TEORI FANA SUFI
SUNNI (AL-HARAWI)
Berbicara tentang Al-Harawi
mengandaikan kita telah mengetahui pemikiran al-Bisthami dan al-Hallaj, sebab
tidak hanya dia penentang keras ungkapan-ungkapan al-Bisthami dan al-Hallaj
yang terkenal ganjil itu, tetapi juga dia dipandang sebagai pengasas aliran
pemabaharuan dalam tasawuf dengan doktrin Ahl al-Sunnah. Kenyataan kedua ini,
yakni ia sebagai pengasas aliran pembaruan dalam tasawuf, merupakan daya tarik
tersendiri untuk membicarakan pemikiran tasawuf al-Harawi. Namun, masih ada
daya tarik lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu ia—berbeda dengan
al-Qusyairi yang hidup sezaman dengannya yang mengikuti keyakinan Asy’ariyah
yang dianut penguasa Seljuk—seorang sufi sunni yang bermadzhab Hanbali. Data
ini menjadi sangat menarik dikarenakan tidak saja al-Harawi mampu mendamaikan
paham tasawuf dengan sikap keras dan emosional yang biasa dianut dalam madzhab
Hanbali terhadap tasawuf, tetapi juga yang menyebabkan al-Harawi pernah hidup
dalam pengusiran penguasa yang bermadzhab Asy’ari. Selainnya, ia hidup
diburu-buru dan diancam penguasa Seljuk. Dalam kondisi ini, Annemarie
mengungkapkan, ada seorang ahli mistik lain yang bekerjasama dengan penguasa
dan mendukungnya lewat tulisan-tulisan. Ia adalah Abu Hamid al-Ghazali.
Data itu sengaja diungkapkan untuk
melihat betapa al-Harawi tidak hanya berhadapan dengan sufi yang beraliran
semi-filosofis, tetapi juga berhadapan dengan kaumnya sendiri, yakni kaum yang
sama-sama berasaskan Ahl al-Sunnah yang beraliran fiqh dan teologis yang lain,
yang terdiri dari kaum sufi sunni dan penguasa sunni. Oleh karena itu,
setidaknya, tiga pertanyaan dapat diajukan: Di mana letak tasawuf sunni
al-Harawi? Apakah konflik—kalau boleh dikatakan konflik—antara al-Harawi dengan
penguasa dan sufi sunni lain hanya disebabkan beraliran fiqh dan teologi yang
berbeda? Apa faktor yang menyebabkan al-Harawi tidak mendukung aliran tasawuf
semi-filosofis?
Biografi
al-Harawi
Mengungkap data-data di atas jelas
sangat berharga, tetapi dalam tulisan ini hanya akan menampilkan pemikiran
tasawuf al-Harawi, yang hanya berdasarkan buku Al-Taftazani. Sebelum menguak
pemikiran tasawuf al-Harawi akan disajikan biografi al-Harawi, walaupun hanya
sedikit.
Nama lengkap al-Harawi adalah Abu
Ismail Abdullahibn Muhammad al-Anshari. Al-Harawi dilahirkan tahun 396 H di
Herat, Khurasan. Ayah al-Harawi juga seorang ahli mistik. Ketika masih kecil
al-Harawi telah ditinggalkannya untuk bergabung dengan teman-temannya di Balkh.
Al-Harawi meneruskan belajar di Herat dan Nishafur. Beberapa kali al-Harawi
ingin naik haji, tetapi gagal disebabkan keadaan politik yang tidak menentu.
Meskipun gagal ke Mekkah, tetapi kehidupannya berubah dikarenakan pertemuannya
dengan guru mistik terkemuka, yakni Kharaqani, yang kemudian menjadi guru
beliau. Selanjutnya, al-Harawi diburu-buru , bertahun-tahun hidup dalam
kepapaan dan mengalami penderitaan mendalam di tangan penguasa yang berusaha
membela teologi Asy’ariah. Akhirnya, al-Harawi kehilangan penglihatannya dan
menghabiskan delapan tahun akhir kehidupannya dalam kegelapan serta di bawah
ancaman pengusiran lagi. Al-Harawi meninggal di Herat pada 8 Maret 1089 atau
479 H (Annemarie Schimmel: 90-3). Innâ li Allâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Teori Fana
Al-Harawi, menurut al-Taftazani,
adalah seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan, yang mirip teori
al-Junaid. Teorinya tersebut lalu diberi komentar dan dipertahankan oleh Ibn
al-Qayyim dalam karyanya, Madârij al-Sâlikîn, yang menekankan
terdapatnya perbedaan kefanaan dalam kesatuan dengan penyatuan atau panteisme.
Menurut al-Harawi, fana itu terdiri dari tiga tingkat. Pertama, luluh
dan terceraiberainya pengenalan terhadap Allah dalam Yang Diketahui, yaitu
Allah, sehingga seorang sufi yang mengalaminya itu sirna dalam Yang
Diketahuinya dari pengenalan terhadap Dia. Kedua, penolakan terhadap hal
yang normal sewaktu dalam keadaan fana. Hal ini bukan penolakan atau
pengingkaran yang hakiki, sebab terkadang seorang sufi sirna dari alam ini
tanpa mengingkari wujudnya; dan di sinilah perbedaan al-Harawi dengan penganut
persatuan (ittihâdî), seperti dikatakan Ibn al-Qayyim: “Penganut
penyatuan menolak penuh hal yang normal. Menurut mereka, apa pun masalahnya toh
semua itu tidak ada”. Ketiga, keluluhan yang hakiki, yakni setelah fana
dari penyaksian hal yang normal itu seorang sufi menjadi fana dari kefanaan
dirinya sendiri. Jadi kefanaan, menurut al-Harawi, adalah luluhnya apa yang
selain Yang Maha Benar, baik karena pengetahuan, penolakan ataupun karena
benar-benar luluh.
Perbedaan al-Harawi dengan penganut
panteisme (wahdah al-wujûd), diungkap Ibn al-Qayyim sebagai berikut:
“Kefanaan dalam panteisme adalah fana dalam Kesatuan Yang Mutlak. Selain itu
juga meniadakan segala yang berbanyak dan berbilang, dalam keadaan apa pun.
Jelasnya, pada dasarnya tidak ada sesuatu yang tersaksikan, bahkan yang
tersaksikan dalam wujud hamba itu hanyalah Wujud Tuhan. Jadi, dalam
kenyataannya tidak ada hamba ataupun Tuhan”. Kemudian kefanaan dalam pandangan
al-Harawi adalah kefanaan dalam tingkat yang ketiga, seperti diungkap di atas,
yaitu “kefanaan yang bukan kefanaan wujud segala sesuatu yang selain Allah,
tetapi kefanaan mereka dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri. Jadi
hakikat kefanaan tersebut adalah ketidaksadaran mereka atas segala sesuatu yang
selain Yang Disaksikan, bahkan juga ketidaksadarannya terhadap penyaksiannya
serta dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena dia sirna dengan Yang Disembahnya
lewat penyembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan
terhadap-Nya, dengan Yang Mengadakannya lewat wujud-Nya, dengan Yang
Dicintainya lewat cinta kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat
penyaksian terhadap-Nya”.
Ketenteraman
Al-Harawi sebagai penganut sunni,
melancarkan kritik terhadap para sufi semi-filosofis yang ungkapan-ungkapannya
terasa ganjil. Menurut al-Harawi, di antara mereka (para sufi yang menyimpang)
ada yang tidak bisa membedakan tingkatan-tingkatan rohaniah kelompok khusus
dengan kelompok awam. Dan di antara mereka ada pula yang menganggap ungkapan
ganjil yang menguasai diri mereka sebagai tingkatan rohaniah, dan menjadikan
kebiasaan seorang sufi yang dalam keadaan ekstase maupun symbol seorang sufi
yang mapan sebagai sebab-sebab umum. Selain itu, kebanyakan mereka hanya
membicarakan peringkat-peringkat.
Al-Harawi mengajukan argumen untuk
mencegah terjadinya ungkapan-ungkapan yang ganjil, yaitu ketenteraman yang
timbul dari ridha Allah. Dus, ungkapan-ungkapan ganjil itu muncul dari
ketidaktenteraman. Kalau ketenteraman itu terpaku dalam kalbu, maka hal itu
akan menjadi penghalang dari keganjilan ucapan atau segala penyebabnya. Bahkan
ketenteraman itu juga akan menjadikan seorang sufi sampai pada batas
tingkatannya, yakni pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ia
tidak akan, walaupun sekali, melewati kedudukannya sebagai seorang hamba.
Karena ketenteraman itu hanya diturunkan kepada nabi atau wali, maka—menurut
al-Harawi—al-Bisthami dan al-Hallaj bukanlah seorang wali.
Di mana letak kesunnian al-Harawi?
Nampaknya terletak dari pendapatnya tentang tingkatan-tingkatan rohaniah para
sufi yang mempunyai awal dan akhir. Tingkatan rohaniah akhir, menurutnya, tidak
dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan
tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah
dengan menegakkannya di atas keikhlasan dan keikutan terhadap al-Sunnah.
Di samping pendapatnya ini, tentunya
ada pertimbangan lain untuk memasukkannya ke dalam kelompok tasawuf sunni. Dan
… wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb.
Ciputat, 260390
Keterangan: Tulisan ini adalah makalah
S1 saya yang saya ketik kembali.
boleg bagi makalahnya
BalasHapustulisan saya tentang al-Harawi hanya ini. silakan apabila bermanfaat
Hapus