ESENSI SILATURRAHIM
Oleh Dimyati Sajari
(Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Di antara arti kata esensi adalah
“intisari, pokok, dan atau hakikat." Untuk kepentingan tulisan ini,
pengertian yang dipakai untuk istilah esensi adalah hakikat.
Adapun
kata silaturrahim berasal dari bahasa Arab: shilat dan ar-rahim.
Shilat berarti hubungan atau perhubungan. Ar-rahimi
berarti peranakan, rahim ibu, tali kekeluargaan, dan atau persaudaraan. Dengan
demikian, istilah shilat ar-rahimi berarti “hubungan kekeluargaan/kekerabatan/persaudaraan
yang dibingkai dalam wadah kasih sayang (rahim) seorang ibu.” Atas dasar
pengertian ini berarti semua manusia itu bersaudara; semua manusia itu
sekeluarga; semua manusia itu berada dalam bingkai kasih sayang; semua manusia
itu beribu satu, beribu yang sama.
Hal itu berarti, esensi atau
hakikat shilaturrahim adalah “hubungan dengan sesama sebagai saudara,
sebagai keluarga, sebagai kerabat, yang saling sayang menyayangi, meski sesama
(orang lain itu) itu tidak bertalian darah.” Singkatnya, esensi
silaturrahim adalah hubungan kasih sayang persaudaraan. Hubungan yang
demikian ini bisa terwujud apabila seseorang selalu memandang orang lain
sebagai saudara atau sebagai keluarga/kerabat.
Walaupun
yang dipakai di sini istilah silaturrahim, tetapi istilah yang populer
di masyarakat adalah istilah shilat ar-rahmi. Istilah ini tidak
dijumpai dalam hadis Rasulullah SAW disebabkan Rasulullah menggunakan istilah
shilaturrahim. Akan tetapi, istilah shilaturrahmi tampaknya tidak
salah untuk digunakan, karena kata rahmi merupakan bentuk lain dari kata
rahmat yang merupakan masdar dari kata rahima-yarhamu (mengasihi,
menyayangi).
Fungsi Silaturrahim
Silaturrahim
berfungsi sebagai: Sarana diterimanya amal sehingga bisa masuk surga, sebagaimana
hadis: “Tidak akan diterima amalnya pemutus silaturrahim (HR Ahmad)”
dan “Tidak akan masuk orang yang memutuskan hubungan kasih sayang
persaudaraan.” Sarana
diluaskannya rizki dan dipanjangkannya umur, seperti hadis yang artinya: “Barangsiapa
mencintai supaya (Allah) meluaskan baginya rizkinya dan memperpanjang umurnya,
maka sambunglah hubungan kasih sayang persaudaraan” (HR Bukhari-Muslim) dan
“Sesungguhnya dengan sedekah dan silaturrahim itu Allah akan menambah umur,
menghapuskan mati tidak baik, menolak tipu daya dan rasa takut (Abû Ya'lâ).” Sarana
diturunkannya rahmat, seperti yang diriwayatkan Al-Ashbahânî: “Sesungguhnya rahmat itu
tidak akan diturukan kepada suatu kaum yang di dalamnya terdapat pemutus
silturrahim.”
Hubungan kasih sayang
persaudaraan yang demikian itu dapat terwujud apabila seseorang punya rasa
kasih sayang di dalam dirinya sehingga bisa memandang orang lain sebagai
saudara atau sebagai keluarga/kerabat. Artinya, kasih sayang di dalam dirinya
memancar kepada orang lain, meski orang lain itu mungkin saja tidak mau
berhubungan dengannya. Apabila orang itu sudah mampu mewujudkan hubungan kasih
sayang persaudaraan kepada orang yang tidak mau berhubungan dengannya atau
orang yang tidak mau berbuat baik kepadanya, maka ia betul-betul telah merealisasikan
esensi silaturrahim. Rasulullah bersabda yang artinya: “Bukanlah yang
namanya menyambung hubungan kasih sayang persaudaraan itu yang sebanding, (yakni
menghubungi orang yang menghubunginya, mengunjungi orang yang mengunjunginya,
berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadanya, atau karena ia
bersilaturrahim kepada saya, maka saya pun bersilaturrahim kepadanya),
tetapi yang ketika orang lain memutuskan hubungan kasih sayang persaudaraan kepadanya
ia menyambungnya (HR Bukhari)” dan “Tiga hal yang apabila orang
memilikinya, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah dan dengan
rahmat-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam surga.” Sahabat bertanya: “Apa
tiga hal itu ya Rasulallah?” Rasulullah
menjawab: “Memberi kepada orang yang mengharamkan pemberianmu, menyambung
persaudaraan orang yang memutuskan persaudaraan denganmu, dan memaafkan orang
yang menzalimu. Apabila kamu melakukan tiga hal ini, maka kamu akan masuk surga”
(HR Al-Thabrani dan Al-Hakim).
Realisasi Silaturrahim
Dari makna esensi silaturrahim yang
disebutkan dua hadis di atas, maka bisa dipahami kalau Rasulullah menyatakan
seperti: “tidak akan sempurna keimanan seseorang kalau ia tidak mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” HR Bukhari-Muslim. “Bukan
orang yang beriman orang yang kekenyangan sementara tetangganya kelaparan.” HR
Bukhari. “Bukan termasuk umatku orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil
dan mengetahui hak orang yang lebih besar.” HR Al-Thabrani. “Demi Allah tidak
beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang
tetangganya tidak aman dari gangguannya.” HR Ahmad dan Bukhari.
Di samping itu, dapat dipahami pula
kenapa Nabi melarang umatnya menyakiti tetangganya, “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka jangan sakiti tetangganya.” HR Bukhari. Begitu pula
bisa dipahami bila Rasulullah memerintahkan berbuat baik kepada tetangga,
memuliakan tamu, menyambung hubungan kasih sayang persaudaraan, dan berkata
yang benar. “Barangsiapa beriman kepada Allah, maka berbuat baiklah terhadap
tetangganya.” HR Muslim. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
muliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
sambunglah hubungan kasih sayang persaudaraan. Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka berkatalah yang benar atau diam saja.” HR Bukhari-Muslim.
Dengan demikian, realisasi dari esensi
silaturrahim itu berarti bukan sekadar saling kunjung mengunjungi, tetapi juga saling
bantu membatu atau saling tolong menolong. Bahkan, esensi silaturrahim adalah
memberi orang yang mengharamkan pemberiannya, menyambung hubungan dengan orang
yang memutuskan hubungan, dan memaafkan orang yang menyakitinya. Termasuk dalam
pengertian ini adalah membantu orang lain yang orang lain itu tidak mungkin
bisa membantunya. Di sinilah, tampaknya, infaq dan sedekah dianjurkan sebagai
bentuk hubungan kasih sayang persaudaraan terhadap sesama, meski orang yang
diberi infaq atau sedekah itu tidak bisa membalas apa-apa kecuali, barangkali,
doa.
Walhasil, orang yang tidak mau
membantu sesama, tidak mau berinfaq dan bersedekah berarti orang itu termasuk
pemutus hubungan silaturrahim, hubungan kasih sayang persaudaraan. Wallahu
a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar