Minggu, 04 Maret 2018

TEORI FANA SUFI SUNNI



TEORI FANA SUFI SUNNI (AL-HARAWI)
Berbicara tentang Al-Harawi mengandaikan kita telah mengetahui pemikiran al-Bisthami dan al-Hallaj, sebab tidak hanya dia penentang keras ungkapan-ungkapan al-Bisthami dan al-Hallaj yang terkenal ganjil itu, tetapi juga dia dipandang sebagai pengasas aliran pemabaharuan dalam tasawuf dengan doktrin Ahl al-Sunnah. Kenyataan kedua ini, yakni ia sebagai pengasas aliran pembaruan dalam tasawuf, merupakan daya tarik tersendiri untuk membicarakan pemikiran tasawuf al-Harawi. Namun, masih ada daya tarik lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu ia—berbeda dengan al-Qusyairi yang hidup sezaman dengannya yang mengikuti keyakinan Asy’ariyah yang dianut penguasa Seljuk—seorang sufi sunni yang bermadzhab Hanbali. Data ini menjadi sangat menarik dikarenakan tidak saja al-Harawi mampu mendamaikan paham tasawuf dengan sikap keras dan emosional yang biasa dianut dalam madzhab Hanbali terhadap tasawuf, tetapi juga yang menyebabkan al-Harawi pernah hidup dalam pengusiran penguasa yang bermadzhab Asy’ari. Selainnya, ia hidup diburu-buru dan diancam penguasa Seljuk. Dalam kondisi ini, Annemarie mengungkapkan, ada seorang ahli mistik lain yang bekerjasama dengan penguasa dan mendukungnya lewat tulisan-tulisan. Ia adalah Abu Hamid al-Ghazali.
Data itu sengaja diungkapkan untuk melihat betapa al-Harawi tidak hanya berhadapan dengan sufi yang beraliran semi-filosofis, tetapi juga berhadapan dengan kaumnya sendiri, yakni kaum yang sama-sama berasaskan Ahl al-Sunnah yang beraliran fiqh dan teologis yang lain, yang terdiri dari kaum sufi sunni dan penguasa sunni. Oleh karena itu, setidaknya, tiga pertanyaan dapat diajukan: Di mana letak tasawuf sunni al-Harawi? Apakah konflik—kalau boleh dikatakan konflik—antara al-Harawi dengan penguasa dan sufi sunni lain hanya disebabkan beraliran fiqh dan teologi yang berbeda? Apa faktor yang menyebabkan al-Harawi tidak mendukung aliran tasawuf semi-filosofis?
Biografi al-Harawi
Mengungkap data-data di atas jelas sangat berharga, tetapi dalam tulisan ini hanya akan menampilkan pemikiran tasawuf al-Harawi, yang hanya berdasarkan buku Al-Taftazani. Sebelum menguak pemikiran tasawuf al-Harawi akan disajikan biografi al-Harawi, walaupun hanya sedikit.
Nama lengkap al-Harawi adalah Abu Ismail Abdullahibn Muhammad al-Anshari. Al-Harawi dilahirkan tahun 396 H di Herat, Khurasan. Ayah al-Harawi juga seorang ahli mistik. Ketika masih kecil al-Harawi telah ditinggalkannya untuk bergabung dengan teman-temannya di Balkh. Al-Harawi meneruskan belajar di Herat dan Nishafur. Beberapa kali al-Harawi ingin naik haji, tetapi gagal disebabkan keadaan politik yang tidak menentu. Meskipun gagal ke Mekkah, tetapi kehidupannya berubah dikarenakan pertemuannya dengan guru mistik terkemuka, yakni Kharaqani, yang kemudian menjadi guru beliau. Selanjutnya, al-Harawi diburu-buru , bertahun-tahun hidup dalam kepapaan dan mengalami penderitaan mendalam di tangan penguasa yang berusaha membela teologi Asy’ariah. Akhirnya, al-Harawi kehilangan penglihatannya dan menghabiskan delapan tahun akhir kehidupannya dalam kegelapan serta di bawah ancaman pengusiran lagi. Al-Harawi meninggal di Herat pada 8 Maret 1089 atau 479 H (Annemarie Schimmel: 90-3). Innâ li Allâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Teori Fana
Al-Harawi, menurut al-Taftazani, adalah seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan, yang mirip teori al-Junaid. Teorinya tersebut lalu diberi komentar dan dipertahankan oleh Ibn al-Qayyim dalam karyanya, Madârij al-Sâlikîn, yang menekankan terdapatnya perbedaan kefanaan dalam kesatuan dengan penyatuan atau panteisme. Menurut al-Harawi, fana itu terdiri dari tiga tingkat. Pertama, luluh dan terceraiberainya pengenalan terhadap Allah dalam Yang Diketahui, yaitu Allah, sehingga seorang sufi yang mengalaminya itu sirna dalam Yang Diketahuinya dari pengenalan terhadap Dia. Kedua, penolakan terhadap hal yang normal sewaktu dalam keadaan fana. Hal ini bukan penolakan atau pengingkaran yang hakiki, sebab terkadang seorang sufi sirna dari alam ini tanpa mengingkari wujudnya; dan di sinilah perbedaan al-Harawi dengan penganut persatuan (ittihâdî), seperti dikatakan Ibn al-Qayyim: “Penganut penyatuan menolak penuh hal yang normal. Menurut mereka, apa pun masalahnya toh semua itu tidak ada”. Ketiga, keluluhan yang hakiki, yakni setelah fana dari penyaksian hal yang normal itu seorang sufi menjadi fana dari kefanaan dirinya sendiri. Jadi kefanaan, menurut al-Harawi, adalah luluhnya apa yang selain Yang Maha Benar, baik karena pengetahuan, penolakan ataupun karena benar-benar luluh.
Perbedaan al-Harawi dengan penganut panteisme (wahdah al-wujûd), diungkap Ibn al-Qayyim sebagai berikut: “Kefanaan dalam panteisme adalah fana dalam Kesatuan Yang Mutlak. Selain itu juga meniadakan segala yang berbanyak dan berbilang, dalam keadaan apa pun. Jelasnya, pada dasarnya tidak ada sesuatu yang tersaksikan, bahkan yang tersaksikan dalam wujud hamba itu hanyalah Wujud Tuhan. Jadi, dalam kenyataannya tidak ada hamba ataupun Tuhan”. Kemudian kefanaan dalam pandangan al-Harawi adalah kefanaan dalam tingkat yang ketiga, seperti diungkap di atas, yaitu “kefanaan yang bukan kefanaan wujud segala sesuatu yang selain Allah, tetapi kefanaan mereka dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri. Jadi hakikat kefanaan tersebut adalah ketidaksadaran mereka atas segala sesuatu yang selain Yang Disaksikan, bahkan juga ketidaksadarannya terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena dia sirna dengan Yang Disembahnya lewat penyembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya, dengan Yang Mengadakannya lewat wujud-Nya, dengan Yang Dicintainya lewat cinta kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat penyaksian terhadap-Nya”.
Ketenteraman
Al-Harawi sebagai penganut sunni, melancarkan kritik terhadap para sufi semi-filosofis yang ungkapan-ungkapannya terasa ganjil. Menurut al-Harawi, di antara mereka (para sufi yang menyimpang) ada yang tidak bisa membedakan tingkatan-tingkatan rohaniah kelompok khusus dengan kelompok awam. Dan di antara mereka ada pula yang menganggap ungkapan ganjil yang menguasai diri mereka sebagai tingkatan rohaniah, dan menjadikan kebiasaan seorang sufi yang dalam keadaan ekstase maupun symbol seorang sufi yang mapan sebagai sebab-sebab umum. Selain itu, kebanyakan mereka hanya membicarakan peringkat-peringkat.
Al-Harawi mengajukan argumen untuk mencegah terjadinya ungkapan-ungkapan yang ganjil, yaitu ketenteraman yang timbul dari ridha Allah. Dus, ungkapan-ungkapan ganjil itu muncul dari ketidaktenteraman. Kalau ketenteraman itu terpaku dalam kalbu, maka hal itu akan menjadi penghalang dari keganjilan ucapan atau segala penyebabnya. Bahkan ketenteraman itu juga akan menjadikan seorang sufi sampai pada batas tingkatannya, yakni pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ia tidak akan, walaupun sekali, melewati kedudukannya sebagai seorang hamba. Karena ketenteraman itu hanya diturunkan kepada nabi atau wali, maka—menurut al-Harawi—al-Bisthami dan al-Hallaj bukanlah seorang wali.
Di mana letak kesunnian al-Harawi? Nampaknya terletak dari pendapatnya tentang tingkatan-tingkatan rohaniah para sufi yang mempunyai awal dan akhir. Tingkatan rohaniah akhir, menurutnya, tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan dan keikutan terhadap al-Sunnah.
Di samping pendapatnya ini, tentunya ada pertimbangan lain untuk memasukkannya ke dalam kelompok tasawuf sunni. Dan … wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb.
Ciputat, 260390
Keterangan: Tulisan ini adalah makalah S1 saya yang saya ketik kembali.

2 komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates