Senin, 03 April 2017

MEMAHAMI PERBEDAAN PENDAPAT IMAM MADZHAB

MEMAHAMI PERBEDAAN PENDAPAT
DI KALANGAN IMAM MADZHAB

A.    Para imam madzhab sepakat bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Akan tetapi, produk hukum (fiqh) mereka berbeda. Kenapa?
B.     Al-Qur’an.
Karena perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an. Karena berbeda penafsiran ini, maka istinbat al-hukmi-nya (hasil hukum yang digalinya) menjadi berbeda.
Contoh: Firman Allah au lamastum al-nisâ’ (QS Al-Maidah: 6).
Imam Hanafi menafsirkan kata lamastum itu dengan bersetubuh sehingga ayat itu diartikan: “atau kamu bersetubuh dengan perempuan”. Dengan demikian, menurut Imam Hanafi bersentuhan dengan perempaun itu tidak membatalkan wudhu’, meski bersentuhan dengan perempaun ajnabiyah (perempuan lain, bukan muhramnya). Yang membatalkan wudhu’ adalah bersetubuh dengan perempuan.
Imam Maliki, Syafi’i dan Hanbali mengartikan kata lamastum tersebut dengan menyentuh sehingga arti ayat itu adalah “atau kamu menyentuh (bersentuhan dengan) perempuan”. Karena itu, menurut ketiga madzhab ini bersentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’.
Hanya saja, Imam Maliki dan Hanbali mensyaratkan sentuhan itu dengan syahwat sehingga bersentuhan dengan perempaun yang tidak disertai dengan syahwat tidak membatalkan wudhu’. Namun, kalau disertai dengan syahwat, baik dengan perempuan muhram maupun ajanabiyah, maka membatalkan wudhu’.
Adapun Imam Syafi’i berpendapat bahwa bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhramnya, meski tidak disertai syahwat, membatalkan wudhu’.
C.     Hadis.
Imam Hanafi hanya mau memakai hadis yang masyhur, yakni hadis yang diriwayatkan minimal oleh dua orang. Hadis ahad, yakni yang diriwayatkan oleh satu orang, Imam Hanafi tidak mau memakainya. Sebagai gantinya ia menggunakan Qiyas. Contohnya, hadis tentang wali dalam pernikahan. Menurut Imam Hanafi, hadis tentang wali nikah ini tidak masyhur dan dikhususkan untuk perempuan kecil. Karena itu, perkawinan perempuan yang telah dewasa (baligh dan berakal) sah hukumnya meski tanpa wali. Dengan kata lain, perempuan yang telah dewasa boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa berwali. Hal ini karena diqiyaskan dengan jual beli. Perempuan yang boleh menjual harta bendanya (miliknya sendiri) tanpa wali, maka boleh juga mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali, sebagaimana laki-laki. Kalau jual belinya itu sah, maka perkawinannya pun juga sah. Kecuali perkawinan perempuan yang masih kecil, maka perlu adanya wali.
Imam Maliki mau menerima hadis ahad dan atsar yang sahih, meski tidak masyhur. Akan tetapi, Imam Maliki lebih mendahulukan perbuatan penduduk Madinah dan ijma’ ulamanya dibanding hadis ahad, karena ijma’ ulama Madinah dipandang lebih kuat dibanding hadis ahad. Contohnya, hadis tentang puasa enam hari di bulan syawal. Menurut Imam Maliki, makruh hukumnya berpuasa enam hari pada bulan Syawal karena tidak ada penduduk/ulama Madinah yang melakukannya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis yang sahih atau hasan, meski tidak masyhur, lebih kuat dan didahulukan disbanding Qiyas dan Ijma’ ulama Madinah. Sebab itu, menurut Imam Syafi’i wajib hukumnya adanya wali dalam nikah dan sunnah hukumnya puasa enam hari di bulan Syawal.
Adapun Imam Hanbali berpendapat bahwa hadis yang sahih, hasan atau bahkan hadis yang dha’if dan fatwa-fatwa sahabat lebih kuat dan didahulukan disbanding Qiyas.
D.    Ijma’.
Imam Hanafi hanya mau menerima ijma’ sahabat saja. Namun, pengikut-pengikut Imam Hanafi mau juga menerima ijma’ ulama-ulama mujtahid.
Imam Maliki menggunakan ijma’ ulama Madinah dan kemudian ijma’ ulama-ulama mujtahid.
Imam Syafi’i menerima ijma’ ulama-ulama mujtahid seluruhnya dalam suatu masa. Ijma’ ulama Madinah saja tidak boleh dijadikan dalil hukum.
Imam Hanbali memandang bahwa ijma’ yang diterima adalah ijma’ sahabat saja. Menurutnya, tidak ada ijma’ setelah sahabat.
E.     Qiyas.
Imam Hanafi lebih mendahulukan qiyas disbanding hadis yang tidak masyhur.
Imam Maliki mempergunakan qiyas kalau tidak ada hadis dan atsar sahabat.
Imam Syafi’i mempergunakan qiyas kalau tidak ada ketentuan dalam nash (al-Qur’an dan a;-Sunnah).
Imam Hanbali memakai qiyas kalau terpaksa. Selama ada nash dari hadis, atsar atau fatwa-fatwa sahabat meski dha’if yang tidak berkenan dengan ibadah, maka qiyas tidak dipakai.
F.      Di samping empat sumber hukum tersebut, Imam Hanafi menambah istihsan dan Imam Maliki menambah mashalih mursalah. Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan mementingkan kebaikan/keadilan mutlak. Contohnya: perempuan yang haidh tidak diqiyaskan dengan perempuan yang junub, karena lama haidh tidak sama dengan lama junub. Oleh sebab itu, secara istihsan (demi kebaikan/keadilan) orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an, tetapi perempuan yang haidh boleh.
Mashalih mursalah adalah menyari kemaslahatan yang sifatnya mutlak. Misalnya, apabila musuh (orang kafir) menjadikan tawanan orang Islam sebagai tameng (perisai) mereka, maka kaum Muslimin boleh memerangi mereka itu meski orang Islam yang dijadikan tameng itu akan terbunuh, karena hal itu lebih maslahat dibanding musuh itu membunuh kaum Muslimin dan orang Islam yang dijadikan tameng tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates