MEMAHAMI
PERBEDAAN PENDAPAT
DI
KALANGAN IMAM MADZHAB
A.
Para imam
madzhab sepakat bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas. Akan tetapi, produk hukum (fiqh) mereka berbeda. Kenapa?
B.
Al-Qur’an.
Karena
perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an. Karena berbeda penafsiran ini, maka istinbat
al-hukmi-nya (hasil hukum yang digalinya) menjadi berbeda.
Contoh:
Firman Allah au lamastum al-nisâ’ (QS Al-Maidah: 6).
Imam
Hanafi menafsirkan kata lamastum itu dengan bersetubuh sehingga ayat itu
diartikan: “atau kamu bersetubuh dengan perempuan”. Dengan demikian, menurut
Imam Hanafi bersentuhan dengan perempaun itu tidak membatalkan wudhu’, meski
bersentuhan dengan perempaun ajnabiyah (perempuan lain, bukan
muhramnya). Yang membatalkan wudhu’ adalah bersetubuh dengan perempuan.
Imam
Maliki, Syafi’i dan Hanbali mengartikan kata lamastum tersebut dengan
menyentuh sehingga arti ayat itu adalah “atau kamu menyentuh (bersentuhan
dengan) perempuan”. Karena itu, menurut ketiga madzhab ini bersentuhan dengan
perempuan membatalkan wudhu’.
Hanya
saja, Imam Maliki dan Hanbali mensyaratkan sentuhan itu dengan syahwat sehingga
bersentuhan dengan perempaun yang tidak disertai dengan syahwat tidak
membatalkan wudhu’. Namun, kalau disertai dengan syahwat, baik dengan perempuan
muhram maupun ajanabiyah, maka membatalkan wudhu’.
Adapun
Imam Syafi’i berpendapat bahwa bersentuhan dengan perempuan yang bukan
muhramnya, meski tidak disertai syahwat, membatalkan wudhu’.
C.
Hadis.
Imam
Hanafi hanya mau memakai hadis yang masyhur, yakni hadis yang diriwayatkan
minimal oleh dua orang. Hadis ahad, yakni yang diriwayatkan oleh satu orang,
Imam Hanafi tidak mau memakainya. Sebagai gantinya ia menggunakan Qiyas.
Contohnya, hadis tentang wali dalam pernikahan. Menurut Imam Hanafi, hadis
tentang wali nikah ini tidak masyhur dan dikhususkan untuk perempuan kecil. Karena
itu, perkawinan perempuan yang telah dewasa (baligh dan berakal) sah hukumnya
meski tanpa wali. Dengan kata lain, perempuan yang telah dewasa boleh
mengawinkan dirinya sendiri tanpa berwali. Hal ini karena diqiyaskan dengan
jual beli. Perempuan yang boleh menjual harta bendanya (miliknya sendiri) tanpa
wali, maka boleh juga mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali, sebagaimana
laki-laki. Kalau jual belinya itu sah, maka perkawinannya pun juga sah. Kecuali
perkawinan perempuan yang masih kecil, maka perlu adanya wali.
Imam
Maliki mau menerima hadis ahad dan atsar yang sahih, meski tidak
masyhur. Akan tetapi, Imam Maliki lebih mendahulukan perbuatan penduduk Madinah
dan ijma’ ulamanya dibanding hadis ahad, karena ijma’ ulama Madinah dipandang
lebih kuat dibanding hadis ahad. Contohnya, hadis tentang puasa enam hari di
bulan syawal. Menurut Imam Maliki, makruh hukumnya berpuasa enam hari pada
bulan Syawal karena tidak ada penduduk/ulama Madinah yang melakukannya.
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadis yang sahih atau hasan, meski tidak masyhur,
lebih kuat dan didahulukan disbanding Qiyas dan Ijma’ ulama Madinah. Sebab itu,
menurut Imam Syafi’i wajib hukumnya adanya wali dalam nikah dan sunnah hukumnya
puasa enam hari di bulan Syawal.
Adapun
Imam Hanbali berpendapat bahwa hadis yang sahih, hasan atau bahkan hadis yang
dha’if dan fatwa-fatwa sahabat lebih kuat dan didahulukan disbanding Qiyas.
D.
Ijma’.
Imam
Hanafi hanya mau menerima ijma’ sahabat saja. Namun, pengikut-pengikut Imam
Hanafi mau juga menerima ijma’ ulama-ulama mujtahid.
Imam
Maliki menggunakan ijma’ ulama Madinah dan kemudian ijma’ ulama-ulama mujtahid.
Imam
Syafi’i menerima ijma’ ulama-ulama mujtahid seluruhnya dalam suatu masa. Ijma’
ulama Madinah saja tidak boleh dijadikan dalil hukum.
Imam
Hanbali memandang bahwa ijma’ yang diterima adalah ijma’ sahabat saja.
Menurutnya, tidak ada ijma’ setelah sahabat.
E.
Qiyas.
Imam
Hanafi lebih mendahulukan qiyas disbanding hadis yang tidak masyhur.
Imam
Maliki mempergunakan qiyas kalau tidak ada hadis dan atsar sahabat.
Imam
Syafi’i mempergunakan qiyas kalau tidak ada ketentuan dalam nash (al-Qur’an dan
a;-Sunnah).
Imam
Hanbali memakai qiyas kalau terpaksa. Selama ada nash dari hadis, atsar atau
fatwa-fatwa sahabat meski dha’if yang tidak berkenan dengan ibadah, maka qiyas
tidak dipakai.
F.
Di samping
empat sumber hukum tersebut, Imam Hanafi menambah istihsan dan Imam
Maliki menambah mashalih mursalah. Istihsan adalah meninggalkan
qiyas dan mementingkan kebaikan/keadilan mutlak. Contohnya: perempuan yang
haidh tidak diqiyaskan dengan perempuan yang junub, karena lama haidh tidak
sama dengan lama junub. Oleh sebab itu, secara istihsan (demi
kebaikan/keadilan) orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an, tetapi
perempuan yang haidh boleh.
Mashalih
mursalah adalah menyari kemaslahatan yang sifatnya mutlak. Misalnya,
apabila musuh (orang kafir) menjadikan tawanan orang Islam sebagai tameng
(perisai) mereka, maka kaum Muslimin boleh memerangi mereka itu meski orang
Islam yang dijadikan tameng itu akan terbunuh, karena hal itu lebih maslahat dibanding
musuh itu membunuh kaum Muslimin dan orang Islam yang dijadikan tameng
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar