati dan dipraktekkan umat Islam sampai beberapa abad kemudian.
Fakta Lahiriah
Salah satu bentuk kasih sayang dan kelembutan Rasulullah Saw adalah beliau menghukumi keimanan seseorang berdasarkan fakta yang lahiriah, bukan fakta yang batiniah (yang tidak dapat dilihat mata kepala). Hal ini terlihat terhadap amarah beliau terhadap Usamah bin Zaid yang membunuh musuh yang mengucapkan لا إله إلا الله dikarenakan Usamah menganggap musuhnya itu mengucapkannya hanya di lisannya saja supaya tidak dibunuh. Rasulullah Saw bertanya kepada Usamah: “Apakah engkau membelah hatinya sehingga engkau mengetahui hatinya mengucapkan لا إله إلا الله atau tidak?” (أشققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا). Rasulullah Saw juga bersabda kepada sahabat Khâlid yang mengatakan bahwa banyak orang yang shalat yang hanya lisannya yang mengucapkan, sementara hatinya tidak (قال له خالد: وكم من مصل يقول بلسانه ما ليس في قلبه): “Aku tidak diperintah untuk melubangi {menyelidiki} hati manusia dan tidak pula diperintah untuk membelah perut mereka” (إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أشق بطونهم).
Muslim Minimalis
Dengan demikian, Rasulullah Saw bertindak penuh kasih sayang terhadap orang yang walaupun orang itu baru mengucapkan dua kalimah syahadat, sebuah standar minimal keislaman seseorang. Kasih sayang Rasulullah Saw terhadap Muslim minimalis ini adalah dengan melakukan perlindungan atau penjaminan terhadap mereka, sebagaimana sabda beliau:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله، فإذا قالوها عصموا مني دمائهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على الله. أخرجه البخاري ومسلم
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah. Ketika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka berada di dalam penjagaanku kecuali dengan haqqnya (syahadat) dan perhitungan terhadap mereka merupakan hak Allah Swt.”
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا فَقَدْ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Tiada Tuhan selain Allah. Ketika mereka telah mengucapkannya, maka sungguh darah dan harta mereka berada di dalam penjagaanku kecuali dengan haqqnya (lâ ilâha illâ Allâh) dan perhitungan terhadap mereka merupakan hak Allah Swt.”
Standar Maksimal
Di hadits yang lain, Rasulullah Saw melakukan perlindungan dan penjaminan terhadap darah dan harta orang-orang yang bukan sekadar mengucapkan atau memberikan kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tetapi juga mengimani hal-hal yang disampaikan Rasulullah Saw., seperti hadits berikut:
عن أبي هريرة – رضي اللَّه عنه- قال : قال رسول اللَّه صَلَّى اللَّه عليْهِ وسَلَّم : أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا اللَّه ويؤْمِنوا بي، وبما جِئت به ، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على اللَّه عز وجل. رواه مسلم
Dalam hadits itu Rasulullah Saw melakukan perlindungan dan penjaminan terhadap muslim dengan standar maksimal, meski bukan yang paling maksimal. Di hadits berikut, Rasulullah Saw juga menggunakan standar hampir maksimal, yaitu perlindungan dan penjaminan terhadap darah dan harta orang-orang yang memberikan kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, sekaligus yang juga mendirikan shalat dan menunaikan zakat:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله. صحيح البخاري وصحيح مسلم.
Muslim Maksimalis
Di hadits yang dikutip di atas adalah ungkapan illâ bihaqqihâ (إلا بحقها). Berdasarkan konteks kalimat yang digunakannya, dhomir hâ (الهاء) di sini ada yang maknanya merujuk kepada kalimat لا إله إلا اللَّه, ada yang merujuk kepada dua kalimah syahadat, dan ada yang merujuk kepada dua kalimah syhadat dan segala hal yang berasal dari Rasulullah Saw. Hadits yang dinukil belakangan tidak menggunakan dhamir , tapi langsung disandarkan kepada kata al-Islâm, yakni بحق الإسلام. Artinya, seseorang yang menyatakan diri sebagai muslim dengan mengucap لا إله إلا اللَّه atau dua kalimah syahadat, maka dia harus menerima konsekuwensi logis dari keislamannya itu. Orang Islam yang menerima konsekuwensi keislamannnya dengan sepenuh hatinya dan diejawantahkan dengan segenap jiwa-raganya dalam kehidupannya inilah yang disebut muslim yang kaffah (muslim maksimalis).
Dalam fase tertentu atau dalam kondisi tertentu dari kehidupan Rasulullah Saw muslim yang kaffah itu adalah semisal yang disebut di hadits yang dikutip belakangan, yakni yang bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Mereka inilah yang darah dan hartanya berada dalam perlindungan dan jaminan Rasulullah Saw. Akan tetapi, muslim yang model ini adalah muslim yang telah berkesempatan atau telah diberi kesempatan untuk membuktikan konsekuwensi keislamannya dan mereka telah membuktikannya. Sementara itu, dalam kasus Usamah bin Zaid, orang yang baru mengucapkan لا إله إلا اللَّه yang dibunuh Usamah itu belum ada waktu untuk membuktikan keislamannya sehingga Rasulullah Saw memarahi Usamah.
Di dalam khutbah Haji Wada’ Rasulullah Saw berkhutbah: “Hai manusia, hari apakah ini? Bulan apakah ini? Negeri apakah ini? Bukankah ini bulan haram, negeri haram dan hari haram? Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini dan di negeri ini hingga hari bertemunya kalian dengan Tuhan kalian. Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!
Mu’min Kafir (= Murtad)
Lain lagi dengan orang Islam atau orang beriman yang berkesempatan membuktikan konsekuwensi keislamannya, tetapi mereka justru mengingkarinya atau melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam. Mereka ini dihukumi bukan lagi sebagai muslim atau mu’min, tetapi dihukumi sebagai kafir yang boleh diperangi, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw terhadap orang yahudi yang telah melakukan pengkhianatan meski mengucapkan لا إله إلا الله dan para sahabat terhadap Bani Hanifah yang telah mengingkari hari kebangkitan atau terhadap kelompok yang mengingkari salah satu rukun Islam. Hal ini, misalnya, dapat dilihat di kitab كشف الشبهات، ج. 1 ص. 37 yang menjelaskan kasus ini. Contoh yang lain adalah apa yang dilakukan Khalifah Abu Bakar r.a. Beliau memerangi kelompok muslim yang telah dipandang sebagai murtad dikarenakan mereka membedakan antara shalat dan zakat, yakni mereka tidak sudi berzakat disebabkan mengingkari wajibnya menunaikan zakat. Akan tetapi, orang yang enggan mengamalkan salah satu Rukun Islam hanya karena malas, maka mereka tidak boleh diperangi.
Pewaris Rasulullah Saw
Di atas telah dikatakan bahwa Rasulullah Saw adalah representasi Islam, representasi sifat Allah Swt Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang. Representasi Rasulullah Saw adalah para pewarisnya, yakni para ulama (العلماء ورثة الأنبياء). Representasi sifat pengasih-penyayang Rasulullah Saw ini bukan berarti menghindari ditegakkannya kebenaran yang wajib ditegakkan, tetapi penegakan kebenaran ini harus didasarkan pada kasih-sayang.  Dasar penegakan kebenaran, termasuk di dalamnya jihâd, adalah sifat kasih-sayang.
Guru-guru PAI adalah para guru yang berada di barisan para ulama itu. Oleh karena itu, guru-guru PAI harus memiliki sifat pengasih-penyayang  yang diwujudkan dalam bentuk kelembutan hati dan dalam bentuk perlindungan serta penjaminan terhadap darah dan harta terhadap sesama muslim, meski mereka muslim minimalis. Sepanjang dia mengucapkan syahadat, maka dia hidup dalam perlindungan dan jaminan. Akan tetapi, walau mereka muslim yang maksimalis (kaffah) apabila mereka berkhianat, maka mereka wajib diperangi. Demikian pula terhadap muslim yang mengingkari salah satu hal yang berkaitan dengan aqidah atau mengingkari wajibnya salah satu Rukun Islam, maka mereka wajib diperangi. Hanya saja, kewajiban memerangi terhadap mereka ini dapat dilaksanakan jika telah dilakukan proses dakwah, negoisasi atau proses penyadaran terhadap mereka. Apabila mereka tetap membangkang setelah proses itu ditempuh, maka mereka wajib diperangi. Kewajiban inipun bila dimungkinkan. Jika tidak dimungkinkan, maka berlaku kaidah yang menyatakan bahwa menolak atau menghindari kerusakan harus lebih didahulukan daripada upaya mendapatkan kemaslahatan (درأ المفاسد مقدّم على جلب المصالح).
Di samping itu, penegakan kebenaran atau peperangan (qitâl, jihâd) itu tidak boleh dilakukan atas dasar semata-mata beda pendapat atau beda paham. Belum tentu kelompok yang mengklaim diri sebagai kelompok yang benar itu benar di sisi Allah Swt., belum tentu kelompok yang dipandang sesat itu sesat di sisi Allah Swt., dan atau belum tentu kelompok yang mengklaim diri sebagai ahl al-sunnah wal jamâ‘ah itu dinilai Allah Swt sebagai ahl al-sunnah wal jamâ‘ah. Masalah ini adalah masalah zhann (persangkaan, paham) sehingga seorang muslim tidak boleh mengkafirkan atau memerangi yang lain atas dasar zhann. Salah besar bila pengkafiran atau peperangan  itu terjadi atas dasar zhann ini.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka Islam adalah agama yang rahmah untuk seluruh alam semesta, yakni dalam konteks kali ini adalah rahmah bagi seluruh manusia. Akan tetapi, kerahmatan Islam tidak boleh menghalangi untuk ditegakkannya kebenaran atau untuk dilaksanakannya peperangan (qitâl, jihâd) terhadap كافر حربىّ, terhadap muslim pengkhianat, terhadap kâfir riddah, terhadap muslim ingkar (mu’min munkir, مؤمن منكر).
Terhadap kafir dzimmî tidak boleh dilakukan penyerangan terhadap mereka, apalagi terhadap sesama muslim, meski muslim minimalis. Hidup dan kehidupan mereka wajib dilindungi dan dijamin keamanan dan keselamatannya. Tidak ada dasarnya mengkafirkan atau melakukan penyerangan terhadap mereka, termasuk terhadap kelompok yang berbeda paham.  Sepanjang tidak ada bukti yang membatalkan keislaman atau keimanan mereka, maka wajib bersifat lemah lembut dan memberikan perlindungan serta penjaminan terhadap hidup dan kehidupan mereka.
Hal itu sesuai pendapat Shâlih al-Fawzân dalam kitab Syarh al-‘Aqîdah al-Thahâwiyah Juz I hal. 162 berikut: “Tidak boleh membunuh dan menghalalkan darah orang Islam, karena Allah telah memeliharanya dengan Islam… Siapa yang jelas keislamannya dan mengucapkan dua kalimah syahadat serta tidak tampak hal-hal yang membatalkan keislamannya, maka darahnya haram, tidak boleh memerangi dan menumpahkan darahnya…
Wallâhu a’lam bi al-shawâb.


[*] Tulisan ini diprsentasikan dalam acara Bintek Guru PAI se-Kota Tangerang Selatan yang diselenggarakan MUI Kota Tangerang Selatan pada Hari Rabu, 24 September 2014 di Aula Gedung GIS (Global Islamic School) 2, Jl. Puspiptek Raya, Buaran, Serpong, Tangerang Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates