HIKMAH DAN MAKNA BERIMAN KEPADA QADHA
DAN QADAR
Oleh Dimyati Sajari
A.
Pendahuluan
Istilah yang digunakan oleh umat
Islam, seperti Syaikh Thâhir bin Shâlih al-Jazâirî dalam
kitabnya al-Jawâhiru al-Kalâmiyyah, untuk Rukun Iman yang keenam adalah
Iman kepada Qadha dan Qadar (الإيمان بالقضاء والقدر). Akan tetapi, ada pula ulama
yang hanya menggunakan istilah Qadar, semisal Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Istilah yang digunakan oleh kedua ulama ini, tampaknya, mengacu kepada
istilah yang digunakan dalam hadis Rasulullah SAW yang hanya menyebut al-Qadar
atau bil qadari (بالقدر), tepatnya bil qadari
khairihi wa syarrihi (بالقدر خيره وشره). Imâm Abû al-Hasan ‘Ali bin Ismâ’îl al-Asy‘arî dalam kitabnya al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah menggunakan istilah Qadar (القدر). Bagi ulama yang mengunakan
istilah Iman kepada Qadha dan Qadar, barangkali, berdasarkan pembedaan terhadap
pengertian kedua istilah ini. Namun begitu, ada juga yang menggunakan istilah
Taqdir, seperti Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif, yang pengertiannya
mencakup istilah Qadha dan Qadar.
B.
Pengertian Beriman kepada Qadha dan Qadar
Adapun pengertian Qadha dan Qadar,
menurut Syaikh Thâhir bin Shâlih al-Jazâirî, adalah meyakini bahwa semua perbuatan manusia, baik yang bersifat
pilihan (ikhtiyâriyyah, اختياريّة) maupun yang bersifat paksaan (idhthirâriyyah,
اضطراريّة) yang
telah terjadi dan akan terjadi semuanya berdasarkan kehendak, ketentuan dan
pengetahuan Allah sejak azali, sejak sebelum adanya waktu atau sejak sebelum
diciptakannya segala sesuatu. Sementara Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memaksudkan istilah
Qadar yang baik maupun yang buruk dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah
SWT untuk seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah
kebijaksanaan-Nya.
Kemudian, Abdul Aziz bin Muhammad Ali
Abdul Lathif mengatakan bahwa makna beriman kepada Taqdir adalah mempercayai
secara pasti kalau segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, semuanya adalah
dengan Qadha dan Qadar Allah. Menurut Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif,
Dialah Yang Maha Berbuat terhadap apa yang Dia kehendaki, sesuatu tidak akan
terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, tidak ada sesuatupun yang keluar dari
kehendak-Nya, tidak suatupun di alam semesta ini yang keluar dari taqdir-Nya,
dan tidak akan berjalan kecuali berdasarkan pengaturan-Nya, tidak seorangpun
yang bisa mengelak dari taqdir yang telah ditentukan, seseorang tidak akan
melampaui apa yang telah digariskan di Lauh Mahfuzh. Dialah yang
menciptakan perbuatan hamba, ketaatan dan kemaksiatan. Meskipun begitu, kata Abdul
Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif, Dia memerintah dan melarang hamba-Nya, dan
dijadikannya mereka menentukan pilihan untuk perbuatan mereka sendiri, mereka
tidak dipaksa untuk melakukannya, tetapi semuanya terjadi sesuai dengan
kemampuan dan kehendak mereka, dan Allah yang menciptakan mereka serta yang
menciptakan kemampuan mereka… Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul Lathif
menyatakan pula bahwa taqdir adalah ketentuan Allah terhadap segenap makhluk
sesuai dengan ilmu-Nya terhadap segala sesuatu itu sejak sebelumnya serta
sesuai dengan hikmah-Nya.
Sementara itu, Imâm Abû al-Hasan ‘Ali bin Ismâ’îl al-Asy‘arî lebih menekankan segi
pengetahuan dan penciptaan perbuatan manusia. Menurut al-Asy‘arî, Allah itu mengetahui segalanya;
mengetahui segala kejadian sebelum hal itu terjadi; Allah mengetahui segala
sesuatu sejak azali. Allah pula yang menciptakan dan menentukan perbuatan-perbuatan
manusia, bukan manusia itu sendiri yang menciptakan dan menentukan perbuatannya.
Selanjutnya, bagi yang membedakan
antara Qadha dan Qadar memahami Qadha sebagai keputusan atau ketetapan Allah terhadap
suatu rencana yang telah ditentukan dan Qadar sebagai suatu rencana Allah yang telah
ditentukan yang telah terjadi, yang sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Di
sinilah pembedaan terhadap keduanya menjadi sulit sehingga ada yang memahami
taqdir itu qadha dan ada pula yang memahami qadha itu taqdir atau qadar. Ada
juga yang memandang Qadha itu lebih dulu dibanding Qadar dikarenakan Qadar
dipahaminya sebagai keputusan atau ketetapan terhadap salah satu rencana Allah
yang telah dilaksanakan, sementara Qadha merupakan ketetapan akan suatu rencana
yang ditetapkan di ‘zaman’ azali. Akan tetapi, terlepas dari pembedaan makna
Qadha dan Qadar ini, yang jelas bahwa segala sesuatu itu terjadi karena Qudrat
dan Iradat Allah, yang sesuai dengan Qadha dan Qadar Allah SWT.
C.
Macam dan Tingkatan Qadha dan Qadar
Berikutnya, ada yang membagi taqdir
(qadar) itu menjadi dua macam, yaitu Taqdir Mubram dan Taqdir
Mu‘allaq. Taqdir Mubram adalah ketentuan Allah yang tidak dihubungkan
dengan ihktiar (usaha) manusia, sedangkan Taqdir Mu‘allaq merupakan ketentuan
Allah yang dihubungkan dengan ikhtiar manusia. Hanya saja, manusia tidak dapat
mengetahui mana yang sebenarnya Taqdir Mubram dan mana yang Taqdir Mu‘allaq,
sehingga manusia tetap dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Dalam
kaitannya dengan Qadha dan Qadar itu Abdul Qadir Jawas dan Al-Utsaimin
membaginya menjadi empat tingkatan, yaitu Ilmu (al-‘Ilm), Kitâbah (penulisan, al-Kitâbah), Masyî’ah (kehendak, al-Masyî’ah), dan Khalq (penciptaan, al-Khalq).
Pertama, Ilmu.
Tingkatan
pertama adalah Ilmu (al-‘Ilm), yaitu mengimani bahwa Allah dengan
ilmu-Nya, yang merupakan Sifat-Nya yang azali dan abadi, Maha Mengetahui akan
segala sesuatu, Maha Mengetahui semua yang ada di langit dan di bumi dengan
seluruh isinya, apa yang ada di antara langit dan bumi, baik secara global
(garis besar, kulliyyah) maupun terperinci (juz’iyyah, tafshîliyyah), baik yang belum terjadi maupun
yang telah terjadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya
tidak tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang diketahui-Nya. Allah
berfirman:
وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ويعلم ما فى البرّ والبحر
وما تسقط مِن ورقةٍ إلاّ يعلمها ولا حبّةٍ فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا يابسٍ إلا فى
كِتب مّبين
Artinya: “Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)" (QS
al-An‘am: 59).
Kedua, Penulisan (al-Kitâbah).
Tingkatan
kedua adalah penulisan, yakni meyakini bahwa Allah SWT telah mencatat seluruh
taqdir makhluk atau semua yang terjadi di lauh mahfûzh. Allah SWT berfirman:
ألم تعلم أنّ الله يعلم ما فى السماء والأرض إنّ ذلك فى كتاب
إنّ ذلك على الله يسير
Artinya: “Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan
di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS al-Hajj:
70).
Rasulullah
SAW bersabda:
كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرضَ بخمسين
ألفَ سنةٍ
Artinya: “Allah
telah mencatat seluruh taqdir makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan
langit dan bumi” (HR Muslim, al-Turmudzi, Ahmad, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr
bin al-‘Ash).
إنّ أوّل ما خلق الله القلمَ،
قال له: اُكاب! قال: ربِّ وماذا أَكتبُ؟ قال: اكتبْ مقاديرَ كلِّ شيء حتّى تقومَ الساعةُ
Artinya: “Sesungguhnya yang
pertama kali Allah ciptakan adalah Qalam (pena), lalu Allah berfirman
kepadanya: ‘Tulislah!’ Qalam menjawab: ‘Wahai Tuhanku, apa yang harus aku
tulis?’ Allah berfirman: ‘Tulislah taqdir segala sesuatu sampai terjadinya
kiamat’” (HR Abu Dawud, al-Turmudzi, Ahmad).
Ketiga, Kehendak (al-Ma‘îsyah).
Tingkatan
yang ketiga adalah kehendak, yaitu mengimani bahwa apa yang dikehendaki Allah
pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.
Segala yang ada dan segala yang terjadi di langit dan di bumi tiada yang tanpa
kehendak-Nya. Allah SWT berfirman, satu di antaranya:
قل اللهم ملك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء
وتعزّ من تشاء وتذلّ من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيء قديرٌ. تولج الّيل فى النهار
وتولج النهار فى اليل وتخرج الحىَّ من الميت وتخرج الميت من الحىّ وترزق من تشاء بغير
حساب
Artinya: Katakanlah:
"Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan
Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang
mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki
siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)" (QS Ali Imran: 26-27).
Rasulullah
SAW bersabda:
لو أنّ اللهَ عذّب أهلَ سماواته وأهل أرضه لَعذَّبهم وهو
غيرُ ظالمٍ لهم ولو رحِمهم لكانتْ رَحمتُه خيرًا لهم مِن أعمالهم...
Artinya: “Jika seandainya Allah menyiksa seluruh penghuni langit
dan bumi, maka Allah tidak berbuat zhalim dengan menyiksa mereka. Jika
seandainya Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu benar-benar lebih baik
bagi mereka dibandingkan amal perbuatan mereka…” (HR Abu Dawud, Ibn Majah,
Ahmad).
Keempat, Penciptaan
(al-Khalq).
Tingkatan
yang keempat adalah penciptaan, yaitu meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta
segala sesuatu, pencipta segala yang ada, dan tidak ada pencipta selain Dia. Bahkan,
bukan saja Allah yang menciptakan manusia, tetapi Allah pula yang menciptakan
perbuatan manusia, baik ataupun buruk. Allah SWT berfirman:
اللهُ خلق كلِّ شىء وهو على كل شىء وكيل
Artinya: “Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (QS al-Zumar:
62).
والله خلقكم وما تعملون
Artinya: “Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu" (QS
al-Shaffat: 96).
Meski
begitu, manusia mempunyai kekuasaan atas perbuatan mereka, yang baik maupun
yang buruk, dan merekapun memiliki keinginan. Hanya saja, kekuasaan (kemampuan)
dan keinginan itu bukan manusia yang menciptakannya, tetapi Allah-lah yang
menciptakan kemampuan dan keinginan manusia. Hal ini sejalan dengan Firman-Nya:
لِمن شاء منكم أن يستقيم. وما تشاءون إلاّ أن يشاء اللهُ
ربُّ العلمين.
Artinya: “(Yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam” (QS al-Takwir: 28-29).
وما تشاءون إلاّ أن يشاء اللهُ إنّ اللهَ كان عليما حكيما
Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana” (QS al-Insa: 30).
Oleh
karena itu, yang dimaksud “Allah pula yang menciptakan perbuatan kamu” adalah Allah-lah
yang memberikan kepada manusia kehendak dan kemampuan di dalam perbuatan
mereka. Pemberian Tuhan ini, pada gilirannya, merupakan milik manusia itu
sendiri. Dengan demikian, perbuatan manusia pada dasarnya dilakukannya
berdasarkan kehendak dan kemampuannya sendiri. Dasarnya adalah: Pertama,
di dalam al-Qur’an terdapat perintah dan larangan. Seandainya tidak diberi
kehendak dan kemampuan, sudah tentu tidak ada perintah dan larangan,
dikarenakan perintah dan larangan ini akan menjadi sebuah beban yang berada di
luar kesanggupan manusia. Hal ini, menurut al-Utsaimin, tidak sesuai dengan
hikmah-kebijaksanaan serta rahmat Allah dan tidak sesuai dengan kebenaran
berita-Nya yang tersebut dalam Firman-Nya:
لايكلف الله نفسا إلا وسعها
Artinya: “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS
al-Baqarah: 286).
Kedua,
adanya pujian kepada orang yang berbuat baik dan celaan terhadap orang yang
berbuat jahat. Dalam pandangan al-Utsaimin, jika perbuatan itu terjadi tidak
dengan kemauan dan kemampuan manusia, maka pujian kepada orang yang berbuat
baik adalah tindakan yang sia-sia dan penghukuman terhadap orang yang berbuat
jahat adalah tindakan yang zhalim. Padahal, tegas al-Utsaimin, Allah SWT tidaklah
berbuat sesuatu yang sia-sia dan yang zhalim.
Ketiga,
Allah SWT telah mengutus para Rasul sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah, seperti
Firman-Nya:
رُسلا مبشّرين ومنذرين لئلاّ يكونَ للنّاس على الله حجّةٌ
بعد الرُّسل
Artinya: “(Mereka Kami utus)
selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu” (QS al-Nisa’: 165).
Seandainya
perbuatan yang dilakukan manusia itu terjadi tidak dengan kehendak dan
kemampuannya, maka tidak mungkin Allah menyatakan “supaya tidak ada alasan bagi
manusia membantah Allah” bila tidak diutus para rasul. Namun, ayat itu
menunjukkan bahwa, sekiranya tidak diutus para rasul untuk memberikan kabar
gembira dan peringatan, maka manusia yang hendak membantah Allah akan mampu
melakukan perbuatan membantah Allah dan hal ini menandakan bahwa manusia itu
memiliki kemauan dan kemampuan, yakni kemauan dan kemampuan membantah Allah.
Keempat, setiap
manusia menyadari bahwa ketika dia melakukan sesuatu tidak ada yang merasa kalau
dirinya dipaksa oleh-Nya. Kalau dia merasa ada yang memaksa, maka yang memaksa
itu adalah orang lain, bukan Dia. Manusia mampu membedakan dengan nyata antara
melakukan sesuatu perbuatan atas dasar keinginannya sendiri dengan perbuatan
yang dia lakukan dikarenakan dipaksa orang lain. Oleh sebab itu, tidak ada
alasan bagi pelaku perbuatan maksiat untuk berdalih bahwa dia melakukan
perbuatan maksiat disebabkan dia telah ditaqdirkan untuk melakukan perbuatan
maksiat itu. Padahal, tidak seorang pun mampu mengetahui apakah perbuatannya
itu merupakan taqdir atau bukan kecuali perbuatan itu telah dilakukan,
sebagaimana Firman-Nya:
وما تدرى نفسٌ مّاذا تكسب غدًا
Artinya: “… dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok…” (QS Luqman: 34).
Kelima,
di dalam al-Qur’an Allah SWT merintah manusia supaya mendatangi tempat bercocok
tanam sesuai yang dikehendaki manusia sendiri dan, di ayat lain,
menginformasikan bahwa orang yang menghendaki keberangkatan tentunya akan
mempersiapkan-diri untuk keberangkatannya, semisal Firman Allah berikut:
فأْتوا حَرثكم أنّى شِئتم
Artinya: “… maka
datangilah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana yang kamu kehendaki…” (QS
al-Baqarah: 223).
ولو أرادوا الخُروجَ لَأعدّوا له عُدَّةً
Artinya: “Seandainya
mereka menghendaki keberangkatan, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk
keberangkatan itu…” (QS al-Taubah: 46).
Dari
kedua ayat itu dapat diketahui bahwa suatu perbuatan yang telah ditetapkan
Allah, seperti mendatangi tempat bercocok tanam dan mempersiapkan bekal suatu
kepergian, adalah atas dasar kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri. Hanya
saja, tetap diyakini bahwa kemauan dan kemampuan itu merupakan ciptaan atau
pemberian Tuhan. Manusia akan dimintai pertanggungan jawabnya atas dasar
kehendak dan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya ini.
D.
Meyakini Adanya Qadha dan Qadar Allah
Dari uarian di atas dapat diketahui
dan diyakini bahwa Qadha dan Qadar Allah itu memang benar adanya. Segala
sesuatu terjadi sesuai Qadha dan Qadar-Nya, yakni segala sesuatu itu berada
dalam pengetahuan-Nya, dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya, atas kehendak-Nya, dan Dia
pula yang menciptakannya. Segala sesuatu tidak ada yang berada di luar bingkai
empat tingkatan Qadha dan Qadar Allah ini. Akan tetapi, al-Jazâirî tidak menyebutkan aspek keempat
dari empat tingkatan Qadha dan Qadar itu, yaitu aspek penciptaan, sehingga dia
hanya menyebut aspek iradah, taqdir (ketentuan) dan ilmu-Nya. Al-Jazâirî mengatakan bahwa semua perbuatan, perkataan dan
gerakan seorang manusia (mukallaf), baik maupun buruk, terjadi dikarenakan
iradah, ketentuan (taqdir) dan pengetahuan Allah. Hanya saja, menurut al-Jazâirî, yang baik diridhai-Nya,
sementara yang tidak baik tidak diridhai-Nya. Orang yang memiliki kebebasan untuk memilih antara melakukan
perbuatan yang baik atau yang buruk, maka orang yang melakukan perbuatan baik
akan diberi pahala, tetapi yang melakukan perbuatan buruk atau jahat akan
diberi siksa. Namun, Allah tidak menyiksa seseorang yang melakukan perbuatan
jahat dikarenakan terpaksa melakukannya disebabkan Allah tidak pernah dan tidak
akan berbuat zhalim terhadap hamba-Nya.
Walaupun al-Jazâirî tidak menyebutkan aspek penciptaan dalam hal Taqdir
(Qadha dan Qadar), bukan berarti al-Jazâirî mengingkari adanya dimensi penciptaan
perbuatan manusai dalam hal Qadha dan Qadar. Hal ini dikarenakan, sebagaimana
dapat dilihat dari al-Qur’an, aspek Taqdir senantiasa mengikuti aspek
penciptaan, yang berarti tidak akan ada Taqdir kalau tidak ada penciptaan.
Misalnya, Allah berfirman:
وخلق كلّ شىئٍ فقدّره تقديرًا
Artinya: “… dan Dia telah
menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya” (QS al-Furqan: 2).
Ayat itu menjelaskan bahwa setelah
Allah menciptakan segala sesuatu, maka Allah menentukan Taqdir segala sesuatu
itu. Di ayat lain Allah menyatakan pula bahwa segala sesuatu itu ada ukurannya
di sisi-Nya (وكُلُّ شىئٍ عنده بمقدارٍ, “dan segala sesuatu pada
sisi-Nya ada ukurannya,” QS al-Ra’d: 8) dan dinyatakan bahwa Dialah yang
menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-Nya serta yang menentukan kadar
masing-masing ciptaan-Nya (الذى خلق فسوّى، والذى قدّر فهدى,
“yang menciptakan dan menyempurnakan {penciptaan-Nya}, dan yang menentukan
kadar {masing-masing} dan memberi petunjuk,” QS al-A’la: 2-3). Dengan demikian,
persoalan Taqdir tidak dapat dilepaskan dari aspek penciptaan dan orang beriman
mempercayai dimensi atau tingkatan penciptaan dalam hal Taqdir ini, di samping
aspek pengetahuan-Nya, pencatatan-Nya
(dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya), dan kehendak-Nya.
Kepercayaan pada aspek pencatatan
yang berkaitan dengan Qadha dan Qadar manusia dapat dilihat dari hadis
Rasulullah SAW berikut:
انّ أحدكم يُجمع خَلقُه فى بطن أمه أربعين يوما نطفةً، ثم
يكونُ علقةً مثلَ ذلك، ثم يكون مُضغةً مثل ذلك، ثم يَبعَث اللهُ إليه ملكا ويُؤمر بأربعِ
كلماتٍ، ويُقال له: اكْتبْ عمله ورزقَه وأجلَه وشقىٌّ أو سعيدٌ ثم يُنفَخ فيه الرّوحُ،
فإنّ الرجل منكم لَيعملُ بعمل أهل الجنّةحتّى لايكونَ بينه وبينها إلاّ ذِراعٌ فَيَسْبِقَ
عليه الكتابُ فيعملَ بعمل أهل النار فَيَدْخُلُ النارَ وإنّ الرجلَ يعملُ بعمل أهل
النار حتّى ما يكونَ بينه وبينها إلاّ ذراعٌ فيسبقَ عليه الكتابُ فيعملُ بعمل أهل الجنة
فيدخلُ الجنةَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
“Sesungguhnya seseorang dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama
empat puluh hari dalam bentuk nutfah, kemudian dalam bentuk segumpal darah
selama empat puluh hari, kemudian dalam bentuk segumpal daging selama empat
puluh hari, lalu Allah mengutus seorang malaikat kepadanya dan merintah
malaikat itu untuk menulis empat kalimat untuknya, yaitu amalnya, rizkinya,
ajalnya dan sengsara atau bahagianya, lalu ditiupkan ruh ke dalamnya. Sungguh
seseorang beramal dengan amal ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan
surga tinggal sejengkal, tetapi catatan sebelumnya (di Lauh Mahfuzh) dia
beramal dengan amal ahli neraka, maka (beramallah di akhir hidupnya dengan amal
ahli nereka sehingga dia) dimasukkan ke dalam neraka. (Sebaliknya), sungguh
seseorang beramal dengan amal ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan
neraka tinggal sejengkal, tetapi catatan sebelumnya (di Lauh Mahfuzh) dia
beramal dengan amal ahli surga, maka (beramallah di akhir hidupnya dengan amal
ahli surga sehingga dia) dimasukkan ke dalam surga” (HR Bukhari-Muslim).
إنّ الرجل منكم لَيعملُ بعمل أهل الجنّة وأنّه مكتوب فى الكتاب
مِن أهل النار، فإذا كان قبل موته تحول فعملَ
بعمل أهل النار فمات فدخل النار،َ وإن الرجل
ليعمل بعمل أهل النار وإنّه لمكتوب فى الكتاب أنه مِن أهل الجنة، فإذا كان قبل موته
تحول فعملَ بعمل أهل الجنة فمات فدخل الجنة (رواه أحمد)
Artinya:
“Sungguh seseorang di antara kamu beramal dengan amal ahli sorga, tetapi
tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai ahli neraka, maka sebelum
meninggalnya dia akan beramal dengan amal ahli nereka sehingga dia meninggal
dan masuk neraka. (Sebaliknya), sungguh seseorang di antara kamu beramal dengan
amal ahli neraka, tetapi tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai ahli
surga, maka sebelum meninggalnya dia akan beramal dengan amal ahli surga
sehingga dia meninggal dan masuk surga” (HR Ahmad).
Dari hadis di
atas dapat dilihat adanya empat hal yang berkaitan dengan Taqdir (Qadha dan
Qadar) manusia, yaitu amalnya, rizkinya, ajalnya, dan bahagia atau sengsaranya.
Apa yang telah ditulis di Lauh Mahfuzh ini tidak dapat berubah atau dirubah,
karena sudah merupakan ketetapan Allah SWT sejak awal mulanya. Rasulullah SAW
mencontohkan tentang bahagia-sengsara yang berkenaan dengan surga-neraka.
Dinyatakan bahwa seseorang yang beramal dengan amal ahli surga sehingga jarak
antara dia dengan surga tinggal sehasta, tetapi catatan di Lauh Mahfuzhnya
termasuk ahli neraka, maka di akhir hidupnya diapun beramal dengan amal ahli
neraka sehingga dia mati su’ul khatimah dan masuk neraka. Sebaliknya, orang
yang beramal dengan amal ahli neraka sehingga jarak antara dia dengan neraka
tinggal sehasta, tetapi catatan di Lauh Mahfuzh dia termasuk ahli surga, maka
di penghujung hidupnya diapun beramal sebagaimana amal ahli surga sehingga dia
mati khusnul khatimah dan masuk surga. Inilah catatan Taqdir yang tidak akan
berubah atau dirubah dan orang beriman mempercayai kebenarannya. Hanya saja,
barangkali, informasi dari Rasulullah itu dapat diambil pelajaran, yakni yang
sudah jadi orang baik jangan merasa jadi orang baik dikarenakan perasaan ini
akan membawa kesombongan dan kesombongan akan membuat orang baik terjatuh
(su’ul khatimah dan masuk neraka). Sebaliknya, orang yang selamanya berperilaku
tidak baik jangan berputus asa disebabkan sebesar-besarnya dosa seorang anak
manusia tetap tidak akan melebihi besarnya ampunan Allah. Ketidakputusasaan
atas ampunan Allah akan membuatnya bertaubat dan beramal shalih, sehingga dia
akan khusnul khatimah dan masuk surga.
E.
Implementasi Beriman kepada Qadha dan Qadar dalam
Kehidupan Sehari-hari
Keimanan bahwa segala sesuatu itu,
baik maupun buruk, terjadi sesuai Qadha dan Qadar-Nya, yakni segala sesuatu itu
berada dalam pengetahuan-Nya, telah dicatat di Lauh Mahfuzh-Nya, atas
kehendak-Nya, dan Dia pula yang menciptakannya, haruslah diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Caranya adalah keimanan terhadap Qadha dan Qadar
Allah itu haruslah memenuhi seluruh relung-relung hatinya sehingga tidak ada
keimanan lain yang bersarang di dalam hati. Penuhnya keimanan di dalam hati
terhadap Qadha dan Qadar secara otomatis akan terpantul atau tercermin dalam
cara pandang, dalam ucapan, dan dalam perbuatan sehari-hari.
Orang yang benar-benar percaya kepada
Qadha dan Qadar secara otomatis akan tercermin dari cara pandangnya, perkataan
dan perbuatannya: akan selalu berpikiran positif, bersikap optimis, selalu
berorientasi ke depan serta akan selalu berkata dan berbuat yang baik. Kalau
ada orang yang melakukan suatu kejahatan dengan dalih taqdir, maka pada
dasarnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar Allah dikarenakan setiap
orang tidak ada yang tahu taqdirnya baik atau buruk sebelum perbuatan itu
dilakukan. Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi, taqdir itu merupakan rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh
siapapun, termasuk oleh para malaikat yang dekat dengan-Nya atau oleh Nabi yang
diutus-Nya, sehingga seseorang tidak dapat melakukan kejahatan dengan dalih
taqdir bahwa dia diciptakan untuk melakukan kejahatan.
Untuk itu, orang yang beriman kepada
Qadha dan Qadar hendaknya mewujudkannya dalam kehidupan kesehariannya dengan senantiasa
berprasangka baik kepada Allah bahwa dia diciptakan oleh-Nya untuk berbuat
baik, bukan untuk berbuat jahat. Orang yang suka menyalahkan orang lain, bahkan
menyalahkan Allah, pada dasarnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar
disebabkan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar tahu bahwa pangkal
kesalahan itu selalu bukan dari orang lain, apalagi dari Allah, tapi dari
dirinya sendiri. Dalam kasus ini, cara mengimplementasikan keimanan kepada
Qadha dan Qadar dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara senantiasa
melakukan instropeksi diri (muhâsabah an-nafs), bukan menginstropeksi orang lain. Orang
yang senang berpikiran negatif terhadap orang lain, bahkan berpikiran negatif
terhadap Allah, sebenarnya dia tidak beriman kepada Qadha dan Qadar meski
secara lisan dia mengaku atau menyatakan beriman kepada Qadha dan Qadar
disebabkan orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar mengetahui bahwa pemikiran
negatif itu sumbernya adalah ketidakmampuan menangkap sisi positif dari sesuatu.
Cara menerapkan keberimanan kepada
Qadha dan Qadar Allah dalam kasus itu adalah senantiasa belajar untuk menggali
sisi positif (hikmah) dari segala hal yang terjadi disebabkan Allah telah
memutuskan bahwa apapun kejadiannya tersimpan sisi-sisi positif di dalamnya. Bahkan,
dia harus belajar untuk menyadari bahwa kenegatifan orang lain pun dapat berupa
nilai positif bagi dirinya dikarenakan kenegatifan orang lainpun terdapat nilai
positifnya, tergantung bagaimana memandangnya. Misalnya, tidak shalatnya orang
beriman yang berada di sekeliling rumahnya dapat bernilai posistif bagi dirinya
kalau hal itu justeru dijadikan motivasi bagi dirinya untuk meningkatkan
dakwahnya. Namun, kalau tidak shalatnya tetangga itu tidak dijadikannya sebagai
motivasi untuk meningkatkan dakwahnya, maka yang terjadi hanyalah akan memarahi
atau menjelek-jelekkan tetangganya itu. Bila sudah begini, maka yang berpikiran
dan berperilaku negatif justeru dirinya, bukan orang lain.
Kemudian, orang yang mudah berputus
asa, malas berusaha dan mudah pasrah pada nasib (taqdir) sebenarnyalah dia
tidak percaya akan Qadha dan Qadar disebabkan orang yang beriman kepada Qadha
dan Qadar tidak akan mudah berputus asa, tidak akan malas berusaha, dan tidak
akan gampang berpasrah pada nasib. Cara mengimplementasikan Iman kepada Qadha
dan Qadar dalam hal ini adalah dengan meningkatkan kesadaran bahwa sudah
menjadi ketetapan-Nya bila hidup ini merupakan medan perjuangan tanpa akhir,
kecuali kematian mengakhirinya. Kesadaran bahwa Allah telah menetapkan
kehidupan ini sebagai medan perjuangan tanpa akhir, sekaligus menyadari bahwa
yang namanya perjuangan itu pasti penuh dengan rintangan dan tantangan, inilah
yang akan membuat orang beriman tidak mudah putus asa, tidak malas berusaha dan
tidak gampang berpasrah pada nasib. Orang yang gemar berkata kotor, berkata
jelek, mengghibah, menfitnah dan menyakiti orang lain dengan lisannya pada hakikatnya
dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar disebabkan orang yang beriman kepada
Qadha dan Qadar dia akan takut terhadap akibat buruk dari perbuatan buruknya.
Orang beriman memang harus yakin
bahwa semua perbuatannya, termasuk perbuatan buruknya, adalah Allah yang
menciptakannya. Hanya saja, seperti dikemukakan di atas, seseorang tidak tahu
persis apa taqdirnya, baik atau buruk, sehingga orang yang benar-benar beriman
kepada Qadha dan Qadar tidak akan merealisasikan keimanannya pada hal-hal yang
buruk, semisal berkata kotor, berkata jelek, mengghibah, menfitnah, mengadu
domba, dan menyakiti orang lain dengan lisannya, tetapi justeru pada hal-hal
yang baik. Orang yang gembira berbuat jahat dan menjahati orang lain pada
dasarnya dia tidak percaya kepada Qadha dan Qadar Allah dikarenakan orang yang
beriman kepada Qadha dan Qadar tidak akan berbuat jahat, apalagi menjahati
orang lain. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar Allah
justeru tidak akan berbuat jahat dan menjahati orang lain serta tidak akan
berfikiran negatif, baik terhadap sesama ataupun terhadap Tuhan, karena dia
akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan potensi yang Allah
berikan kepadanya. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa Allah bukan saja yang
menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya, termasuk di dalamnya manusia,
tetapi yang menciptakan kehendak dan perbuatan manusia pun juga Allah.
Orang beriman memang percaya bahwa
kehendak dan perbuatan manusia itu, baik maupun buruk, adalah Allah yang menciptakannya.
Namun, kepercayaan ini juga diimplementasikan lebih lanjut dengan meyakini
bahwa keinginan dan perbuatan yang diciptakan Allah itu dianugerahkan kepada
manusia sehingga manusia memperoleh (kasb) keinginan dan perbuatan yang
diciptakan Allah itu. Ketika manusia telah memperoleh keinginan dan perbuatan
yang diciptakan Allah itu, maka keinginan (kehendak) dan perbuatan itu menjadi
milik manusia. Tatkala hal itu telah menjadi milik manusia, maka manusia
memiliki hak ikhtiyar, yakni kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya,
baik atau buruk. Orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar Allah
sewaktu dihadapkan pada pilihan baik dan buruk, pastilah dia akan memilih yang
baik. Akan tetapi, orang yang tidak beriman atau tidak benar-benar beriman
kepada Qadha dan Qadar bisa jadi dia akan memilih yang buruk. Kebebasan memilih
inilah yang menyebabkan seseorang diganjar sesuai dengan pilihannya: yang
memilih kebaikan diganjar dengan pahala (sorga) dan yang memilih
keburukan/kejahatan diganjar dengan dosa (neraka). Di sinilah orang yang
beriman kepada Qadha dan Qadar hendaknya mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari dengan memilih, menentukan dan merealisasikan hal-hal yang positif
atau hal-hal yang baik di setiap detik kehidupannya.
Pengimplementasian
kepercayaan terhadap Qadha dan Qadar dalam kehidupan sehari-hari dapat pula
dilihat dari adanya pengaruh Qadha dan Qadar terhadap manusia. Abdul Aziz bin Muhammad Ali Abdul
Lathif menyebutkan tujuh
pengaruh beriman kepada Taqdir (Qadha dan Qadar), yaitu pertama, Taqdir
merupakan salah satu sebab yang membuat seseorang bersemangat dalam beramal dan
berusaha untuk mencapai keridhaan Allah dalam hidup ini. Beriman kepada Taqdir
merupakan pendorong yang kuat kepada setiap orang beriman untuk beramal dan
melakukan perkara-perkara besar dengan penuh keteguhan dan keyakinan.
Kedua, beriman kepada Qadha dan Qadar
menjadikan orang beriman mampu mengetahui kemampuan dirinya, sehingga dia tidak
sombong, tidak angkuh dan tidak tinggi hati disebabkan dia tidak tahu apa yang menjadi
taqdirnya dan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depannya. Di sinilah
orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar senantiasa mengakui kelemahannya dan
akan senantiasa kebutuhannya kepada Tuhan.
Ketiga, beriman kepada Qadha dan Qadar
dapat mengerem seseorang dari kesombongan dan lupa diri ketika mendapatkan
berbagai anugerah, sekaligus mengerem seseorang dari kesedihan berlebihan
tatkala mendapatkan keburukan. Orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar yakin
bahwa apapun yang terjadi telah ditentukan dan diketahui oleh-Nya.
Keempat, beriman kepada Qadha dan Qadar
dapat menghilangkan berbagai penyakit sosial yang menimpa masyarakat dan
menghilangkan kedengkian di antara sesama orang beriman. Orang yang beriman
kepada Qadha dan Qadar tidak mungkin iri dan dengki atas berbagai karunia yang
dianugerahkan kepada sesamanya, sebab dia tahu bahwa semuanya telah dicatat dan
ditentukan oleh Allah SWT dan tidak mungkin dia akan menentang Taqdir.
Kelima, beriman kepada Qadha dan Qadar
dapat menumbuhkan keberanian dan keteguhan hati untuk menghadapi berbagai
halangan dan rintangan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran terhadap
kematian, karena dia tahu bahwa ajal itu telah ditulis dan ditentukan, yang
tidak mungkin dipercepat atau diperlambat meski sesaat.
Keenam, beriman kepada Qadha dan Qadar akan
menanamkan berbagai hakikat iman dalam hati setiap orang beriman. Keimanan ini
akan menuntun untuk selalu memohon pertolongan kepada-Nya serta untuk selalu
bersandar dan bertawakkal kepada-Nya tanpa meninggalkan adanya ikhitiar. Ia pun
tidak hanya akan senantiasa memohon pertolongan-Nya, tetapi juga senantiasa
berbuat baik terhadap sesamanya.
Ketujuh, beriman kepada Qadha dan Qadar
menjadikannya tidak takut terhadap orang-orang kafir dan zhalim di dalam
menjalankan dakwah, termasuk tidak takut terhadap cercaan orang-orang yang
mencerca atau fitnahan orang-orang yang iri dan dengki. Orang yang beriman
kepada Qadha dan Qadar tidak kenal putus asa untuk senantiasa menjelaskan
hakikat keimanan dan merealisasikan keimanannya dalam kehidupan kesehariannya.
Orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar akan benar-benar berpasrah diri
kepada-Nya, karena dia sadar bahwa dirinya tidak punya apa-apa, termasuk nyawa
yang ada dalam tubuhnya pun disadari bukan miliknya, tapi milik-Nya, yang dia
hanya punya hak guna untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Terimplementasinya keimanan kepada
Qadha dan Qadar terlihat pula dari hasil dan manfaat Iman kepada Qadha dan
Qadar, sebagaimana dikemukakan al-Utsaimin, yakni pertama, bertawakkal kepada
Allah SWT setiap melakukan suatu usaha, karena usaha yang dilakukannya dan
hasil yang diharapkan akan diperoleh, semuanya terjadi dengan Qadha dan Qadar
Allah.
Kedua, memperoleh ketenangan jiwa dan
kedamaian hati, karena dia mengetahui bahwa semua terjadi dengan Qadha
(ketentuan) Allah SWT dan apa yang ditaqdirkan akan terjadi mesti akan terjadi
walaupun tidak diinginkannya, maka tenanglah jiwanya dan damailah jiwanya serta
ridha dengan Qadha (ketentuan) Tuhannya. Oleh sebab itu, tidak seorang pun yang
lebih bahagia hidupnya, lebih tenang jiwanya dan lebih damai batinnya daripada
orang yang benar-benar beriman kepada Qadha dan Qadar.
Ketiga, tidak bersikap sombong dan
membanggakan diri ketika memperoleh apa yang diinginkannya, karena apa yang
diperolehnya itu adalah karunia yang diberikan Allah melalui sebab-sebab
kebaikan dan kesuksesan yang telah ditaqdirkan bagi dirinya. Dengan demikian,
dia senantiasa akan bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya tersebut dan tidak
membanggakan diri.
Keempat, tidak merasa sedih dan kesal
hati di saat apa yang diinginkan tidak tercapai atau apa yang tidak disenangi
menimpa dirinya, karena hal itu terjadi dengan Qadha Allah SWT, yang hanya milik-Nya
kekuasaan di langit dan di bumi, dan Qadha Allah itu pasti terjadi. Untuk itu,
dia senantiasa akan bersabar dalam menghadapinya dan mengharapkan pahalanya di
sisi Allah SWT.
Itulah beberapa implementasi keimanan
kepada Qadha dan Qadar Allah SWT dalam konteks keseluruhan aspek kehidupan
keseharian. Sungguh bermakna keimanan kepada Qadha dan Qadar Allah SWT.,
sehingga orang yang beriman kepada Qadha dan Qadar Allah, disatupadukan dengan
keimanan kepada kelima Rukun Iman lainnya, akan menghasilkan pribadi-pribadi
orang beriman yang benar-benar bertaqwa kepada Allah SWT.
F.
Kesimpulan
-
Beriman kepada Qadha dan Qadar berarti meyakini
bahwa semua perbuatan manusia, baik yang bersifat pilihan (ikhtiyâriyyah,
اختياريّة)
maupun yang bersifat paksaan (idhthirâriyyah, اضطراريّة), yang baik maupun yang buruk, yang telah
terjadi maupun yang akan terjadi, semuanya berdasarkan kehendak, ketentuan dan
pengetahuan Allah sejak azali, sejak sebelum adanya waktu atau sejak sebelum
diciptakannya segala sesuatu.
-
Qadha adalah keputusan atau ketetapan Allah terhadap
suatu rencana yang telah ditentukan sejak azali dan Qadar adalah suatu rencana
Allah yang telah ditentukan yang telah terjadi, yang sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan di ‘zaman’ azali.
-
Taqdir (qadar) itu dua macam, yaitu Taqdir Mubram
dan Taqdir Mu‘allaq. Taqdir Mubram adalah ketentuan Allah yang tidak
dihubungkan dengan ihktiar (usaha) manusia, sedangkan Taqdir Mu‘allaq merupakan
ketentuan Allah yang dihubungkan dengan ikhtiar manusia. Hanya saja, manusia
tidak dapat mengetahui mana yang sebenarnya Taqdir Mubram dan mana yang Taqdir
Mu‘allaq, sehingga manusia tetap dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
-
Allah yang menciptakan kehendak
dan perbuatan manusia, yang kemudian dianugerahkan kepada manusia sehingga
manusia memperoleh (kasb) kehendak dan perbuatan yang telah diciptakan
Allah untuknya.
- Qadha dan Qadar
Allah itu benar adanya. Segala sesuatu, baik atau buruk, terjadi sesuai Qadha
dan Qadar-Nya, yakni segala sesuatu itu berada dalam pengetahuan-Nya, dicatat
di Lauh Mahfuzh-Nya, atas kehendak-Nya, dan Dia pula yang menciptakannya.
-
Cara mengimplementasikan Iman kepada Qadha dan Qadar
dalam kehidupan sehari-hari adalah menjadikan keimanan terhadap Qadha dan Qadar
Allah itu memenuhi seluruh relung-relung hatinya sehingga tidak ada keimanan
lain yang bersarang di dalam hati. Penuhnya keimanan di dalam hati terhadap
Qadha dan Qadar secara otomatis akan terpantul atau tercermin dalam cara
pandang, dalam ucapan, dan dalam perbuatan sehari-hari.
-
Beriman kepada Qadha dan Qadar merupakan pendorong
yang kuat kepada setiap orang beriman untuk beramal dan melakukan
perkara-perkara besar dengan penuh keteguhan dan keyakinan; menjadikan orang
beriman tidak sombong, tidak angkuh dan tidak tinggi hati; dapat mengerem
seseorang dari kesombongan dan lupa diri ketika mendapatkan berbagai anugerah,
sekaligus mengerem seseorang dari kesedihan berlebihan tatkala mendapatkan
keburukan; dapat menghilangkan berbagai penyakit sosial yang menimpa masyarakat
dan menghilangkan kedengkian di antara sesama orang beriman; dapat menumbuhkan
keberanian dan keteguhan hati untuk menghadapi berbagai halangan dan rintangan
tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran terhadap kematian; menanamkan berbagai
hakikat iman dalam hati setiap orang beriman; menjadikan tidak takut terhadap
orang-orang kafir dan zhalim di dalam menjalankan dakwah; tidak kenal putus
asa, berpasrah diri kepada-Nya serta jiwanya tenang dan damai.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar