Rabu, 09 Agustus 2017

AL-GHAZALI: PENGETAHUAN TUHAN



AL-GHAZALI: PENGETAHUAN TUHAN

Ada tiga hal, setidaknya, berkenaan dengan masalah yang hendak dibicarakan kali ini yang harus diketahui agar tidak menimbulkan kerancuan. Pertama, tulisan ini hanya berdasarkan buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang diterjemahkan oleh Ahmadi Taha. Kedua, untuk membicarakan pengetahuan Tuhan menurut al-Ghazali mengandaikan kita telah mengetahui pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali, terutama Ibn Sina. Ketiga, pengetahuan adalah “gambaran akan sesuatu yang ada dalam jiwa.” Menganalogikan dengan definisi ini, maka pengetahuan Tuhan adalah “gambaran akan sesuatu yang ada dalam diri Tuhan.” Oleh karena ia berada dalam diri Tuhan, maka persoalannya adalah: Apakah pengetahuan itu hanya meliputi Diri Tuhan, ataukah hanya meliputi hal-hal di luar Tuhan, atau kedua-duanya? Apakah pengetahuan Tuhan identik dengan esensi Tuhan?
Akal Murni
Walaupun pengandaian kita telah mengetahui pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali, tetapi di sini saya tetap akan menampilkan pemikiran para filsuf itu. Pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali tentang pengetahuan Tuhan, nampaknya, terbagi menjadi dua. Pertama, yang berpendapat bahwa pengetahuan hanya meliputi Dirinya Sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan Tuhan tentang Dirinya. Hal ini karena Tuhan merupakan Akal Murni, Sebab dari segala sebab. Akal Murni tidak mengetahui materi, sebab tidak mungkin Akal Murni berhubungan dengan materi serta tidak mungkin materi keluar dari yang bukan materi, yakni mustahil keluar dari Akal Murni. Dan Sebab dari segala sebab tidak mungkin mengetahui apa-apa yang terjadi dunia. Dengan demikian, singkat kata, pengetahuan Tuhan identik dengan esensi Tuhan.
Kedua, pengetahuan Tuhan hanya meliputi hal-hal yang selain Dirinya, atau katakanlah, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan Tuhan tentang alam semesta. Hal ini karena alam semesta merupakan hasil karya-Nya atau hasil ciptaan-Nya. Alam timbul dari esensi-Nya, karena pengetahuan-Nya akan alam. Prinsip alam adalah pengetahuan-Nya tentang alam. Dan pengetahuan-Nya tentang alam identik dengan Dirinya Sendiri. Apabila dia tidak mempunyai pengetahuan tentang alam, maka alam tidak akan tercipta. Representasi ideal system universal merupakan sebab bagi emanasi alam. Karena itu, pengetahuan Tuhan hanya meliputi hal-hal yang universal, dan tidak meliputi hal-hal yang particular, hal-hal yang terikat waktu: lampau, kini dan nanti.
Pengetahuan = Sifat
Pendapat al-Ghazali tentang pengetahuan Tuhan hampir saja merupakan gabungan dari dua pendapat di atas sekiranya al-Ghazali tidak mengkanter pendapat-pendapat itu dan tidak mengemukakan argumen-argumen yang lain. Jadi, menurut al-Ghazali, pengetahuan Tuhan meliputi Dirinya dan apa-apa yang selain diri-Nya, baik hal itu universalitas atau partikular, dan pengetahuan Tuhan tidak identik dengan esensi Tuhan, atau tepatnya, pengetahuan Tuhan dalam pandangan al-Ghazali adalah sifat Tuhan.
Apabila Tuhan hanya mengetahui Dirinya atau hanya yang selain-Nya, maka implikasinya—menurut al-Ghazali—adalah akibat-akibat  dari Tuhan lebih mulia dari Tuhan. Karena malaikat, manusia ataupun makhluk-makhluk berakal yang lain, begitu argumen al-Ghazali, mengetahui dirinya sendiri; prinsipnya; dan wujud-wujud yang lain. Semua makhluk hidup menyadari dirinya, sebab itu Tuhan Yang Hidup pasti mengetahui Dirinya. Kesadaran makhluk akan dirinya tidak sama dengan esensi dirinya, tetapi antara kesadaran dengan yang mempunyai kesadaran tidak bisa dilepaskan. Begitu juga, pengetahuan Tuhan bukan esensi Tuhan, tetapi antara pengetahuan Tuhan dengan esensi Tuhan tak terpisahkan. Pengetahuan Tuhan adalah sifat Tuhan.
Alam adalah ciptaan Tuhan. Penciptaan Tuhan itu tentunya juga didasarkan pada iradah mutlak-Nya. Dan setiap objek kehendak pasti diketahui oleh yang berkehendak. Sebab itu alam pasti diketahui oleh-Nya, karena alam dikehendaki oleh-Nya, dan menggantungkan asal-mulanya pada kehendak-Nya. Alam berasal dari kehendak-Nya. Yang mempunyai kehendak pasti yang hidup. Karena itu Ia pasti juga hidup (Hayy). Dan setiap wujud yang hidup yang mengetahui yang lainnya harus a fortiori mempunyai pengetahuan-diri. Dengan demikian, alam merupakan objek pengetahuan Tuhan.
Pengetahuan Tuhan tentang alam tidak hanya menyangkut masalah yang universal saja, tetapi juga yang partikular. Pengetahuan Tuhan yang partikular ini tidak melalui yang universal, tetapi secara langsung kepada hal-hal yang partikular, hal-hal yang berubah, hal-hal yang dibawahi waktu: lalu, kini dan nanti. Apabila partikular-partikular itu berubah, maka pengetahuan Tuhan pun berubah, KARENA PENGETAHUAN MENGIKUTI OBJEK PENGETAHUAN. Apabila objek pengetahuan berubah, maka pengetahuan pun berubah. Akan tetapi, Tuhan bukan pengetahuan. Pengetahuan Tuhan itu hanya merupakan sifat Tuhan. Karena itu, perubahan pada pengetahuan Tuhan adalah perubahan pada sifat Tuhan, bukan pada esensi Tuhan. Oleh sebab itu tidak menjadi soal. Di lain hal, pengetahuan Tuhan akan sesuatu bukan menjadi syarat untuk sempurnanya Tuhan, seperti manusia yang membutuhkan pengetahuan untuk menjadi sempurna, sebab Tuhan itu Maha Sempurna. Kalau kita mengandaikan bahwa Tuhan ingin sempurna dengan pengetahuan, tentu kita menganggap esensi-Nya, qua esensi, tidak sempurna.
Kini, penolakan terhadap hal-hal yang berubah pada-Nya tidak membuktikan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnan. Ketidaksempurnaan hanya terletak pada indera-indera dan pada kebutuhan-kebutuhan indera itu. Tuhan tidak mempunyai indera dan tidak membutuhkan indera seperti manusia. Pengetahuan Tuhan tidak membutuhkan indera, dan Tuhan tidak menerima perubahan-perubahan melalui indera. Ia Maha Sempurna. Ia mengetahui melalui pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya itu adalah sifat-Nya. Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan.
Dan… wa Allahu a‘lam bi al-shawab.
Ciputat, 8 Ramadhan 1410 H
(Makalah sewaktu S1 yang saya ketik ulang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates