Selasa, 06 Desember 2016

AL-MUHÂSIBÎ

Oleh Dimyati Sajari 
AL-MUHÂSIBÎ Al-Harits al-Muhâsibî (165-243 H/781-837 M) bernama lengkap Abû ‘Abd Allâh al-Hârits b. Asad al-Muhâsibî. Dia lahir di Basrah, tapi tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan ulama-ulama Baghdad pernah berguru kepadanya. Dia menguasai ilmu-ilmu zhahir, ilmu-ilmu muamalat dan ilmu bathin. Dia wafat tahun 243 H di Baghdad. Al-Muhâsibî sebagaimana dikatakan A.J. Arberry di dalam bukunya An Account of the Mystics of Islam, merupakan pengarang sufi pertama terkemuka yang tulisan-tulisannya benar-benar berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran sufi selanjutnya. Dialah yang pertama kali mensistematisasikan ajaran zuhd. Dia pula, menurut ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha’ di dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Muhâsibî yang ia edit, yaitu kitab al-Washaya, yang pertama kali berbicara tentang jiwa (al-tahlil al-nafsiy) di dalam pemikiran Islam (al-fikr al-Islamiy), yang ia abdikan kepada syari‘ah Islam. Sejalan dengan penilaian ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha’ ini Fazlur Rahman dalam bukunya Islam menilai al-Muhâsibî sebagai tokoh besar pertama yang merintis jenis tasawuf ortodoks, yang dengan praktek dan ajarannya berusaha menyatukan ortodoksi dan sufisme. Peran yang dimainkan al-Muhâsibî itu, bisa diduga, terkait erat dengan kondisi dan situasi yang membutuhkan respons al-Muhâsibî, yang bisa dipilah menjadi dua dimensi, yaitu dimensi pemikiran (intelektual-spiritual) dan dimensi kekuasaan. Dari segi pemikiran, pada era al-Muhâsibî bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ulama atau ahli hukum dan kaum teolog di satu sisi dan kelompok sufi yang bermaksud memberikan pendasaran yang lebih bersifat bathini di dalam menjalankan ibadah di sisi yang lain. Respons terhadap Hukum dan Teologi Untuk di bidang hukum, era al-Muhâsibî merupakan era yang sudah terkodifikasi secara sistematis. Dia lahir sepuluh tahun setelah kelahiran Imam Syafi‘i atau sesudah kewafatan Imam Abu Hanifah (150 H) dan empat belas tahun sebelum kewafatan Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M) serta wafat dua tahun setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/885 M). Hal ini berarti, di satu segi al-Muhâsibî menyaksikan pandangan hukum Hanafi dan Maliki telah terumuskan secara baku dan di lain segi menyaksikan secara langsung al-Syafi‘i serta Ibn Hanbal sedang merumuskan pandangan hukumnya. Oleh karena Imam al-Syafi‘i wafat pada tahun 204 H/819 M tatkala al-Muhâsibî berusia 39 tahun --al-Muhâsibî sendiri wafat pada tahun 243 H/837 M dalam usia 78 tahun-- berarti ketika al-Syafi‘i wafat ia pun menyaksikan pandangan hukum Syafi‘i telah terkodifikasi secara baku. Bahkan, menurut Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimension of Islam, al-Muhâsibî termasuk dalam mazhab hukum Syafi‘i, seperti halnya al-Junaid (w. 298/910), Rûdhbârî (w. ), al-Ghazālī (w. ) dan lain-lain. Artinya, al-Muhâsibî tidak hanya menyaksikan hukum al-Syafi‘i dirumuskan dan terumuskan secara matang, tetapi ia pun bergabung ke dalam mazhab Syafi‘i. Menyaksikan bidang hukum telah terumuskan secara sistematis itu tak syak lagi mempengaruhi al-Muhâsibî untuk merumuskan ajaran zuhd, yang sebelumnya belum terumuskan. Dalam istilah Fazlur Rahman, perumusan ajaran asketik (zuhd) merupakan reaksi terhadap perumusan Islam secara hukum. Kalau aspek hukum ini lebih bersentuhan dengan segi-segi formal-lahiriah beragama, maka zuhd ini lebih menekankan dimensi bathiniah keberagamaan seseorang. Di sinilah al-Muhâsibî pun merumuskan ajaran tentang jiwa (nafs) atau tentang dimensi batin manusia. Penekanan pada dimensi batin ini tidak dimaksudkan untuk menolak hukum syari‘ah (kehidupan lahiriah), tetapi justeru dikhidmadkan untuk hukum syari‘ah, sekaligus dimaksudkan untuk menekankan pentingnya penjagaan terus menerus terhadap kesucian niat sekaligus kritik-diri (muhasabat al-nafs) yang tak henti-hentinya, khususnya berkenaan dengan penipuan diri, kebanggaan diri dan Di bidang teologi, masa al-Muhâsibî adalah era Mu‘tazilah, kecuali beberapa tahun di akhir kehidupannya merupakan era ahl a-l-sunnah. Al-Muhâsibî sendiri mendapatkan pengetahaun dari teologi Mu‘tazilah. Pada era al-Ma‘mun teologi ini dijadikan sebagai teologi negara. Mungkin saja disebabkan posisinya sebagai teologi negara ini doktrin Mu‘tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an dipaksakan untuk diterima oleh seluruh warga negara, termasuk kepada para ulama. Ahl al-hadits yang dipelopori Ibn Hanbal menolak paham ini. Atas penolakannya ini Ibn Hanbal disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara. Peristiwa ini menyebabkan kaum Mu‘tazilah mendapat tantangan atau kritik dari kaum Hanabilah. Al-Muhâsibî termasuk mendapatkan kritik dari kaum Hanabilah. Bahkan, al-Muhâsibî mendapatkan kritik langsung dari Ibn Hanbal, meski posisinya sebagai teolog Mu‘tazilah bukan satu-satunya alasan Ibn Hanbal untuk melakukan kritik kepadanya. Alasan lainnya adalah karena al-Muhâsibî, seperti dikatakan Arberri, sebagai ahli hadis dinilai Ibn Hanbal memakai perawi-perawi hadis yang lemah. Kritik Ibn Hanbal ini melahirkan hubungan yang senantiasa tegang di antara keduanya. Barangkali dikarenakan adanya kritik kaum Hanabilah atau ahl al-hadits itulah yang menjadi salah satu sebab al-Muhâsibî melakukan konversi dari teologi Mu‘tazilah ke Sufisme. Penyebab lainnya, mungkin saja, adalah kehidupan kekuasaan yang jauh dari nilai-nilai moral agama. Walaupun melakukan konversi dari teologi Mu‘tazilah ke Sufisme, tetapi telaah metodis teologi Mu‘tazilah, sebagaimana diinformasikan Schimmel, telah memberinya kemahiran berbahasa. Hasilnya, ia bisa menyumbangkan bahasa yang sangat teknis bagi tasawuf. Era Peralihan dari Asketisisme ke Sufisme Berkaitan dengan kehidupan sufisme, era al-Muhâsibî tampaknya merupakan era peralihan dari asketisisme ke sufisme. Abû al-Wafâ’ al-Ghunaimî al-Taftazânî dalam bukunya Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-Islâm mengakui bahwa sulit menentukan secara tepat kapan waktu beralihnya gerakan zuhud ke tasawuf, mengingat perkembangan suatu pemikiran tidak tunduk kepada batasan waktu yang ketat. Namun, ia menyatakan bahwa di akhir abad kedua Hijriah sebagian asketis telah memiliki kecenderungan kepada sufisme (tasawuf) dan sebagian penulis telah memandang mereka sebagai sufi. Kurang lebih pada permulaan abad ketiga Hijriah kecenderungan peralihan dari asketisme ke sufisme yang terjadi di akhir abad kedua Hijriah itu menjadi nyata. Dengan adanya peralihan ini Taftazânî mengatakan bahwa mulai awal abad ketiga Hijriah para zahid tidak lagi dikenal dengan sebutan ini, tetapi dengan nama atau sebutan sufi. Taftazânî pun mengemukakan bahwa pada masa ini mereka cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang belum dikenal sebelumnya, semisal konsep tentang moral, jiwa, olah-spiritual, maqâm dan hâl, ma‘rifat, tauhid, fana’ dan hulul. Bahkan, mereka tidak sekadar membicarakan konsep-konsep ini, tapi juga merumuskannya secara teoritis. Lebih dari itu, mereka telah menyusun aturan-aturan praktis bagi sufisme dan menggunakan bahasa simbolis yang khusus dikenal di kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan di luar mereka. Sesuai dengan kecenderungan memperbincangkan dan merumuskan konsep-konsep sufisme itu muncullah karya-karya tentang tasawuf (sufisme). Tokoh-tokoh yang melakukan kegiatan ini mulai abad ketiga Hijriah dan abad-abad berikutnya, di antaranya, adalah al-Muhâsibî (w. 243 H/857 M) dengan karya utamanya Al-Ri‘âyah li Huqûq Allâh, Abû Bakr al-Kharrâz (w. 286 H/899 M) dengan karyanya Kitâb ash-Shidq, al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H/898 M) dengan karyanya Khatm al-Awliyâ’, Abû al-Qâsim al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/911 M) dengan Kitâb al-Fanâ’-nya, Abû Nashr al-Sarrâj (w. 377 H/988 M) dengan Kitâb al-Luma‘, Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî (w. 385 H/995 M) dengan Kitâb al-Ta‘rruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abû Thâlib al-Makkî (w. 386 H/996 M) dengan Qût al-Qulûb, Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w. 465 H/1074 M) dengan Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, ‘Alî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî (w. 1071 M) dengan Kasyf al-Mahjûb, dan Abû Hâmid al-Ghazzâlî (w. 505 H/1111 M) dengan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Dari tokoh-tokoh yang menulis konsep-konsep tasawuf itu terlihat bahwa al-Muhâsibî merupakan tokoh pemulanya. Al-Muhâsibî, di samping sebagai tokoh pemula, juga termasuk tokoh awal yang mewakili tipikal sufisme Baghdad yang ortodoks, yang mungkin ia peroleh dari pengikut-pengikut Hasan al-Bashrî. Tokoh terpenting di kalangan sufi Baghdad, Abû al-Qâsim Muhammad al-Junayd (w. 298 H/911 M), adalah murid al-Muhâsibî. Karya-karya al-Muhâsibî Karya-karya al-Muhâsibî, sebagaimana karya-karya para alim lain sezamanya, disusun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanayaan yang diajukan kepadanya. Karyanya yang terbesar, al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh, mencerminkan model dealektis ini, yakni dialog antara al-Muhâsibî dengan salah seorang muridnya (yang tidak disebutkan namanya). Muridnya itu mengajukan beberapa pertanyaan pendek dan dijawab oleh al-Muhâsibî dengan jawaban yang panjang dan menyeluruh. Jawaban itu diungkapkan dengan gaya bahasa yang lugas, tidak puitis. Tampaknya, al-Muhâsibî ingin agar tema yang ia bicarakan dalam kitab ini tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman oleh para pembacanya. Sesuai dengan nama pengarangnya, yaitu al-Muhâsibî yang bermakna muhâsabat (telaah-diri yang terus menerus), kitab “Pemeliharaan Hak-hak Allah” (al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh) berisi tentang berbagai bentuk egoisme manusia, metode untuk menelaahnya (mengujinya), peringatan untuk bersikap waspada terhadapnya, dan peringatan agar tidak terikat dan disibukkan olehnya. Bentuk-bentuk utama egoisme manusia yang dibahas oleh al-Muhâsibî dalam kitabnya ini meliputi: kesombongan dan keinginan untuk menampilkan kebaikan diri (riyâ’), narsisisme (sikap atau tindakan mencintai diri sendiri secara berlebihan), ‘ujub (angkuh, yaitu penipuan diri sendiri dengan membesar-besarkan dirinya sebagai seorang yang mulia dan benar dalam segala tindakan serta melupakan kesalahan-kesalahannya), kibr (sikap membanggakan diri dengan memposisikan dirinya sebagai tuan atau Tuhan), dan ghirrat (khayalan bahwa dirinya merupakan orang yang tepat, yaitu ketika seseorang membayangkan bahwa penolakannya terhadap perubahan perilaku yang merusak dibenarkan oleh harapan-harapannya terhadap kasih sayang Tuhan). Selain itu, dalam kitabnya al-Washâyâ, al-Muhâsibî di dalam muqaddimah yang bersifat otobiografis melukiskan krisis yang terjadi pada masanya dan akibat yang harus ditanggung dalam kehidupan batinnya dan mungkin juga kehidupan materialnya. Dalam otobiografi ini, menurut al-Jâbirî, al-Muhâsibî menyadari krisis yang terjadi dan berusaha melampauinya, yakni berusaha keluar darinya secara sadar, sama seperti yang dilakukan al-Ghazâlî tiga abad kemudian. Mungkin sekali otobiografi al-Muhâsibî ini mengilhami al-Ghazâlî ketika menulis otobiografinya di dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dhalâl. Di dalam muqaddimah kitabnya al-Washâyâ atau al-Nashâ’ih itu al-Muhâsibî menulis: “Umat masa kini telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh golongan (firqat) atau lebih dan, di antara mereka, hanya satu golongan yang selamat. Golongan lainnya, hanya Allah Yang Maha Tahu. Dalam kehidupanku, aku takkan berhenti, meski sedikit, untuk meneliti pertentangan-pertentangan umat ini dan mencari metode yang jelas dan jalan yang benar. Kucari jalan ke akhirat melalui para ‘ulama (mutakallim), kutelaah berbagai doktrin tentang Allah melalui penafsiran para ahli fiqh, kurenungkan keadaan-keadaan umat dan kulihat berbagai mazhab dan pendapat mereka, kupikirkan sesuai kemampuanku, dan kulihat bahwa perselisihan mereka bagaikan laut yang dalam, manusia banyak yang tenggelam di sana dan sedikit yang selamat...” Di dalam buku otobigrafinya itu al-Muhâsibî mencari justifikasi perpidahannya dari fiqih dan teologi ke dunia tasawuf dengan terang-terangan, dalam istilah al-Jabiri, tetap berpegang teguh kepada “rasionlitas agama” yang ditetapkan al-Kitab dan al-Sunnah. Dengan kata lain, al-Muhâsibî berusaha merekonsiliasikan antara tasawuf dan syariah, suatu usaha yang terus dilanjutkan oleh sufi-sufi sesudahnya. Karya al-Muhâsibî lainnya adalah al-Masâ’il fî A‘mâl al-Qulûb wa al-Jawârih wa al- Makâsib wa al-‘Aql. Di dalam kitab ini al-Muhâsibî membahas tentang “zuhud,” “diam dan berfikir,” “kaya, syukur dan kefakiran,” “menolak was-was (bisikan syetan),” “sombong, dengki dan penipuan diri,” “riyâ’ dan was-was,” “mengenal nafsu,” “lalai dan lupa,” “tawakkal,” “usaha mencari rizki,” “tinggal usaha,” “sifat warâ‘,” “hakikiat akal dan maknanya,” “akal dari Allah,” dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates