Kamis, 24 November 2016

Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah

Mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah dan Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah “Akhlak Tasawwuf II” Dosen Pengampu: Bpk.Dimyati, Dr.,M.Ag
Oleh: Khatimatul Husnah G (109011000266) VIG JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
PENDAHULUAN
Islam memelihara kebutuhan asasi manusia akan ketentraman rohani melalui rasa cinta kepada Allah. Cinta yang secara harfiyah bisa didefenisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan oleh islam dituangkan sebagai bentuk mahabbah (cinta Rohani) kepada Allah, yang apad hakikatnya merupakan rahasia dari zat Allah, yang tidak dibukakan tabir kerahasiaannya kepada setiap orang, sekalipun dari kalangan para Nabi dan auliyanya. Memang sesungguhnyalah, cinta Ilahiah itu merupakan rahasia yang terkandung dalam misteri kehidupan ini. Cinta Ilahi merupakan bentuk kecintaan dan kerinduan terhadap asal segala sesuatu, yaitu Allah Swt. Karena cinta Allah-lah maka manusia diciptakan. Dan diciptakannya pula berbagai macam sumber rezeki yang disediakan Allah bagi kepentingan atau kebutuhan hidup manusia. Sungguh, bahwa yang sebenarnya patut dicintai secara hakiki hanyalah Allah semata. Orang yang mencintai sesuatu bukan karena Allah, maka hanya akan menunjukkan kebodohannya saja, karena segala sebab yang melahirkan cinta itu sebenarnya hanya ada pada Allah. Hampir seluruh literatur bidang tasawwuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah Al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut. Mahabbah menurut Rabi’ah adalah perasaan kemanusiaan yang amat mulia, amat agung dan amat luhur. Dan adalam makalah ini saya akan memaparkan mahabbah Rabi’ah Al-adawiyah dengan lebih jelas.
PEMBAHASAN MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH DAN RELEVANSINYA DENGAN KEHIDUPAN SEKARANG
A. Mahabbah
1. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk manunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Arti mahabbah yang dikehendaki tasawwuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan. Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut: “al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT. Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-sarraj, sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan. Sedangkan cinta orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.ada juga pendapat yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang hamper selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Pendapat terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua yaitu mahabbah orang shidiq sebagai dikemukakan al-sarraj, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga yaitu mahabbah orang arif. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah. 2. Alat Untuk Mencapai Mahabbah Para ahli tasawwuf menjawab dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, hati sanubari (al-Qalb), sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan, ketiga sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus daripada qalb.kelihatannya sir bertempat dir oh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun. Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:                 Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". 3. Sebab-Sebab dan Tanda-Tanda Cinta Menurut Al-Ghazali, sebab-sebab yang melahirkan rasa cinta itu ada Lima: a. Pertama, cinta diri keinginan akan keabadian dan kesempurnaan wujud diri b. Kedua, cinta kepada orang yang berbuat kebaikan kepada kita c. Ketiga, cinta kepada orang yang berbuat kebaikan, sekalipun kebaikan itu tidak mengenai kita. d. Keempat, cinta kepada yang indah e. Kelima, cinta kepada sesuatu yang ada persamaannya dengan diri kita. Kelima, sebab ini menurut dia, terhimpun semuanya pada Allah, bahkan hanya Dia yang meilikinya secara hakiki. Selanjutnya, Al-Ghazali berpandukan bahwa orang yang benar-benar mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut: a. Kasih ia akan mati b. Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Ta’ala itu atas sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia akan mengikut hawa nafsunya. c. Senantiasa ia berdzikir kepada Allah d. Jinak dengan bersunyi sendiri (munajat akan Allah, berdzikir, membaca al-qur’an dan mengekali ia atas sembahyang tahajud dimalam yang sunyi) e. Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah Ta’ala.” f. Bangga dengan berbuat taat akan Allah Taala g. Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin dan benci akan orang yang kafir, ia itu seteru Allah. h. Adalah ia dalam kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia. i. Menyembunyikan ia akan kasihnya akan Allah Taala itu daripada orang yang bukan ahlinya. j. Senantiasa dekat hatinya itu kepada Allah Taala dan Redha ia akan Allah Taala di dalam sekalian yang diperbuat Allah Taala akan Dia. B. Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah Nama lengkapnya ialah ummu al-khair Rabi’ah binti isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang riwayat hidupnya sangat sedikit, dan sebagian bercorak mitos. Dia dilahikan di bashrah pada tahun 96 H/713 M. dia hidup sebagai hamba sahaya dari keluarga atik. Dia berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil dia tinggal dikota kelahirannya. Dikota itu namanya sangat harum sebagai manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang saleh di masanya. Dia meninggal pada tahun 185 H/801 M. dimakamkan didekat kota jerussalem. Dikisahkan bahwa pada malam Rabi’ah dilahirkan, tak ada lampu dirumah ayahnya, tak juga setetes minyak untuk meminyaki pusarnya, juga tidak cukup potongan pakaian untuk membendungnya. Ayahnya memiliki tiga putrid, dan Rabi’ah adalah yang keempat. Oleh karena itu, mereka menamainya Rabi’ah. Artinya “Perempuan yang keempat.” Kemudian istrinya berkata kepadanya,”pergilah ke tetangga si Fulan dan mintalah pinjaman seharga minyak lampu.” Ayah Rabi’ah telah bersumpah tidak akan meminta kepada makhluk untuk apapun. Dia berdiri, pergi ke pintu tetangganya tersebut, dan kembali, lalu berkata, “mereka sedang tidur.” Dia tertidur dengan perasaan sedih. Dia melihat Nabi Saw. Dalam mimpi. Beliau berkata, “jangan bersedih. Putrimu ini adalah seorang perempuan terhormat yang akan menengahi tujuh puluh ribu umatku.” Beliau kemudian terus berkata,” pergilah kepada ‘Isa Radan, Amir dari Basrah, dan katakana, jum’at kemarin, engkau lupa mengucapkan shalawat seratus kali setiap malam dan empat puluh kali pada hari jum’at. Sebagai penebusannya, berikan aku empat ratus dinar emas.” Ketika dia terbangun dengan berurai air mata pada pagi harinya, ayah Rabi’ah menuliskan mimpi ini pada selembar kertas dan membawanya ke istana Isa Radan. Dia memberikannya kepada seseorang untuk disampaikan. Ketika sang Amir memeriksa suratnya, dia memerintahkan bahwa sepuluh ribu dirham diberikan sebagai sedekah, sebagai rasa syukur bahwa Nabi saw. Telah mengingatnya. Dan dia memerintahkan bahwa empat ratus dinar diberikan kepada ayah Rabi’ah dan berkata, “katakana kepadanya, saya ingin kamu masuk ke dalam istana sehingga saya dapat meberikan penghormatan kepadanya. Akan tetapi, saya tidak menganggap ini tepat bahwa seseorang seperti anda, yang mengantarkan pesan dari Nabi saw. Harus dating mengunjungiku. Aku sendiri yang akan dating dan menyeka debu di ambang pintu rumahmu dengan janggutku. Demi Tuhan, jika engkau membutuhkan apa pun, beri tahu aku.” Kemudian, ayah Rabi’ah mengambil emas tersebut dan membelanjakannya. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Yang menonjol dalam masa kecil Rabi’ah adalah ia kelihatan cerdas. Diceritakan bahwa Rabi’ah telah hafal al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Ketika agak besar Rabi’ah ditinggal mati ayah ibunya, dan bencana kelaparan menimpanya. Dia ditangkap oleh penjahat dan dijual sebagai budak dengan harga enam ratus dirham. Oleh majikannya diberi pekerjaan yang berat-berat. Pada suatu malam sang majikan melihat lentera tanpa tali menggantung di atas kepala Rabi’ah. Cahayanya menerangi seluruh ruangan. Melihat kejadian itu, ia merasa takut. Dengan sekuat tenaga, sang majikan kembali ke kamar tidurnya, dan duduk termenung sampai menjelang subuh. Pagi harinya dipanggilnya Rabi’ah, dengan sikap manis saat itu juga Rabi’ah dibebaskan. Rabi’ah al-Adawiyah seumur hidupnya tidak pernah menikah, dia dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-hubb) khas sufi ke dalam tasawwuf islam. Sebagai seorang wanita zahidah, dia selalu menolak setiap lamaran beberapa pria, dengan mengatakan: “akad nikah adalah hak Pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal itu telah sirna, karena aku telah berhenti maujud (ada) dan telah melepaskan keakuan diriku. Aku maujud (berada) dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya, aku hidup di dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”. Dalam kehidupan selanjutnya ia bisa memusatkan perhatiannya dalam beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Dia menyenangi hidup dalam kemiskinan, dan menolak bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan dalam do’anya, dia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi kepada Tuhan. Rabi’ah al-adawiyah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan mendambakan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Diantara ungkapan katanya yang melukiskan kehidupan zuhudnya ialah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hujwiri di dalam kitabnya yang terkenal Kasyf al-Mahjub sebagai berikut: ‘suatu ketika aku membaca cerita, bahwa seorang hartawan berkata kepada rabi’ah: mintalah kepadaku segala keperluanmu! Rabi’ah menjawab: aku ini sangat malu meminta hal-hal yang bersifat duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya?” Sebagaimana halnya para zahid sebelum dan semasanya, perjalanan hidupnya pun selalu diliputi tangis dan rasa sedih. Al-Sya’rani, misalnya, didalam kitabnya Al-Tabaqat al-kubra menceritakan bahwa “dia sering menangis dan bersedih hati. Jika dia diingatkan tentang neraka, maka beberapa lama dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya selalu basah oleh air matanya.” Dan diriwayatkan bahwa rabi’ah terus menerus shalat sepanjang malam setiap harinya. Kalau fajar tiba, dia tidur hanya beberapa saat sampai fajar lewat. Diriwayatkan pula bahwa ketika bangun tidur dia selalu berkata:”aduhai jiwa! Berapa lama kamu tertidur dan sampai di mana kamu tertidur, sehingga hamper saja kamu tertidur tanpa bangkit lagi kecuali oleh terompet Hari Kebangkitan.” C. Rabi’ah sebagai Guru Sufi Rabi’ah telah membebaskan dirinya dari penghambaan dunia, dan ia telah mengangkat martabatnya dengan ketakwaan, tulus dan ikhlas ke tingkat ma’rifah yang amat tinggi. Sejak saat itu dari lidahnya selalu keluar kata-kata mutiara, hikmah kebijaksanaan yang dalam, dan tuntunan yang menyejukkan hati. Oleh karena ilmunya yang dalam, ia dijuluki sebagai guru sufi yang luhur. Salah satu ulama yang semasa dengan Rabi’ah adalah sufyan al-Tsauri, dalam salah satu nasehatnya kepada sufyan, Rabi’ah berkata:”wahai sufyan, hidup ini hanya sejenak, bila hari ini telah berlalu, maka berlalu pula sebagian yang lain, dan sebagian lagi kemudian berlalu, akhirnya semuanya akan pergi, dan tentu engkau sudah maklum, maka bersiap-siaplah.” Untuk mencapai tingkat yang tinggi, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tingkatan sebagaimana sufi lainnya. Martabat yang dicapai tidak hanya meniru atau mengumpulkan ilmu saja akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak. Dengan usaha yang tidak henti-henti Rabi’ah menigkatkan martabatnya dari tingkat ibadah ke tingkat zuhud hingga tingkat ridha. Dalam kaitannya dengan ridha, diriwayatkan bahwa sekawanan belalang hinggap di kebun Rabi’ah yang baru ditanami dan melalap habis tanaman tersebut. Ia memandangnya sambil tersenyum, sambil berdo’a: “Oh Tuhanku, rezeki dating dari-Mu, hama belalang tidak akan mengurangi atau merampas rezekiku sama sekali, semua adalah ketentuan dari-Mu jua. Dari tingkat ridha Rabi’ah menuju ke tingkat ihsan, ia menyembah Allah dengan seluruh hatinya, seolah-olah berada di hadapan Allah, memandang kepada-Nya dan Allah melihatnya.pernah sahabat perempuannya, Abdah, pada suatu musim seni yang indah mengajaknya untuk berjalan-jalan keluar untuk melihat dan merenungkan kekuasaan Allah, namun Rabi’ah berkata:”Masuklah engkau ke dalam dan renungkanlah kekuasaan Allah yang ada dalam dirimu, sesungguhnya kewajibanku adalah merenungkan kekuasaan Allah.” Setelah tingkatan-tingkatan itu terlalui, maka sampailah Rabi’ah pada tingkat Mahabbah,yang biasa disebut dengan hub al-Ilahi. D. Mahabbah Rabi’ah al adawiyah Isi pokok ajaran tasawwuf Rabi’ah al-adawiyah adalah tentang cinta. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surge, tetapi karena cintanya kepada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah; dan cinta itu pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan zat yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti. Dalam hubungan ini dia pernah berucap: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka…bukan pula karena mendambakan masuk surge…tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah aku didalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena cintaku kepada Engkau, maka janganlah Engkau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari diriku.” Karena itulah dikatakan, kemasyhuran yang diperoleh ialah karena dia membawa dan mengemukakan konsep baru dalam kehidupan kesufian.konsep Zuhud yang dibawa oleh Hasan Al-Basri berupa Khauf (takut) dan raja’ (harap) dikembangkan oleh Rbi’ah al-Adawiyah menjadi konsep Zuhud berupa cinta. Menurut beberapa orientalis yang mengkaji tasawwuf, misalnya R.A.Nicholson, bahwa pentingnya kedudukan Rabi’ah Al-Adawiyah melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta, yang menjadi saraana manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi cinta adalah: “Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku, berikanlah semuanya kepada musuh-musuh-Mu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak diakhirat, berikan saja pada teman-teman-Mu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.” Tampak jelas bahwa cinta rabi’ah al-adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam lirik syairnya berikut ini: “ Kujadikan Engkau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku berbincang selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.” Dalam liriknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah Al-Adawiyah terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung: “Aku cinta Kamu dengan dua model cinta. Cinta rindu dan cinta karena Engkau layak dicinta. Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu, bukan selain-Mu. Adapun cinta karena Engkau layak dicinta, karena Engkau singkapkan tirai sampai Engkau nyata bagiku. Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu. Tetapi sekalian puji hanya bagi- Mu selalu. Selanjutnya dalam lirik syairnya yang lain, dia mengungkapkan isi hatinya sebagai berikut: Buah hatiku, cintaku hanya kepada-Mu. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain diri-Mu. Di saat-saat melakukan munajat, dia berdialog dengan Tuhan sebagai berikut: “Tuhanku, bintang-bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah ditutup dan pada saat itulah semua pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya. Inilah aku berada di hadirat-Mu.” Sewaktu fajar menyingsing, dia berkata: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima sehingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahaku-asaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama aku Engkau beri kehidupan. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta-ku kepada-Mu telah memenuhi seluruh lorong hatiku.” Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya:”Apakah kamu benci kepada setan?”dia menjawab: “tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk diisi rasa benci kepada setan.” Karena begitu cintanya kepada Tuhan, dia pernah ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. Dia menjawab:”saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.” Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diungkapkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga, seperti telah digambarkan tadi, dia menolak semua tawaran kawin dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah, yang dicintainya; dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta izin kepada Allah. Dengan demikian, menurut at-Taftazani, dapat disimpulkan bahwa rabi’ah al-Adawiyah, pada abad II H, telah merintis konsep zuhud dalam tasawwuf berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, dia tidak hanya berbicara tentang cinta Ilahi, namun, juga menguraikan ajaran tasawwuf yang lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, dan lain sebagainya. Dalam fase selanjutnya hidup Rabi’ah hanya diisi dengan Dzikir, tilawah dan wirid. Duduknya hanya menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon pangestu dan fatwanya, hidupnya penuh dengan ibadah kepada Allah hingga akhir hayat. E. Relevansinya dengan Kehidupan Sekarang Dewasa ini begitu sering orang bicara bahwa gagasan ini dan itu atau unsure ini dan itu, tak sesuai lagi dengan dunia modern, yang cuma menunjukkan bahwa mereka sangat pintar melupakan hakikat yang inti dari ajaran-ajaran dan gagasan-gagasan yang sebenarnya memiliki arti yang langgeng; demikianlah orang telah melecehkan kebutuhan hakiki dunia modern dan demikian pulalah mereka meremehkan pentingnya gagasan-gagasan tersebut dalam memenuhi kebutuhan mereka yang sebenarnya. Apa saja yang tak disukai orang dalam dunia yang cepat berubah ini selalu dipandang remeh dan tak relevan; akan tetapi dalam kenyataannya, yang layak dipandang remeh dan tak relevan sebenarnya adalah iklim pemikiran yang menolak dan mengabaikan kebenaran yang abadi dan langgeng yang selalu punya makna karena mengenai sesuatu yang langgeng di dalam diri manusia. Dewasa ini cinta tak ubahnya bagai tuhan yang diagungkan, tuhan yang dikejar, baik untuk kepentingan bisnis, kepuasan pribadi maupun demi harga diri. Betapa darah remaja dan kesadaran yang telah dikorbankan untuk apa yang dinamakan cinta. Berapa kwintal kemenyan dan bunga yang dihamburkan hanya untuk apa yang dinamakan atau meraih cinta. Cinta yang demikian menurut pakar sufi Ibnu Arabi adalah cinta sex, cinta mengejar kepuasan badani, di mana semakin dikejar dia tidak akan memberikan kepuasan, tak ubahnya semakin diminum semakin bertambah puas. Bila manusia dapat menempatkan sebagai suatu perhiasan pada proporsi yang sebenarnya, maka semua perhiasan itu akan memberikan cahaya bagi kehiduan. Sebaliknya, bila penempatannya tidak tepat atau bahkan menyeleweng maka akan membawa bencana dan kehancuran baik di dunia apalagi besok di akhirat. Perhiasan yang terealisasikan pada cinta –kebumian- ini merupakan suatu perhiasan yang kecil saja, dan perhiasan yang akan kekal adalah ketakwaan. Jika secara keseluruhan manusia modern tak lagi memahami kebenaran-kebenaran agama dan hikmah yang bersifat langgeng, agama dan hikmah yang dipelihara dan dianut orang-orang suci selama berabad-abad sebagai sesuatu yang utama, maka pudarnya visi intelektual semacam ini sebenarnya sebagian besar berkaitan dengan tak berartinya lagi keberadaan sebagian umat manusia. Rasa pasrah menerima keadaan dirirnya dan ketakberesan memandang benda-benda, yang lazim disebut sebagai keadaan genting manusia modern yang eksistensial, inilah tipe manusia yang tak mampu mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya dan dengan demikian tak lagi kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektif dan nyata yang terkandung di dalam semua agama, yang secara hakiki merupakan satu-satunya kemungkinan buat dijadikan timbangan dan ukuran bagi harga dan nilai manusia. Pentingnya islam bagi dunia modern, sebagaimana pentingnya agam otentik yang lain, harus dibicarakan di dalam cahaya mana yang secara otologis lebih penting dibandingkan yang lainnya; dari sudut ini islam harus ditempatkan diatas, sebagaimana agam-agama lain karena ia berasal dari Hakikat yang benar-benar mutlak dan berisi amanat yang datang dari Langit, sementara dunia ini selalu nisbi dan apakah ia modern atau purba tetap ia merupakan ‘dunia’ (Dunya dalam bahasa tradisional Islam). Dunia modern adalah juga ‘dunia’ tak kurang dari ‘dunia’ yang dibayangkan sebagai tradisional religius. Ia dalam kenyataan merupakan dunia yang berasal dari Yang Tetap dan Yang Kekal di banding dengan ‘dunia’ lain apapun menurut pengetahuan historis kita, dan karenanya dunia semacam itu kian memerlukan amanat dari Yang Tetap. Islam adalah amanat Yang Tetap seperti itu. Ia merupakan imabauan langsung dari Yang Mutlak kepada manusia, mengajaknya berhenti mengembara dalam labirin kenisbian dan kembali kepada Yang Mutlak dan Esa. Oleh karena demikian amanatnya maka ia sesuai dengan semua ‘dunia’ dan segenap generasi selama manusia tetap hidup. Manusia lahir, hidup dan mati dan selalu mencari makna, baik untuk awal maupun akhir hidupnya serta masa antara keduanya. Pencarian makna ini adalah pokok, sebagaimana kebutuhan mencari makan dan tempat tinggal, karena dalam kenyataannya merupakan kerinduan akan Yang Paling Akhir, Yang Mutlak, dan ia merupakan kebutuhan manusia selanggeng kebutuhannya akan makanan. Dewasa ini setiap orang menyerukan perdamaian tapi kedamaian tak kunjung dating, oleh karena secara metafisik adalah absurd mengharapkan suatu peradaban yang melupakan Tuhan memiliki kedamaian. Kedamaian dalam kehidupan manusia bersumber dari perdamaian dengan Tuhan dan juga dengan alam. Salah satu dari pesan islam pada dunia modern ialah agar manusia itu mengutamakan pentingnya sesuatu menurut kepentingannya masing-masing, dan memelihara masing-masing unsur sesuai dengan tempatnya, dan menjaga proporsinya di antara hal-hal yang ada disekitarnya. Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam artian yang luhur; tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf adalah dimensi esoteric dan dimensi dari pada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam; hanya islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf dan hanya islam yang merupakan tempat mengintai ‘taman firdaus’. Kekuatan rohani islam menciptakan suatu iklim di dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens, suatu iklim yang secara alami memikat manusia kearah meditasi dan kontemplasi, sebagaimana tampak begitu jelas dalam jiwa seni islam. Aktivitas keduniaan yang sering dipandang sebagai bertentangan dilebur dengan kedamaian batin yang merupakan cirri dari Yang Satu, Pusat segala hal. KESIMPULAN Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Mahabbah secara istilah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT. Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah. Para ahli tasawwuf menjawab dengan menggunakan pendekatan psikologi. Ummu al-khair Rabi’ah binti isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Dia dilahirkan di bashrah pada tahun 96 H/713 M. Dia meninggal pada tahun 185 H/801 M. dimakamkan didekat kota jerussalem. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Ketika agak besar Rabi’ah ditinggal mati ayah ibunya, dan bencana kelaparan menimpanya. Dia ditangkap oleh penjahat dan dijual sebagai budak, tapi kemudian dia dimerdekakan oleh Tuannya, karena tuannya melihat ada hal yang aneh pada diri Rabi’ah dan taunnya merasa takut. Isi pokok ajaran tasawwuf Rabi’ah al-adawiyah adalah tentang cinta. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surge, tetapi karena cintanya kepada Allah. Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang lain. Dalam fase selanjutnya hidup Rabi’ah hanya diisi dengan Dzikir, tilawah dan wirid. Dan hidupnya penuh dengan ibadah kepada Allah hingga akhir hayat. Salah satu dari pesan islam pada dunia modern ialah agar manusia itu mengutamakan pentingnya sesuatu menurut kepentingannya masing-masing, dan memelihara masing-masing unsur sesuai dengan tempatnya, dan menjaga proporsinya di antara hal-hal yang ada disekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Akhyar, Thowil, The Sufism Verses, Semarang: CV. Cahaya Indah, 1994 Isa, Ahmadi, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Saleh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000 Mulyati, Sri, Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005 Nasr, Husein, Tasauf Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985 Nata, Abuddin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010 Sells Michael A., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritual Islam Awal, Bandung: Paulist Press, 1996 Quzwain, Chatib, Mengenal Allah, Malaysia: Zafar Sdn Bhd, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates