Rabu, 01 April 2020

PAI II A Aliran Khawarij


ALIRAN KHAWARIJ

Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu:
 Dr. Dimyati, M.Ag.




Disusun Oleh:
Kelompok 2 PAI 2 A


Safira Nurul Fitri                               11190110000090
Dinda Saputri                                   11190110000058
Rafif Rabbani                                    11190110000081
Muhammad Zidan Syafiq                           11190110000055





Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2020 M/1441 H


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Swt, karena atas rahmat-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aliran Khawarij” dengan baik tepat pada waktunya.  
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena tanpa bantuan serta dorongan mereka, makalah ini tentu tidak dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tidak terlepas dari itu, pemakalah memahami bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua bagi para pembaca.


















DAFTAR ISI
















Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

            Ilmu kalam atau yang sering disebut pula ilmu tauhid merupakan salah satu  ilmu yang sangat penting untuk di pelajari. Karena di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan tentang macam macam pemikiran dan sejarah terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan, bahkan sampai terjadinya perang antar sesama muslim. Didalamnya juga terdapat pengetahuan tentang mengapa timbul banyak pemikiran-pemikiran yang menyimpang atau jauh dari kebenaran menurut Ahlussunnah wal Jamaah.
Beragamnya pemikiran-pemikiran tentang aqidah berkembang begitu pesat sejak zaman dahulu, sehingga karena banyaknya pemikiran tersebut membuat masyarakat umum (awam) menjadi kebingungan. Contoh golongan-golongan pemikiran tentang ilmu kalam atau ilmu tauhid diantaranya adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan lainnya. Maka ilmu kalam menjadi ilmu yang penting untuk dipelajari oleh masyarakat umum, dan terlebih lagi akademisi yang berkaitan dengan ilmu keislaman. Sehingga dengan mempelajarinya kita bisa lebih bijak dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, serta kita dapat berhati-hati dari golongan-golongan yang menyimpang pemikirannya.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Khawarij?
2.      Bagaimana sejarah kemunculan kaum Khawarij?
3.      Apa saja aliran-aliran Khawarij?
4.      Bagaimana mengidentifikasi aliran atau paham kaum Khawarij (ekstrem, moderat)?
5.      Bagaimana eksistensi paham atau aliran Khawarij di Era Kontemporer?

C. Tujuan Pebahasan

1.      Untuk mengetahui pengertian Khawarij.
2.      Untuk mengetahui sejarah kemunculan kaum Khawarij.
3.      Untuk mengetahui aliran-aliran Khawarij.
4.      Untuk mengidentifikasi kelompok aliran atau paham Khawarij ekstrem dan moderat.
5.      Untuk mengetahui eksistensi paham atau aliran Khawarij di Era Kontemporer.






Bab II

Pembahasan

          Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Buku Darul-Fikr, Nama al-Khawarij, demikian kata al-Syahrastani, dipakai untuk setiap orang yang keluar dari pimpinan Imam yang benar serta disepakati oleh mayoritas umat. Ia menulis menulis dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal.[1]
كل من خرج على الإيمام الحق الذي إتقفت الجماعة عليه يسمى خارجيا سواء كان الخروج عي أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أوكان بعدهم على التابعين أو على الأئمة فى كل زمان
          Al-Khawarij dalam pengertian di atas adalah nama yang tercela, karena keluar dari kebenaran yang disepakati oleh Jemaah umat. Tetapi al-Khawarij yang dimaksud dalam ilmu Kalam adalah dalam pengertian kelompok orang-orang yang membangkang terhadap Ali. Mereka keluar dari kelompok Ali dan menentang kebijaksanaan Ali menerima tahkim. Dalam dalam bahasa Arab kharaja berarti keluar, maka orang yang keluar dikatan kharijiy adalah khawarij yang berarti orang-orang yang keluar.[2]
          Sejalan dengan hal itu ada pula yang berpendapat bahwa pemberian nama itu didasarkan atas surah an-Nisaa’ (4) ayat 100:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيتِهِ مُهَاجِرًا إلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”
          Dalam bahasa Inggris yang mewakili bahasa Arab adalah Kharijites, yang masing-masing mungkin dideskripsikan sebagai kata benda jamak dan kolektif; kata-kata tersebut merupakan derivasi dari kata Kharaja. Kata ini bisa dipahami dengan berbagai cara, tetapi yang paling relevan ada empat di antaranya adalah;[3]
          1. Khawarij adalah orang yang keluar atau memisahkan diri dari golongan Ali.
          2. Mereka adalah orang yang keluar (yakhruju) dari kalangan orang yang tidak beriman “dengan melakukan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS 4:101), dengan demikian mereka memaknakan Khawarij sama dengan muhajirun, artinya memutuskan semua ikatan dengan orang-orang yang tidak beriman.
          3. Mereka adalah orang-orang yang keluar menentang (kharaja ‘ala) Ali dalam pengertian memberontak terhadap Ali.
          4. Mereka adalah orang-orang yang keluar dan mengambil bagian aktif dalam jihad, berbeda dengan mereka yang masih tetap, yang dibedakan dalam al-Qur’an (misalnya QS 9:83/84).
          Semua penafsiran mungkin benar, dalam pengertian bahwa beberapa orang menggunakan penafsiran tersebut pada beberapa periode, persoalannya adalah untuk mengetahui siapa yang menggunakan dan kapan digunakannya.
          Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Buku Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Dengan demikian, melalui pemahaman surah an-Nisaa’ (4) ayat 100 di atas, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halaman mereka sendiri, untuk berhijrah mengabdikan diri mereka secara totalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Disamping nama Khawarij yang secara umum dipakai, dikenal juga nama-nama al-Haruriah, al-Syurah, dan al-Muhakkimah.[4]
          Ajaran Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufr. Kufr (orang yang dikatakan kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orangnya dikatakan mukmin) berarti percaya. Di masa Rasulullah kedua kata itu termanifestasi secara tajam sekali, yakni orang yang telah percaya kepada Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang tidak percaya kepada Allah tersebut.[5]
          Bila di masa Rasulullah term kafir hanya dipakai untuk mereka yang belum memeluk agama Islam, kaum Khawarij memperluas makna kafir dengan memasukkan orang yang telah beragama Islam ke dalamnya. Yakni orang Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakannya bukanlah hukum Allah.
          Perluasan makna kafir terhadap orang yang melakukan dosa besar memberikan sikap yang ekslusif di kalangan kaum Khawarij. Berzina, dipandang sebagai salah satu dosa besar. Oleh sebab itu dalam pandangan Khawarij orang yang telah berzina telah menjadi kafir. Demikian pula halnya membunuh manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar, dan orangnya menjadi kafir. 
          Khawarij merupakan salah satu sekte aliran yang ekstrem, dalam pandangan khawarij darah dan harta orang Islam di luar mereka dihalalkan. Sejarah kemunculan Khawarij dimulai ketika sejumlah pengikut Ali membelot dari Ali atas penolakannya terhadap sikap Ali yang menerima keputusan Arbitrase (tahkim) yang diwakilkan oleh Amr bin ‘Ash dari kubu Mu’awiyah dan Abu Musa Asy’ari yang mewakili kubu Ali bin Abi Thalib, pada saat pecahnya perang Shiffin yang dapat disebut juga sebagai perang saudara pertama di tubuh umat Islam.[6]
         Sebagaimana menurut Imam Muhammad Abu Zahrah dalam Buku Tarikh. Dalam perang Shiffin tersebut, pihak Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan peperangan, Mu’awiyah merasa bahwa dirinya akan kalah dalam peperangan, segeralah ia memerintahkan Amr bin Ash (585-664 M/39 SH-43 H) untuk berfikir mencari jalan keluar agar dapat menenangkan peperangan. Amr bin Ash memberikan saran kepada Mu’awiyah pasukannya mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an di atas ujung tombak mereka, seraya berseru kepada pasukan Ali bin Abi Thalib untuk menghentikan peperangan dalam berhukum kepada kitab Allah.[7]
          Menyaksikan apa yang dilakukan oleh pasukan Mu’awiyah, Ali bin Abi Thalib merasa ragu untuk menerima ajakan mereka karena itu hanyalah tipu muslihat dari pihak musuh saja. Ali bin Abi Thalib sendiri lebih cenderung ingin tetap melanjutkan pertempuran sampai ada yang menang dan kalah. Sedangkan di kalangan pasukan Ali terjadi perbedaan pendapat, sebagian ada yang menyetujui ajakan itu dan sebagian lagi menolaknya. Terjadi perdebatan pelik di antara pasukan Ali bin Abi Thalib seputar keputusan yang akan diambil. Dengan terjadinya perselisihan di antara sesama pasukan Ali ini memberikan angin segar bagi pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena taktik yang mereka jalankan berhasil, yaitu memecah belah persatuan pauskan Ali bin Abi Thalib.[8]
          Di antara pasukan Ali yang tidak menyetujui kehendak Ali dipimpin oleh Al-Asy’ats bin Qais al-Kindi, Mus’ir bin Fidki at-Tamimi dan Zaid bin Husein ath-Tha’i. Mereka terus mendesak Ali untuk menghentikan pertempuran dan menerima ajakan Mu’awiyah. Desakan yang mereka lakukan diiringi dengan ancaman-ancaman. Jika Ali tidak mau menuruti kehendak mereka, maka mereka akan membunuh Ali dan membuat kekacau-balauan di antara sesama pasukan Ali.
          Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Ali bin Abi Thalib menarik pasukannya dari medan pertempuran. Al-Asy’ats, panglima pasukan Ali, meminta izin kepada Ali untuk mendatangi Mu’awiyah. Ali memberi izin kepada al-As’ats atas hal yang akan ia lakukan. Lalu al-Asy’ats mendatangi Mu’awiyah dan menanyakan perihal pengangkatan mushaf-mushaf al-Qur’an dengan menggunkan tombak tersebut. Mu’awiyah menjawab:[9]
          Marilah kita kembali kepada kitab Allah, kirimlah seorang di antara kamu yang kamu sukai untuk menjadi urusan dan begitu juga halnya dengan kami. Lalu kita meminta kepada mereka supaya menjalankan apa yang tersebut dalam kitab Allah dan janganlah mereka melanggarnya. Kemudian kita akan mengikuti apa yang telah disepakati oleh mereka berdua.
          Seusai peperangan tersebut masing-masing kelompok kembali ketempat masing-masing kubu, Ali kembali ke Iraq dan kubu Mu’awiyah kembali ke Suriah. Namun terdapat perbedaan terkait solidaritas masing-masing kelompok. Kubu Mu’awiyah kembali ke Syiria dengan satu pandu, sedangkan kubu Ali kembali ke Iraq dengan kondisi keretakan di dalamnya.[10]
          Di sepanjang perjalanan terjadi percekcokan yang saling menyalahkan antara barisan yang setia mendukung Ali dengan mereka yang menyalahkannya. Ketika rombongan Ali sampai ke Kufah kelompok yang meninggalkan Ali kemudian berhenti di Desa Harura, dengan jumlah 12.000 orang. Selanjutnya mereka dikenal dengan istilah Khawarij, karena mereka keluar (kharaja) dari golongan Ali, yang kemudian diartikan sebagai golongan orang-orang yang keluar (khawarij).[11]
          Pada awalnya Khawarij adalah pendukung setia Ali, namun pasca peristiwa tahkim yang diambil Ali. Golongan tersebut tidak menerima keputusan yang diambil Ali, sebab menurut mereka Ali menduduki posisi Khalifah merupakan jabatan yang dibaiat oleh rakyat. Dan tentunya tidak terima jika sang Khalifah memilih tunduk terhadap putusan arbitrase terlebih terhadap pemberontakan seperti Mu’awiyah. Berdasarkan sikap pembangkangan golongan Khawarij yang pada awalnya mendukung Ali, menunjukkan bahwa ketidak konsistenan golongan Khawarij terhadapnya. Oleh karenanya, seperti pendukung Ali yang lain, kaum Khawarij sedari awal mendukung penyelesaian Ali dengan Mu’awiyah melalui jalur arbitrase.[12]
          Khawarij menunjukkan sikap kerasnya terhadap kubu Ali dan kubu Mu’awiyah. Mereka berpandangan bahwa darah dan harta selain dari golongan mereka adalah halal, oleh karenanya mereka membolehkan untuk membunuh dan merampas harta Muslim selain mereka. Namun Khawarij relative lebih membenci Mu’awiyah daripada Ali, hal ini disebabkan bahwa golongan Mu’awiyah dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat dan bertingkah laku layaknya raja-raja feudal orang Romawi. Terlebih Mu’awiyah menduduki tampuk kekuasaan tidak mendapatkan legitimasi umat Islam pada masa itu. Berdasarkan fakta tersebut tidak mengherankan jika dalam sejarah awal Islam golongan Khawarij selalu melakukan perlawanan dan pemberontakan, yang kemudian direspon oleh raja-raja dinasti Umawiyah dengan penindasan dan kekerasan. Namun sejak masa Khilafah Umar bin Abdul Azis diinisiasi pendekatan secara persuasif kepada golongan Khawarij. Sayangnya proses tersebut kandas ketika wafatnya Khalifah Umar bin Abdul Azis.[13]
         Sebagaimana yang disebutkan dalam Buku Teologi Islam, Isu- isu Kontemporer.  Berkenaan dengan sikap mereka terhadap pengakuan Khalifah, mereka mengakui kekuasaan Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sebelum Ali menerima keputusan arbitrasi. Dalam hal pengangkatan Khalifah mereka relatif memiliki sikap yang agak demokratis, mereka berpendapat bahwa seseorang yang menjadi Khalifah adalah seorang laki-laki Muslim yang berkebangsaan Arab apapun suku dan keluarganya. Ketika seorang Khalifah dibaiat tidak dibenarkan jika sang Khalifah turun dari tahtanya. Akan tetapi apabila sang Khalifah berbuat menyimpang maka dibenarkan untuk dilengserkan bahkan untuk dibunuh.[14]
          Terjadi perubahan sikap terhadap kriteria khilafah setelah orang-orang Islam non-Arab banyak bergabung dalam golongan Khawarij. Syarat utama terhadap khalifah yang harus dari Arab tidak berlaku lagi untuk menduduki kursi Khalifah, maka menurut mereka setiap laki-laki Muslim yang mampu berlaku adil, baik mereka berasal dari bangsa Arab atau tidak, bahkan seorang budak atau merdeka.[15]
          Menurut Abdul Karim asy-Syahrastani (1806-1153 M/478-584 H), Khawarij terpecah menjadi delapan sekte utama. Menurut al-Bagdadi (w. 1037 M/429 H) secara garis besar, Khawarij terbagi menjadi dua puluh kelompok. Berikut aliran-aliran besar Khawarij dengan doktrin-doktrinnya.[16]
          a. Muhakkimah
          Golongan ini termasuk golongan Khawarij asli, terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, sahabat Ali, Muawiyah, Amr ibn Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Di antara ajaran-ajaran pokoknya adalah:
          1) Berbuat zinah dipandang sebagai salah satu dosa besar dan pelakunya dihukumi menjadi kafir dan keluar dari Islam.
          2) Membunuh manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar, maka pelakunya dihukum menjadi kafir dan keluar dari Islam.
          b. Azariqah
          Aliran ini dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq yang berasal dari Bani Hanifah. Nama ini diambil dari pemimpinnya yang kemudian diberi gelar Amir al-Mu’minin. Aliran ini memiliki pendukung yang cukup banyak. Mereka merupakan pendukung terkuat mazhab Khawarij yang paling banyak anggotanya dan paling terkemuka di antara semua aliran mazhab ini. Pokok ajaran Azariqah adalah:[17]
          1) Mengkafirkan Ali. Mereka memandang orang yang berbeda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan mukmin tetapi juga musyrik, kekal di neraka serta halal diperangi dan dibunuh.
          2) Wilayah tempat orang yang berbeda dengan aliran Azariqah adalah wilayah perang (dar al-harb). Di sana dibenarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam peperangan melawan orang kafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan wanita, dan lain-lain.
          3) Anak-anak kaum musyrikin kekal di dalam neraka bersama orang tua mereka.
          4) Dalam bidang fiqih tidak ada hukum rajam. Hukuman dera bagi pembunuh zina hanya berlaku pada orang yang menuduh bahwa wanita muhshan telah berzina. Jadi orang yang menuduh laki-laki muhshan tidak dikenakan hukuman itu.
          5) Mereka berpendapat bahwa para Nabi bisa saja melakukan dosa besar dan kecil.
          6) Haram melakukan taqiyyah, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
c. Najdat
         Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan.[18] Pemimpin aliran ini adalah Najdah ibn ‘Uwaimir yang berasal dari Hudzaifah. Pada mulanya Najdat ingin bergabung dengan Azariqah, namun akhirnya memisahkan diri karena banyak ketidak setujuan Najdat terhadap ajaran-ajaran Azariqah. Di antara ajaran-ajaran Najdat adalah:[19]
          1) Mereka berpendapat boleh membunuh ahlu dzimmah sebagaimana bolehnya memerangi yang melindunginya yaitu kaum Muslimin.
          2) Mengangkat Imam bukanlah kewajiban syari’at, melainkan kemaslahatan.
          3) Boleh taqiyyah untuk menjaga nyawanya serta mencegah serangan terhadapnya.
          Perkembangan berikutnya menurut Muhammad bin Abdil Karim al-Syahrastani, golongan Njadat ini terbagi ke dalam dua golongan yaitu Athwuyah dan Fudaikiyah yang kemudian setelah Najdat terbunuh kedua golongan ini bersengketa.
          d. Baihasiyah
          Pemimpin golongan ini adalah Abu Baihas al-Haisham bin Jabir, keturunan Banu Sa’ad bin Dhubai’ah. Di antara pokok-pokok pikirannya:[20]
          1) Abu Baihas mengkafirkan Ibrahim dan Maimun sebab keduanya menganut pandangan-pandangan yang berbeda dengannya, terutama mengenai hamba sahaya.
          2) Bahwa seseorang belum Islam sampai memahami atau ikrar ia mengetahui Allah, dan rasul-Nya dan mengetahui apa yang datang dari Muhammad seluruhnya, kekuasaan pada Allah, berlepas diri dari musuh-musuh Allah, berlepas diri dari apa yang diharamkan Allah, dari ancaman-ancaman-Nya.
          e. Ajaridah
          Mereka adalah pengikut Abdul Karim ibn Ajrad yang berpaham sama dengan Najdat. Abdul Karim dikatakan sebagai pengikut Abu Baihas yang kemudian mempunyai pikiran yang berbeda.  Di antara ajaran-ajaran pokoknya:[21]
          1) Menurut faham mereka berhijrah bukan merupakan kewajiban tetapi hanya merupakan kebajikan.
          2) Memiliki faham puritanisme, Surat Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita-cerita dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita-cerita. Oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.
          3) Anak kecil yang belum dapat diberikan tanggung jawab. Dengan demikian, anak kecil yang belum baligh dianggap lepas dari segala perbuatan. Namun, ketika sudah menginjak dewasa diberikan taklif  kepadanya.
          Golongan Ajaridah ini terpecah-belah ke dalam berbagai aliran, tetapi merupakan bagian dari Ajaridah. Aliran-aliran itu adalah Shaltiyah, Maimuniyah, Hamziyah, Khalifiyah, Syu’abiyah, Hazimiyah.
          f. Tsa’alibah
          Pemimpinnya adalah Tsa’alibah bin Amir yang bersahabat erat dengan Abdul Karim bin Ajrad. Ajaran pokoknya, seperti yang diungkapkan Tsa’alibah yaitu: “Kami akan bersahabat saja dengan anak-anak, baik yang muda atau yang tua sampai kami mengetahui apakah mereka menolak kebenaran dan menyetujui keadilan atau tidak.”[22]
          Dia juga berkeyakinan bahwa boleh mengambil zakat dari hamba sahaya, jika mereka kaya. Ada beberapa aliran dalam golongan Tsa’alibah ini yaitu: Akhnasiyah, Ma’badiyah, Rusyaidiyah, Syaibaniyah, Mukramiyah, Ma’lumiyah dan Majhuliyah, serta Bid’iyah.
          g. Ibadiyah
          Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari pimpinannya, yaitu Abdullah ibn Ibad yang memisahkan diri dari golongan Azariqah. Ajaran-ajaran mereka adalah:[23]
          1) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan musyrik, tetapi kafir.
          2) Daerah Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali kamp pemerintahan, merupakan dar tauhid.
          3) Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muahhid yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
          4) Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda. Senjata emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya.





Tabel perbedaan pemikiran aliran-aliran Khawarij:
Nama Aliran
Pemikiran
1.)    Muhakimah
1) Berbuat zinah dipandang sebagai salah satu dosa besar dan pelakunya dihukumi menjadi kafir dan keluar dari Islam.
2) Membunuh manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar, maka pelakunya dihukum menjadi kafir dan keluar dari Islam.

2.)    Azariqah
          1) Mengkafirkan Ali. Mereka memandang orang yang berbeda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan mukmin tetapi juga musyrik, kekal di neraka serta halal diperangi dan dibunuh.
          2) Wilayah tempat orang yang berbeda dengan aliran Azariqah adalah wilayah perang (dar al-harb). Di sana dibenarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam peperangan melawan orang kafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan wanita, dan lain-lain.
          3) Anak-anak kaum musyrikin kekal di dalam neraka bersama orang tua mereka.
          4) Dalam bidang fiqih tidak ada hukum rajam. Hukuman dera bagi pembunuh zina hanya berlaku pada orang yang menuduh bahwa wanita muhshan telah berzina. Jadi orang yang menuduh laki-laki muhshan tidak dikenakan hukuman itu.
          5) Mereka berpendapat bahwa para Nabi bisa saja melakukan dosa besar dan kecil.
          6) Haram melakukan taqiyyah, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
3.)    Najdat
          1) Mereka berpendapat boleh membunuh ahlu dzimmah sebagaimana bolehnya memerangi yang melindunginya yaitu kaum Muslimin.
          2) Mengangkat Imam bukanlah kewajiban syari’at, melainkan kemaslahatan.
          3) Boleh taqiyyah untuk menjaga nyawanya serta mencegah serangan terhadapnya.

4.)    Baihasiyah
          1) Abu Baihas mengkafirkan Ibrahim dan Maimun sebab keduanya menganut pandangan-pandangan yang berbeda dengannya, terutama mengenai hamba sahaya.
          2) Bahwa seseorang belum Islam sampai memahami atau ikrar ia mengetahui Allah, dan rasul-Nya dan mengetahui apa yang datang dari Muhammad seluruhnya, kekuasaan pada Allah, berlepas diri dari musuh-musuh Allah, berlepas diri dari apa yang diharamkan Allah, dari ancaman-ancaman-Nya.

5.)    Ajaridah
          1) Menurut faham mereka berhijrah bukan merupakan kewajiban tetapi hanya merupakan kebajikan.
          2) Memiliki faham puritanisme, Surat Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita-cerita dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita-cerita. Oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.
          3) Anak kecil yang belum dapat diberikan tanggung jawab. Dengan demikian, anak kecil yang belum baligh dianggap lepas dari segala perbuatan. Namun, ketika sudah menginjak dewasa diberikan taklif  kepadanya.

6.)    Tsa’alibah
          1) Ajaran pokoknya, seperti yang diungkapkan Tsa’alibah yaitu: “Kami akan bersahabat saja dengan anak-anak, baik yang muda atau yang tua sampai kami mengetahui apakah mereka menolak kebenaran dan menyetujui keadilan atau tidak.”[24]
          2) Dia juga berkeyakinan bahwa boleh mengambil zakat dari hamba sahaya, jika mereka kaya. Ada beberapa aliran dalam golongan Tsa’alibah ini yaitu: Akhnasiyah, Ma’badiyah, Rusyaidiyah, Syaibaniyah, Mukramiyah, Ma’lumiyah dan Majhuliyah, serta Bid’iyah.

7.)    Ibadiyah
          1) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan musyrik, tetapi kafir.
          2) Daerah Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali kamp pemerintahan, merupakan dar tauhid.
          3) Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muahhid yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
          4) Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda. Senjata emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya.



            Aliran atau paham Khawarij dalam ajaran-ajaran nya ada yang dianggap ekstrem dan ada pula yang moderat. Sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I. dari kitab Tarikh karya Syaikh Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, bahwa diantara aliran khawarij yang pendapatnya moderat adalah aliran al-Ibadiyah. Beliau menyatakan bahwa, “ Mereka adalah aliran khwarij yang paling moderat, pendapat-pendapatnya kebanyakan benar, paling dekat pemikirannya dengan Ahlus Sunnah dan paling jauh pendapat-pendapat yang melampaui batas.”[25]
Adapun pokok-pokok pikiran aliran al-Ibadiyah adalah:
a.       Sesungguhnya seorang islam yang menentangnya bukanlah musyrik dan bukan pula mukmin. Mereka menamakannya kafir. Tetapi mereka dikatakan kafir nikmat, bukan kafir iktikad. Karena mereka itu tidak kufur kepada Allah, tetapi bersalah disisi Allah Ta’ala.
b.      Darah orang yang menentangnya adalah haram, negerinya adalah negeri tauhid dan Islam, kecuali gedung angkatan perang. Tetapi yang demikian itu tidak mereka umumkan. Mereka merahasiakannya bahwa negeri orang yang menentangnya dan darah mereka itu haram.
c.       Daerah Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali kamp pemerintahan, merupakan dar tauhid.
d.      Tidak halal mengambil harta rampasan perang orang Islam yang ikut berperang kecuali kuda, senjata dan peralatan perang lainnya dan mereka mengembalikan emas dan perak.
e.       Menerima kesaksian orang-orang yang menentangnya, mengawininya, dan saling waris-mewarisinya.[26]
Sependapat dengan yang dikemukakan di atas, Harun Nasution juga berpendapat bahwa golongan Ibadiyah adalah golongan yang paling moderat yang terdapat dalam kalang khawarij. Mereka tidak memandang orang islam yang tidak sepaham dengan mereka musyrik, tetapi tidak pula mu’min. Orang islam demikian hanya merupakan kafir yang masih mengesakan Tuhan. Dosa besar tidak membuat orang Islam menjadi musyrik. Tetapi pelaku dosa besar bukanlah pula mu’min. Paling banyak ia boleh dikatakan kafir. Mereka membagi golongan kafir ke dalam dua bagian, kafir ni’mah,orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan, dan kafir al-Millah, yaitu orang yang keluar dari agama. Term kafir yang mereka pakai untuk golongan Islam, ialah alam arti pertama, hal yang tidak membuat orang keluar dari agama Islam.[27]
Adapun aliran khawarij yang ekstrem atau radikal, antara lain aliran al-‘Ajaridah. Mereka berpendapat:
1.      Tidak mengakui surat Yusuf termasuk ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka mengingkari surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur’an, menganggapnya hanya merupakan dongeng belaka. Mereka berpendapat bahwa tidak layak terdapat kisah cinta dalam Al-Qur’an.
2.      Aliran al-‘Ajaridah tidak menghalalkan harta bendanya, kecuali pemiliknya dibunuh. Berbeda sekali dengan aliran al-Azariqah yang menghalalkan harta benda orang yang menentangnya dalam segala keadaan.
3.      Menghalalkan menikahi cucu perempuannya sendiri, dan cucu kemenakannya. Karena yang dilarang dalam Al-Qur’an ialah menikahi anak perempuannya sendiri atau menikahi kemenakan perempuan.[28]
Dengan demikian, sebagaimana pemaparan di atas, pemakalah menyimpulkan terkait identifikasi aliran khawarij terbagi menjadi dua golongan, yaitu khawarij ekstrem dan moderat. Dimana golongan ekstrem diantaranya adalah golongan Azariqah dan golongan Muhakkimah, yang berpendapat bahwa orang Islam yang mengerjakan dosa besar (مُرْتَكِبُ الْكَبَائِر) merupakan termasuk kafir, yaitu keluar dari Islam (murtad), dan wajib untuk dibunuh. Sementara itu golongan yang moderat diantaranya adalah golongan Najdah dan Golongan al-Ibadiyah, dengan pendapatnya bahwa dosa besar tidak membuat orang Islam menjadi kafir, tapi bukan juga mu’min, tapi hanya kafir ni’mah.
            Mayoritas kaum Khawarij terdiri dari orang-orang Arab Baduwi. Cara hidup dan cara berpikir mereka sangat sederhana dan dangkal; mereka sangat jaiuh dari ilmu-pengetahuan.[29] Kelihatannya pendirian-pendirian yang muncul dari kelompok pertama (awal), yakni al-Muhakkimah, merupakan pendirian yang dapat diterima oleh golongan-golongan yang muncul kemudian, kendati sejumlah golongan menjurus kepada sikap yang sangat ekstrim, seperti menghalalkan darah dan harta kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua, atau menjurus kepada sikap yang lebih lunak (moderat), seperti memandang setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka sebagai muwahhid yang kafir nikmat, yang dihormati darah dan hartanya oleh mereka.[30]
            Sedangkan dalam kaum Khawarij golongan yang paling ekstrim adalah al-Azariqah dan golongan yang lebih moderat adalah al-Ibadliyyah. Oleh karena itu, jika golongan Khawarij lain telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan al-ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman, dan Arabia Selatan.[31]
Adapun golongan-golongan Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun mmereka sebagai golongan telah hilang dalam sejarah ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh, walaupun tidak banyak, dalam masyarakat Islam sekarang.[32]
                                                                                                       

 

 

 

 

 

 

Bab III

Penutup

 

Kesimpulan

Dari seluruh penjelasan diatas, pemakalah dapat menyimpulkan bahwasannya kaum Khawarij adalah kelompok orang-orang yang membangkang terhadap Ali. Mereka keluar dari kelompok Ali dan menentang kebijaksanaan Ali menerima tahkim. Ajaran Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufr. Kufr (orang yang dikatakan kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orangnya dikatakan mukmin) berarti percaya. Kaum Khawarij memiliki beberapa golongan seperti, al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, Baihasiyah, Ajaridah, Tsa’alibah, dan al-Ibadliyyah. Dari semua golongan Khawarij, golongan al-Ibadliyyah yang paling moderat dan masih ada sampai sekarang, sedangkan golongan Khawarij ekstrim dan radikal lainnya mereka telah hilang dalam sejarah tetapi masih mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak.

 

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Satori, S. K. (2016). Sketsa Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta: Grup Penerbitan CV Budi Utama.
Dahlan, Abdul Aziz. (1987). Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Bagian I :Pemikiran Teologis. Jakarta: PT. Beunebi Cipta.
Muchotob Hamzah, d. (2017). Pengantar Studi Aswaja An-Nahdiyyah. Yogyakarta: LKIS.
Nasir, Sahilun A. (2012). Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pres.
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya . Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (1986). Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan . Jakarta: UI Press.
Thohir Luth, M. A. (2018). Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan. Malang : UB Press.
Yusuf, M. Y. (2014). Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group.






[1]M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm43.
[2] Ibid.
[3] Akhmad Satori, Sulaiman Kurdi, Sketsa Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta: Grup Penerbitan CV Budi Utama, 2016), hlm42-43.
[4] Ibid, hlm44.
[5] Ibid, hlm46.
[6] Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, dkk, Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan (Malang: UB Press, 2018), hlm72-73.
[7] Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta: LkIS, 2017), hlm3.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta: LkIS, 2017), hlm4.
[11] Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, dkk, Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan (Malang: UB Press, 2018), hlm73.
[12] Ibid.
[13] Ibid, hlm73-74.
[14] Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, dkk, Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan (Malang: UB Press, 2018), hlm74.
[15] Ibid, hlm74.
[16] Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta: LkIS, 2017), hlm5.
[17] Ibid, hlm6.
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm17.
[19] Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta: LkIS, 2017), hlm6-7.
[20] Ibid, hlm7.
[21] Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta: LkIS, 2017), hlm7-8.
[22] Ibid, hlm8.
[23] Ibid, hlm9.
[24] Ibid, hlm8.
[25] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya ( Jakarta: Rajawali Pres,2012) Hlm.137
[26] Ibid, hlm.138
[27] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI PRESS, 1985), hlm28-29.
[28] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya ( Jakarta: Rajawali Pres,2012) hlm.138-139
[29] Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Bagian I :Pemikiran Teologis ( Jakarta: PT. Beunebi Cipta, 1987) hlm.38
[30] Ibid, hlm.38
[31] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm.23
[32] Ibid, hlm.23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates