ALIRAN KHAWARIJ
Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu:
Dr. Dimyati,
M.Ag.
Disusun Oleh:
Kelompok 2 PAI 2 A
Safira Nurul Fitri 11190110000090
Dinda Saputri 11190110000058
Rafif Rabbani 11190110000081
Muhammad Zidan Syafiq 11190110000055
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2020 M/1441 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah
Swt, karena atas rahmat-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Aliran Khawarij” dengan baik tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan makalah ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Karena tanpa bantuan serta dorongan
mereka, makalah ini tentu tidak dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tidak terlepas dari itu, pemakalah memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan
kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya
yang lebih baik lagi.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ilmu kalam
atau yang sering disebut pula ilmu tauhid merupakan salah satu ilmu yang
sangat penting untuk di pelajari. Karena di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan
tentang macam macam pemikiran dan sejarah terpecahnya umat Islam ke dalam
beberapa golongan, bahkan sampai terjadinya perang antar sesama muslim.
Didalamnya juga terdapat pengetahuan tentang mengapa timbul banyak
pemikiran-pemikiran yang menyimpang atau jauh dari kebenaran menurut Ahlussunnah
wal Jamaah.
Beragamnya pemikiran-pemikiran tentang aqidah berkembang
begitu pesat sejak zaman dahulu, sehingga karena banyaknya pemikiran tersebut
membuat masyarakat umum (awam) menjadi kebingungan. Contoh golongan-golongan
pemikiran tentang ilmu kalam atau ilmu tauhid diantaranya adalah Ahlussunnah
Wal Jama’ah, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan lainnya. Maka ilmu
kalam menjadi ilmu yang penting untuk dipelajari oleh masyarakat umum, dan
terlebih lagi akademisi yang berkaitan dengan ilmu keislaman. Sehingga dengan
mempelajarinya kita bisa lebih bijak dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang
ada di masyarakat, serta kita dapat berhati-hati dari golongan-golongan yang
menyimpang pemikirannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
Khawarij?
2. Bagaimana sejarah
kemunculan kaum Khawarij?
3. Apa saja
aliran-aliran Khawarij?
4. Bagaimana
mengidentifikasi aliran atau paham kaum Khawarij (ekstrem, moderat)?
5. Bagaimana
eksistensi paham atau aliran Khawarij di Era Kontemporer?
C. Tujuan Pebahasan
1. Untuk mengetahui
pengertian Khawarij.
2. Untuk mengetahui
sejarah kemunculan kaum Khawarij.
3. Untuk mengetahui
aliran-aliran Khawarij.
4. Untuk
mengidentifikasi kelompok aliran atau paham Khawarij ekstrem dan moderat.
5. Untuk mengetahui
eksistensi paham atau aliran Khawarij di Era Kontemporer.
Bab II
Pembahasan
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Buku Darul-Fikr, Nama
al-Khawarij, demikian kata al-Syahrastani, dipakai untuk setiap orang yang
keluar dari pimpinan Imam yang benar serta disepakati oleh mayoritas
umat. Ia menulis menulis dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal.[1]
كل من خرج على الإيمام الحق الذي إتقفت الجماعة عليه
يسمى خارجيا سواء كان الخروج عي أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أوكان بعدهم على
التابعين أو على الأئمة فى كل زمان
Al-Khawarij dalam pengertian di atas
adalah nama yang tercela, karena keluar dari kebenaran yang disepakati oleh
Jemaah umat. Tetapi al-Khawarij yang dimaksud dalam ilmu Kalam adalah dalam
pengertian kelompok orang-orang yang membangkang terhadap Ali. Mereka keluar
dari kelompok Ali dan menentang kebijaksanaan Ali menerima tahkim. Dalam dalam
bahasa Arab kharaja berarti keluar, maka orang yang keluar dikatan kharijiy
adalah khawarij yang berarti orang-orang yang keluar.[2]
Sejalan dengan hal itu ada pula yang
berpendapat bahwa pemberian nama itu didasarkan atas surah an-Nisaa’ (4)
ayat 100:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيتِهِ مُهَاجِرًا إلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya”
Dalam bahasa Inggris yang mewakili
bahasa Arab adalah Kharijites, yang masing-masing mungkin dideskripsikan
sebagai kata benda jamak dan kolektif; kata-kata tersebut merupakan derivasi
dari kata Kharaja. Kata ini bisa dipahami dengan berbagai cara, tetapi
yang paling relevan ada empat di antaranya adalah;[3]
1. Khawarij adalah orang yang keluar
atau memisahkan diri dari golongan Ali.
2. Mereka adalah orang yang keluar (yakhruju)
dari kalangan orang yang tidak beriman “dengan melakukan hijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya” (QS 4:101), dengan demikian mereka memaknakan Khawarij
sama dengan muhajirun, artinya memutuskan semua ikatan dengan
orang-orang yang tidak beriman.
3. Mereka adalah orang-orang yang
keluar menentang (kharaja ‘ala) Ali dalam pengertian memberontak
terhadap Ali.
4. Mereka adalah orang-orang yang
keluar dan mengambil bagian aktif dalam jihad, berbeda dengan mereka
yang masih tetap, yang dibedakan dalam al-Qur’an (misalnya QS 9:83/84).
Semua penafsiran mungkin benar, dalam
pengertian bahwa beberapa orang menggunakan penafsiran tersebut pada beberapa
periode, persoalannya adalah untuk mengetahui siapa yang menggunakan dan kapan
digunakannya.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Buku
Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Dengan demikian, melalui pemahaman surah an-Nisaa’ (4)
ayat 100 di atas, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang
meninggalkan rumah dari kampung halaman
mereka sendiri, untuk berhijrah mengabdikan diri mereka secara totalitas kepada
Allah dan Rasul-Nya. Disamping nama Khawarij yang secara umum dipakai, dikenal
juga nama-nama al-Haruriah, al-Syurah, dan al-Muhakkimah.[4]
Ajaran Khawarij bermula dari masalah
pandangan mereka tentang kufr. Kufr (orang yang dikatakan kafir),
berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orangnya dikatakan mukmin)
berarti percaya. Di masa Rasulullah kedua kata itu termanifestasi secara tajam
sekali, yakni orang yang telah percaya kepada Allah yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW dan orang-orang yang tidak percaya kepada Allah tersebut.[5]
Bila di masa Rasulullah term kafir
hanya dipakai untuk mereka yang belum memeluk agama Islam, kaum Khawarij memperluas
makna kafir dengan memasukkan orang yang telah beragama Islam ke
dalamnya. Yakni orang Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakannya
bukanlah hukum Allah.
Perluasan makna kafir terhadap orang
yang melakukan dosa besar memberikan sikap yang ekslusif di kalangan kaum
Khawarij. Berzina, dipandang sebagai salah satu dosa besar.
Oleh sebab itu dalam pandangan Khawarij orang yang telah berzina telah menjadi
kafir. Demikian pula halnya membunuh manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa
besar, dan orangnya menjadi kafir.
Khawarij merupakan salah satu sekte
aliran yang ekstrem, dalam pandangan khawarij darah dan harta orang Islam di
luar mereka dihalalkan. Sejarah kemunculan Khawarij dimulai ketika sejumlah
pengikut Ali membelot dari Ali atas penolakannya terhadap sikap Ali yang
menerima keputusan Arbitrase (tahkim) yang diwakilkan oleh Amr bin ‘Ash
dari kubu Mu’awiyah dan Abu Musa Asy’ari yang mewakili kubu Ali bin Abi Thalib,
pada saat pecahnya perang Shiffin yang dapat disebut juga sebagai perang
saudara pertama di tubuh umat Islam.[6]
Sebagaimana menurut Imam Muhammad Abu Zahrah
dalam Buku Tarikh. Dalam perang
Shiffin tersebut, pihak Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan peperangan, Mu’awiyah merasa bahwa dirinya akan kalah
dalam peperangan, segeralah ia memerintahkan Amr bin Ash (585-664 M/39 SH-43 H)
untuk berfikir mencari jalan keluar agar dapat menenangkan peperangan. Amr bin
Ash memberikan saran kepada Mu’awiyah pasukannya mengangkat mushaf-mushaf
al-Qur’an di atas ujung tombak mereka, seraya berseru kepada pasukan Ali bin
Abi Thalib untuk menghentikan peperangan dalam berhukum kepada kitab Allah.[7]
Menyaksikan apa yang dilakukan oleh
pasukan Mu’awiyah, Ali bin Abi Thalib merasa ragu untuk menerima ajakan mereka
karena itu hanyalah tipu muslihat dari pihak musuh saja. Ali bin Abi Thalib
sendiri lebih cenderung ingin tetap melanjutkan pertempuran sampai ada yang
menang dan kalah. Sedangkan di kalangan pasukan Ali terjadi perbedaan pendapat,
sebagian ada yang menyetujui ajakan itu dan sebagian lagi menolaknya. Terjadi
perdebatan pelik di antara pasukan Ali bin Abi Thalib seputar keputusan yang
akan diambil. Dengan terjadinya perselisihan di antara sesama pasukan Ali ini
memberikan angin segar bagi pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena taktik
yang mereka jalankan berhasil, yaitu memecah belah persatuan pauskan Ali bin
Abi Thalib.[8]
Di antara pasukan Ali yang tidak
menyetujui kehendak Ali dipimpin oleh Al-Asy’ats bin Qais al-Kindi, Mus’ir bin
Fidki at-Tamimi dan Zaid bin Husein ath-Tha’i. Mereka terus mendesak Ali untuk
menghentikan pertempuran dan menerima ajakan Mu’awiyah. Desakan yang mereka
lakukan diiringi dengan ancaman-ancaman. Jika Ali tidak mau menuruti kehendak
mereka, maka mereka akan membunuh Ali dan membuat kekacau-balauan di antara
sesama pasukan Ali.
Dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya Ali bin Abi Thalib menarik pasukannya dari medan pertempuran.
Al-Asy’ats, panglima pasukan Ali, meminta izin kepada Ali untuk mendatangi
Mu’awiyah. Ali memberi izin kepada al-As’ats atas hal yang akan ia lakukan.
Lalu al-Asy’ats mendatangi Mu’awiyah dan menanyakan perihal pengangkatan
mushaf-mushaf al-Qur’an dengan menggunkan tombak tersebut. Mu’awiyah menjawab:[9]
Marilah kita kembali kepada kitab
Allah, kirimlah seorang di antara kamu yang kamu sukai untuk menjadi urusan dan
begitu juga halnya dengan kami. Lalu kita meminta kepada mereka supaya menjalankan apa yang tersebut dalam kitab
Allah dan janganlah mereka melanggarnya. Kemudian kita akan mengikuti apa yang
telah disepakati oleh mereka berdua.
Seusai peperangan tersebut
masing-masing kelompok kembali ketempat masing-masing kubu, Ali kembali ke Iraq
dan kubu Mu’awiyah kembali ke Suriah. Namun terdapat perbedaan terkait
solidaritas masing-masing kelompok. Kubu Mu’awiyah kembali ke Syiria dengan
satu pandu, sedangkan kubu Ali kembali ke Iraq dengan kondisi keretakan di dalamnya.[10]
Di sepanjang perjalanan terjadi
percekcokan yang saling menyalahkan antara barisan yang setia mendukung Ali
dengan mereka yang menyalahkannya. Ketika rombongan Ali sampai ke Kufah
kelompok yang meninggalkan Ali kemudian berhenti di Desa Harura, dengan jumlah
12.000 orang. Selanjutnya mereka dikenal dengan istilah Khawarij, karena mereka
keluar (kharaja) dari golongan Ali, yang kemudian diartikan sebagai golongan
orang-orang yang keluar (khawarij).[11]
Pada awalnya Khawarij adalah
pendukung setia Ali, namun pasca peristiwa tahkim yang diambil Ali.
Golongan tersebut tidak menerima keputusan yang diambil Ali, sebab menurut
mereka Ali menduduki posisi Khalifah merupakan jabatan yang dibaiat oleh
rakyat. Dan tentunya tidak terima jika sang Khalifah memilih tunduk terhadap
putusan arbitrase terlebih terhadap pemberontakan seperti Mu’awiyah.
Berdasarkan sikap pembangkangan golongan Khawarij yang pada awalnya mendukung
Ali, menunjukkan bahwa ketidak konsistenan golongan Khawarij terhadapnya. Oleh
karenanya, seperti pendukung Ali yang lain, kaum Khawarij sedari awal mendukung
penyelesaian Ali dengan Mu’awiyah melalui jalur arbitrase.[12]
Khawarij menunjukkan sikap kerasnya
terhadap kubu Ali dan kubu Mu’awiyah. Mereka berpandangan bahwa darah dan harta
selain dari golongan mereka adalah halal, oleh karenanya mereka membolehkan
untuk membunuh dan merampas harta Muslim selain mereka. Namun Khawarij relative
lebih membenci Mu’awiyah daripada Ali, hal ini disebabkan bahwa golongan
Mu’awiyah dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat dan bertingkah laku
layaknya raja-raja feudal orang Romawi. Terlebih Mu’awiyah menduduki tampuk
kekuasaan tidak mendapatkan legitimasi umat Islam pada masa itu. Berdasarkan
fakta tersebut tidak mengherankan jika dalam sejarah awal Islam golongan
Khawarij selalu melakukan perlawanan dan pemberontakan, yang kemudian direspon
oleh raja-raja dinasti Umawiyah dengan penindasan dan kekerasan. Namun sejak
masa Khilafah Umar bin Abdul Azis diinisiasi pendekatan secara persuasif kepada
golongan Khawarij. Sayangnya proses tersebut kandas ketika wafatnya Khalifah
Umar bin Abdul Azis.[13]
Sebagaimana yang disebutkan dalam Buku Teologi
Islam, Isu- isu Kontemporer. Berkenaan dengan sikap mereka terhadap
pengakuan Khalifah, mereka mengakui kekuasaan Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan sebelum Ali menerima keputusan arbitrasi. Dalam hal pengangkatan Khalifah
mereka relatif memiliki sikap yang agak demokratis, mereka berpendapat bahwa
seseorang yang menjadi Khalifah adalah seorang laki-laki Muslim yang
berkebangsaan Arab apapun suku dan keluarganya. Ketika seorang Khalifah dibaiat
tidak dibenarkan jika sang Khalifah turun dari tahtanya. Akan tetapi apabila
sang Khalifah berbuat menyimpang maka dibenarkan untuk dilengserkan bahkan
untuk dibunuh.[14]
Terjadi perubahan sikap terhadap
kriteria khilafah setelah orang-orang Islam non-Arab banyak bergabung
dalam golongan Khawarij. Syarat utama terhadap khalifah yang harus dari
Arab tidak berlaku lagi untuk menduduki kursi Khalifah, maka menurut mereka
setiap laki-laki Muslim yang mampu berlaku adil, baik
mereka berasal dari bangsa Arab atau tidak, bahkan seorang budak atau merdeka.[15]
Menurut Abdul Karim asy-Syahrastani
(1806-1153 M/478-584 H), Khawarij terpecah menjadi delapan sekte utama. Menurut
al-Bagdadi (w. 1037 M/429 H) secara garis besar, Khawarij terbagi menjadi dua
puluh kelompok. Berikut aliran-aliran besar Khawarij dengan doktrin-doktrinnya.[16]
a. Muhakkimah
Golongan ini termasuk golongan
Khawarij asli, terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, sahabat Ali,
Muawiyah, Amr ibn Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui
arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Di antara ajaran-ajaran pokoknya adalah:
1) Berbuat zinah dipandang sebagai
salah satu dosa besar dan pelakunya dihukumi menjadi kafir dan keluar dari
Islam.
2) Membunuh manusia tanpa sebab yang
sah adalah dosa besar, maka pelakunya dihukum menjadi kafir dan keluar dari
Islam.
b. Azariqah
Aliran ini dipimpin oleh Nafi’ ibn
al-Azraq yang berasal dari Bani Hanifah. Nama ini diambil dari pemimpinnya yang
kemudian diberi gelar Amir al-Mu’minin. Aliran ini memiliki pendukung
yang cukup banyak. Mereka merupakan pendukung terkuat mazhab Khawarij yang
paling banyak anggotanya dan paling terkemuka di antara semua aliran mazhab
ini. Pokok ajaran Azariqah adalah:[17]
1) Mengkafirkan Ali. Mereka memandang
orang yang berbeda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan mukmin tetapi juga
musyrik, kekal di neraka serta halal diperangi dan dibunuh.
2) Wilayah tempat orang yang berbeda
dengan aliran Azariqah adalah wilayah perang (dar al-harb). Di sana
dibenarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam peperangan melawan
orang kafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan wanita, dan lain-lain.
3) Anak-anak kaum musyrikin kekal di
dalam neraka bersama orang tua mereka.
4) Dalam bidang fiqih tidak ada hukum
rajam. Hukuman dera bagi pembunuh zina hanya berlaku pada orang yang menuduh
bahwa wanita muhshan telah berzina. Jadi orang yang menuduh laki-laki muhshan
tidak dikenakan hukuman itu.
5) Mereka berpendapat bahwa para Nabi
bisa saja melakukan dosa besar dan kecil.
6) Haram melakukan taqiyyah, baik
dalam ucapan maupun perbuatan.
c. Najdat
Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari
Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri
dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini
timbul perpecahan.[18]
Pemimpin aliran ini adalah Najdah ibn ‘Uwaimir yang berasal dari Hudzaifah.
Pada mulanya Najdat ingin bergabung dengan Azariqah, namun akhirnya
memisahkan diri karena banyak ketidak setujuan
Najdat terhadap ajaran-ajaran Azariqah. Di antara ajaran-ajaran Najdat adalah:[19]
1) Mereka berpendapat boleh membunuh ahlu
dzimmah sebagaimana bolehnya memerangi yang melindunginya yaitu kaum
Muslimin.
2) Mengangkat Imam bukanlah kewajiban
syari’at, melainkan kemaslahatan.
3) Boleh taqiyyah untuk
menjaga nyawanya serta mencegah serangan terhadapnya.
Perkembangan berikutnya menurut
Muhammad bin Abdil Karim al-Syahrastani, golongan Njadat ini terbagi ke dalam
dua golongan yaitu Athwuyah dan Fudaikiyah yang kemudian setelah Najdat
terbunuh kedua golongan ini bersengketa.
d. Baihasiyah
Pemimpin golongan ini adalah Abu
Baihas al-Haisham bin Jabir, keturunan Banu Sa’ad bin Dhubai’ah. Di antara
pokok-pokok pikirannya:[20]
1) Abu Baihas mengkafirkan Ibrahim
dan Maimun sebab keduanya menganut pandangan-pandangan yang berbeda dengannya,
terutama mengenai hamba sahaya.
2) Bahwa seseorang belum Islam sampai
memahami atau ikrar ia mengetahui Allah, dan rasul-Nya dan mengetahui apa yang
datang dari Muhammad seluruhnya, kekuasaan pada Allah,
berlepas diri dari musuh-musuh Allah, berlepas
diri dari apa yang diharamkan Allah, dari ancaman-ancaman-Nya.
e. Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim
ibn Ajrad yang berpaham sama dengan Najdat. Abdul Karim dikatakan sebagai
pengikut Abu Baihas yang kemudian mempunyai pikiran yang berbeda. Di antara ajaran-ajaran pokoknya:[21]
1) Menurut faham mereka berhijrah
bukan merupakan kewajiban tetapi hanya merupakan kebajikan.
2) Memiliki faham puritanisme, Surat
Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita-cerita dan al-Qur’an sebagai kitab suci,
kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita-cerita. Oleh karena itu mereka
tidak mengakui Surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.
3) Anak kecil yang belum dapat
diberikan tanggung jawab. Dengan demikian, anak kecil yang belum baligh
dianggap lepas dari segala perbuatan. Namun, ketika sudah menginjak dewasa
diberikan taklif kepadanya.
Golongan Ajaridah ini terpecah-belah ke
dalam berbagai aliran, tetapi merupakan bagian dari Ajaridah. Aliran-aliran itu
adalah Shaltiyah, Maimuniyah, Hamziyah, Khalifiyah, Syu’abiyah, Hazimiyah.
f. Tsa’alibah
Pemimpinnya adalah Tsa’alibah bin
Amir yang bersahabat erat dengan Abdul Karim bin Ajrad. Ajaran pokoknya,
seperti yang diungkapkan Tsa’alibah yaitu: “Kami akan bersahabat saja dengan
anak-anak, baik yang muda atau yang tua sampai kami mengetahui apakah mereka
menolak kebenaran dan menyetujui keadilan atau tidak.”[22]
Dia juga berkeyakinan bahwa boleh
mengambil zakat dari hamba sahaya, jika mereka kaya. Ada beberapa aliran dalam
golongan Tsa’alibah ini yaitu: Akhnasiyah, Ma’badiyah, Rusyaidiyah,
Syaibaniyah, Mukramiyah, Ma’lumiyah dan Majhuliyah, serta Bid’iyah.
g. Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang
paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari
pimpinannya, yaitu Abdullah ibn Ibad yang memisahkan diri dari golongan
Azariqah. Ajaran-ajaran mereka adalah:[23]
1) Orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan musyrik, tetapi kafir.
2) Daerah Islam yang tidak sepaham
dengan mereka kecuali kamp pemerintahan, merupakan dar tauhid.
3) Orang Islam yang berbuat dosa
besar adalah muahhid yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
4) Yang boleh dirampas dalam perang
hanyalah kuda. Senjata emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya.
Tabel
perbedaan pemikiran aliran-aliran Khawarij:
Nama Aliran
|
Pemikiran
|
1.) Muhakimah
|
1) Berbuat zinah dipandang sebagai salah satu dosa
besar dan pelakunya dihukumi menjadi kafir dan keluar dari Islam.
2) Membunuh manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa
besar, maka pelakunya dihukum menjadi kafir dan keluar dari Islam.
|
2.) Azariqah
|
1)
Mengkafirkan Ali. Mereka memandang orang yang berbeda pendapat dengan mereka
tidak hanya bukan mukmin tetapi juga musyrik, kekal di neraka serta halal
diperangi dan dibunuh.
2)
Wilayah tempat orang yang berbeda dengan aliran Azariqah adalah wilayah
perang (dar al-harb). Di sana dibenarkan melakukan tindakan apapun
yang dibolehkan dalam peperangan melawan orang kafir, baik merampas harta,
menahan anak-anak dan wanita, dan lain-lain.
3)
Anak-anak kaum musyrikin kekal di dalam neraka bersama orang tua mereka.
4)
Dalam bidang fiqih tidak ada hukum rajam. Hukuman dera bagi pembunuh zina hanya
berlaku pada orang yang menuduh bahwa wanita muhshan telah berzina.
Jadi orang yang menuduh laki-laki muhshan tidak dikenakan hukuman itu.
5)
Mereka berpendapat bahwa para Nabi bisa saja melakukan dosa besar dan kecil.
6)
Haram melakukan taqiyyah, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
|
3.) Najdat
|
1) Mereka berpendapat boleh
membunuh ahlu dzimmah sebagaimana bolehnya memerangi yang
melindunginya yaitu kaum Muslimin.
2)
Mengangkat Imam bukanlah kewajiban syari’at, melainkan kemaslahatan.
3)
Boleh taqiyyah untuk menjaga nyawanya serta mencegah serangan
terhadapnya.
|
4.) Baihasiyah
|
1) Abu Baihas
mengkafirkan Ibrahim dan Maimun sebab keduanya menganut pandangan-pandangan
yang berbeda dengannya, terutama mengenai hamba sahaya.
2)
Bahwa seseorang belum Islam sampai memahami atau ikrar ia mengetahui Allah,
dan rasul-Nya dan mengetahui apa yang datang dari Muhammad
seluruhnya, kekuasaan pada Allah, berlepas diri dari musuh-musuh
Allah, berlepas diri dari apa yang diharamkan Allah, dari
ancaman-ancaman-Nya.
|
5.) Ajaridah
|
1) Menurut
faham mereka berhijrah bukan merupakan kewajiban tetapi hanya merupakan
kebajikan.
2)
Memiliki faham puritanisme, Surat Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita-cerita
dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung
cerita-cerita. Oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat Yusuf sebagai
bagian dari al-Qur’an.
3)
Anak kecil yang belum dapat diberikan tanggung jawab. Dengan demikian, anak
kecil yang belum baligh dianggap lepas dari segala perbuatan. Namun, ketika
sudah menginjak dewasa diberikan taklif kepadanya.
|
6.) Tsa’alibah
|
1) Ajaran pokoknya, seperti yang
diungkapkan Tsa’alibah yaitu: “Kami akan bersahabat saja dengan anak-anak,
baik yang muda atau yang tua sampai kami mengetahui apakah mereka menolak
kebenaran dan menyetujui keadilan atau tidak.”[24]
2) Dia
juga berkeyakinan bahwa boleh mengambil zakat dari hamba sahaya, jika mereka
kaya. Ada beberapa aliran dalam golongan Tsa’alibah ini yaitu: Akhnasiyah,
Ma’badiyah, Rusyaidiyah, Syaibaniyah, Mukramiyah, Ma’lumiyah dan Majhuliyah,
serta Bid’iyah.
|
7.) Ibadiyah
|
1) Orang Islam
yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan musyrik, tetapi
kafir.
2)
Daerah Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali kamp pemerintahan,
merupakan dar tauhid.
3) Orang
Islam yang berbuat dosa besar adalah muahhid yang mengesakan Tuhan,
tetapi bukan mukmin.
4)
Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda. Senjata emas dan perak harus
dikembalikan kepada yang empunya.
|
Aliran
atau paham Khawarij dalam ajaran-ajaran nya ada yang dianggap ekstrem dan ada
pula yang moderat. Sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir,
M.Pd.I. dari kitab Tarikh karya Syaikh Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya yang
berjudul Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
bahwa diantara aliran khawarij yang pendapatnya moderat adalah aliran
al-Ibadiyah. Beliau menyatakan bahwa, “ Mereka adalah aliran khwarij yang
paling moderat, pendapat-pendapatnya kebanyakan benar, paling dekat
pemikirannya dengan Ahlus Sunnah dan paling jauh pendapat-pendapat yang
melampaui batas.”[25]
Adapun pokok-pokok pikiran aliran al-Ibadiyah
adalah:
a.
Sesungguhnya seorang islam yang
menentangnya bukanlah musyrik dan bukan pula mukmin. Mereka menamakannya kafir.
Tetapi mereka dikatakan kafir nikmat, bukan kafir iktikad. Karena mereka itu
tidak kufur kepada Allah, tetapi bersalah disisi Allah Ta’ala.
b.
Darah orang yang menentangnya
adalah haram, negerinya adalah negeri tauhid dan Islam, kecuali gedung angkatan
perang. Tetapi yang demikian itu tidak mereka umumkan. Mereka merahasiakannya
bahwa negeri orang yang menentangnya dan darah mereka itu haram.
c.
Daerah Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali kamp pemerintahan,
merupakan dar tauhid.
d.
Tidak halal mengambil harta
rampasan perang orang Islam yang ikut berperang kecuali kuda, senjata dan
peralatan perang lainnya dan mereka mengembalikan emas dan perak.
e.
Menerima kesaksian orang-orang
yang menentangnya, mengawininya, dan saling waris-mewarisinya.[26]
Sependapat dengan yang
dikemukakan di atas, Harun Nasution juga berpendapat bahwa golongan Ibadiyah
adalah golongan yang paling moderat yang terdapat dalam kalang khawarij. Mereka
tidak memandang orang islam yang tidak sepaham dengan mereka musyrik, tetapi
tidak pula mu’min. Orang islam demikian hanya merupakan kafir yang masih
mengesakan Tuhan. Dosa besar tidak membuat orang Islam menjadi musyrik. Tetapi
pelaku dosa besar bukanlah pula mu’min. Paling banyak ia boleh dikatakan kafir.
Mereka membagi golongan kafir ke dalam dua bagian, kafir ni’mah,orang
yang tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan, dan kafir
al-Millah, yaitu orang yang keluar dari agama. Term kafir yang mereka pakai
untuk golongan Islam, ialah alam arti pertama, hal yang tidak membuat orang
keluar dari agama Islam.[27]
Adapun aliran khawarij yang ekstrem atau radikal, antara lain aliran
al-‘Ajaridah. Mereka berpendapat:
1.
Tidak mengakui surat Yusuf
termasuk ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka mengingkari surat Yusuf sebagai bagian
dari Al-Qur’an, menganggapnya hanya merupakan dongeng belaka. Mereka
berpendapat bahwa tidak layak terdapat kisah cinta dalam Al-Qur’an.
2.
Aliran al-‘Ajaridah tidak
menghalalkan harta bendanya, kecuali pemiliknya dibunuh. Berbeda sekali dengan
aliran al-Azariqah yang menghalalkan harta benda orang yang menentangnya dalam
segala keadaan.
3.
Menghalalkan menikahi cucu
perempuannya sendiri, dan cucu kemenakannya. Karena yang dilarang dalam
Al-Qur’an ialah menikahi anak perempuannya sendiri atau menikahi kemenakan
perempuan.[28]
Dengan demikian, sebagaimana pemaparan di atas,
pemakalah menyimpulkan terkait identifikasi aliran khawarij terbagi menjadi dua
golongan, yaitu khawarij ekstrem dan moderat. Dimana golongan ekstrem
diantaranya adalah golongan Azariqah dan golongan Muhakkimah, yang berpendapat
bahwa orang Islam yang mengerjakan dosa besar (مُرْتَكِبُ الْكَبَائِر) merupakan termasuk kafir, yaitu keluar dari Islam (murtad),
dan wajib untuk dibunuh. Sementara itu golongan yang moderat diantaranya adalah
golongan Najdah dan Golongan al-Ibadiyah, dengan pendapatnya bahwa dosa besar
tidak membuat orang Islam menjadi kafir, tapi bukan juga mu’min, tapi
hanya kafir ni’mah.
Mayoritas kaum Khawarij terdiri
dari orang-orang Arab Baduwi. Cara hidup dan cara berpikir mereka sangat
sederhana dan dangkal; mereka sangat jaiuh dari ilmu-pengetahuan.[29]
Kelihatannya pendirian-pendirian yang muncul dari kelompok pertama (awal),
yakni al-Muhakkimah, merupakan pendirian yang dapat diterima oleh
golongan-golongan yang muncul kemudian, kendati sejumlah golongan menjurus
kepada sikap yang sangat ekstrim, seperti menghalalkan darah dan harta kaum
muslimin yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk anak-anak, wanita, dan
orang tua, atau menjurus kepada sikap yang lebih lunak (moderat), seperti
memandang setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka sebagai muwahhid yang
kafir nikmat, yang dihormati darah dan hartanya oleh mereka.[30]
Sedangkan
dalam kaum Khawarij golongan yang paling ekstrim adalah al-Azariqah dan
golongan yang lebih moderat adalah al-Ibadliyyah. Oleh karena itu, jika
golongan Khawarij lain telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan al-ibadiah
ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman,
dan Arabia Selatan.[31]
Adapun golongan-golongan Khawarij
ekstrim dan radikal, sungguhpun mmereka sebagai golongan telah hilang dalam
sejarah ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh, walaupun tidak
banyak, dalam masyarakat Islam sekarang.[32]
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Dari seluruh penjelasan diatas, pemakalah dapat
menyimpulkan bahwasannya kaum Khawarij adalah kelompok orang-orang yang
membangkang terhadap Ali. Mereka keluar dari kelompok Ali dan menentang
kebijaksanaan Ali menerima tahkim. Ajaran Khawarij bermula dari masalah
pandangan mereka tentang kufr. Kufr (orang yang dikatakan kafir), berarti tidak
percaya. Lawannya adalah iman (orangnya dikatakan mukmin) berarti percaya. Kaum
Khawarij memiliki beberapa golongan seperti, al-Muhakkimah, al-Azariqah,
al-Najdat, Baihasiyah, Ajaridah, Tsa’alibah, dan al-Ibadliyyah. Dari semua
golongan Khawarij, golongan al-Ibadliyyah yang paling moderat dan masih ada
sampai sekarang, sedangkan golongan Khawarij ekstrim dan radikal lainnya mereka
telah hilang dalam sejarah tetapi masih mempunyai pengaruh walaupun tidak
banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Satori, S. K. (2016). Sketsa Pemikiran
Politik Islam. Yogyakarta: Grup Penerbitan CV Budi Utama.
Dahlan, Abdul Aziz. (1987). Sejarah
Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Bagian I :Pemikiran Teologis. Jakarta: PT. Beunebi Cipta.
Muchotob Hamzah, d.
(2017). Pengantar Studi Aswaja An-Nahdiyyah. Yogyakarta: LKIS.
Nasir, Sahilun A. (2012). Pemikiran
Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya. Jakarta:
Rajawali Pres.
Nasution, H. (1985). Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya . Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (1986). Teologi Islam, Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan . Jakarta: UI Press.
Thohir Luth, M. A. (2018). Diskursus Bernegara
Dalam Islam Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan.
Malang : UB Press.
Yusuf, M. Y. (2014). Alam Pikiran Islam Pemikiran
Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group.
[1]M.
Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016), hlm43.
[2]
Ibid.
[3]
Akhmad Satori, Sulaiman Kurdi, Sketsa Pemikiran Politik Islam
(Yogyakarta: Grup Penerbitan CV Budi Utama, 2016), hlm42-43.
[4]
Ibid, hlm44.
[5]
Ibid, hlm46.
[6]
Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, dkk, Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari
perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan (Malang: UB Press,
2018), hlm72-73.
[7]
Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta:
LkIS, 2017), hlm3.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta:
LkIS, 2017), hlm4.
[11]
Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, dkk, Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari perspektif
Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan (Malang: UB Press, 2018), hlm73.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid, hlm73-74.
[14]
Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, dkk, Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari
perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan (Malang: UB Press,
2018), hlm74.
[15]
Ibid, hlm74.
[16]
Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta:
LkIS, 2017), hlm5.
[17]
Ibid, hlm6.
[18]
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm17.
[19]
Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta:
LkIS, 2017), hlm6-7.
[20]
Ibid, hlm7.
[21]
Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah (Yogyakarta:
LkIS, 2017), hlm7-8.
[22]
Ibid, hlm8.
[23]
Ibid, hlm9.
[24]
Ibid, hlm8.
[25]
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam
(Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya ( Jakarta: Rajawali
Pres,2012) Hlm.137
[26]
Ibid, hlm.138
[28]
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam
(Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya ( Jakarta: Rajawali
Pres,2012) hlm.138-139
[29]
Abdul Aziz Dahlan, Sejarah
Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Bagian I :Pemikiran Teologis ( Jakarta:
PT. Beunebi Cipta, 1987) hlm.38
[30]
Ibid, hlm.38
[31]
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm.23
[32]
Ibid, hlm.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar