AL-GHAZALI: PENGETAHUAN TUHAN
Ada tiga hal, setidaknya, berkenaan dengan
masalah yang hendak dibicarakan kali ini yang harus diketahui agar tidak
menimbulkan kerancuan. Pertama, tulisan ini hanya berdasarkan buku
al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang diterjemahkan oleh Ahmadi Taha. Kedua,
untuk membicarakan pengetahuan Tuhan menurut al-Ghazali mengandaikan kita telah
mengetahui pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali, terutama Ibn Sina. Ketiga,
pengetahuan adalah “gambaran akan sesuatu yang ada dalam jiwa.” Menganalogikan
dengan definisi ini, maka pengetahuan Tuhan adalah “gambaran akan sesuatu yang
ada dalam diri Tuhan.” Oleh karena ia berada dalam diri Tuhan, maka
persoalannya adalah: Apakah pengetahuan itu hanya meliputi Diri Tuhan, ataukah
hanya meliputi hal-hal di luar Tuhan, atau kedua-duanya? Apakah pengetahuan
Tuhan identik dengan esensi Tuhan?
Akal Murni
Walaupun pengandaian kita telah
mengetahui pemikiran para filsuf sebelum al-Ghazali, tetapi di sini saya tetap
akan menampilkan pemikiran para filsuf itu. Pemikiran para filsuf sebelum
al-Ghazali tentang pengetahuan Tuhan, nampaknya, terbagi menjadi dua. Pertama,
yang berpendapat bahwa pengetahuan hanya meliputi Dirinya Sendiri. Dengan kata
lain, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan Tuhan tentang Dirinya. Hal ini
karena Tuhan merupakan Akal Murni, Sebab dari segala sebab. Akal Murni tidak
mengetahui materi, sebab tidak mungkin Akal Murni berhubungan dengan materi
serta tidak mungkin materi keluar dari yang bukan materi, yakni mustahil keluar
dari Akal Murni. Dan Sebab dari segala sebab tidak mungkin mengetahui apa-apa
yang terjadi dunia. Dengan demikian, singkat kata, pengetahuan Tuhan identik
dengan esensi Tuhan.
Kedua, pengetahuan Tuhan hanya
meliputi hal-hal yang selain Dirinya, atau katakanlah, pengetahuan Tuhan adalah
pengetahuan Tuhan tentang alam semesta. Hal ini karena alam semesta merupakan
hasil karya-Nya atau hasil ciptaan-Nya. Alam timbul dari esensi-Nya, karena
pengetahuan-Nya akan alam. Prinsip alam adalah pengetahuan-Nya tentang alam.
Dan pengetahuan-Nya tentang alam identik dengan Dirinya Sendiri. Apabila dia
tidak mempunyai pengetahuan tentang alam, maka alam tidak akan tercipta.
Representasi ideal system universal merupakan sebab bagi emanasi alam. Karena
itu, pengetahuan Tuhan hanya meliputi hal-hal yang universal, dan tidak
meliputi hal-hal yang particular, hal-hal yang terikat waktu: lampau, kini dan
nanti.
Pengetahuan =
Sifat
Pendapat al-Ghazali tentang
pengetahuan Tuhan hampir saja merupakan gabungan dari dua pendapat di atas sekiranya
al-Ghazali tidak mengkanter pendapat-pendapat itu dan tidak mengemukakan
argumen-argumen yang lain. Jadi, menurut al-Ghazali, pengetahuan Tuhan meliputi
Dirinya dan apa-apa yang selain diri-Nya, baik hal itu universalitas atau partikular,
dan pengetahuan Tuhan tidak identik dengan esensi Tuhan, atau tepatnya,
pengetahuan Tuhan dalam pandangan al-Ghazali adalah sifat Tuhan.
Apabila Tuhan hanya mengetahui
Dirinya atau hanya yang selain-Nya, maka implikasinya—menurut al-Ghazali—adalah
akibat-akibat dari Tuhan lebih mulia
dari Tuhan. Karena malaikat, manusia ataupun makhluk-makhluk berakal yang lain,
begitu argumen al-Ghazali, mengetahui dirinya sendiri; prinsipnya; dan
wujud-wujud yang lain. Semua makhluk hidup menyadari dirinya, sebab itu Tuhan
Yang Hidup pasti mengetahui Dirinya. Kesadaran makhluk akan dirinya tidak sama
dengan esensi dirinya, tetapi antara kesadaran dengan yang mempunyai kesadaran
tidak bisa dilepaskan. Begitu juga, pengetahuan Tuhan bukan esensi Tuhan,
tetapi antara pengetahuan Tuhan dengan esensi Tuhan tak terpisahkan.
Pengetahuan Tuhan adalah sifat Tuhan.
Alam adalah ciptaan Tuhan.
Penciptaan Tuhan itu tentunya juga didasarkan pada iradah mutlak-Nya. Dan
setiap objek kehendak pasti diketahui oleh yang berkehendak. Sebab itu alam
pasti diketahui oleh-Nya, karena alam dikehendaki oleh-Nya, dan menggantungkan
asal-mulanya pada kehendak-Nya. Alam berasal dari kehendak-Nya. Yang mempunyai
kehendak pasti yang hidup. Karena itu Ia pasti juga hidup (Hayy). Dan
setiap wujud yang hidup yang mengetahui yang lainnya harus a fortiori
mempunyai pengetahuan-diri. Dengan demikian, alam merupakan objek pengetahuan
Tuhan.
Pengetahuan Tuhan tentang alam tidak
hanya menyangkut masalah yang universal saja, tetapi juga yang partikular.
Pengetahuan Tuhan yang partikular ini tidak melalui yang universal, tetapi
secara langsung kepada hal-hal yang partikular, hal-hal yang berubah, hal-hal
yang dibawahi waktu: lalu, kini dan nanti. Apabila partikular-partikular itu
berubah, maka pengetahuan Tuhan pun berubah, KARENA PENGETAHUAN MENGIKUTI OBJEK
PENGETAHUAN. Apabila objek pengetahuan berubah, maka pengetahuan pun berubah.
Akan tetapi, Tuhan bukan pengetahuan. Pengetahuan Tuhan itu hanya merupakan
sifat Tuhan. Karena itu, perubahan pada pengetahuan Tuhan adalah perubahan pada
sifat Tuhan, bukan pada esensi Tuhan. Oleh sebab itu tidak menjadi soal. Di
lain hal, pengetahuan Tuhan akan sesuatu bukan menjadi syarat untuk sempurnanya
Tuhan, seperti manusia yang membutuhkan pengetahuan untuk menjadi sempurna,
sebab Tuhan itu Maha Sempurna. Kalau kita mengandaikan bahwa Tuhan ingin
sempurna dengan pengetahuan, tentu kita menganggap esensi-Nya, qua
esensi, tidak sempurna.
Kini, penolakan terhadap hal-hal
yang berubah pada-Nya tidak membuktikan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnan.
Ketidaksempurnaan hanya terletak pada indera-indera dan pada
kebutuhan-kebutuhan indera itu. Tuhan tidak mempunyai indera dan tidak
membutuhkan indera seperti manusia. Pengetahuan Tuhan tidak membutuhkan indera,
dan Tuhan tidak menerima perubahan-perubahan melalui indera. Ia Maha Sempurna.
Ia mengetahui melalui pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya itu adalah
sifat-Nya. Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan, tetapi keduanya tidak bisa
dipisahkan.
Dan… wa Allahu a‘lam bi al-shawab.
Ciputat, 8 Ramadhan 1410 H
(Makalah sewaktu S1 yang saya ketik
ulang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar