Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah dan Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) pada
mata kuliah
“Akhlak Tasawwuf II”
Dosen Pengampu: Bpk.Dimyati, Dr.,M.Ag
Oleh:
Khatimatul Husnah G (109011000266)
VIG
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Islam memelihara kebutuhan asasi manusia akan ketentraman rohani melalui
rasa cinta kepada Allah. Cinta yang secara harfiyah bisa didefenisikan
sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan oleh islam
dituangkan sebagai bentuk mahabbah (cinta Rohani) kepada Allah, yang
apad hakikatnya merupakan rahasia dari zat Allah, yang tidak dibukakan
tabir kerahasiaannya kepada setiap orang, sekalipun dari kalangan para
Nabi dan auliyanya. Memang sesungguhnyalah, cinta Ilahiah itu merupakan
rahasia yang terkandung dalam misteri kehidupan ini. Cinta Ilahi
merupakan bentuk kecintaan dan kerinduan terhadap asal segala sesuatu,
yaitu Allah Swt. Karena cinta Allah-lah maka manusia diciptakan. Dan
diciptakannya pula berbagai macam sumber rezeki yang disediakan Allah
bagi kepentingan atau kebutuhan hidup manusia.
Sungguh, bahwa yang sebenarnya patut dicintai secara hakiki hanyalah
Allah semata. Orang yang mencintai sesuatu bukan karena Allah, maka
hanya akan menunjukkan kebodohannya saja, karena segala sebab yang
melahirkan cinta itu sebenarnya hanya ada pada Allah.
Hampir seluruh literatur bidang tasawwuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah Al-Adawiyah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia
menganut paham tersebut. Mahabbah menurut Rabi’ah adalah perasaan
kemanusiaan yang amat mulia, amat agung dan amat luhur.
Dan adalam makalah ini saya akan memaparkan mahabbah Rabi’ah Al-adawiyah
dengan lebih jelas.
PEMBAHASAN
MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH DAN RELEVANSINYA DENGAN KEHIDUPAN SEKARANG
A. Mahabbah
1. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta
yang mendalam. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk manunjukkan
pada suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini mahabbah
obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Arti mahabbah yang dikehendaki
tasawwuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhian pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan
al-Qusyairi sebagai berikut:
“al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-sarraj,
sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah orang
biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah
orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir.
Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada
Tuhan. Sedangkan cinta orang arif adalah cinta orang yang tahu betul
pada Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta terakhirlah yang
ingin dituju oleh mahabbah
Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang
hamper selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun
dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat
pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah
adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh).
Pendapat terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan
tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut
sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan
mahabbah tingkat kedua yaitu mahabbah orang shidiq sebagai dikemukakan
al-sarraj, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat
ketiga yaitu mahabbah orang arif. Dengan demikian kedudukan mahabbah
lebih tinggi dari ma’rifah.
2. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawwuf menjawab dengan menggunakan pendekatan psikologi,
yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam
diri manusia. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution
mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, hati sanubari
(al-Qalb), sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua, roh
sebagai alat untuk mencintai Tuhan, ketiga sir, yaitu alat untuk melihat
Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus daripada
qalb.kelihatannya sir bertempat dir oh, dan roh bertempat di qalb, dan
sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh
telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai
Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan
maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu,
melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan
kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat
bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah
diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang
mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit".
3. Sebab-Sebab dan Tanda-Tanda Cinta
Menurut Al-Ghazali, sebab-sebab yang melahirkan rasa cinta itu ada Lima:
a. Pertama, cinta diri keinginan akan keabadian dan kesempurnaan wujud
diri
b. Kedua, cinta kepada orang yang berbuat kebaikan kepada kita
c. Ketiga, cinta kepada orang yang berbuat kebaikan, sekalipun kebaikan
itu tidak mengenai kita.
d. Keempat, cinta kepada yang indah
e. Kelima, cinta kepada sesuatu yang ada persamaannya dengan diri kita.
Kelima, sebab ini menurut dia, terhimpun semuanya pada Allah, bahkan
hanya Dia yang meilikinya secara hakiki.
Selanjutnya, Al-Ghazali berpandukan bahwa orang yang benar-benar
mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
a. Kasih ia akan mati
b. Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Ta’ala itu atas sekalian
yang dikasihi dan menjauhi ia akan mengikut hawa nafsunya.
c. Senantiasa ia berdzikir kepada Allah
d. Jinak dengan bersunyi sendiri (munajat akan Allah, berdzikir, membaca
al-qur’an dan mengekali ia atas sembahyang tahajud dimalam yang sunyi)
e. Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah Ta’ala.”
f. Bangga dengan berbuat taat akan Allah Taala
g. Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin dan benci akan orang
yang kafir, ia itu seteru Allah.
h. Adalah ia dalam kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia.
i. Menyembunyikan ia akan kasihnya akan Allah Taala itu daripada orang
yang bukan ahlinya.
j. Senantiasa dekat hatinya itu kepada Allah Taala dan Redha ia akan
Allah Taala di dalam sekalian yang diperbuat Allah Taala akan Dia.
B. Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah ummu al-khair Rabi’ah binti isma’il al-Adawiyah
al-Qisiyah. Informasi tentang riwayat hidupnya sangat sedikit, dan
sebagian bercorak mitos. Dia dilahikan di bashrah pada tahun 96 H/713 M.
dia hidup sebagai hamba sahaya dari keluarga atik. Dia berasal dari
keluarga miskin. Sejak kecil dia tinggal dikota kelahirannya. Dikota itu
namanya sangat harum sebagai manusia suci dan sangat dihormati oleh
orang-orang saleh di masanya. Dia meninggal pada tahun 185 H/801 M.
dimakamkan didekat kota jerussalem.
Dikisahkan bahwa pada malam Rabi’ah dilahirkan, tak ada lampu dirumah
ayahnya, tak juga setetes minyak untuk meminyaki pusarnya, juga tidak
cukup potongan pakaian untuk membendungnya. Ayahnya memiliki tiga
putrid, dan Rabi’ah adalah yang keempat. Oleh karena itu, mereka
menamainya Rabi’ah. Artinya “Perempuan yang keempat.”
Kemudian istrinya berkata kepadanya,”pergilah ke tetangga si Fulan dan
mintalah pinjaman seharga minyak lampu.” Ayah Rabi’ah telah bersumpah
tidak akan meminta kepada makhluk untuk apapun. Dia berdiri, pergi ke
pintu tetangganya tersebut, dan kembali, lalu berkata, “mereka sedang
tidur.”
Dia tertidur dengan perasaan sedih. Dia melihat Nabi Saw. Dalam mimpi.
Beliau berkata, “jangan bersedih. Putrimu ini adalah seorang perempuan
terhormat yang akan menengahi tujuh puluh ribu umatku.” Beliau kemudian
terus berkata,” pergilah kepada ‘Isa Radan, Amir dari Basrah, dan
katakana, jum’at kemarin, engkau lupa mengucapkan shalawat seratus kali
setiap malam dan empat puluh kali pada hari jum’at. Sebagai
penebusannya, berikan aku empat ratus dinar emas.”
Ketika dia terbangun dengan berurai air mata pada pagi harinya, ayah
Rabi’ah menuliskan mimpi ini pada selembar kertas dan membawanya ke
istana Isa Radan. Dia memberikannya kepada seseorang untuk disampaikan.
Ketika sang Amir memeriksa suratnya, dia memerintahkan bahwa sepuluh
ribu dirham diberikan sebagai sedekah, sebagai rasa syukur bahwa Nabi
saw. Telah mengingatnya. Dan dia memerintahkan bahwa empat ratus dinar
diberikan kepada ayah Rabi’ah dan berkata, “katakana kepadanya, saya
ingin kamu masuk ke dalam istana sehingga saya dapat meberikan
penghormatan kepadanya. Akan tetapi, saya tidak menganggap ini tepat
bahwa seseorang seperti anda, yang mengantarkan pesan dari Nabi saw.
Harus dating mengunjungiku. Aku sendiri yang akan dating dan menyeka
debu di ambang pintu rumahmu dengan janggutku. Demi Tuhan, jika engkau
membutuhkan apa pun, beri tahu aku.” Kemudian, ayah Rabi’ah mengambil
emas tersebut dan membelanjakannya.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan
kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Yang menonjol dalam masa kecil
Rabi’ah adalah ia kelihatan cerdas. Diceritakan bahwa Rabi’ah telah
hafal al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam
menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal.
Ketika agak besar Rabi’ah ditinggal mati ayah ibunya, dan bencana
kelaparan menimpanya. Dia ditangkap oleh penjahat dan dijual sebagai
budak dengan harga enam ratus dirham. Oleh majikannya diberi pekerjaan
yang berat-berat.
Pada suatu malam sang majikan melihat lentera tanpa tali menggantung di
atas kepala Rabi’ah. Cahayanya menerangi seluruh ruangan. Melihat
kejadian itu, ia merasa takut. Dengan sekuat tenaga, sang majikan
kembali ke kamar tidurnya, dan duduk termenung sampai menjelang subuh.
Pagi harinya dipanggilnya Rabi’ah, dengan sikap manis saat itu juga
Rabi’ah dibebaskan.
Rabi’ah al-Adawiyah seumur hidupnya tidak pernah menikah, dia dipandang
mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-hubb)
khas sufi ke dalam tasawwuf islam. Sebagai seorang wanita zahidah, dia
selalu menolak setiap lamaran beberapa pria, dengan mengatakan:
“akad nikah adalah hak Pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal
itu telah sirna, karena aku telah berhenti maujud (ada) dan telah
melepaskan keakuan diriku. Aku maujud (berada) dalam Tuhan dan diriku
sepenuhnya milik-Nya, aku hidup di dalam naungan firman-Nya. Akad nikah
mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”.
Dalam kehidupan selanjutnya ia bisa memusatkan perhatiannya dalam
beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Dia menyenangi
hidup dalam kemiskinan, dan menolak bantuan materi yang diberikan
kepadanya. Bahkan dalam do’anya, dia tidak mau meminta hal-hal yang
bersifat materi kepada Tuhan. Rabi’ah al-adawiyah betul-betul hidup
dalam keadaan zuhud dan mendambakan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Diantara ungkapan katanya yang melukiskan kehidupan zuhudnya ialah
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hujwiri di dalam kitabnya yang terkenal
Kasyf al-Mahjub sebagai berikut:
‘suatu ketika aku membaca cerita, bahwa seorang hartawan berkata kepada
rabi’ah: mintalah kepadaku segala keperluanmu! Rabi’ah menjawab: aku ini
sangat malu meminta hal-hal yang bersifat duniawi kepada Pemiliknya.
Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan
Pemiliknya?”
Sebagaimana halnya para zahid sebelum dan semasanya, perjalanan hidupnya
pun selalu diliputi tangis dan rasa sedih. Al-Sya’rani, misalnya,
didalam kitabnya Al-Tabaqat al-kubra menceritakan bahwa “dia sering
menangis dan bersedih hati. Jika dia diingatkan tentang neraka, maka
beberapa lama dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya selalu basah
oleh air matanya.” Dan diriwayatkan bahwa rabi’ah terus menerus shalat
sepanjang malam setiap harinya. Kalau fajar tiba, dia tidur hanya
beberapa saat sampai fajar lewat. Diriwayatkan pula bahwa ketika bangun
tidur dia selalu berkata:”aduhai jiwa! Berapa lama kamu tertidur dan
sampai di mana kamu tertidur, sehingga hamper saja kamu tertidur tanpa
bangkit lagi kecuali oleh terompet Hari Kebangkitan.”
C. Rabi’ah sebagai Guru Sufi
Rabi’ah telah membebaskan dirinya dari penghambaan dunia, dan ia telah
mengangkat martabatnya dengan ketakwaan, tulus dan ikhlas ke tingkat
ma’rifah yang amat tinggi. Sejak saat itu dari lidahnya selalu keluar
kata-kata mutiara, hikmah kebijaksanaan yang dalam, dan tuntunan yang
menyejukkan hati. Oleh karena ilmunya yang dalam, ia dijuluki sebagai
guru sufi yang luhur.
Salah satu ulama yang semasa dengan Rabi’ah adalah sufyan al-Tsauri,
dalam salah satu nasehatnya kepada sufyan, Rabi’ah berkata:”wahai
sufyan, hidup ini hanya sejenak, bila hari ini telah berlalu, maka
berlalu pula sebagian yang lain, dan sebagian lagi kemudian berlalu,
akhirnya semuanya akan pergi, dan tentu engkau sudah maklum, maka
bersiap-siaplah.”
Untuk mencapai tingkat yang tinggi, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau
tingkatan sebagaimana sufi lainnya. Martabat yang dicapai tidak hanya
meniru atau mengumpulkan ilmu saja akan tetapi dengan penggemblengan
jiwa dan watak.
Dengan usaha yang tidak henti-henti Rabi’ah menigkatkan martabatnya dari
tingkat ibadah ke tingkat zuhud hingga tingkat ridha. Dalam kaitannya
dengan ridha, diriwayatkan bahwa sekawanan belalang hinggap di kebun
Rabi’ah yang baru ditanami dan melalap habis tanaman tersebut. Ia
memandangnya sambil tersenyum, sambil berdo’a: “Oh Tuhanku, rezeki
dating dari-Mu, hama belalang tidak akan mengurangi atau merampas
rezekiku sama sekali, semua adalah ketentuan dari-Mu jua.
Dari tingkat ridha Rabi’ah menuju ke tingkat ihsan, ia menyembah Allah
dengan seluruh hatinya, seolah-olah berada di hadapan Allah, memandang
kepada-Nya dan Allah melihatnya.pernah sahabat perempuannya, Abdah, pada
suatu musim seni yang indah mengajaknya untuk berjalan-jalan keluar
untuk melihat dan merenungkan kekuasaan Allah, namun Rabi’ah
berkata:”Masuklah engkau ke dalam dan renungkanlah kekuasaan Allah yang
ada dalam dirimu, sesungguhnya kewajibanku adalah merenungkan kekuasaan
Allah.” Setelah tingkatan-tingkatan itu terlalui, maka sampailah Rabi’ah
pada tingkat Mahabbah,yang biasa disebut dengan hub al-Ilahi.
D. Mahabbah Rabi’ah al adawiyah
Isi pokok ajaran tasawwuf Rabi’ah al-adawiyah adalah tentang cinta.
Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut
masuk neraka atau mengharap masuk surge, tetapi karena cintanya kepada
Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah; dan
cinta itu pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut
terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan zat
yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti. Dalam
hubungan ini dia pernah berucap:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka…bukan pula
karena mendambakan masuk surge…tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka,
bakarlah aku didalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga,
jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata
karena cintaku kepada Engkau, maka janganlah Engkau sembunyikan
kecantikan-Mu yang kekal itu dari diriku.”
Karena itulah dikatakan, kemasyhuran yang diperoleh ialah karena dia
membawa dan mengemukakan konsep baru dalam kehidupan kesufian.konsep
Zuhud yang dibawa oleh Hasan Al-Basri berupa Khauf (takut) dan raja’
(harap) dikembangkan oleh Rbi’ah al-Adawiyah menjadi konsep Zuhud berupa
cinta. Menurut beberapa orientalis yang mengkaji tasawwuf, misalnya
R.A.Nicholson, bahwa pentingnya kedudukan Rabi’ah Al-Adawiyah
melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta, yang menjadi saraana
manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. Di antara
ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi
cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku,
berikanlah semuanya kepada musuh-musuh-Mu. Dan apapun yang Engkau akan
berikan kepadaku kelak diakhirat, berikan saja pada teman-teman-Mu.
Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
Tampak jelas bahwa cinta rabi’ah al-adawiyah kepada Allah begitu penuh
meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena
hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam lirik syairnya berikut ini:
“ Kujadikan Engkau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”
Dalam liriknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah Al-Adawiyah
terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia
bersenandung:
“Aku cinta Kamu dengan dua model cinta.
Cinta rindu dan cinta karena Engkau layak dicinta.
Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu, bukan
selain-Mu.
Adapun cinta karena Engkau layak dicinta, karena Engkau singkapkan tirai
sampai Engkau nyata bagiku.
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
Tetapi sekalian puji hanya bagi- Mu selalu.
Selanjutnya dalam lirik syairnya yang lain, dia mengungkapkan isi
hatinya sebagai berikut:
Buah hatiku, cintaku hanya kepada-Mu.
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu.
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain diri-Mu.
Di saat-saat melakukan munajat, dia berdialog dengan Tuhan sebagai
berikut:
“Tuhanku, bintang-bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang telah
bertiduran, pintu-pintu istana telah ditutup dan pada saat itulah semua
pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya. Inilah aku berada di
hadirat-Mu.” Sewaktu fajar menyingsing, dia berkata:
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku
gelisah, apakah amalanku Engkau terima sehingga aku merasa bahagia,
ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahaku-asaan-Mu,
inilah yang akan kulakukan selama aku Engkau beri kehidupan. Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena
cinta-ku kepada-Mu telah memenuhi seluruh lorong hatiku.”
Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada
lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang
lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya:”Apakah kamu benci kepada
setan?”dia menjawab: “tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan
ruang kosong dalam diriku untuk diisi rasa benci kepada setan.” Karena
begitu cintanya kepada Tuhan, dia pernah ditanya tentang cintanya kepada
Nabi Muhammad SAW. Dia menjawab:”saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku
kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.”
Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diungkapkan oleh Rabi’ah
Al-Adawiyah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya,
sehingga, seperti telah digambarkan tadi, dia menolak semua tawaran
kawin dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah, yang dicintainya;
dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta izin kepada Allah.
Dengan demikian, menurut at-Taftazani, dapat disimpulkan bahwa rabi’ah
al-Adawiyah, pada abad II H, telah merintis konsep zuhud dalam tasawwuf
berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, dia tidak hanya berbicara
tentang cinta Ilahi, namun, juga menguraikan ajaran tasawwuf yang lain,
seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, dan
lain sebagainya.
Dalam fase selanjutnya hidup Rabi’ah hanya diisi dengan Dzikir, tilawah
dan wirid. Duduknya hanya menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari
kaum sufi yang memohon pangestu dan fatwanya, hidupnya penuh dengan
ibadah kepada Allah hingga akhir hayat.
E. Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang
Dewasa ini begitu sering orang bicara bahwa gagasan ini dan itu atau
unsure ini dan itu, tak sesuai lagi dengan dunia modern, yang cuma
menunjukkan bahwa mereka sangat pintar melupakan hakikat yang inti dari
ajaran-ajaran dan gagasan-gagasan yang sebenarnya memiliki arti yang
langgeng; demikianlah orang telah melecehkan kebutuhan hakiki dunia
modern dan demikian pulalah mereka meremehkan pentingnya gagasan-gagasan
tersebut dalam memenuhi kebutuhan mereka yang sebenarnya. Apa saja yang
tak disukai orang dalam dunia yang cepat berubah ini selalu dipandang
remeh dan tak relevan; akan tetapi dalam kenyataannya, yang layak
dipandang remeh dan tak relevan sebenarnya adalah iklim pemikiran yang
menolak dan mengabaikan kebenaran yang abadi dan langgeng yang selalu
punya makna karena mengenai sesuatu yang langgeng di dalam diri manusia.
Dewasa ini cinta tak ubahnya bagai tuhan yang diagungkan, tuhan yang
dikejar, baik untuk kepentingan bisnis, kepuasan pribadi maupun demi
harga diri. Betapa darah remaja dan kesadaran yang telah dikorbankan
untuk apa yang dinamakan cinta. Berapa kwintal kemenyan dan bunga yang
dihamburkan hanya untuk apa yang dinamakan atau meraih cinta.
Cinta yang demikian menurut pakar sufi Ibnu Arabi adalah cinta sex,
cinta mengejar kepuasan badani, di mana semakin dikejar dia tidak akan
memberikan kepuasan, tak ubahnya semakin diminum semakin bertambah puas.
Bila manusia dapat menempatkan sebagai suatu perhiasan pada proporsi
yang sebenarnya, maka semua perhiasan itu akan memberikan cahaya bagi
kehiduan. Sebaliknya, bila penempatannya tidak tepat atau bahkan
menyeleweng maka akan membawa bencana dan kehancuran baik di dunia
apalagi besok di akhirat.
Perhiasan yang terealisasikan pada cinta –kebumian- ini merupakan suatu
perhiasan yang kecil saja, dan perhiasan yang akan kekal adalah
ketakwaan.
Jika secara keseluruhan manusia modern tak lagi memahami
kebenaran-kebenaran agama dan hikmah yang bersifat langgeng, agama dan
hikmah yang dipelihara dan dianut orang-orang suci selama berabad-abad
sebagai sesuatu yang utama, maka pudarnya visi intelektual semacam ini
sebenarnya sebagian besar berkaitan dengan tak berartinya lagi
keberadaan sebagian umat manusia. Rasa pasrah menerima keadaan dirirnya
dan ketakberesan memandang benda-benda, yang lazim disebut sebagai
keadaan genting manusia modern yang eksistensial, inilah tipe manusia
yang tak mampu mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya dan dengan
demikian tak lagi kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektif dan
nyata yang terkandung di dalam semua agama, yang secara hakiki merupakan
satu-satunya kemungkinan buat dijadikan timbangan dan ukuran bagi harga
dan nilai manusia.
Pentingnya islam bagi dunia modern, sebagaimana pentingnya agam otentik
yang lain, harus dibicarakan di dalam cahaya mana yang secara otologis
lebih penting dibandingkan yang lainnya; dari sudut ini islam harus
ditempatkan diatas, sebagaimana agam-agama lain karena ia berasal dari
Hakikat yang benar-benar mutlak dan berisi amanat yang datang dari
Langit, sementara dunia ini selalu nisbi dan apakah ia modern atau purba
tetap ia merupakan ‘dunia’ (Dunya dalam bahasa tradisional Islam).
Dunia modern adalah juga ‘dunia’ tak kurang dari ‘dunia’ yang
dibayangkan sebagai tradisional religius. Ia dalam kenyataan merupakan
dunia yang berasal dari Yang Tetap dan Yang Kekal di banding dengan
‘dunia’ lain apapun menurut pengetahuan historis kita, dan karenanya
dunia semacam itu kian memerlukan amanat dari Yang Tetap.
Islam adalah amanat Yang Tetap seperti itu. Ia merupakan imabauan
langsung dari Yang Mutlak kepada manusia, mengajaknya berhenti
mengembara dalam labirin kenisbian dan kembali kepada Yang Mutlak dan
Esa. Oleh karena demikian amanatnya maka ia sesuai dengan semua ‘dunia’
dan segenap generasi selama manusia tetap hidup.
Manusia lahir, hidup dan mati dan selalu mencari makna, baik untuk awal
maupun akhir hidupnya serta masa antara keduanya. Pencarian makna ini
adalah pokok, sebagaimana kebutuhan mencari makan dan tempat tinggal,
karena dalam kenyataannya merupakan kerinduan akan Yang Paling Akhir,
Yang Mutlak, dan ia merupakan kebutuhan manusia selanggeng kebutuhannya
akan makanan.
Dewasa ini setiap orang menyerukan perdamaian tapi kedamaian tak kunjung
dating, oleh karena secara metafisik adalah absurd mengharapkan suatu
peradaban yang melupakan Tuhan memiliki kedamaian. Kedamaian dalam
kehidupan manusia bersumber dari perdamaian dengan Tuhan dan juga dengan
alam.
Salah satu dari pesan islam pada dunia modern ialah agar manusia itu
mengutamakan pentingnya sesuatu menurut kepentingannya masing-masing,
dan memelihara masing-masing unsur sesuai dengan tempatnya, dan menjaga
proporsinya di antara hal-hal yang ada disekitarnya.
Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam
artian yang luhur; tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini.
Oleh karena tasawuf adalah dimensi esoteric dan dimensi dari pada Islam
ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam; hanya islam yang dapat
membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan kedamaian
yang bernama tasawuf dan hanya islam yang merupakan tempat mengintai
‘taman firdaus’. Kekuatan rohani islam menciptakan suatu iklim di dalam
kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens, suatu iklim yang
secara alami memikat manusia kearah meditasi dan kontemplasi,
sebagaimana tampak begitu jelas dalam jiwa seni islam. Aktivitas
keduniaan yang sering dipandang sebagai bertentangan dilebur dengan
kedamaian batin yang merupakan cirri dari Yang Satu, Pusat segala hal.
KESIMPULAN
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta
yang mendalam. Mahabbah secara istilah adalah merupakan hal (keadaan)
jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah
SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta
kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah. Para ahli tasawwuf
menjawab dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Ummu al-khair Rabi’ah binti isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Dia
dilahirkan di bashrah pada tahun 96 H/713 M. Dia meninggal pada tahun
185 H/801 M. dimakamkan didekat kota jerussalem. Rabi’ah tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang shaleh
yang penuh zuhud. Ketika agak besar Rabi’ah ditinggal mati ayah ibunya,
dan bencana kelaparan menimpanya. Dia ditangkap oleh penjahat dan
dijual sebagai budak, tapi kemudian dia dimerdekakan oleh Tuannya,
karena tuannya melihat ada hal yang aneh pada diri Rabi’ah dan taunnya
merasa takut.
Isi pokok ajaran tasawwuf Rabi’ah al-adawiyah adalah tentang cinta.
Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut
masuk neraka atau mengharap masuk surge, tetapi karena cintanya kepada
Allah. Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka
tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat
membenci yang lain. Dalam fase selanjutnya hidup Rabi’ah hanya diisi
dengan Dzikir, tilawah dan wirid. Dan hidupnya penuh dengan ibadah
kepada Allah hingga akhir hayat.
Salah satu dari pesan islam pada dunia modern ialah agar manusia itu
mengutamakan pentingnya sesuatu menurut kepentingannya masing-masing,
dan memelihara masing-masing unsur sesuai dengan tempatnya, dan menjaga
proporsinya di antara hal-hal yang ada disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, Thowil, The Sufism Verses, Semarang: CV. Cahaya Indah, 1994
Isa, Ahmadi, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Saleh, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000
Mulyati, Sri, Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005
Nasr, Husein, Tasauf Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010
Sells Michael A., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritual Islam
Awal, Bandung: Paulist Press, 1996
Quzwain, Chatib, Mengenal Allah, Malaysia: Zafar Sdn Bhd, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar