Rabu, 28 Februari 2018

HIKMAH DAN MAKNA BERIMAN KEPADA QADHA DAN QADAR



HIKMAH DAN MAKNA BERIMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
 Oleh Dimyati Sajari

A.   Pendahuluan
Istilah yang digunakan oleh umat Islam, seperti Syaikh Thâhir bin Shâlih al-Jazâirî dalam kitabnya al-Jawâhiru al-Kalâmiyyah, untuk Rukun Iman yang keenam adalah Iman kepada Qadha dan Qadar (الإيمان بالقضاء والقدر). Akan tetapi, ada pula ulama yang hanya menggunakan istilah Qadar, semisal Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.   Istilah yang digunakan oleh kedua ulama ini, tampaknya, mengacu kepada istilah yang digunakan dalam hadis Rasulullah SAW yang hanya menyebut al-Qadar atau bil qadari (بالقدر), tepatnya bil qadari khairihi wa syarrihi (بالقدر خيره وشره). Imâm Abû al-Hasan ‘Ali bin Ismâîl al-Asy‘arî dalam kitabnya al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah menggunakan istilah Qadar (القدر). Bagi ulama yang mengunakan istilah Iman kepada Qadha dan Qadar, barangkali, berdasarkan pembedaan terhadap pengertian kedua istilah ini. Namun begitu, ada juga yang menggunakan istilah Taqdir, seperti Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif, yang pengertiannya mencakup istilah Qadha dan Qadar.
B.   Pengertian Beriman kepada Qadha dan Qadar
Adapun pengertian Qadha dan Qadar, menurut Syaikh Thâhir bin Shâlih al-Jazâirî, adalah meyakini bahwa semua perbuatan manusia, baik yang bersifat pilihan (ikhtiyâriyyah, اختياريّة) maupun yang bersifat paksaan (idhthirâriyyah, اضطراريّة) yang telah terjadi dan akan terjadi semuanya berdasarkan kehendak, ketentuan dan pengetahuan Allah sejak azali, sejak sebelum adanya waktu atau sejak sebelum diciptakannya segala sesuatu. Sementara Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memaksudkan istilah Qadar yang baik maupun yang buruk dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT untuk seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijaksanaan-Nya.
Kemudian, Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif mengatakan bahwa makna beriman kepada Taqdir adalah mempercayai secara pasti kalau segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, semuanya adalah dengan Qadha dan Qadar Allah. Menurut Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif, Dialah Yang Maha Berbuat terhadap apa yang Dia kehendaki, sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya, tidak suatupun di alam semesta ini yang keluar dari taqdir-Nya, dan tidak akan berjalan kecuali berdasarkan pengaturan-Nya, tidak seorangpun yang bisa mengelak dari taqdir yang telah ditentukan, seseorang tidak akan melampaui apa yang telah digariskan di Lauh Mahfuzh. Dialah yang menciptakan perbuatan hamba, ketaatan dan kemaksiatan. Meskipun begitu, kata Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif, Dia memerintah dan melarang hamba-Nya, dan dijadikannya mereka menentukan pilihan untuk perbuatan mereka sendiri, mereka tidak dipaksa untuk melakukannya, tetapi semuanya terjadi sesuai dengan kemampuan dan kehendak mereka, dan Allah yang menciptakan mereka serta yang menciptakan kemampuan mereka… Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif menyatakan pula bahwa taqdir adalah ketentuan Allah terhadap segenap makhluk sesuai dengan ilmu-Nya terhadap segala sesuatu itu sejak sebelumnya serta sesuai dengan hikmah-Nya.
Sementara itu, Imâm Abû al-Hasan ‘Ali bin Ismâîl al-Asy‘arî lebih menekankan segi pengetahuan dan penciptaan perbuatan manusia. Menurut al-Asy‘arî, Allah itu mengetahui segalanya; mengetahui segala kejadian sebelum hal itu terjadi; Allah mengetahui segala sesuatu sejak azali. Allah pula yang menciptakan dan menentukan perbuatan-perbuatan manusia, bukan manusia itu sendiri yang menciptakan dan menentukan perbuatannya.
Selanjutnya, bagi yang membedakan antara Qadha dan Qadar memahami Qadha sebagai keputusan atau ketetapan Allah terhadap suatu rencana yang telah ditentukan dan Qadar sebagai suatu rencana Allah yang telah ditentukan yang telah terjadi, yang sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Di sinilah pembedaan terhadap keduanya menjadi sulit sehingga ada yang memahami taqdir itu qadha dan ada pula yang memahami qadha itu taqdir atau qadar. Ada juga yang memandang Qadha itu lebih dulu dibanding Qadar dikarenakan Qadar dipahaminya sebagai keputusan atau ketetapan terhadap salah satu rencana Allah yang telah dilaksanakan, sementara Qadha merupakan ketetapan akan suatu rencana yang ditetapkan di ‘zaman’ azali. Akan tetapi, terlepas dari pembedaan makna Qadha dan Qadar ini, yang jelas bahwa segala sesuatu itu terjadi karena Qudrat dan Iradat Allah, yang sesuai dengan Qadha dan Qadar Allah SWT.
C.   Macam dan Tingkatan Qadha dan Qadar
Berikutnya, ada yang membagi taqdir (qadar) itu menjadi dua macam, yaitu Taqdir Mubram dan Taqdir Mu‘allaq. Taqdir Mubram adalah ketentuan Allah yang tidak dihubungkan dengan ihktiar (usaha) manusia, sedangkan Taqdir Mu‘allaq merupakan ketentuan Allah yang dihubungkan dengan ikhtiar manusia. Hanya saja, manusia tidak dapat mengetahui mana yang sebenarnya Taqdir Mubram dan mana yang Taqdir Mu‘allaq, sehingga manusia tetap dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
            Dalam kaitannya dengan Qadha dan Qadar itu Abdul Qadir Jawas dan Al-Utsaimin membaginya menjadi empat tingkatan, yaitu Ilmu (al-‘Ilm), Kitâbah (penulisan, al-Kitâbah), Masyî’ah (kehendak, al-Masyî’ah), dan Khalq (penciptaan, al-Khalq).
Pertama, Ilmu.
            Tingkatan pertama adalah Ilmu (al-‘Ilm), yaitu mengimani bahwa Allah dengan ilmu-Nya, yang merupakan Sifat-Nya yang azali dan abadi, Maha Mengetahui akan segala sesuatu, Maha Mengetahui semua yang ada di langit dan di bumi dengan seluruh isinya, apa yang ada di antara langit dan bumi, baik secara global (garis besar, kulliyyah) maupun terperinci (juz’iyyah, tafshîliyyah), baik yang belum terjadi maupun yang telah terjadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya tidak tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang diketahui-Nya. Allah berfirman:
وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ويعلم ما فى البرّ والبحر وما تسقط مِن ورقةٍ إلاّ يعلمها ولا حبّةٍ فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا يابسٍ إلا فى كِتب مّبين
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)" (QS al-An‘am: 59).
Kedua, Penulisan (al-Kitâbah).
            Tingkatan kedua adalah penulisan, yakni meyakini bahwa Allah SWT telah mencatat seluruh taqdir makhluk atau semua yang terjadi di lauh mahfûzh. Allah SWT berfirman:
ألم تعلم أنّ الله يعلم ما فى السماء والأرض إنّ ذلك فى كتاب إنّ ذلك على الله يسير
            Artinya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS al-Hajj: 70).
            Rasulullah SAW bersabda:
كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرضَ بخمسين ألفَ سنةٍ
             Artinya: “Allah telah mencatat seluruh taqdir makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi” (HR Muslim, al-Turmudzi, Ahmad, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash).
إنّ أوّل ما خلق الله القلمَ، قال له: اُكاب! قال: ربِّ وماذا أَكتبُ؟ قال: اكتبْ مقاديرَ كلِّ شيء حتّى تقومَ الساعةُ
Artinya: “Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah Qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Qalam menjawab: ‘Wahai Tuhanku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman: ‘Tulislah taqdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat’” (HR Abu Dawud, al-Turmudzi, Ahmad).
Ketiga, Kehendak (al-Ma‘îsyah).
            Tingkatan yang ketiga adalah kehendak, yaitu mengimani bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Segala yang ada dan segala yang terjadi di langit dan di bumi tiada yang tanpa kehendak-Nya. Allah SWT berfirman, satu di antaranya:
قل اللهم ملك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعزّ من تشاء وتذلّ من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيء قديرٌ. تولج الّيل فى النهار وتولج النهار فى اليل وتخرج الحىَّ من الميت وتخرج الميت من الحىّ وترزق من تشاء بغير حساب
Artinya: Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)" (QS Ali Imran: 26-27).
            Rasulullah SAW bersabda:
لو أنّ اللهَ عذّب أهلَ سماواته وأهل أرضه لَعذَّبهم وهو غيرُ ظالمٍ لهم ولو رحِمهم لكانتْ رَحمتُه خيرًا لهم مِن أعمالهم...
   Artinya: “Jika seandainya Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allah tidak berbuat zhalim dengan menyiksa mereka. Jika seandainya Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu benar-benar lebih baik bagi mereka dibandingkan amal perbuatan mereka…” (HR Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad).
Keempat, Penciptaan (al-Khalq).
            Tingkatan yang keempat adalah penciptaan, yaitu meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu, pencipta segala yang ada, dan tidak ada pencipta selain Dia. Bahkan, bukan saja Allah yang menciptakan manusia, tetapi Allah pula yang menciptakan perbuatan manusia, baik ataupun buruk. Allah SWT berfirman:
اللهُ خلق كلِّ شىء وهو على كل شىء وكيل
             Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (QS al-Zumar: 62).
والله خلقكم وما تعملون
             Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu" (QS al-Shaffat: 96).
            Meski begitu, manusia mempunyai kekuasaan atas perbuatan mereka, yang baik maupun yang buruk, dan merekapun memiliki keinginan. Hanya saja, kekuasaan (kemampuan) dan keinginan itu bukan manusia yang menciptakannya, tetapi Allah-lah yang menciptakan kemampuan dan keinginan manusia. Hal ini sejalan dengan Firman-Nya:
لِمن شاء منكم أن يستقيم. وما تشاءون إلاّ أن يشاء اللهُ ربُّ العلمين.
             Artinya: “(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (QS al-Takwir: 28-29).
وما تشاءون إلاّ أن يشاء اللهُ إنّ اللهَ كان عليما حكيما
          Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS al-Insa: 30).
            Oleh karena itu, yang dimaksud “Allah pula yang menciptakan perbuatan kamu” adalah Allah-lah yang memberikan kepada manusia kehendak dan kemampuan di dalam perbuatan mereka. Pemberian Tuhan ini, pada gilirannya, merupakan milik manusia itu sendiri. Dengan demikian, perbuatan manusia pada dasarnya dilakukannya berdasarkan kehendak dan kemampuannya sendiri. Dasarnya adalah: Pertama, di dalam al-Qur’an terdapat perintah dan larangan. Seandainya tidak diberi kehendak dan kemampuan, sudah tentu tidak ada perintah dan larangan, dikarenakan perintah dan larangan ini akan menjadi sebuah beban yang berada di luar kesanggupan manusia. Hal ini, menurut al-Utsaimin, tidak sesuai dengan hikmah-kebijaksanaan serta rahmat Allah dan tidak sesuai dengan kebenaran berita-Nya yang tersebut dalam Firman-Nya:
لايكلف الله نفسا إلا وسعها
             Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS al-Baqarah: 286).
            Kedua, adanya pujian kepada orang yang berbuat baik dan celaan terhadap orang yang berbuat jahat. Dalam pandangan al-Utsaimin, jika perbuatan itu terjadi tidak dengan kemauan dan kemampuan manusia, maka pujian kepada orang yang berbuat baik adalah tindakan yang sia-sia dan penghukuman terhadap orang yang berbuat jahat adalah tindakan yang zhalim. Padahal, tegas al-Utsaimin, Allah SWT tidaklah berbuat sesuatu yang sia-sia dan yang zhalim.
            Ketiga, Allah SWT telah mengutus para Rasul sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah, seperti Firman-Nya:
رُسلا مبشّرين ومنذرين لئلاّ يكونَ للنّاس على الله حجّةٌ بعد الرُّسل
Artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (QS al-Nisa’: 165).
Seandainya perbuatan yang dilakukan manusia itu terjadi tidak dengan kehendak dan kemampuannya, maka tidak mungkin Allah menyatakan “supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah” bila tidak diutus para rasul. Namun, ayat itu menunjukkan bahwa, sekiranya tidak diutus para rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan, maka manusia yang hendak membantah Allah akan mampu melakukan perbuatan membantah Allah dan hal ini menandakan bahwa manusia itu memiliki kemauan dan kemampuan, yakni kemauan dan kemampuan membantah Allah.
Keempat, setiap manusia menyadari bahwa ketika dia melakukan sesuatu tidak ada yang merasa kalau dirinya dipaksa oleh-Nya. Kalau dia merasa ada yang memaksa, maka yang memaksa itu adalah orang lain, bukan Dia. Manusia mampu membedakan dengan nyata antara melakukan sesuatu perbuatan atas dasar keinginannya sendiri dengan perbuatan yang dia lakukan dikarenakan dipaksa orang lain. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi pelaku perbuatan maksiat untuk berdalih bahwa dia melakukan perbuatan maksiat disebabkan dia telah ditaqdirkan untuk melakukan perbuatan maksiat itu. Padahal, tidak seorang pun mampu mengetahui apakah perbuatannya itu merupakan taqdir atau bukan kecuali perbuatan itu telah dilakukan, sebagaimana Firman-Nya:
وما تدرى نفسٌ مّاذا تكسب غدًا
             Artinya: “… dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok…” (QS Luqman: 34).
            Kelima, di dalam al-Qur’an Allah SWT merintah manusia supaya mendatangi tempat bercocok tanam sesuai yang dikehendaki manusia sendiri dan, di ayat lain, menginformasikan bahwa orang yang menghendaki keberangkatan tentunya akan mempersiapkan-diri untuk keberangkatannya, semisal Firman Allah berikut:
فأْتوا حَرثكم أنّى شِئتم
             Artinya: “… maka datangilah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana yang kamu kehendaki…” (QS al-Baqarah: 223).
ولو أرادوا الخُروجَ لَأعدّوا له عُدَّةً
             Artinya: “Seandainya mereka menghendaki keberangkatan, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu…” (QS al-Taubah: 46).
            Dari kedua ayat itu dapat diketahui bahwa suatu perbuatan yang telah ditetapkan Allah, seperti mendatangi tempat bercocok tanam dan mempersiapkan bekal suatu kepergian, adalah atas dasar kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri. Hanya saja, tetap diyakini bahwa kemauan dan kemampuan itu merupakan ciptaan atau pemberian Tuhan. Manusia akan dimintai pertanggungan jawabnya atas dasar kehendak dan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya ini.
D.   Meyakini Adanya Qadha dan Qadar Allah
Dari uarian di atas dapat diketahui dan diyakini bahwa Qadha dan Qadar Allah itu memang benar adanya. Segala sesuatu terjadi sesuai Qadha dan Qadar-Nya, yakni segala sesuatu itu berada dalam pengetahuan-Nya, dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya, atas kehendak-Nya, dan Dia pula yang menciptakannya. Segala sesuatu tidak ada yang berada di luar bingkai empat tingkatan Qadha dan Qadar Allah ini. Akan tetapi, al-Jazâirî tidak menyebutkan aspek keempat dari empat tingkatan Qadha dan Qadar itu, yaitu aspek penciptaan, sehingga dia hanya menyebut aspek iradah, taqdir (ketentuan) dan ilmu-Nya. Al-Jazâirî mengatakan bahwa semua perbuatan, perkataan dan gerakan seorang manusia (mukallaf), baik maupun buruk, terjadi dikarenakan iradah, ketentuan (taqdir) dan pengetahuan Allah. Hanya saja, menurut al-Jazâirî, yang baik diridhai-Nya, sementara yang tidak baik tidak diridhai-Nya. Orang yang memiliki kebebasan untuk memilih antara melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk, maka orang yang melakukan perbuatan baik akan diberi pahala, tetapi yang melakukan perbuatan buruk atau jahat akan diberi siksa. Namun, Allah tidak menyiksa seseorang yang melakukan perbuatan jahat dikarenakan terpaksa melakukannya disebabkan Allah tidak pernah dan tidak akan berbuat zhalim terhadap hamba-Nya.
Walaupun al-Jazâirî tidak menyebutkan aspek penciptaan dalam hal Taqdir (Qadha dan Qadar), bukan berarti al-Jazâirî mengingkari adanya dimensi penciptaan perbuatan manusai dalam hal Qadha dan Qadar. Hal ini dikarenakan, sebagaimana dapat dilihat dari al-Qur’an, aspek Taqdir senantiasa mengikuti aspek penciptaan, yang berarti tidak akan ada Taqdir kalau tidak ada penciptaan. Misalnya, Allah berfirman:
وخلق كلّ شىئٍ فقدّره تقديرًا
            Artinya: “… dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS al-Furqan: 2).
            Ayat itu menjelaskan bahwa setelah Allah menciptakan segala sesuatu, maka Allah menentukan Taqdir segala sesuatu itu. Di ayat lain Allah menyatakan pula bahwa segala sesuatu itu ada ukurannya di sisi-Nya (وكُلُّ شىئٍ عنده بمقدارٍ, “dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya,” QS al-Ra’d: 8) dan dinyatakan bahwa Dialah yang menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-Nya serta yang menentukan kadar masing-masing ciptaan-Nya (الذى خلق فسوّى، والذى قدّر فهدى, “yang menciptakan dan menyempurnakan {penciptaan-Nya}, dan yang menentukan kadar {masing-masing} dan memberi petunjuk,” QS al-A’la: 2-3). Dengan demikian, persoalan Taqdir tidak dapat dilepaskan dari aspek penciptaan dan orang beriman mempercayai dimensi atau tingkatan penciptaan dalam hal Taqdir ini, di samping aspek pengetahuan-Nya, pencatatan-Nya (dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya), dan kehendak-Nya.
            Kepercayaan pada aspek pencatatan yang berkaitan dengan Qadha dan Qadar manusia dapat dilihat dari hadis Rasulullah SAW berikut:
انّ أحدكم يُجمع خَلقُه فى بطن أمه أربعين يوما نطفةً، ثم يكونُ علقةً مثلَ ذلك، ثم يكون مُضغةً مثل ذلك، ثم يَبعَث اللهُ إليه ملكا ويُؤمر بأربعِ كلماتٍ، ويُقال له: اكْتبْ عمله ورزقَه وأجلَه وشقىٌّ أو سعيدٌ ثم يُنفَخ فيه الرّوحُ، فإنّ الرجل منكم لَيعملُ بعمل أهل الجنّةحتّى لايكونَ بينه وبينها إلاّ ذِراعٌ فَيَسْبِقَ عليه الكتابُ فيعملَ بعمل أهل النار فَيَدْخُلُ النارَ وإنّ الرجلَ يعملُ بعمل أهل النار حتّى ما يكونَ بينه وبينها إلاّ ذراعٌ فيسبقَ عليه الكتابُ فيعملُ بعمل أهل الجنة فيدخلُ الجنةَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Sesungguhnya seseorang dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah, kemudian dalam bentuk segumpal darah selama empat puluh hari, kemudian dalam bentuk segumpal daging selama empat puluh hari, lalu Allah mengutus seorang malaikat kepadanya dan merintah malaikat itu untuk menulis empat kalimat untuknya, yaitu amalnya, rizkinya, ajalnya dan sengsara atau bahagianya, lalu ditiupkan ruh ke dalamnya. Sungguh seseorang beramal dengan amal ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga tinggal sejengkal, tetapi catatan sebelumnya (di Lauh Mahfuzh) dia beramal dengan amal ahli neraka, maka (beramallah di akhir hidupnya dengan amal ahli nereka sehingga dia) dimasukkan ke dalam neraka. (Sebaliknya), sungguh seseorang beramal dengan amal ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka tinggal sejengkal, tetapi catatan sebelumnya (di Lauh Mahfuzh) dia beramal dengan amal ahli surga, maka (beramallah di akhir hidupnya dengan amal ahli surga sehingga dia) dimasukkan ke dalam surga” (HR Bukhari-Muslim).
إنّ الرجل منكم لَيعملُ بعمل أهل الجنّة وأنّه مكتوب فى الكتاب مِن أهل النار، فإذا كان قبل موته تحول  فعملَ بعمل أهل النار فمات فدخل النار،َ  وإن الرجل ليعمل بعمل أهل النار وإنّه لمكتوب فى الكتاب أنه مِن أهل الجنة، فإذا كان قبل موته تحول  فعملَ بعمل أهل الجنة فمات فدخل الجنة  (رواه أحمد)
Artinya: “Sungguh seseorang di antara kamu beramal dengan amal ahli sorga, tetapi tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai ahli neraka, maka sebelum meninggalnya dia akan beramal dengan amal ahli nereka sehingga dia meninggal dan masuk neraka. (Sebaliknya), sungguh seseorang di antara kamu beramal dengan amal ahli neraka, tetapi tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai ahli surga, maka sebelum meninggalnya dia akan beramal dengan amal ahli surga sehingga dia meninggal dan masuk surga” (HR Ahmad).
Dari hadis di atas dapat dilihat adanya empat hal yang berkaitan dengan Taqdir (Qadha dan Qadar) manusia, yaitu amalnya, rizkinya, ajalnya, dan bahagia atau sengsaranya. Apa yang telah ditulis di Lauh Mahfuzh ini tidak dapat berubah atau dirubah, karena sudah merupakan ketetapan Allah SWT sejak awal mulanya. Rasulullah SAW mencontohkan tentang bahagia-sengsara yang berkenaan dengan surga-neraka. Dinyatakan bahwa seseorang yang beramal dengan amal ahli surga sehingga jarak antara dia dengan surga tinggal sehasta, tetapi catatan di Lauh Mahfuzhnya termasuk ahli neraka, maka di akhir hidupnya diapun beramal dengan amal ahli neraka sehingga dia mati su’ul khatimah dan masuk neraka. Sebaliknya, orang yang beramal dengan amal ahli neraka sehingga jarak antara dia dengan neraka tinggal sehasta, tetapi catatan di Lauh Mahfuzh dia termasuk ahli surga, maka di penghujung hidupnya diapun beramal sebagaimana amal ahli surga sehingga dia mati khusnul khatimah dan masuk surga. Inilah catatan Taqdir yang tidak akan berubah atau dirubah dan orang beriman mempercayai kebenarannya. Hanya saja, barangkali, informasi dari Rasulullah itu dapat diambil pelajaran, yakni yang sudah jadi orang baik jangan merasa jadi orang baik dikarenakan perasaan ini akan membawa kesombongan dan kesombongan akan membuat orang baik terjatuh (su’ul khatimah dan masuk neraka). Sebaliknya, orang yang selamanya berperilaku tidak baik jangan berputus asa disebabkan sebesar-besarnya dosa seorang anak manusia tetap tidak akan melebihi besarnya ampunan Allah. Ketidakputusasaan atas ampunan Allah akan membuatnya bertaubat dan beramal shalih, sehingga dia akan khusnul khatimah dan masuk surga.
E.    Implementasi Beriman kepada Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Sehari-hari
Keimanan bahwa segala sesuatu itu, baik maupun buruk, terjadi sesuai Qadha dan Qadar-Nya, yakni segala sesuatu itu berada dalam pengetahuan-Nya, telah dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya, atas kehendak-Nya, dan Dia pula yang menciptakannya, haruslah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Caranya adalah keimanan terhadap Qadha dan Qadar Allah itu haruslah memenuhi seluruh relung-relung hatinya sehingga tidak ada keimanan lain yang bersarang di dalam hati. Penuhnya keimanan di dalam hati terhadap Qadha dan Qadar secara otomatis akan terpantul atau tercermin dalam cara pandang, dalam ucapan, dan dalam perbuatan sehari-hari.
Orang yang benar-benar percaya kepada Qadha dan Qadar secara otomatis akan tercermin dari cara pandangnya, perkataan dan perbuatannya: akan selalu berpikiran positif, bersikap optimis, selalu berorientasi ke depan serta akan selalu berkata dan berbuat yang baik. Kalau ada orang yang melakukan suatu kejahatan dengan dalih taqdir, maka pada dasarnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar Allah dikarenakan setiap orang tidak ada yang tahu taqdirnya baik atau buruk sebelum perbuatan itu dilakukan. Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Ja’far ath-Thahawi, taqdir itu merupakan rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh siapapun, termasuk oleh para malaikat yang dekat dengan-Nya atau oleh Nabi yang diutus-Nya, sehingga seseorang tidak dapat melakukan kejahatan dengan dalih taqdir bahwa dia diciptakan untuk melakukan kejahatan.
Untuk itu, orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar hendaknya mewujudkannya dalam kehidupan kesehariannya dengan senantiasa berprasangka baik kepada Allah bahwa dia diciptakan oleh-Nya untuk berbuat baik, bukan untuk berbuat jahat. Orang yang suka menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Allah, pada dasarnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar disebabkan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar tahu bahwa pangkal kesalahan itu selalu bukan dari orang lain, apalagi dari Allah, tapi dari dirinya sendiri. Dalam kasus ini, cara mengimplementasikan keimanan kepada Qadha dan Qadar dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara senantiasa melakukan instropeksi diri (muhâsabah an-nafs), bukan menginstropeksi orang lain. Orang yang senang berpikiran negatif terhadap orang lain, bahkan berpikiran negatif terhadap Allah, sebenarnya dia tidak beriman kepada Qadha dan Qadar meski secara lisan dia mengaku atau menyatakan beriman kepada Qadha dan Qadar disebabkan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar mengetahui bahwa pemikiran negatif itu sumbernya adalah ketidakmampuan menangkap sisi positif dari sesuatu.
Cara menerapkan keberimanan kepada Qadha dan Qadar Allah dalam kasus itu adalah senantiasa belajar untuk menggali sisi positif (hikmah) dari segala hal yang terjadi disebabkan Allah telah memutuskan bahwa apapun kejadiannya tersimpan sisi-sisi positif di dalamnya. Bahkan, dia harus belajar untuk menyadari bahwa kenegatifan orang lain pun dapat berupa nilai positif bagi dirinya dikarenakan kenegatifan orang lainpun terdapat nilai positifnya, tergantung bagaimana memandangnya. Misalnya, tidak shalatnya orang beriman yang berada di sekeliling rumahnya dapat bernilai posistif bagi dirinya kalau hal itu justeru dijadikan motivasi bagi dirinya untuk meningkatkan dakwahnya. Namun, kalau tidak shalatnya tetangga itu tidak dijadikannya sebagai motivasi untuk meningkatkan dakwahnya, maka yang terjadi hanyalah akan memarahi atau menjelek-jelekkan tetangganya itu. Bila sudah begini, maka yang berpikiran dan berperilaku negatif justeru dirinya, bukan orang lain.
Kemudian, orang yang mudah berputus asa, malas berusaha dan mudah pasrah pada nasib (taqdir) sebenarnyalah dia tidak percaya akan Qadha dan Qadar disebabkan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar tidak akan mudah berputus asa, tidak akan malas berusaha, dan tidak akan gampang berpasrah pada nasib. Cara mengimplementasikan Iman kepada Qadha dan Qadar dalam hal ini adalah dengan meningkatkan kesadaran bahwa sudah menjadi ketetapan-Nya bila hidup ini merupakan medan perjuangan tanpa akhir, kecuali kematian mengakhirinya. Kesadaran bahwa Allah telah menetapkan kehidupan ini sebagai medan perjuangan tanpa akhir, sekaligus menyadari bahwa yang namanya perjuangan itu pasti penuh dengan rintangan dan tantangan, inilah yang akan membuat orang beriman tidak mudah putus asa, tidak malas berusaha dan tidak gampang berpasrah pada nasib. Orang yang gemar berkata kotor, berkata jelek, mengghibah, menfitnah dan menyakiti orang lain dengan lisannya pada hakikatnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar disebabkan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar dia akan takut terhadap akibat buruk dari perbuatan buruknya.
Orang beriman memang harus yakin bahwa semua perbuatannya, termasuk perbuatan buruknya, adalah Allah yang menciptakannya. Hanya saja, seperti dikemukakan di atas, seseorang tidak tahu persis apa taqdirnya, baik atau buruk, sehingga orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar tidak akan merealisasikan keimanannya pada hal-hal yang buruk, semisal berkata kotor, berkata jelek, mengghibah, menfitnah, mengadu domba, dan menyakiti orang lain dengan lisannya, tetapi justeru pada hal-hal yang baik. Orang yang gembira berbuat jahat dan menjahati orang lain pada dasarnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar Allah dikarenakan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar tidak akan berbuat jahat, apalagi menjahati orang lain. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar Allah justeru tidak akan berbuat jahat dan menjahati orang lain serta tidak akan berfikiran negatif, baik terhadap sesama ataupun terhadap Tuhan, karena dia akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan potensi yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa Allah bukan saja yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya, termasuk di dalamnya manusia, tetapi yang menciptakan kehendak dan perbuatan manusia pun juga Allah.
Orang beriman memang percaya bahwa kehendak dan perbuatan manusia itu, baik maupun buruk, adalah Allah yang menciptakannya. Namun, kepercayaan ini juga diimplementasikan lebih lanjut dengan meyakini bahwa keinginan dan perbuatan yang diciptakan Allah itu dianugerahkan kepada manusia sehingga manusia memperoleh (kasb) keinginan dan perbuatan yang diciptakan Allah itu. Ketika manusia telah memperoleh keinginan dan perbuatan yang diciptakan Allah itu, maka keinginan (kehendak) dan perbuatan itu menjadi milik manusia. Tatkala hal itu telah menjadi milik manusia, maka manusia memiliki hak ikhtiyar, yakni kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya, baik atau buruk. Orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar Allah sewaktu dihadapkan pada pilihan baik dan buruk, pastilah dia akan memilih yang baik. Akan tetapi, orang yang tidak beriman atau tidak benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar bisa jadi dia akan memilih yang buruk. Kebebasan memilih inilah yang menyebabkan seseorang diganjar sesuai dengan pilihannya: yang memilih kebaikan diganjar dengan pahala (sorga) dan yang memilih keburukan/kejahatan diganjar dengan dosa (neraka). Di sinilah orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar hendaknya mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan memilih, menentukan dan merealisasikan hal-hal yang positif atau hal-hal yang baik di setiap detik kehidupannya.  
Pengimplementasian kepercayaan terhadap Qadha dan Qadar dalam kehidupan sehari-hari dapat pula dilihat dari adanya pengaruh Qadha dan Qadar terhadap manusia. Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif menyebutkan tujuh pengaruh beriman kepada Taqdir (Qadha dan Qadar), yaitu pertama, Taqdir merupakan salah satu sebab yang membuat seseorang bersemangat dalam beramal dan berusaha untuk mencapai keridhaan Allah dalam hidup ini. Beriman kepada Taqdir merupakan pendorong yang kuat kepada setiap orang beriman untuk beramal dan melakukan perkara-perkara besar dengan penuh keteguhan dan keyakinan.
Kedua, beriman kepada Qadha dan Qadar menjadikan orang beriman mampu mengetahui kemampuan dirinya, sehingga dia tidak sombong, tidak angkuh dan tidak tinggi hati disebabkan dia tidak tahu apa yang menjadi taqdirnya dan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depannya. Di sinilah orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar senantiasa mengakui kelemahannya dan akan senantiasa kebutuhannya kepada Tuhan.
Ketiga, beriman kepada Qadha dan Qadar dapat mengerem seseorang dari kesombongan dan lupa diri ketika mendapatkan berbagai anugerah, sekaligus mengerem seseorang dari kesedihan berlebihan tatkala mendapatkan keburukan. Orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar yakin bahwa apapun yang terjadi telah ditentukan dan diketahui oleh-Nya.
Keempat, beriman kepada Qadha dan Qadar dapat menghilangkan berbagai penyakit sosial yang menimpa masyarakat dan menghilangkan kedengkian di antara sesama orang beriman. Orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar tidak mungkin iri dan dengki atas berbagai karunia yang dianugerahkan kepada sesamanya, sebab dia tahu bahwa semuanya telah dicatat dan ditentukan oleh Allah SWT dan tidak mungkin dia akan menentang Taqdir.
Kelima, beriman kepada Qadha dan Qadar dapat menumbuhkan keberanian dan keteguhan hati untuk menghadapi berbagai halangan dan rintangan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran terhadap kematian, karena dia tahu bahwa ajal itu telah ditulis dan ditentukan, yang tidak mungkin dipercepat atau diperlambat meski sesaat.
Keenam, beriman kepada Qadha dan Qadar akan menanamkan berbagai hakikat iman dalam hati setiap orang beriman. Keimanan ini akan menuntun untuk selalu memohon pertolongan kepada-Nya serta untuk selalu bersandar dan bertawakkal kepada-Nya tanpa meninggalkan adanya ikhitiar. Ia pun tidak hanya akan senantiasa memohon pertolongan-Nya, tetapi juga senantiasa berbuat baik terhadap sesamanya.
Ketujuh, beriman kepada Qadha dan Qadar menjadikannya tidak takut terhadap orang-orang kafir dan zhalim di dalam menjalankan dakwah, termasuk tidak takut terhadap cercaan orang-orang yang mencerca atau fitnahan orang-orang yang iri dan dengki. Orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar tidak kenal putus asa untuk senantiasa menjelaskan hakikat keimanan dan merealisasikan keimanannya dalam kehidupan kesehariannya. Orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar akan benar-benar berpasrah diri kepada-Nya, karena dia sadar bahwa dirinya tidak punya apa-apa, termasuk nyawa yang ada dalam tubuhnya pun disadari bukan miliknya, tapi milik-Nya, yang dia hanya punya hak guna untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Terimplementasinya keimanan kepada Qadha dan Qadar terlihat pula dari hasil dan manfaat Iman kepada Qadha dan Qadar, sebagaimana dikemukakan al-Utsaimin, yakni pertama, bertawakkal kepada Allah SWT setiap melakukan suatu usaha, karena usaha yang dilakukannya dan hasil yang diharapkan akan diperoleh, semuanya terjadi dengan Qadha dan Qadar Allah.
Kedua, memperoleh ketenangan jiwa dan kedamaian hati, karena dia mengetahui bahwa semua terjadi dengan Qadha (ketentuan) Allah SWT dan apa yang ditaqdirkan akan terjadi mesti akan terjadi walaupun tidak diinginkannya, maka tenanglah jiwanya dan damailah jiwanya serta ridha dengan Qadha (ketentuan) Tuhannya. Oleh sebab itu, tidak seorang pun yang lebih bahagia hidupnya, lebih tenang jiwanya dan lebih damai batinnya daripada orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar.
Ketiga, tidak bersikap sombong dan membanggakan diri ketika memperoleh apa yang diinginkannya, karena apa yang diperolehnya itu adalah karunia yang diberikan Allah melalui sebab-sebab kebaikan dan kesuksesan yang telah ditaqdirkan bagi dirinya. Dengan demikian, dia senantiasa akan bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya tersebut dan tidak membanggakan diri.
Keempat, tidak merasa sedih dan kesal hati di saat apa yang diinginkan tidak tercapai atau apa yang tidak disenangi menimpa dirinya, karena hal itu terjadi dengan Qadha Allah SWT, yang hanya milik-Nya kekuasaan di langit dan di bumi, dan Qadha Allah itu pasti terjadi. Untuk itu, dia senantiasa akan bersabar dalam menghadapinya dan mengharapkan pahalanya di sisi Allah SWT.
Itulah beberapa implementasi keimanan kepada Qadha dan Qadar Allah SWT dalam konteks keseluruhan aspek kehidupan keseharian. Sungguh bermakna keimanan kepada Qadha dan Qadar Allah SWT., sehingga orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar Allah, disatupadukan dengan keimanan kepada kelima Rukun Iman lainnya, akan menghasilkan pribadi-pribadi orang beriman yang benar-benar bertaqwa kepada Allah SWT.
F.    Kesimpulan
-       Beriman kepada Qadha dan Qadar berarti meyakini bahwa semua perbuatan manusia, baik yang bersifat pilihan (ikhtiyâriyyah, اختياريّة) maupun yang bersifat paksaan (idhthirâriyyah, اضطراريّة), yang baik maupun yang buruk, yang telah terjadi maupun yang akan terjadi, semuanya berdasarkan kehendak, ketentuan dan pengetahuan Allah sejak azali, sejak sebelum adanya waktu atau sejak sebelum diciptakannya segala sesuatu.
-       Qadha adalah keputusan atau ketetapan Allah terhadap suatu rencana yang telah ditentukan sejak azali dan Qadar adalah suatu rencana Allah yang telah ditentukan yang telah terjadi, yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di ‘zaman’ azali.
-       Taqdir (qadar) itu dua macam, yaitu Taqdir Mubram dan Taqdir Mu‘allaq. Taqdir Mubram adalah ketentuan Allah yang tidak dihubungkan dengan ihktiar (usaha) manusia, sedangkan Taqdir Mu‘allaq merupakan ketentuan Allah yang dihubungkan dengan ikhtiar manusia. Hanya saja, manusia tidak dapat mengetahui mana yang sebenarnya Taqdir Mubram dan mana yang Taqdir Mu‘allaq, sehingga manusia tetap dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
-       Allah yang menciptakan kehendak dan perbuatan manusia, yang kemudian dianugerahkan kepada manusia sehingga manusia memperoleh (kasb) kehendak dan perbuatan yang telah diciptakan Allah untuknya.
-       Qadha dan Qadar Allah itu benar adanya. Segala sesuatu, baik atau buruk, terjadi sesuai Qadha dan Qadar-Nya, yakni segala sesuatu itu berada dalam pengetahuan-Nya, dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya, atas kehendak-Nya, dan Dia pula yang menciptakannya.
-       Cara mengimplementasikan Iman kepada Qadha dan Qadar dalam kehidupan sehari-hari adalah menjadikan keimanan terhadap Qadha dan Qadar Allah itu memenuhi seluruh relung-relung hatinya sehingga tidak ada keimanan lain yang bersarang di dalam hati. Penuhnya keimanan di dalam hati terhadap Qadha dan Qadar secara otomatis akan terpantul atau tercermin dalam cara pandang, dalam ucapan, dan dalam perbuatan sehari-hari.
-       Beriman kepada Qadha dan Qadar merupakan pendorong yang kuat kepada setiap orang beriman untuk beramal dan melakukan perkara-perkara besar dengan penuh keteguhan dan keyakinan; menjadikan orang beriman tidak sombong, tidak angkuh dan tidak tinggi hati; dapat mengerem seseorang dari kesombongan dan lupa diri ketika mendapatkan berbagai anugerah, sekaligus mengerem seseorang dari kesedihan berlebihan tatkala mendapatkan keburukan; dapat menghilangkan berbagai penyakit sosial yang menimpa masyarakat dan menghilangkan kedengkian di antara sesama orang beriman; dapat menumbuhkan keberanian dan keteguhan hati untuk menghadapi berbagai halangan dan rintangan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran terhadap kematian; menanamkan berbagai hakikat iman dalam hati setiap orang beriman; menjadikan tidak takut terhadap orang-orang kafir dan zhalim di dalam menjalankan dakwah; tidak kenal putus asa, berpasrah diri kepada-Nya serta jiwanya tenang dan damai.
Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates